BAB I PENDAHULUAN. pengembangan metode dan kerja ilmiah (Rustaman, dkk., 2003).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan institusi

BAB I PENDAHULUAN. mengajar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini berupaya untuk mengembangkan model pembekalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ilmuwan untuk melakukan proses penyelidikan ilmiah, atau doing science (Hodson,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) di dunia secara. global dan kompetitif memerlukan generasi yang memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini berkembang sangat cepat,

unggul yang dimaksud adalah manusia dengan keunggulan partisipatoris.

I. PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi di SMA menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran fisika saat ini adalah kurangnya keterlibatan mereka secara aktif

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

KETERAMPILAN PROSES SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA MATERI LAJU REAKSI DI SMA MUHAMMADIYAH 3 SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan berpikir kritis sangat penting dimiliki oleh mahasiswa untuk

I. PENDAHULUAN. Bicara tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia berarti berbicara

BAB I PENDAHULUAN. calon guru kimia ditengarai memiliki keterbatasan kecakapan generik biokimia

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan cepat dan pesat sering kali terjadi dalam berbagai bidang

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. teknologi informasi (TIK), dan lahirnya masyarakat berbasis ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN FISIKA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut untuk mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains

PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN FISIKA DASAR UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FISIKA CALON GURU. Ida Kaniawati

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi siswa dengan lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. sikap, dan teknologi agar siswa dapat benar-benar memahami sains secara utuh

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki milenium ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada

yang sesuai standar, serta target pembelajaran dan deadline terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan adalah konstruktivisme. Menurut paham konstruktivisme,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan penelitian ilmu pendidikan mengisyaratkan bahwa proses

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap individu karena

Afandi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Tanjungpura. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka membangun profesionalisasi guru. Hal ini ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Afifudin, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

Korelasi Penguasaan Konsep Dan Berpikir Kritis Mahasiswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Simulasi Komputer

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 5E (SIKLUS BELAJAR 5E) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP FISIKA SISWA KELAS X MIA SMAN 6 MALANG

BAB I PENDAHULUAN. demikian siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih, bidang pendidikan sebagai upaya yang bernilai sangat models bagi

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

I. PENDAHULUAN. salah satu tujuan pembangunan di bidang pendidikan. antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, strategi pembelajaran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada awalnya, kemampuan dasar yang dikembangkan untuk anak didik

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. boleh dikatakan pondasi atau gerbang menuju pendidikan formal yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini. Pendidikan merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya mempunyai akhlak mulia, tetapi juga mempunyai kemampuan

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (sains) yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah telah mendesak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan pendidikan nasional dan tuntutan masyarakat. Kualitas pendidikan

I. PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses membelajarkan siswa yang

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Indikator paling nyata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Erie Syaadah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat telah

POTRET PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS EMPAT PILAR PENDIDIKAN DI SMA. Ahmad Fauzi, Supurwoko, Edy Wiyono 1) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pendidikan sains memiliki potensi dan peranan strategis dalam usaha

BAB 1 PENDAHULUAN. pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi

I. PENDAHULUAN. Salah satu disiplin ilmu yang dipelajari pada jenjang Sekolah Menengah Atas

I. PENDAHULUAN. baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih kearah penanaman pengetahuan tentang konsep-konsep dasar, sebagaimana para saintis merumuskan hukum-hukum dan prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. kualitas SDM. Pendidikan matematika dan ilmu pengetahuan alam merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan syarat mutlak untuk

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas selalu diupayakan pemerintah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Perkembangan iptek pada abad 21 menuntut SDM menjadi masyarakat terbuka yang dapat berperan aktif dalam era globalisasi (Tilaar, 1999). Agar SDM dapat berperan aktif dalam menghadapi perkembangan iptek yang begitu cepat, maka diperlukan masyarakat yang melek sains dan teknologi (Poedjiadi, 2005). Selain itu, SDM perlu memiliki keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) sehingga akan muncul tenaga kerja yang dapat berpikir kritis, berpikir kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah (Liliasari, 2005). Dalam pengelolaan SDM tersebut diperlukan pengembangan metode dan kerja ilmiah (Rustaman, dkk., 2003). Klausner (1996) berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tersebut dapat berkembang melalui pemahaman sains dan proses-proses sains yang merupakan perwujudan dari hakikat sains. Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan sains perlu memperhatikan empat pilar pendidikan UNESCO, yakni (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together (Depdiknas, 2003). Kimia sebagai salah satu cabang sains memiliki kedudukan yang sangat penting terutama dalam menumbuhkembangkan kemampuan menjelaskan secara mikroskopis (molekuler) terhadap fenomena makroskopis. Kemampuan kimia tersebut memberikan konstribusi yang penting dan berarti terhadap perkembangan ilmu-ilmu terapan, di 1

