GAMBARAN UMUM SUKU BANJAR 1. Terbentuknya Suku Banjar Suku Banjar termasuk dalam kelompok orang Melayu yang hidup di Kalimantan Selatan. Suku ini diyakini, dan juga berdasar data sejarah, bukanlah penduduk asli daerah ini, melainkan hasil percampuran (darah, bahasa, agama/kepercayaan, budaya, dll) dari penduduk asli / Dayak, orang Melayu dan pendatang berikutnya. Setelah kedatangan migrasi kelompok orang Melayu, dan berdirinya kerajaan pertama di Kalimantan Selatan, yaitu Tanjung-Pura pada abad ke-4, tidak ada lagi catatan tentang perkembangan kerajaan ini selanjutnya. Pada abad ke-13 akibat terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan Majapahit terjadilah arus pengungsian dari Jawa Timur (Kediri Utara) ke Kalimantan Selatan 1. Pendapat lain mengatakan bahwa para pendatang ini berasal dari India, tetapi pendapat ini lemah dan secara umum Jawa Timur-lah yang dianggap sebagai asal dari para pendatang / imigran yang dipimpin oleh Empu Jatmika ini 2. Para imigran orang Kaling dari kerajaan Kuripan atau Jenggala di Kediri Utara ( Jawa Timur ) ini selanjutnya mengembangkan kota-kota yang telah ada dari masa kerajaan Tanjung-Pura. Dalam bidang sosial para pendatang ini juga cepat menyesuaikan dengan budaya setempat, khususnya bahasa yang telah berkembang, yaitu percampuran bahasa Melayu dengan bahasa Dayak (Ma anyan, Lawangan, Bukit, dan Ngaju) yang dikenal sebagai bahasa Banjar kuno. Para pendatang ini, dengan andil Empu Jatmika mendirikan dinasti baru, yaitu kerajaan kedua di Kalimantan Selatan yaitu Negara-Dipa 3. Adapun catatan sejarah memperkirakan nama Negara-Dipa berasal dari bahasa Ngaju, dipah ten yang berarti seberang situ, sedangkan dalam catatan kesusasteraan Jawa dikenal dengan nama Tanah Sabrang 4. Namun yang jelas bahwa kerajaan Negara-Dipa ini sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa, ditandai dengan ditemukannya candi Agung dan candi Laras di daerah bekas kerajaan ini. Berdasar tipologi batu yang dipakai pada candi Agung di Tabalong dan Candi Laras di Margasari-Marampian menunjukkan bahwa bahannya tidak berasal dari daerah Kalimantan Selatan, namun serupa dengan batu di Trowulan (Jawa Timur) 5. Selanjutnya pada permulaan abad ke-15, Majapahit menyerang dan menaklukkan kerajaan Negara-Dipa ini, sehingga muncullah kerajaan ketiga di 1 Saleh, Rumah., hal. 6 menyebutkan terjadi peperangan di Gentar antara Ken Arok dengan Kertajaya, tahun 1222 dengan kekalahan dan kematian Kertajaya. 2 Daud, op.cit., hal. 34. 3 Saleh, Rumah., hal. 6. Lokasi kerajaan NegaraDipa ini diperkirakan di Amuntai saat ini. 4 Saleh, Sejarah, hal. 17. 5 Mahmud, loc. cit. hal. 81.
