BAB III UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH OLEH AHLI WARIS PEMBELI UNTUK MENDAPATKAN OBYEK JUAL BELI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

Hal. 1 dari 9 hal. Put. No.62 K/TUN/06

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan serta penghidupan masyarakat baik dari segi sosial, ekonomi,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB II BENTUK KUASA YANG TIMBUL DALAM JUAL BELI TANAH. sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 47

PEMBAHASAN RESPONSI UAS HUKUM AGRARIA SEMESTER GENAP TAHUN 2016

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

PEROLEHAN TANAH DALAM PENGADAAN TANAH BERSKALA KECIL

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMBELI BERITIKAD BAIK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI YANG BERITIKAD BAIK DALAM SENGKETA PERDATA BEROBYEK TANAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan. atas tanah tersebut. Menurut A.P. Parlindungan 4

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN TERHADAP PIHAK KETIGA (PASCA PUTUSAN MAHKMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015) Oleh

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK PENDAFTARAN TANAH SILVANA MUKTI DJAYANTI / D ABSTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DALUWARSA PENGHAPUS HAK MILIK DALAM SENGKETA PERDATA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

PENDAFTARAN TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang sudah ada sejak dahulu yaitu hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan modal dasar pembangunan, serta faktor penting. dalam kehidupan masyarakat yang umumnya menggantungkan

BAB II PEMBUATAN AKTA JUAL BELI YANG TIDAK SESUAI KETENTUAN DALAM PROSEDUR PEMBUATAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

BAB I PENDAHULUAN. seperti jual beli, hibah, dan lain-lain yang menyebabkan adanya peralihan hak milik

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keluarga, namun juga berkembang ditengah masyarakat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN. Universitas. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. berhadapan dengan keterbatasan ketersediaan lahan pertanahan.

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dikarenakan bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, terdapat simbol status sosial yang dimilikinya.

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB III SURAT KUASA MUTLAK PADA PERJANJIAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH DIHUBUNGKAN DENGAN INSTRUKSI MENTERI DALAM

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Peranan tanah bagi pemenuhan berbagai kebutuhan manusia akan terus

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum waris perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan akhir dari perjalanan kehidupan seorang manusia dan

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah

Upik Hamidah. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Semenjak diundangkannya UUPA maka pengertian jual-beli tanah

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

BAB 2 PEMBAHASAN. 2.1 Pendaftaran Tanah

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Addien Iftitah 2

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat dapat menghasilkan suatu peristiwa-peristiwa tersebut dapat

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

Tanah merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. manusia, hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan. Fungsi tanah begitu penting dan

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

LEGALITAS SURAT KETERANGAN TANAH YANG DIKELUARKAN OLEH KEPALA DESA SEBAGAI DASAR TRANSAKSI JUAL BELI TANAH

BAB II KEDUDUKAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM KEPUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

Transkripsi:

BAB III UPAYA HUKUM YANG DITEMPUH OLEH AHLI WARIS PEMBELI UNTUK MENDAPATKAN OBYEK JUAL BELI 1. Hak Ahli Waris Atas Harta Warisan Kronologi kasus diawali pada tahun 1963 Liem Hao Tjong membeli bidang tanah dari Muhani seluas 160 m 2, terletak di lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba. Jual beli hak atas tanah dibuat dalam bentuk surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 13/1963 dan dilanjutkan pada tanggal 25 Pebruari 1966 Liem Hao Tjong membeli tanah dari Muhani berdasarkan akta jual beli Nomor 10/UB/1966 dihadapan Petugas Agraria Kecamatan Ujung Bulu dan Kepala Desa Nipa pada waktu itu. Setelah Liem Hao Tjong meninggal dunia tahun 2004 ahli warisnya yaitu Robby Junaedy hendak mengurus surat tanah warisan yang ditingalkan orang tua Penggugat. Pada tanggal 21 Maret 2005 pada saat ahli waris ingin membuat sertipikat atas tanah dan bangunan yang selama ini ahli waris tempati tinggal, ternyata tidak dapat disertipikatkan oleh karena sudah ada terbit terlebih dahulu Sertipikat Hak Milik Nomor 435, tanggal 18 Agustus 1988, Gambar Situasi tanggal 17 Pebruari 1988 Nomor 82/1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, seluas 160 M 2 atas nama Muhani. 54