antaranya pertanian, kesehatan, dan perikanan. Untuk itu, Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa:.pendidikan kimia perlu berupaya agar para peserta didik: (1) tanggap secara tepat terhadap isu lokal, nasional, regional, dunia, sosial, ekonomi, lingkungan, dan etika; (2) dapat menilai secara kritis perkembangan dalam bidang sains dan teknologi serta dampaknya; (3) memberi sumbangan terhadap kelangsungan perkembangan sains dan teknologi, dan (4) membuat pilihan yang tepat untuk karirnya. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan sains (termasuk pendidikan kimia) perlu menitikberatkan agar para peserta didik menjadi pembelajar aktif dan bersifat fleksibel.. Lebih lanjut, Depdiknas (2006) menekankan bahwa mata pelajaran kimia bertujuan agar para peserta didik memiliki beberapa kemampuan. Kemampuankemampuan tersebut, antara lain (1) memupuk sikap ilmiah dan dapat bekerja sama dengan orang lain; (2) memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah; dan (3) memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya kurikulum pendidikan kimia telah cukup memadai untuk menumbuhkembangkan para pembelajar sesuai dengan tuntutan SDM yang berkualitas, namun pada implementasinya ditemukan banyak kendala. Sidi (2000) mengemukakan bahwa perolehan hasil belajar siswa SMA pada mata pelajaran sains secara nasional menunjukkan keadaan yang sangat memprihatinkan. Menurut catatan Hinduan (2001), perolehan rata-rata nilai ebtanas murni (NEM) kimia siswa SMA Negeri (321 sekolah) di Jawa Barat tahun 2001 sebesar 4,82 dengan rentang nilai antara 0,83 sampai dengan 10,00 dan simpangan baku sebesar 1,09. Lebih lanjut, Sidi (2000) mengemukakan juga bahwa secara nasional mayoritas guru sains (termasuk guru kimia) di Indonesia belum memiliki tingkat kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang diharapkan. Jika hal ini tidak segera ditindak lanjuti maka dikhawatirkan 2

perkembangan pendidikan sains (termasuk pendidikan kimia) di Indonesia akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan iptek yang semakin cepat di era globalisasi. Pada tahun 1992, Balitbang Dikbud (Sidi, 2000) melaporkan hasil penelitian terhadap guru-guru sains SMA di 27 propinsi yang menunjukkan bahwa pada umumnya guru hanya dapat menguasai materi pelajaran sekitar 60% dari mata pelajaran IPA yang diujikan (termasuk mata pelajaran kimia). Nilai rata-rata skor hasil tes terhadap guru tersebut adalah 56,5 dari kemungkinan pencapaian tertinggi sebesar 100. Selain itu, hasil studi Purwadi, dkk. (2007) melaporkan nilai rata-rata kompetensi profesional guru jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia secara umum masih rendah (kurang dari 60). Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penguasaan materi pelajaran kimia oleh guru kimia sekolah menengah umum tingkat nasional sangat rendah. Menurut catatan Zamroni (2001), hasil uji kompetensi keprofesionalan sebanyak 411 guru kimia SMA se-dki Jakarta tahun 1999 hanya memperoleh nilai rata-rata sebesar 4,75. Data tersebut sesuai dengan hasil temuan Sidi (2000) yang mengemukakan bahwa sebagian besar proses pembelajaran sains (termasuk pembelajaran kimia) di sekolah menengah umum kurang sesuai dengan konsepsi dan substansi materi pelajaran tersebut. Pelajaran sains yang seharusnya diberikan untuk membentuk logika siswa agar berpikir sistematis, obyektif, dan kreatif melalui pendekatan keterampilan proses dan pemecahan masalah, ternyata lebih banyak diberikan dengan metode ceramah sehingga siswa cenderung menghafal aksioma, dalil, dan fakta yang sebenarnya kurang mereka pahami. Kondisi di atas juga diperburuk dengan munculnya berbagai persepsi bahwa pelajaran sains (termasuk pelajaran kimia) merupakan pelajaran yang sulit dan kompleks, 3