34 Kalimantan Selatan yaitu kerajaan Negara-Daha 6 yang dipimpin oleh Maharaja Sari Kaburangan. Dan pusat kekuasaan dipindahkan ke daerah yang lebih mendekati pesisir, yaitu Muhara Rampiau 7. Keadaan pada masa ini sebagaimana keadaan masa Negara-Dipa juga tidak banyak diketahui, kecuali adanya pengaruh budaya Jawa yang ditandai dengan ditemukannya candi, diterapkannya sistem pemerintahan, sosial dan keagamaan dalam lingkungan kehidupan kerajaan 8. Di samping pengaruh budaya Melayu dan Dayak yang sudah ada dan mengalami percampuran sebelumnya. Keadaan kerajaan Negara Daha pada permulaan abad ke-16 digambarkan penuh dengan perseteruan antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Negara Daha dengan pamannya Pangeran Temenggung. Pertentangan diawali ketika Raja Sukarama berwasiat menunjuk cucunya Raden Samudera sebagai penggantinya kelak. Namun keempat anaknya tidak setuju, dan setelah Raja Sukarama wafat kekuasaan dipegang anak tertuanya, Pangeran Mangkubumi. Sedangkan Raden Samudera waktu itu masih berumur 7 tahun. Kekuasaan Pangeran Mangkubumi ini tidak lama, ia terbunuh oleh pegawai istana yang dihasut oleh Pangeran Temenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi maka Pangeran Temenggung menjadi raja 9. Pada masa pemerintahan Pangeran Tamenggung ini terjadi perlawanan yang dipimpin oleh Raden Samudera yang merupakan pelarian politik 10. Perlawanan ini sangat dibantu oleh para patih dari daerah muara 11, yaitu muara Sungai Kuin yang terletak antara Pulau Kembang dan Pulau Alalak 12. Atas bantuan dan saran dari patih Masih 13 tersebut, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada kerajaan Demak. Akan tetapi Demak bersedia memberikan bantuan dengan dilandasi dua motif, yaitu : untuk menyambung kebesaran Majapahit, dan menyebarkan agama Islam di Kalimantan Selatan, yakni Raden Samudera dan pengikutnya masuk Islam 14. 6 Saleh, Rumah., hal. 7. 7 Saleh, Sejarah, hal. 18 8 Ibid., hal. 17, 22 9 J.J. Ras, Hijayat Banjar : A Study in Malay Historiography, (The Hague-Martinus Nijhoff- KTLV, 1968), hal. 376 398. 10 Saleh, Sejarah, hal. 30. Setelah Pangeran Temenggung berkuasa, Raden Samudera menyembunyikan diri ke daerah sekitar Tamban, Muhur Balandean dan Belitung. 11 Ibid., Dalam bahasa Dayak Ngaju, kata masih adalah sebutan untuk orang yang berbahasa Melayu (Oloh Masi = Orang Melayu), sedangkan pedukuhan tempat tinggal kelompok ini disebut Banjar. Dan Banjar Masih adalah sebutan untuk Kampung Oloh Masi(h) atau Kampung Melayu dan Patih Masih adalah Patih Olo Masi yang mengepalai orang orang Melayu. 12 Gazali Usman, et. al., Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Daerah Kalimantan Selatan (Banjarmasin : CV Prisma Muda Banjarmasin, 1996), hal. 22. 13 Patih Masih merupakan pemimpin patih di daerah Muara, nama sebenarnya tidak diketahui 14 Mahmud, loc. cit.
35 Dengan bantuan Demak, akhirnya perebutan kekuasaan dimenangkan oleh Pangeran Samudera dan berganti nama menjadi Sultan Suriansyah 15 setelah memeluk Islam 16. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1526 M. Kemenangan tersebut menjadi awal zaman baru di Kalimantan Selatan; pertama, Demak secara politis berhasil mengembalikan pengaruh kekuasaan Majapahit; kedua, Islam masuk dan membuka daerah penyebarannya; dan ketiga, terbentuknya kerajaan keempat yaitu kerajaan Banjar 17. Setelah kemenangannya dan mendirikan kerajaan Banjar, Pangeran Samudera memindahkan penduduk bekas kerajaan Negara-Daha dan pusat kekuasaanya ke daerah pesisir 18 yang banyak dihuni oleh orang Melayu yaitu Banjar Masih atau kampung orang Melayu / orang berbahasa Melayu, tepatnya daerah Kuin di Banjarmasin saat ini. Dengan demikian secara politis, dari peristiwa berdirinya kerajaan Banjar dan berpindahnya pusat kekuasaan inilah suku Banjar bisa dikatakan muncul. Namun asal-usul penduduk, bahasa, agama / kepercayaan dan budaya telah ada dan berkembang jauh sebelumnya. Selanjutnya kerajaan Banjar ini berkembang terus dan dipimpin secara turun temurun oleh 18 penguasa / raja Banjar dari tahun 1526 1859. Namun dalam pembahasan ini tidak secara khusus dibicarakan masalah ini, melainkan kejadian / masa masa tertentu saja yang dianggap mempengaruhi perkembangan arsitektur tradisional suku Banjar. Pada tahun 1612 dalam masa pemerintahan Panembahan Marhum terjadi pertikaian dengan Belanda yang berakibat dihancurkannya keraton Banjar. selanjutnya ibukota kerajaan dipindah ke daerah Kayu Tangi, Martapura. Dan pada pertengahan abad ke-17 akibat perebutan kekuasaan, ibukota kerajaan terbagi dua, di Banjarmasin di bawah Sultan Agung dan di Martapura di bawah Panembahan Ratu 19. 