MODUL I: Sejarah Keistimewaan Materi Kuliah Kewidyamataraman Dari Mataram Islam hingga Berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta Bimo Unggul Yudo, ST. AWAL KEBANGKITAN MATARAM Sejarah berdirinya Kraton Kasultanan Yogyakarta tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan Mataram Islam yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Tengah bagian selatan di pehujung abad ke 16. 1. Panembahan Senopati (1575-1601) Ibukota di Kotagedhe (7 km tenggara kota Yogyakarta saat ini) Mataram perlahan bangkit dari sebuah wilayah bawahan Kerajaan Pajang menjadi kekuatan politik utama di Jawa Tengah bagian selatan setelah berhasil menghadapi kekuatan Pajang dalam sebuah pertempuran di Prambanan pada tahun 1586. Setelah menundukkan Demak, pengaruh dan kekuasaan Mataram semakin kokoh di Jawa Tengah bagian utara. Pada tahun 1590 berhasil menundudukkan Madiun, salah satu kekuatan politik utama di Jawa Timur. Sejak saat itu Mataram mulai melebarkan pengaruh dan kekuasaannya di Jawa Timur. Tahun 1601 Panembahan Senapati wafat dan dimakamkan di Kotagedhe, digantikan oleh putranya RM. Jolang. 2. Panembahan Hanyakrawati (1601-1613) Ibukota di Kotagedhe. Mataram memperluas pengaruh dan kekuasaan di Jawa Timur hingga mengancam Surabaya, kerajaan terkuat di Jawa Timur pada saat itu. Pada tahun 1613 Panembahan Hanyakrawati wafat dan dimakamkan di Kotagedhe. Karena wafat ketika sedang berada di hutan perburuan (krapyak), maka dikenal pula sebagai Panembahan Seda Krapyak. PUNCAK KEJAYAAN MATARAM 3. Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pertama kali bertahta, bergelar Panembahan ing Mataram Memindahkan ibukota kerajaan dari Kotagedhe ke Kerta (saat ini berada di Kec. Pleret, Kab. Bantul, 10 km sebelah tenggara kota Yogyakarta). Mataram menguasai pesisir dan pelabuhan utama Pantai Utara mulai dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur seperti Jepara, Lasem, Tuban hingga Pasuruan. Bergelar Susuhunan ing Mataram Pada tahun 1624 menaklukkan seluruh Madura. 1
Pada tahun 1625 menundukkan Surabaya setelah mengepung kota terkuat di Jawa Timur tersebut selama beberapa tahun. Pada tahun 1628 Mataram mengirim ekspedisi militernya dalam upaya mengepung dan menaklukkan Batavia, namun gagal. Ekspedisi kedua dikirim tahun 1629 juga menemui kegagalan, meski pada pengepungan kedua ini Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur Jenderal VOC meninggal. Terlepas dari kegagalannya menundukkan Batavia, Sultan Angung telah membawa Mataram mencapai puncak kejayaan di bidang politik, militer, dan budaya. Wilayah Mataram membentang hampir di seluruh Pulau Jawa. Sebelah barat berbatasan dengan Kesultanan Banten dan wilayah yang dikuasai VOC. Di sebelah timur hingga Blambangan (1636). Mulai membangun kompleks Pemakaman Raja-Raja di Imogiri (saat ini masuk wilayah Kec. Imogiri, Kab. Bantul, 17 km sebelah tenggara kota yogyakarta). Pada tahun 1555 J atau 1636 M Sultan Agung menetapkan dimulainya penggunaan Kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara Kaleder Caka dan Kalender Hijriyah. System penanggalan/ Kalender Jawa ini masih digunakan oleh masyarakat Jawa hingga saat ini, berdampingan dengan penggunaan penanggalan Masehi dan Hijriyah. Pada tahun 1645 Sultan Agung Hanyakrakusuma wafat dan dimakamkan di Makam Kerajaan Imogiri. Digantikan oleh putranya, RM. Sayidin yang sebelumnya telah diangkat sebagai Putra Mahkota dengan gelar Pangeran Aria Mataram. DESINTEGRASI MATARAM 4. Susuhunan Amangkurat I (1645-1677) Memindahkan ibukota kerajaan ke Plered, yang berlokasi di sebelah timur ibukota lama (saat ini berada di