kurang menyenangkan, dan hanya siswa tertentu saja yang dapat menguasainya. Persepsi ini semakin diperburuk dengan sikap guru kimia yang kaku, tidak bersahabat (menegangkan), dan pembelajarannya kurang menarik minat siswa, sehingga suasana belajar kurang kondusif bagi terciptanya kegiatan pembelajaran yang efektif. Kondisi ini perlu segera ditanggulangi mengingat guru merupakan pemegang kunci keberhasilan yang paling dominan di dunia pendidikan. Sidi (2000) berpendapat bahwa berhasil tidaknya suatu kurikulum pendidikan sangat bergantung pada kinerja guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran di kelas. Guru paling bertanggung jawab dalam mewujudkan SDM berkualitas yang mampu merespon perubahan demi perubahan yang terjadi selama perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, perlu adanya upaya mempersiapkan guru yang berkualitas sejak dini. Artinya, mewujudkan guru yang berkualitas dapat dilakukan sejak penyiapan calon tenaga guru sebelum diterjunkan ke lapangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lightfoot (1983) yang menyatakan bahwa pembinaan guru perlu dilakukan sejak pre-service education. Hal ini dianggap lebih efektif mengingat upaya memperbaiki guru melalui penataran-penataran guru, pendidikan, dan pelatihan (inservice education maupun onservice education) yang telah sering dilakukan masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Kualitas pembelajaran kimia di sekolah memang ditentukan oleh banyak faktor. Meskipun demikian, guru kimia merupakan salah satu faktor penting yang langsung berkaitan dengan keberhasilan pendidikan kimia. Zamroni (2008) berpendapat bahwa tenaga guru merupakan unsur penentu terciptanya mutu pelayanan dan hasil pendidikan. Senada dengan hal tersebut, Sharma (1983) telah mengemukakan bahwa kualitas 4

pendidikan sains sangat bergantung pada kualitas guru sains bukan pada fasilitas dan material semata. Berkaitan dengan hal tersebut, McDermott (1990) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya kinerja pendidikan sains (termasuk kimia) di Amerika Serikat adalah kurangnya para calon guru dipersiapkan dengan baik sebelum diterjunkan ke lapangan. Dengan adanya kenyataan tersebut tampaknya upaya peningkatan kualitas guru melalui pendidikan calon guru perlu ditangani lebih serius lagi. Guru sains (termasuk guru kimia) yang berkualitas perlu memiliki karakteristik tertentu. Sharma (1983) mengemukakan bahwa guru sains yang berkualitas minimal perlu memiliki tiga hal, yakni: (1) memiliki kualifikasi akademik yang memadai; (2) terlatih dalam metode dan teknik-teknik pembelajaran modern; serta (3) menguasai pengetahuan praktis mengenai psikologi dan proses pembelajaran. Di samping itu, Shulman (Ball & McDiarmid, 1990) telah mengidentifikasi bahwa guru yang berkualitas sekurang-kurangnya menguasai tiga kategori pengetahuan, yakni: (1) pengetahuan materi subyek (subject-matter knowledge); (2) pengetahuan konten pedagogis (pedagogical content knowledge); dan (3) pengetahuan kurikulum (curricular knowledge). Berdasarkan pendapat Sharma (1983) dan Shulman (Ball & McDiarmid, 1990), ternyata guru sains (termasuk guru kimia) yang berkualitas perlu memiliki landasan pengetahuan yang luas dan kuat. Reif (1995) mengungkapkan bahwa selain memahami konsep-konsep penting dan mampu menerapkannya secara fleksibel, guru sains perlu juga menguasai dasar-dasar proses berpikir sains, misalnya menginterpretasikan konsep atau prinsip, menghubungkan keterkaitan pengetahuan sains, dan mengorganisasikan pengetahuan sains secara efektif. Penguasaan dasar-dasar proses berpikir sains 5

