Daftar Isi. DAFTAR ISI...iii. EXECUTIVE SUMMARY... v. KATA PENGANTAR... ix

dokumen-dokumen yang mirip
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE - TAHUN ANGGARAN TRIWULAN III

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

Frequently Asked Questions (FAQ)

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

Frequently Asked Questions (FAQ)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

);86raa KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 45/PMK.02/2006 TENTANG

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

Grafik 5.1. Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Kaltara Tahun Anggaran Sumber: Hasil Olahan, 2016

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

LAPORAN MONITORING REALISASI APBD DAN DANA IDLE TAHUN 2013 SEMESTER I

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN DIREKTORAT EVALUASI PENDANAAN DAN INFORMASI KEUANGAN DAERAH SUBDIT DATA KEUANGAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2014 SILPA yang berasal dari Transfer Bersifat Earmarked (Dana Alokasi Khusus)

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

SAL SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBIAYAAN DALAM APBN

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar. iii

KONDISI PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Monitoring Realisasi APBD Triwulan I

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi

PINJAMAN OLEH PEMERINTAH DAERAH. Ilustrasi:

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Deskripsi dan Analisis APBD 2010 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN ANGGARAN 2007

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 72/PMK.02/2006 TENTANG

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

FORMAT SURAT LAPORAN RENCANA DEFISIT APBD KOP SURAT PEMERINTAH PROV/KAB/KOTA

Deskripsi dan Analisis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 95 /PMK.07/2007 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

DAFTAR ISI. Halaman BAB III PENUTUP... 13

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

APBD BANTEN 2013 CAPAI RP6.052 TRILIUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB V PENDANAAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

Tabel 1. Jenis Pendapatan Daerah. Tabel 2. Persentase Sumber Pendapatan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN. Kebijakan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

Pengelolaan Keuangan Daerah

Revenue & Expenditure

Referensi : Evaluasi Dana Perimbangan : Kontribusi Transfer pada Pendapatan Daerah dan Stimulasi terhadap PAD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

MONITORING REALISASI APBD 2009

PECAPP. Revenue & Expenditure. Pengenalan tentang Keuangan Daerah. Syukriy Abdullah

BAB III PENGELOLAAN KEUNGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan

c. Pembiayaan Anggaran dan realisasi pembiayaan daerah tahun anggaran dan proyeksi Tahun 2013 dapat dijabarkan dalam tabel sebagai berikut:

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK

Pemerintah Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. Penyerapan anggaran menjadi topik menarik akhir-akhir ini. Fenomena APBN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

Pendapatan dan Belanja Daerah (Nasional)

Gubsu Sampaikan KUA-PPAS APBD TA 2018 Rp 13,010 Triliun, Defisit Rp 450Miliar

, ,00 10, , ,00 08,06

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

MONITORING REALISASI APBD 2011 TRIWULAN I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

STRUKTUR APBD DAN KODE REKENING

local accountability pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

1

Daftar Isi DAFTAR ISI...iii EXECUTIVE SUMMARY... v KATA PENGANTAR... ix I. PENDAHULUAN...1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 E. Metode Penelitian... 3 II. KEBIJAKAN DEFISIT APBD DAN PEMBIAYAAN DAERAH...7 A. Kebijakan Defisit APBD... 7 B. Pembiayaan Daerah.... 10 C. SiLPA...11 III. HASIL TEMUAN LAPANGAN.... 13 A. Prov. Jawa Tengah...13 B. Prov. Kalimantan Selatan... 17 C. Prov. Riau... 21 D. Kota Balikpapan... 24 E. Kota Tomohon... 27 F. Kota Bontang...29 G. Kabupaten Bogor...32 H. Kabupaten Minahasa...34 I. Kabupaten Ketapang... 37 J. Kabupaten Gowa...39 K. Kabupaten Samosir...42 iii