Uraian kasus sebagaimana tersebut di atas, hal yang perlu diketahui adalah siapa yang berhak atas bidang tanah sengketa dan hak Robby Junaedy selaku ahli waris dari Liem Hao Tjong selaku orang tua Robby Junaedy atau pemawaris. Bidang tanah obyek sengketa adalah milik Muhani tersebut telah dibuat kesepakatan dengan Liem Hao Tjong dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 13/1963. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) termasuk jenis perikatan sebagaimana Pasal 1233 B.W., bahwa perikatan lahir karena perjanjian dan lahir karena undang-undang. PPJB termasuk perikatan yang lahir karena perjanjian, yaitu perjanjian jual beli. PPJB adalah suatu janji antara pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli yang dibuat antara Liem Hao Tjong selaku pembeli dengan Muhani selaku penjual bidang tanag, kedua belah pihak berjanji untuk memenuhi kewajibannya masing-masing, perjanjian yang demikian dikenal dengan asas konsensual maksudnya perjanjian itu sendiri ada atau terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak.asas konsensual tersebut dijelaskan oleh Subekti sebagai berikut pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan secara formalitas. 25 Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu bentuk kesepakatan antara penjual dengan pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 ayat (1) B.W. Pada perjanjian pengikatan jual beli pihak penjual mengikatkan dirinya 25 Subekti 1, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2006, h. 15

untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain yaitu pembeli membayar harga yang telah dijanjikan, menunjukkan bahwa perjanjian pengikatan jual beli itu sendiri belum terjadi penyerahan atau pembayaran, karena baik penjual maupun pembeli masih berjanji mengikatkan diri dari penjual untuk menyerahkan sesuatu barang dan pihak pembeli berjanji untuk membayar harga barang. Perjanjian pengikatan jual beli tersebut mengikat kedua belah pihak sejak tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga, sehingga sejak saat itu menimbulkan suatu kewajiban secara timbal balik yang lebih dikenal dengan prestasi. Prestasi diartikan oleh Abdulkadir Muhammad yaitu sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. 26 Hak penjual merupakan kewajiban pihak pembeli, sebaliknya kewajiban pembeli adalah hak dari penjual. Pada perjanjian pengikatan jual beli terjadi pada saat kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai barang dan harga, meskipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar, jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat dicapai kata sepakat mengenai benda yang diperjual belikan beserta harganya walaupun benda belum diserahkan dan harga belum dibayar. Dengan terjadinya jual beli, hak milik atas tanah belum beralih kepada pembeli walaupun harga sudah dibayar dan tanah sudah diserahkan kepada pembeli. 26 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 17

Pada pengikatan jual beli pihak penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijualnya, sesuai dengan pendapat Yahya Harahap sebagai berikut: a. kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli; b. kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan, bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan. 27 Kewajiban menyerahkan barang yang dijual tersebut, penyerahan barang dalam jual beli merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual ke dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli.kalau pada penyerahan barang tadi diperlukan penyerahan yuridis di samping penyerahan nyata, agar pemilikan pembeli menjadi sempurna. 28 Kewajiban menyerahkan yang dimaksud adalah menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. 29 Jadi yang diserahkan tersebut bukan hanya barangnya secara nyata, melainkan termasuk hak kepemilikan atas barang. Perihal kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang disesuaikan dengan sifat dari barang yang akan diserahkan tersebut. Mengenai barang ada tiga macam, yaitu 1) barang bergerak, 2) barang tetap, dan 3) barang tidak bertubuh. Barang bergerak, penyerahannya cukup dilakukan dengan penyerahan kekuasaan atas barang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 612 B.W, bahwa penyerahan 27 Yahya Harahap, Op. Cit., h. 190. 28 Ibid. 29 Subekti 2, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, h. 9.

kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan barang tetap (tidak bergerak) dengan perbuatan yang dinamakan balik nama di muka pegawai kadaster sebagaimana Pasal 616 B.W, yang menentukan bahwa penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 620. Penyerahan barang yang tidak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan cessie sebagaimana Pasal 613 B.W, yang menentukan bahwa penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Hubungan hukum antara Muhani dengan Liem Hao Tjong yang dibuat dalam bentuk PPJB mengikat kedua belah pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang sesuai dengan ketentuan pasal 1338 ayat (1) B.W., bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian dalam bentuk PPJB tersebut belum berakibat terjadinya peralihan hak atas tanah dari Muhani kepada Liem Hao Tjong, karena sebagaimana ditentukan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah bahwa setiap pejanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan

penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria. Ketentuan dalam PP No. 10 Tahun 1961 telah dicabut oleh PP No. 24 Tahun 1997 sebagaimana pasal 37 ayat (1) bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itulah kemudian Liem Hao Tjong pada tanggal 25 Pebruari 1966 menghadap pejabat berdasarkan akta jual beli Nomor 10/UB/1966. Dengan bukti akta jual beli Nomor 10/UB/1966 tersebut, maka telah terjadi peralihan hak milik atas bidang tanah tersebut dari Muhani kepada Liem Hao Tjong dan sebagai pemilik sah atas bidang tanah. Liem Hao Tjong pada tahun 1966 meninggal dunia, meninggalnya Liem Hao Tjong timbul suatu pewarisan. Pewarisan diatur dalam Buku II B.W mulai dari pasal 830 sampai dengan pasal 873 B.W, dan tidak berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, Tetapi Berlaku Bagi Golongan Tionghoa. Pengertian hukum waris merupakan suatu himpunan dari aturan-aturan yang mengatur tentang pewarisan meliputi akibat-akibat hukum terhadap harta kekayaan orang yang meninggal dunia dan akibat hukum yang timbul dengan adanya peralihan kepada ahli waris atau penerima warisan. Harta kekayaan yang ditinggalkan oleh Liem Hao Tjong menjadi beralih kepada ahli warisnya.

Pewarisan merupakan suatu proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya yang terjadi hanya karena kematian. Oleh karena itu pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi 3 persyaratan, yaitu : 1) Ada seseorang yang meninggal dunia ; 2) Ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan menerima sejumlah harta peninggalan pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna Pasal 2 B.W yaitu: anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris 3) Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris. 30 Perihal ada seseorang yang meninggal dunia, sebagai dasar timbulnya hak mewaris sebagaimana pasal 830 B.W, bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan mengenai kematian bahwa kata-kata kematian yang dimaksud adalah kematian wajar dan tidak termasuk kematian Perdata (burgelijke dood) yang memang tidak dikenal lagi di dalam hukum positif kita. 31 Hal ini berarti bahwa adanya kematian untuk berlangsunya pewarisan adalah kematian yang wajar. Oleh karenanya jika seseorang dinyatakan diduga mati, maka warisannya berpindah kepada orang- 30 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 25-32. 31 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2011, h. 4.