dimaksudkan agar guru sains dapat memiliki empat kemampuan penting, yakni: (1) memahami hakikat dan peran inkuiri ilmiah (scientific inquiry) serta menggunakannya dalam pembelajaran sains; (2) memahami fakta fundamental dan konsep dasar sains; (3) membuat peta konsep antar mata pelajaran sains maupun dengan mata pelajaran lain; serta (4) mampu menggunakan pemahaman sains dan kemampuan-kemampuan ilmiahnya dalam menjelaskan isu-isu personal dan sosial (Klausner, 1996). Kemampuan-kemampuan yang perlu dimiliki guru sains (termasuk guru kimia) telah banyak diteliti oleh ahli pendidikan sains. Sebagai contoh, McDermott (1990) secara lebih operasional menjabarkan kemampuan-kemampuan tersebut ke dalam lima jenis kemampuan, yakni: (1) melakukan penalaran kualitatif maupun kuantitatif yang mendasari pengembangan dan penerapan konsep-konsep; (2) membangun dan menginterpretasikan representasi ilmiah seperti grafik, diagram, dan persamaanpersamaan; (3) memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam buku teks; (4) memahami tahap demi tahap proses sains (proses observasi, inferensi, mengidentifikasi asumsi, merumuskan, dan menguji hipotesis); serta (5) mengantisipasi kesulitan-kesulitan konseptual yang mungkin dialami oleh siswa pada setiap topik sains. Berkaitan dengan kemampuan guru sains, Brotosiswoyo (2000) mengungkapkan sejumlah kemampuan generik yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran fisika. Kemampuan generik tersebut menurut Moerwani, dkk. (2001) tidak jauh berbeda dengan yang dikembangkan dalam pembelajaran kimia, mengingat batas ilmu kimia dengan fisika tidak begitu ketat (Rahayu, 2001). Lebih lanjut, Moerwani, dkk. (2001) mengungkapkan sepuluh kemampuan generik dalam pembelajaran kimia, yakni: (1) pengamatan langsung; (2) pengamatan tak langsung; (3) pemahaman skala besaran dan 6

satuan; (4) penguasaan bahasa simbolik; (5) pemilikan kerangka logis; (6) pemilikan konsistensi logis; (7) pemahaman hukum sebab akibat; (8) penguasaan pemodelan; (9) pemilikan inferensi logis, dan (10) pembuatan abstraksi. Kemampuan generik kimia tersebut perlu dikembangkan dalam pendidikan kimia dan perlu dikuasai juga oleh guru kimia ataupun calon guru kimia. Karakteristik guru kimia berkualitas yang diharapkan ternyata bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Kondisi ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam proses pendidikan calon guru sains (termasuk guru kimia) di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Menurut laporan evaluasi kurikulum LPTK 1996/1997, penguasaan materi calon guru sains, khususnya menyangkut sains sekolah menengah umum, yang diukur pada mahasiswa dari delapan LPTK, menunjukkan keadaan yang memprihatinkan (Tim Basic Science LPTK, 1997). Data di Jurusan Pendidikan Kimia salah satu LPTK di Bandung menunjukkan keadaan yang tidak jauh berbeda. Skor rata-rata (dalam skala empat) Kimia Dasar mahasiswa TPB dalam lima tahun (1997/1998 sampai dengan 2002/2003) adalah berturut-turut 2,39; 2,12; 1,98; 2,01; dan 2,24 (Arsip Jurusan, 2003). Berdasarkan hasil observasi terhadap perkuliahan Kimia Dasar tahun 2003 di Jurusan Pendidikan Kimia salah satu LPTK di Bandung, secara umum mahasiswa calon guru kimia mengalami kesulitan dalam: (1) memahami konsep-konsep dan prinsipprinsip dasar kimia; (2) memahami hubungan antarkonsep kimia; (3) membangun dan menginterpretasikan representasi ilmiah seperti grafik, diagram, rumus-rumus, dan persamaan kimia; (4) menganalisis soal-soal kimia dan menyelesaikannya secara sistematis; serta (5) menggambarkan pengetahuan kimia secara efektif. Kesulitan- 7