Kec. Pleret, Kab. Bantul, 10 km sebelah tenggara kota Yogyakarta). Memerintah dengan tangan besi sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakpuasan di kalangan kerajaan. Ketidakpuasan di kalangan kerajaan memicu munculnya pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Trunajaya, seorang bangsawan dari Madura. Kekuatan pemberontak ini juga didukung oleh laskar Makasar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong. Gerak maju kekuatan pemberontak semakin kuat setelah didukung secara diam-diam oleh Pangeran Putra Mahkota yang selama ini merasa tertekan di bawah pemerintahan ayahandanya. Akhirnya ibukota kerajaan jatuh ke tangan pemberontak, pada tanggal 2 Juli 1677. Kejayaan Mataram pun berakhir disini. Susuhunan Amangkurat I beserta pengikut yang masih setia meninggalkan istana dan ibukota, menyingkir kearah barat dalam upaya meminta bantuan VOC di Batavia. Dalam pelarian tersebut, Ketika mencapai wilayah sekitar Banyumas, kondisi kesehatan Susuhunan Amangkurat I semakin merosot, jatuh sakit, dan akhirnya wafat serta dimakamkan di desa Tegalarum (terletak di sebelah selatan kota Tegal, Jawa Tengah). Dari nama desa itu Raja Mataram ini dikenal pula sebagai Sunan Tegalarum. Pangeran Putra Mahkota yang selama itu mendampingi Susuhunan Amangkurat I dalam pelariannya, meneruskan upaya mendapatkan bantuan dari VOC. 2
Dalam upaya mencari bantuan dari VOC, Pangeran Putra Mahkota bertemu dengan Panglima Armada VOC, Laksamana Cornelis Speelman. VOC sanggup membantu Pangeran Putra Mahkota menghadapi pemberontak, memulihkan keadaan dan mendudukkannya sebagai penguasa Mataram dengan mengajukan persyaratan yang tertuang dalam Perjanjian Jepara 1677. Dalam perjanjian itu, Kompeni mengakui Amangkurat II sebagai Sunan yang sah di Mataram; Kompeni memperoleh kemerdekaan berniaga di seluruh kerajaan Mataram, dan tempat membuat kapal di Rembang; Kompeni dibebaskan dari kewajiban membayar bea pemasukan barang-barang ke pelabuhan-pelabuhan Mataram; Daerah jajahan Kompeni diperluas dengan Krawang dan sebagian Priangan, sebagai batas antara Mataram dan jajahan Belanda ialah sungai Cimanuk; Semarang dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Kompeni; Kompeni memiliki daerah pantai Jawa sebagai barang gadaian hingga Sunan melunasi biaya peperangan. 5. Susuhunan Amangkurat II (1680-1703) Pangeran Putra Mahkota naik tahta dengan bantuan VOC dan bergelar Susuhunan Amangkurat II, setelah menyepakati perjanjian yang merugikan Mataram. Sunan Amangkurat II berbalik memusuhi Trunajaya. Dengan bantuan VOC menangkap dan membunuh Trunajaya pada tanggal 2 Januari 1680. Karena Kraton Mataram di Plered dalam keadaan rusak akibat serangan dan pendudukan pemberontak, Susuhunan Amangkurat II memindahkan pusat pemerintahannya dan membangun istana baru di Kartasura (10 km sebelah barat Surakarta, Jawa Tengah) yang kemudian menjadi ibukota kerajaan Mataram selama beberapa generasi berikutnya. Pada tahun 1703 Sunan Amangkurat II wafat di Kartasura dan digantikan oleh Pangeran Putra Mahkota. 6. Susuhunan Amangkurat III (1703-1705) Pemerintahannya sangat lalim dan bermusuhan dengan pamannya sendiri P. Puger, sehingga politik dalam negeri kerajaan tidak stabil. P. Puger beserta keluarga akhirnya melarikan diri ke Semarang, meminta bantuan VOC, yang kemudian menobatkannya sebagai Raja bergelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwana I dibantu VOC menyerang Kartasura, Sunan Amangkurat III menyingkir ke Jawa Timur dan bergabung dengan Untung Surapati (Tumenggung Wiranegara). Karena semakin terdesak, pada Tahun 1708 Sunan Amangkurat III menyerahkan