2. Subsuku Banjar di Kalimantan Selatan Pada masa kerajaan Banjar, wilayah dan pengaruh kekuasaannya sangatlah luas meliputi daerah sepanjang pesisir barat, timur, selatan dan beberapa pulaupulau kecil di sekitarnya. Namun saat ini yang disebut orang Banjar lebih sempit, yaitu penduduk asli Banjarmasin, Martapura, daerah Tanah Laut dan sekitarnya. Keadaan menyempitnya wilayah dan pengaruh kerajaan Banjar ini terutama disebabkan politik penjajah Belanda di Kalimantan Selatan dan adanya rasa kesuku-an yang tidak dapat menyatu atau melebur secara baik. 15 Terdapat beberapa nama (gelar) yang berbeda berdasar beberapa sumber sejarah 16 Ibid.; Saleh, Sejarah, hal. 156; Usman, op.cit., hal. 220. 17 Mahmud, loc.cit. 18 Daud, op.cit., hal. 45. 2 19 Saleh, Sejarah, hal 33.
36 Sebelum kerajaan Banjar berdiri, para pendatang Melayu di Kalimantan Selatan telah bertemu dengan penduduk asli daerah ini, yaitu suku Dayak Bukit (pegunungan Meratus), Dayak Ma anyan, Dayak Lawangan dan Dayak Ngaju 20. Kelompok pendatang Melayu selanjutnya mendiami daerah-daerah pesisir, dataran rendah dan sepanjang sisi bagian-tengah sungai dengan pola permukiman dan hunian yang berkelompok saling terpisah antar kelompok Melayu sendiri maupun dengan kelompok permukiman suku Dayak. Walaupun permukiman kedua kelompok ini saling terpisah namun tetap tidak terhindarkan terjadinya percampuran (darah, bahasa, agama / kepercayaan, kebudayaan, dll). Kelompok Melayu yang dianggap memiliki kebudayaan dan teknologi yang lebih unggul akhirnya menjadi lebih dominan dan mengambil / memiliki pengaruh terhadap penduduk asli. Pada beberapa kelompok suku Dayak yang telah melebur dengan pendatang Melayu ini, walaupun darah yang mengalir dalam diri mereka lebih banyak darah Dayak-nya namun kebudayaan mereka mengikuti kebudayaan Melayu. Sedangkan sebagian kelompok Dayak lainnya banyak juga yang tetap berdiri sendiri dan akhirnya tergeser ke daerah pedalaman atau tetap hidup berdampingan dalam kelompok-kelompok permukiman mereka 21. Proses percampuran dan peleburan terjadi secara terus-menerus mulai kedatangan pertama (masa kerajaan Tanjung-Pura, Negara-Dipa dan Negara- Daha) hingga masa sesudah berdirinya kerajaan Banjar. Setelah suku Banjar terbentuk (secara politis, bahasa, agama, budaya, dll.) mereka selanjutnya dikenal sebagai sub-suku Banjar. Proses terbentuknya subsuku Banjar tidak terlepas dari sejarah kedatangan imigran Melayu ke Kalimantan Selatan. Secara umum terdapat dua lokasi besar tempat kedatangan dan perkembangan pendatang Melayu, yang selanjutnya secara kontinyu terjadi percampuran dengan suku Dayak. Pertama, kelompok Melayu yang tinggal di sekitar aliran Sungai Tabalong, dan Sungai Martapura 22. Kelompok Melayu yang tinggal di sekitar anak Sungai Negara dan Sungai Martapura bertemu dengan Suku Dayak Bukit. Suku Dayak Bukit ini juga berasal dari asal yang sama (pendatang Melayu) dalam perkembangannya hidup terpisah dari kelompok pendatang Melayu berikutnya. Mereka hidup dalam lingkungan permukiman masing-masing, seperti pola permukiman suku Dayak Bukit saat ini (yaitu Balai), dalam lingkungan permukiman bubuhan. Masing-masing kelompok bubuhan merupakan kelompok kekerabatan dengan lingkungan (terdiri dari tanah pertanian dan hutan) tempat mereka tinggal. Sebagian dari kelompok masyarakat Dayak Bukit ini, setelah terjadinya percampuran selanjutnya ada yang memeluk agama Islam atau ada istilah yang menyebutkan menjadi orang Banjar dan 20 Daud, op.cit., hal. 26. 21 Ibid., hal.42. 22 Ibid.