kesulitan tersebut dapat diprediksi sebagai akibat kurangnya penguasaan mahasiswa calon guru kimia terhadap materi subyek (subject-matter) kimia yang diperlukan. McDermott (1990) berpendapat bahwa penguasaan pengetahuan materi subyek (subject matter knowledge) yang dimiliki calon guru sangat ditentukan oleh proses pembelajaran yang dialaminya. Sebagai contoh, jika guru sains (termasuk guru kimia) diharapkan dapat mengajarkan sains berbasis inkuiri maka calon guru tersebut harus pernah mengalami perkuliahan berbasis inkuiri (Klausner, 1996). Untuk itu, para calon guru sekolah menengah perlu dibekali dengan perkuliahan yang berorientasi sekolah. Lebih lanjut, Klausner (1996) mengemukakan lima ciri perkuliahan yang berorientasi sekolah, yakni: (1) metode perkuliahan harus relevan dengan metode pembelajaran yang akan dikembangkan di sekolah; (2) perkuliahan tentang konsepkonsep dasar lebih efektif jika berlandaskan pengalaman nyata; (3) perkuliahan perlu dimulai dengan memberi kesempatan untuk melakukan penelitian open-ended di laboratorium agar para calon guru akrab dengan fenomena yang dipelajari; (4) para dosen LPTK perlu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk membantu calon guru berpikir kritis dan memiliki bekal keterampilan bertanya, dan (5) perkuliahan bagi calon guru perlu diarahkan untuk membangun kesadaran terhadap kesulitankesulitan konseptual yang mungkin dialami oleh para siswanya kelak. Untuk itu, model perkuliahan bagi para calon guru kimia perlu lebih menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (student-centered) yang mencerminkan hakikat kimia, yakni kimia sebagai proses, kimia sebagai produk, dan kimia sebagai sikap (Poedjiadi, 2005). Kondisi perkuliahan kimia bagi calon guru di LPTK hingga saat ini masih belum mencerminkan keadaan yang ideal sesuai dengan hakikat kimia seperti yang telah 8

dikemukakan di atas. Padahal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sejak tahun 2003 telah menerbitkan Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 (High Education Long Term Strategies) atau yang dikenal dengan HELTS. Semua perguruan tinggi termasuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) perlu terikat dalam satu tujuan yang dirumuskan dalam Visi 2010 Perguruan Tinggi Indonesia, yaitu pada tahun 2010 telah dapat diwujudkan sistem pendidikan tinggi dengan perguruan tinggi yang sehat sehingga mampu memberikan konstribusi pada daya saing bangsa yang memiliki ciri-ciri berkualitas, memberi akses dan berkeadilan, serta otonomi dan desentralisasi (Depdiknas, 2004). Dengan HELTS tersebut, upaya penjaminan dan kendali mutu pendidikan perlu diterapkan di semua perguruan tinggi (termasuk LPTK) yang menghasilkan tenaga calon guru. Langkah konkrit yang dapat diupayakan adalah pembenahan dalam kegiatan perkuliahan para calon guru. Para dosen LPTK perlu mengupayakan model perkuliahan yang sesuai dengan tuntutan lapangan. Oleh karena itu, perlu adanya penanganan lebih serius dalam mengupayakan model perkuliahan kimia bagi para calon guru yang sesuai dengan karakteristik kimia dan berorientasi pada tugas-tugasnya di lapangan kelak. Lebih lanjut Depdiknas (2004) berpendapat bahwa penjaminan mutu pendidikan tenaga kependidikan memerlukan standar kompetensi khususnya bagi calon guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Bidang Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi mulai tahun 2003 mengembangkan beberapa Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP) bidang studi kimia. Terkait dengan hal tersebut, SKGP kimia dapat dikelompokkan ke dalam empat rumpun, yakni (1) Penguasaan Bidang Studi Kimia; (2) 9

Pemahaman tentang Peserta Didik; (3) Penguasaan Pembelajaran Kimia yang Mendidik, dan (4) Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan. KURIKULUM PENDIDIKAN KIMIA Kurikulum Pelajaran Kimia di Sekolah Kurikulum Pendidikan Kimia di LPTK HELTS Pembelajaran Kimia SMA Peningkatan Kualitas Perkuliahan di LPTK Perkuliahan Kimia Dasar Teori Praktikum Mahasiswa Calon Teori Praktikum Guru Kimia Dosen KONDISI LAPANGAN - Stoikiometri Pembekalan - Perkuliahan dilakukan - Ikatan Kimia Materi Kemampuan terpisah antara teori - Kesetimbangan Generik dengan praktikum Kimia - Perkuliahan didominasi MPKGK bagi Calon oleh metode ceramah Sarana Guru melalui - Praktikum bersifat Prasarana Perkuliahan verifikasi Kimia Dasar - Penguasaan mahasiswa terhadap konsep kimia dasar masih rendah - Perlu MPKGK EMPAT PILAR Peningkatan Penguasaan Konsep STANDAR PENDIDIKAN dan Kemampuan Generik KOMPETENSI GURU UNESCO Kimia Calon Guru PEMULA Gambar 1.1. Kerangka Keterkaitan Masalah Penelitian 10