diri kepada VOC, kemudian dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) sampai wafat (Th. 1737). Kemelut perebutan tahta di Kerajaan Mataram yang berlangsung antara tahun 1704 1708 ini disebut sebagai Perang Suksesi Jawa I. 7. Susuhunan Paku Buwono I (1705-1719) Pemerintahan Paku Buwono I diakhiri oleh pertikaian dan perebutan kekuasaan diantara putraputranya yaitu P. Mangkunegara, P. Blitar dan P. Purbaya. Untuk mengatasi kemelut ini, ketika Paku Buwono I wafat, VOC mengangkat P. Mangkunegara sebagai penguasa Mataram bergelar Amangkurat IV. 3
8. Susuhunan Amangkurat IV (1719-1726) Masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat IV ini diwarnai peperangan antara Sunan Amangkurat IV, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar yang berlangsung antara th. 1719 1723 disebut dengan Perang Suksesi Jawa II, yang berakhir setelah P. Blitar wafat th. 1721 karena sakit, dan P. Purbaya diasingkan ke Tanggerang. Sunan Amangkurat IV wafat tanggal 26 April 1726, kemudian digantikan oleh putra mahkota bergelar Sunan Paku Buwana II. PERJUANGAN PANGERAN MANGKUBUMI 9. Susuhunan Paku Buwono II (1726-1749) Tanggal 30 Juni 1742 Mas Garendi dibantu bala tentara Tionghoa menyerbu dan menduduki Kraton Kartasura, Sunan Paku Buwono II mengungsi ke Ponorogo. Pada bulan Desember 1742 Cakraningrat IV dari Madura berhasil merebut Kartasura. Atas desakan VOC, Cakraningrat IV meninggalkan Kartasura, dan Sunan Paku Buwono II kembali ke Kartasura. Akan tetapi Kraton Kartasura sudah dalam keadaan porak poranda, maka Paku Buwono II memutuskan memindahkan Kraton dari Kartasura ke Surakarta, dimana proses pembangunan istana baru tersebut dipercayakan kepada adiknya, P. Mangkubumi. Pada tanggal 17 Februari 1745 secara resmi Kraton Kartasura ditinggalkan dan Paku Buwono II menempati Kraton yang baru, Kraton Surakarta Hadiningrat. Pada akhir tahun 1745 Paku Buwono II mengumumkan sayembara, bagi yang mampu memadamkan pemberontakan RM Said dan Tumenggung Martapura akan diberi hadiah bumi Sukawati seluas 3000 cacah (karya / rumah tangga). P. Mangkubumi menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan R.M. Said dan Martapura. Pada tahun 1746 R.M. Said dan Martapura dapat dikalahkan oleh P. mangkubumi namun tidak dapat ditangkap. Dengan alasan bahwa R.M. Said dan Martapura tidak dapat ditangkap ini maka Patih Pringgalaya (kakak ipar P. Mangkubumi) mohon kepada Sunan Paku Buwono II untuk mencabut hadiah tanah Sukawati atau hanya diberikan 1000 cacah. Usulan Pringgalaya ini diperkuat dengan persetujuan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff atas usulan Patih Pringgalaya. Bahkan di hadapan hadirin di Kraton Surakarta, Baron van Imhoff mengatakan agar P. mangkubumi jangan terlalu ambisi. Pernyataan Baron van Imhoff tersebut diterima oleh P. Mangkubumi sebagai campur tangan VOC di dalam pemerintahan Mataram, ditambah dengan keprihatinan P. Mangkubumi atas terlalu lemahnya Sunan PB II yang bersedia menandatangani penyerahan pesisir utara Jawa dengan sewa yang hanya 20.000 real / tahun, Maka P. Mangkubumi dengan pengikutnya yang setia pada malam itu juga lolos dari Surakarta untuk mulai melawan VOC. Dengan lolosnya P. Mangkubumi dari Kraton Surakarta pada tanggal 19 Mei 1746 maka dimulailah perlawanan P. Mangkubumi terhadap VOC. Barisan perlawanan P. Mangkubumi semakin kuat dengan bergabungnya RM. Said. Para pengikut menobatkan P. Mangkubumi sebagai Sunan Kabanaran pada tanggal 11 Desember 1749. 4