orang yang diduga menjadi ahli warisnya. Apabila ternyata yang diduga mati itu masih hidup, maka umumnya benda-benda warisannya itu menjadi eigendomnya kembali dan ia berhak untuk menuntutnya dari orang-orang yang diduga ahli warisnya. Orang yang meninggal dunia dalam kasus ini adalah Liem Hao Tjong, sehingga unsur pewaris telah terpenuhi. Menurut pasal 833 B.W para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua benda, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Apabila ada perselisihan tentang siapa yang berhak menjadi ahli waris, dan dengan demikian berhak memperoleh hak milik seperti di atas, maka hakim dapat memerintahkan agar semua harta peninggalan ditaruh lebih dahulu dalam penyimpanan Pengadilan. Mengenai hal ini Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan bahwa ahli waris karena hukum memiliki benda-benda, hak-hak dan segala piutang dari orang yang meninggal dunia. Hal ini disebut mereka (ahli waris) mempunyai saisine. Kata itu diambil dari bahasa Perancis: Le mort saisit le vif, artinya yang mati dianggap digantikan oleh yang hidup. 32 Secara garis besar ada 2 kelompok orang yang layak untuk disebut sebagai ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh hukum atau undangundang (maksudnya B.W) telah ditentukan sebagai ahli waris, yang disebut juga ahli waris ab intestato. Kelompok kedua adalah orang atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena pewaris dikala hidupnya melakukan perbuatanperbuatan hukum tertentu. Ahli waris Liem Hao Tjong adalah Robby Junaedy anak dari Liem Hao Tjong sehingga sebagai ahli waris menurut undang-undang dan termasuk ahli waris golongan pertama, yaitu keluarga dalam garis lurus ke 32 Ibid., h. 6-7.

bawah, meliputi : suami, atau istri yang hidup terlama ditambah anak atau anakanak serta sekalian keturunan anak-anak tersebut. Hal ini berarti unsur adanya ahli waris telah terpenuhi. Menurut sistem hukum waris B.W ada perbedaan istilah antara harta kekayaan dan harta warisan. Dalam hukum waris B.W jika pewaris meninggalkan istri/suami, maka harta kekayaan merupakan harta persatuan setelah terjadinya perkawinan. Sedangkan harta warisan merupakan harta persatuan yang telah dibagi 2 (dua) setelah bubarnya perkawinan (Pasal 128 B.W). Harta warisan inilah yang nantinya menjadi hak ahli waris. Harta peninggalan seorang pewaris harus secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas harta tersebut. Kalaupun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu melalui persetujuan seluruh ahli waris. Inilah ciri khas sistem hukum waris menurut B.W. 33 Warisan dalam sistem hukum Perdata barat yang bersumber pada B.W itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Rumusan tentang kekayaan yang diberikan oleh A. Pitlo dikutip dari bukunya Eman Suparman adalah sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa aktiva dan pasiva. 34 Dalam hukum waris B.W berlaku suatu asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya. 35 Peralihan 33 Ibid. hlm. 26. 34 Eman Suparman, Loc. Cit. 35 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1977, h. 79.

hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut saisine. 36 Saisine ialah ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu. B.W tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal benda-benda yang ditinggalkan pewaris. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 849 B.W, yaitu undangundang tidak memandang akan sifat atau asal daripada benda-benda dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia tidak secara otomatis menjadi harta warisan. Hal berkaitan dengan harta waris tidak lepas dari kedudukan harta benda dalam perkawinan. Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak sebagaimana Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Apabila tidak ada perjanjian kawin sebagaimana pasasl 29 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut, maka berlakulah asas 36 Ibid.

pembagian harta perkawinan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974. Terhadap harta warisan yang ditinggalkan pewaris, ahli waris diberi waktu 4 bulan (Pasal 1024 B.W) untuk menentukan sikapnya. Harta benda sebagai harta warisan Liem Hao Tjong salah satu di antaranya yakni bidang tanah yang dibeli dari Muhadi dengan bukti akta jual beli Nomor 10/UB/1966 dihadapan Petugas Agraria Kecamatan Ujung Bulu dan Kepala Desa Nipa. Pada tanggal 21 Maret 2005 pada saat Robby Junaedy sebagai ahli waris Liem Hao Tjong, untuk memenuhi ketentuan pasal 42 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 (Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar, pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan kepada Kantor Pertanahan), wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris. Jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b PP No. 24 Tahun 1997 (PPAT menolak untuk membuat akta, jika: a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor

Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) surat bukti atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan). Robby Junaedy ingin membuat sertipikat atas tanah dan bangunan yang selama ini ahli waris tempati tinggal, ternyata tidak dapat disertipikatkan oleh karena sudah ada terbit terlebih dahulu Sertipikat Hak Milik Nomor 435, tanggal 18 Agustus 1988, Gambar Situasi tanggal 17 Pebruari 1988 Nomor 82/1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, seluas 160 M 2 atas nama Muhani. Ditolaknya permohonan pendaftaran tanah oleh BPN dan ternyata BPN menerbitkan sertipikat Hak Milik Nomor 435, tanggal 18 Agustus 1988, Gambar Situasi tanggal 17 Pebruari 1988 Nomor 82/1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba, seluas 160 M 2 atas nama Muhani, Robby Junaedy merasa dirugikan, karena dirinya sebagai ahli waris lebih berhak atas tanah seluas 160 m 2, terletak di lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba. Penolakan permohonan pendaftaran yang diajukan oleh Robby Junaedy tersebut adalah telah tepat, karena meskipun Muhani telah menjual bidang tanah sengketa melalui PPJB dan kemudian dilanjutkan dengan AJB Nomor 10/UB/1966 dihadapan Petugas Agraria Kecamatan Ujung Bulu

dan Kepala Desa Nipa, namun tidak segera didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama hingga terbutnya sertipikat atas nama Muhani Sertipikat Hak Milik Nomor 435, tanggal 18 Agustus 1988, Gambar Situasi tanggal 17 Pebruari 1988 Nomor 82/1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge. 2. Upaya Mengajukan Gugatan Pembatalan Sertpikat Hak Atas Tanah Terbitnya Sertipikat Hak Milik Nomor 435, tanggal 18 Agustus 1988, Gambar Situasi tanggal 17 Pebruari 1988 Nomor 82/1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge, menjadikan Robby Junaedy menderita kerugian, sehingga Robby Junaedy mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan Sertipikat Hak Milik Nomor 435 atas nama Muhani ke PTUN. PTUN dalam putusannya No. 29/G.TUN/2005/TUN.MKS. tanggal 18 Oktober 2005, amarnya menyatakan: Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya; menyatakan batal Sertipikat Hak Milik Nomor 435 Tahun 1988 Gambar Situasi Nomor 82/1988 tanggal 17 Pebruari 1988, lingkungan Appasarengi, Desa Bentenge (sekarang Kelurahan), Kecamatan Ujung Bulu, Kabupaten Bulukumba seluas 160 M 2 atas nama Muhani. Pada tingkat banding, putusan PTUN Makassar tersebut telah dibatalkan oleh PT.TUN Makassar No. 27/B.TUN/2006/PT.TUN.Mks. tanggal 31 Agustus 2006 amarnya menyatakan, membatalkan putusan PTUN Makassar Nomor : 29/G.TUN/2005/PTUN.Mks. tanggal 18 Oktober 2005 yang dimohonkan banding.

Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi dalam putusannya No. 144 K/TUN/2007 amarnya menyatakan Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Robby Junaedy tersebut. Membatalkan putusan PT.TUN Makassar No: 27/B. TUN/ 2006/PT.TUN.Mks. tanggal 31 Agustus 2006 yang menguatkan putusan PTUN Makassar No: 29/G.TUN/ 2005/P.TUN.MKS. tanggal 18 Oktober 2006. Putusan Mahkamah Agung tersebut disertai pertimbangan hukum Sertipikat Hak Milik Nomor 435/1988 atas nama Muhani telah diterbitkan secara sah dan hingga sekarang sudah lebih dari 5 (lima) tahun baru diajukan gugatan pembatalan sertipikat adalah fakta yang melanggar ketentuan hukum antara lain: Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia, pasal 3 ayat (2) dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah serta Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal yang menarik untuk dibahas bahwa Mahkamah Agung di satu sisi mengabulkan gugatan penggugat di sisi yang lain dalam pertimbangannya mengesahkan sertipikat sebagai bukti pemilikan. Dikaitkan dengan ketentuan pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat sebagai bukti hak sebagaimana pasal 19 UUPA, bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut. Ketentuan pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 terdapat dua hal yang dianggap kontraversi, yakni di satu sisi perlindungan hukum diberikan kepada pendaftar yang beritikad baik, namun di sisi yang lain pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat. Kontroversi tersebut jika dikaji menggunakan interpretasi yaitu cara penafsiran yang berdasarkan pada arti kata-kata dalam kalimat-kalimat menurut tata bahasa atau kebiasaan, meskipun pemegang hak telah menguasai bidang tanah dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat, namun jika dapat dibuktikan bahwa pendaftar yang beritikat baik, maka keabsahan akta tersebut adalah cacat hukum. Ketentuan pasal 32 PP No. 24 Tahun 1997 tersebut menunjuk bahwa sertipikat adalah dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketetuan

hukum tersebut berupa sertipikat hak maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia seharusnya mendasarkan pada sistem pendaftaran dengan stelsel positif, karena memang ciri atau karakter khas dari sistem pendaftaran tanah ini adalah adanya sertipikat sebagai alat bukti hak kepemilikan atas tanah, dan terlebih lagi seluruh urutan prosedur dan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menuju kepada aturan hukum pada sistem pendaftaran tanah dengan model sistem stelsel positif. Namun demikian jika mencermati yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia secara tegas menyatakan bahwa pendaftaran tanah kita menganut model stelsel negative. Salah satu yurisprudensi tersebut dapat dibaca dalam Putusan Mahkamah Agung No. Reg. 459 K/Sip/1975, tanggal 18 September 1975, menyatakan bahwa: Mengingat stelsel negative tentang register / pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang didalam register bukanlah berarti absolute menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain (seperti halnya dalam perkara ini). Pendaftaran Tanah di Indonesia adalah menganut sistem negatif, namun berkarakter stelsel yuridis sistem pendaftaran positif sangat terlihat. Karakter positif tersebut dapat dilihat antara lain: Adanya panitya pemeriksaan tanah "barrister and conveyancer" yang disebut panitya A dan B yang tugasnya melakukan pengujian dan penelitian " examiner of title". dari penelitian tersebut maka akan dilakukan pengujian dan menyimpulkan bahwa setidaknya berisi: pertama, lahan atau bidang tanah yang diajukan permohonan pendaftaran adalah dalam keadaan baik dan jelas; kedua, bahwa atas permohonan tersebut tidak ada

sengketa dalam kepemilikannya; ketiga, bahwa atas kenyakinan panitya permohonan tersebut dapat diberikan; keempat, bahwa terhadap alat bukti yang dijadikaan alas hak untuk pengajuan pendaftaran tidak ada orang yang berprasangka dan keberatan terhadap kepemilikan pemohon tersebut. tujuannya untuk menjamin kepastian hukum tanah yang didaftarkan (pasal 19 UUPA). Boedi Harsono menyebut sebagai Sistem negatif tendens positif. Model karakter positif yang terlihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, antara lain: a. PPAT diberikan tugas untuk meneliti secara material dokumendokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta; b. pejabat yang berwenang (petugas) berhak menolak melakukan pendaftaran jika pemilik tidak wewenang mengalihkan haknya; c. Pemerintah menyediakan model model akta untuk memperlancar mekanisme tugas-tugas PPAT. Adanya sertifikat hak atas tanah yang diterbitkan, sebagai tanda bukti dan alat pembuktian hak kepemilikan atas tanah. Bentuk karakter negatif dinyatakan secara tegas dalam penjelasan pasal 32 PP No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan tidak menggunakan sistem publikasi positif, namun negatif. Karakter negatif muncul karena tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya. 37 Sertipikat hak atas tanah sebagai bukti hak jika ternyata didaftarkan oleh orang atau badan hukum yang beritikad tidak baik tidak batal dengan sendirinya 37 www.jurnalhukum.com Hukum Agraria. Hasil Telusur.Sistem Publikasi dalam Pendaftaran Tanah Jurnal Hukum