Berdasarkan kerangka keterkaitan masalah dalam Gambar 1.1, pengetahuan para calon guru sains (termasuk kimia) terhadap materi subyek perlu ditingkatkan. Kegiatan pembelajaran kimia yang akan dikembangkan para calon guru di lapangan kelak sangat bergantung pada penguasaan materi subyek kimia yang telah dikembangkan dalam perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan materi subyek merupakan kebutuhan pokok bagi para calon guru dan merupakan komponen esensial dari pengetahuan yang perlu dimiliki guru. Dalam Kurikulum Pendidikan Kimia LPTK 2003, pengetahuan materi subyek kimia dikelompokkan ke dalam mata kuliah Kimia Dasar dan Kimia Lanjut. Kimia Dasar diberikan kepada mahasiswa jurusan pendidikan kimia di LPTK bertujuan untuk memberi bekal pengetahuan, keterampilan, dan wawasan tentang dasar-dasar ilmu kimia kepada mahasiswa, yang diperlukan sebagai dasar untuk memahami kimia lebih lanjut (Tim TPB Kimia, 2003). Menurut kenyataan yang ada, konsep-konsep kimia dasar memang sangat dekat dengan konsep-konsep kimia SMA. Oleh karena itu, kegiatan perkuliahan kimia dasar dapat dijadikan wawasan bagi para calon guru dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran kimia SMA di lapangan kelak. Sehubungan dengan pentingnya meninjau kembali perkuliahan Kimia Dasar, ternyata kondisi kegiatan perkuliahan tersebut tidak banyak mencerminkan pembelajaran kimia yang semestinya bagi calon guru. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa dosen pembina mata kuliah Kimia Dasar di Jurusan Pendidikan Kimia salah satu LPTK di Bandung hingga tahun 2003 terungkap tujuh karakteristik kegiatan perkuliahan Kimia Dasar yang terjadi selama ini (Arsip Jurusan, 2003), yakni: (1) proses pembelajaran masih didominasi dengan metode ceramah; (2) praktikum yang 11

dilaksanakan hanya dalam jumlah yang terbatas; (3) pelaksanaan pembelajaran teori dengan praktikum dilakukan secara terpisah sehingga praktikum lebih bersifat memverifikasi hasil; (4) proses pembelajaran lebih berorientasi pada buku teks (diktat); (5) proses belajar kurang menekankan adanya keterkaitan materi perkuliahan dengan materi kimia SMA; (6) pelaksanaan perkuliahan dilakukan oleh tim dosen yang karakteristik dan cara penyajiannya berbeda-beda; dan (7) belum adanya penekanan yang kuat dalam membekali kemampuan generik kimia yang sangat diperlukan di lapangan. Kemampuan guru kimia memang tidak hanya ditentukan oleh penguasaan materi subyek semata, akan tetapi mereka perlu dibekali pula dengan kemampuan mengelola bahan ajar yang lebih efektif. Dewasa ini, kondisi pembelajaran kimia di lapangan memiliki kecenderungan bahwa kegiatan pembelajaran berlangsung secara klasikal, hanya bergantung pada buku teks, dan metode pengajaran yang menitikberatkan pada proses menghafal daripada memahami konsep. Akibatnya, secara keseluruhan pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan secara nasional sangat jauh dari harapan (Purwadi, dkk., 2007). Untuk itu, perkuliahan di LPTK khususnya Kimia Dasar perlu dibenahi sebagai prioritas utama agar guru kimia di lapangan dapat membelajarkan kimia sesuai dengan hakikat kimia yang semestinya. 12