Pada penghujung tahun 1749 itu, Pakubuwono II sakit keras dan memutuskan menyerahkan kedaulatan Mataram VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Sejak itulah penobatan rajaraja keturunan Mataram harus seizin Belanda. Tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II wafat karena penyakitnya yang semakin parah. 10. Susuhunan Paku Buwono III (1749-1788) Pada 15 Desember 1749 VOC yang diwakili oleh Baron von Hohendorff melantik putra mahkota, Raden Mas Suryadi, sebagai penerus tahta Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Di tengah perjalanan perlawanan P. Mangkubumi terhadap Belanda ini, pada bulan Oktober 1752 Baron von Hohendorff berhasil menghasut R M. Said (P. Sambernyawa) untuk memisahkan diri dari kekuatan P. Mangkubumi. Karena hasutan ini maka kekuatan militer P. Mangkubumi tinggal 60 %. Namun demikian, VOC belum berhasil juga memadamkan perlawanan P. mangkubumi maupun RM. Said. PERJANJIAN GIYANTI & PEMBAGIAN KERAJAAN MATARAM Akhirnya VOC mengambil inisiatif untuk mendekati dan berunding dengan P. Mangkubumi. Pertemuan P. Mangkubumi dengan Nicolaas Hartingh di desa Padagangan, Grobogan pada 22 23 September 1754, membicarakan 3 (tiga) hal : 1). Pembagian Wilayah 2). Gelar Raja 3). Lokasi pusat pemerintahan kerajaan. Kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak dituangkan dalam Perjanjian Giyanti (Palihan Nagari). Perjanjian Giyanti atau Prajanjen Giyanti, adalah sebuah peristiwa penandatanganan sebuah piagam kesepakatan yang terjadi pada tanggal 13 Februari 1755, antara Pangeran Mangkubumi dan VOC yang diwakili oleh Nicholaas Hartingh. Perjanjian ini dilakukan di sebuah lokasi bernama Desa Giyanti, sebuah desa yang saat ini terletak di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Kabupaten Karanganyar bagian tenggara. Oleh karena itu, peristiwa penandatanganan piagam ini dikenal sebagai Perjanjian Giyanti. Prajanjen Giyanti atau Perjanjian Giyanti ini membagi Kerajaan Mataram menjadi dua. Bagian pertama dari Kerajaan Mataram berada di bawah kekuasaan Sri Susuhunan Pakubuwono III yang di kemudian hari dikenal sebagai Kasunanan Surakarta. Sementara bagian lain dari Kerajaan Mataram berada di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Wilayah kerajaan Mataram yang berada di bawah kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono I inilah yang kemudian disebut sebagai Kasultanan Yogyakarta. Karena membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua, maka dalam konteks sejarah dan budaya Jawa, peristiwa perjanjian ini dikenang sebagai peristiwa Palihan Nagari. Di dalam perjanjian Giyanti P. Mangkubumi mendapat hak 53.100 karya (cacah) untuk Negaragung dan 33.950 karya untuk Mancanegara. Wilayah Mancanegara di bawah Kasultanan meliputi daerah : Madiun, Magetan, Caruban, separo Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Majakerta), Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari), dan Grobogan. 5
Perjanjian Giyanti segera diikuti oleh pertemuan antara Sultan HB I dan Sunan PB III di Lebak Jatisari tanggal 15 Februari 1755. Pertemuan ini merupakan peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Proklamasi Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 13 Maret 1755. Sultan HB I mulai membangun kraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755, selama proses pembangunan, Sri sultan beserta keluarga mesanggrah di pesanggrahan Ambar Ketawang (saat ini terletak di Kec. Gamping, Kba. Sleman). Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan para pengikutnya memasuki Kraton Yogyakarta pada tanggal 7 Oktober 1756. (Disusun dan dirangkum oleh MW. Bimoguritno, Carik Tepas Tandha Yekti, dari berbagai literatur dan sumber di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat) 6