melainkan dapat dimohonkan pembatalan. Sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal 50 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan (Perkaban No. 3 Tahun 2011), berkaitan dengan Penanganan Perkara, bahwa penanganan perkara pertanahan meliputi kegiatan berperkara dalam proses perdata atau tata usaha negara yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional sebagai pihak dan tindak lanjut atas putusan pengadilan terhadap perkara pertanahan. Penanganan perkara meliputi kegiatan penanganan atas tindak lanjut atau pelaksanaan dari putusan lembaga peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dijelaskan lebih lanjut oleh pasal 55 Perkaban No. 3 Tahun 2011, bahwa tindakan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat berupa a. pelaksanaan dari seluruh amar putusan; b. pelaksanaan sebagian amar putusan; dan/atau c. hanya melaksanakan perintah yang secara tegas tertulis pada amar putusan. Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan dan/atau pembatalan hak atas tanah, antara lain: a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah; b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah; c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum; d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam buku tanah; e. perintah penerbitan hak atas tanah; dan f. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya, beralihnya atau batalnya hak. Pemohon dalam hal ini Muhani sebagai pendaftar yang beritikad tidak baik, karena mendaftarkan bidang tanah, padahal bidang tanah tersebut telah dialihkan

melalui jual beli kepada Liem Hao Tjong yang kemudian beralih kepada ahli warisnya yaitu Robby Junaedy, sehingga sertipikat tersebut adalah cacat hukum. Sertipikat sebagai bukti hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional, maka sertipikat yang cacat hukum tersebut dapat dimohonkan pembatalan pada PTUN sebagaimana ditentukan dalam pasal 53 UU PTUN. Apabila kenyataannya Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi dalam putusannya No. 144 K/TUN/2007 amarnya menyatakan Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Robby Junaedy tersebut. Membatalkan putusan PT.TUN Makassar No: 27/B. TUN/ 2006/PT.TUN.Mks. tanggal 31 Agustus 2006 yang menguatkan putusan PTUN Makassar No. : 29/G.TUN/ 2005/P.TUN.MKS. tanggal 18 Oktober 2006, putusan Mahkamah Agung tersebut telah tepat, namun jika pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Sertipikat Hak Milik Nomor 435/1988 atas nama Muhani telah diterbitkan secara sah dan hingga sekarang sudah lebih dari 5 (lima) tahun baru diajukan gugatan pembatalan sertipikat adalah fakta yang melanggar ketentuan hukum antara lain: Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia, pasal 3 ayat (2) dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah serta Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal yang menarik untuk dibahas bahwa Mahkamah Agung di satu sisi mengabulkan gugatan penggugat di sisi yang lain dalam pertimbangannya mengesahkan sertipikat sebagai bukti pemilikan adalah tidak tepat dan dapat dikatakan tidak ada suatu kepastian hukum.

Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi yang merugikan Robby Junaedy karena hanya memenangkan perkara di atas kertas dan tidak dapat menguasai bidang tanah tersebut, karena mengesahkan sertipikat sebagai bukti pemilikan Muhani. Upaya hukum yang ditempuh oleh Robby Junaedy atas putusan Mahkamah Agung tersebut, yaitu mengajukan upaya peninjauan kembali sebagaimana Pasal 67 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009.Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, bahwa permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut yang membenarkan atau mengabulkan Robby Junaedy, namun tidak membatalkan sertipikat Hak Milik Nomor 435/1988 atas nama Muhani adalah tidak berlandaskan hukum, karena gugatan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kewenangan untuk membatalkan sertipikat sebagai keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (BPN). Kenyataannya pada Pengadilan Tata Usaha Negara yang memeriksa pada tingkat pertama membatalkan sertipikat Hak Milik Nomor 435/1988 atas nama Muhani, namun Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi mengabulkan permohonan Robby Junaedy, tanpa membatalkan sertipikat Hak Milik Nomor 435/1988 atas nama Muhani.