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, perlu diupayakan perbaikan perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru yang selama ini hampir luput dari pemerhati pendidikan sains. Para calon guru kimia perlu dipersiapkan secara matang dengan memperhatikan kemampuan-kemampuan kimianya sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran kimia di sekolah menengah kelak. Perkuliahan Kimia Dasar bagi calon guru selain perlu membekali mereka dengan penguasaan materi subyek, para calon guru juga perlu dilatihkan kemampuan generik selama perkuliahan Kimia Dasar. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan masalah utama sebagai berikut. Bagaimana membekali mahasiswa calon guru dengan kemampuankemampuan generik kimia melalui perkuliahan Kimia Dasar? Masalah di atas menuntut adanya penerapan model perkuliahan Kimia Dasar yang dikembangkan berdasarkan kemampuan generik kimia, yang selanjutnya disebut sebagai Model Pembekalan Kemampuan Generik Kimia (MPKGK). Mengingat luasnya materi Kimia Dasar, penerapan model perkuliahan ini dibatasi pada mata kuliah Kimia Dasar I yang meliputi topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan. Pemilihan ketiga topik di atas, didasarkan atas tiga pertimbangan, yakni: (1) Ketiga topik tersebut telah mewakili kategori perkuliahan yang dapat diajarkan melalui praktikum (misalnya topik kesetimbangan) dan tanpa praktikum (misalnya topik ikatan kimia) serta gabungan di antara keduanya (misalnya topik stoikiometri); (2) hasil wawancara menunjukkan bahwa topik-topik tersebut dipandang sulit oleh sebagian besar mahasiswa; dan (3) pemilihan topik yang terbatas memberi peluang tergalinya secara lebih mendalam tentang kemampuan-kemampuan kimia yang perlu dilatihkan kepada calon guru. 13

Agar masalah penelitian lebih operasional, maka pertanyaan penelitian dijabarkan lagi menjadi enam submasalah sebagai berikut. 1. MPKGK yang bagaimana yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan calon guru kimia dalam menguasai materi? 2. Kemampuan-kemampuan generik apakah yang dapat dibekalkan kepada calon guru dari topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan melalui penerapan MPKGK? 3. Apakah penerapan MPKGK pada topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan dapat membekali kemampuan menguasai konsep dan kemampuan generik kimia mahasiswa calon guru lebih efektif daripada model perkuliahan konvensional? 4. Bagaimana respons mahasiswa calon guru terhadap penerapan MPKGK dalam topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan? 5. Kendala-kendala apa yang dialami dosen dan mahasiswa calon guru dalam mewujudkan kemampuan-kemampuan generik kimia melalui MPKGK yang diterapkan? 6. Apakah keunggulan dan keterbatasan penerapan MPKGK dalam ketiga topik Kimia Dasar I tersebut? 14

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengembangkan model perkuliahan yang dapat membekali calon guru dengan kemampuan generik kimia sebagai modal dasar guna mengembangkan kegiatan pembelajaran kimia di sekolah menengah kelak. Kemampuan generik kimia tersebut diharapkan dapat memberikan implikasi terhadap para calon guru dalam meningkatkan penguasaan konsep-konsep kimia terutama dalam perkuliahan Kimia Dasar Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk merancang MPKGK dan menguji efektivitasnya dalam membekali kemampuan-kemampuan generik kimia bagi para calon guru melalui perkuliahan Kimia Dasar pada topik Stoikiometri, Ikatan Kimia, dan Kesetimbangan. Karakteristik model perkuliahan Kimia Dasar yang dikembangkan dalam setiap topik tersebut diharapkan dapat dijadikan panduan dalam mengembangkan perkuliahan pada topik-topik berikutnya. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi LPTK, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas para calon guru kimia di LPTK terutama dalam hal penguasaan materi subyek kimia. 2. Bagi dosen kimia, kemampuan-kemampuan generik kimia yang telah diidentifikasi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan model perkuliahan Kimia Dasar. 15

3. Bagi mahasiswa calon guru, kemampuan-kemampuan generik kimia yang diperoleh mahasiswa dalam model perkuliahan ini dapat dikembangkan sendiri oleh mahasiswa ketika mempelajari topik-topik kimia lainnya. 4. Bagi peneliti sejenis, model pembelajaran yang dikembangkan dapat dijadikan acuan untuk meneliti topik-topik lain pada Kimia Dasar maupun Kimia Lanjut. 16