37 berdasar sebutan daerah tempat tinggal mereka yaitu Pahuluan (cabang Sungai Negara) sehingga saat ini mereka dikenal sebagai subsuku Banjar Pahuluan. 23 Sedangkan kelompok Dayak Bukit lainnya banyak juga yang tetap memegang agama / kepercayaan nenek moyang mereka dan tinggal dalam balai-balai di daerah pegunungan Meratus. Bagi pendatang Melayu yang tinggal di sekitar Sungai Tabalung bertemu dengan suku Dayak Manyan (Ma anyan). Kehidupan kelompok Melayu ini juga terikat dalam kelompok bubuhan yang memiliki wibawa dan pengaruh terhadap kelompok suku Dayak Ma anyan ini. Dalam perkembangan kehidupan selanjutnya juga terjadi percampuran dan peleburan sebagian kelompok suku Dayak Ma anyan. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan yang ibukotanya cenderung berpindah ke arah hilir, kelompok ini juga ikut berpindah ke arah hilir. Sehingga mereka saat ini dikenal sebagai kelompok subsuku Banjar Batang Banyu 24. Abad ke-16, ketika ibukota kerajaan Banjar dipindah ke hilir / pesisir, sebagian penduduk bekas kerajaan Negara-Daha ikut dipindah (Batang Banyu). Selain penduduk Batang Banyu, terdapat juga kelompok Banjar Pahuluan yang mendiami daerah baru ini. Namun demikian, konsentrasi dan populasi terbesar kelompok Banjar Batang Banyu dan Pahuluan ini tetap berada di daerah asalnya. Selanjutnya mereka yang tinggal di daerah ini dikenal sebagai Banjar Kuala 25. Sementara itu, penduduk asli daerah hilir atau pesisir baru ini (Kuin saat ini) adalah suku Dayak Ngaju. Kelompok Dayak Ngaju ini seperti kelompok Dayak Bukit dan Ma anyan juga tinggal terpisah dalam kelompok permukiman sendiri. Sehingga saat ini dapat di lihat adanya kelompok permukiman Dayak Ngaju ini di sekitar Banjarmasin dan Sungai Martapura. Dan saat ini di beberapa daerah / kelompok permukiman, masyarakatnya ada yang masih merasakan asalusul mereka dan ada pula yang sudah merasa menjadi orang Banjar sepenuhnya 26. Dengan demikian jelas bahwa suku Banjar bukanlah suatu kelompok etnis tertentu yang berasal dari satu asal dan bukan pula penduduk asli, melainkan hasil percampuran dari kelompok Dayak, Melayu dan Jawa. Walaupun demikian seberapa besar perbandingannya tidaklah dapat lagi didefinisikan, sebab ikatan yang terjadi lebih kuat pada faktor politis (warga kerajaan Banjar), agama (Islam) dan kebudayaan (bahasa Melayu dan tinggal di daerah pesisir / hilir / tepi sungai). Untuk pembahasan rumah tradisional suku Banjar akan menyesuaikan pada latar belakang suku Banjar ini. 23 Ibid., hal. 42-43. 24 Ibid., hal. 44. 25 Ibid., hal. 45. 26 Ibid.