L. Kabupaten Pamekasan...45 M. Kabupaten Sumenep...49 N. Kabupaten Siak...52 O. Kabupaten Bangli...55 P. Kabupaten Tanah Laut... 57 Q. Kabupaten Pati...60 R. Kabupaten Takalar...62 S. Kabupaten Klungkung...64 T. Kabupaten Toba Samosir...66 IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN... 69 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 73 A. Kesimpulan...73 B. Rekomendasi... 74 DAFTAR PUSTAKA... 75 Ucapan Terima kasih... 77 iv Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

EXECUTIVE SUMMARY Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara memperbolehkan pemerintah daerah menganggarkan pendapatan yang lebih tinggi dari belanjanya atau sebaliknya. Jika hal tersebut terjadi maka diwajibkan juga untuk menganggarkan pembiayaan sebagai sumber penerimaan atau sebagai pengeluaran pembiayaan. Namun kondisi APBD saat ini, pembiayaan daerah tidak hanya merupakan imbas selisih pendapatan dan belanja tapi juga sebagai penentu besaran belanja karena sebagian besar penerimaan pembiayaan (lebih dari 90%) berasal dari SiLPA. Besaran SiLPA terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana dalam realisasi APBD tahun 2012 telah mencapai angka Rp 97,1 triliun. SiLPA atau dana Idle dalam kondisi tertentu memang diperlukan, antara lain untuk mengatur likuiditas keuangan Pemda, utamanya di awal tahun. Meski demikian, SiLPA yang terlalu tinggi menunjukkan bahwa dana publik yang dikelola oleh Pemda tidak digunakan secara optimal untuk penyelenggaraan layanan publik. Meskipun SiLPA yang disimpan dalam perbankan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam peningkatan jumlah PAD berupa pendapatan bunga, tapi akan jauh lebih besar manfaatnya jika dibelanjakan dengan output pelayanan masyarakat sebagaimana tugas pokok pemda. Dalam laporan ini, sesuai tujuan monev maka diharapkan dapat diperoleh faktorfaktor yang mendorong tingginya SiLPA, diketahui dampak yang ditimbulkan oleh adanya SiLPA serta kebijakan apa yang dapat diambil agar SilPA menjadi lebih rasional. Guna memenuhi tujuan tersebut maka pada monev kali ini tidak hanya dilakukan melalui focus groups discussion dalam memperoleh data primer yang bersifat kualitatif, namun juga didukung oleh analisis kuantitatif atas data skunder. Sebagai daerah sampel diambil dua puluh daerah dengan karakteristik yang diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah secara keseluruhan. Daerah yang dipilih merupakan perwakilan kabupaten/kota dan provinsi yang dikategorikan sebagai daerah penghasil dan daerah non penghasil DBH. Executive Summary v

Dari hasil analisis dan pembahasan dalam Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Tahun 2013 ini diperoleh beberapa kendala dan permasalahan yang terkait dengan SiLPA sebagai berikut : 1. Peningkatan besaran SiLPA yang cukup signifikan beberapa tahun terakhir dikarenakan adanya realisasi APBD yang cenderung mengalami surplus, dimana terjadinya surplus daerah penghasil lebih didominasi adanya realisasi pendapatan yang lebih tinggi dari anggarannya dibanding dengan belanja yang tidak terserap, sedangkan untuk daerah non penghasil belanja yang tidak terserap lebih dominan dibanding dengan pelampauan pendapatannya. 2. Pelampauan PAD Provinsi non daerah penghasil merupakan pendapatan dengan pelampauan terbesar dibanding dengan jenis pendapatan yang lain, sedangkan untuk provinsi dan kabupaten/kota penghasil, lebih disebabkan adanya pelampauan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil. Selanjutnya kabupaten/kota non daerah penghasil sumber pelampauan pendapatan terbesar berasal dari Lain-lain Pendapatan Yang Sah (khususnya dana penyesuaian dan dana transfer dari provinsi). 3. Besaran SiLPA yang masih tinggi membawa dampak positif dan negatif bagi daerah, dampak positif adanya SiLPA adalah adanya imbal balik yang diterima pemda dari SiLPA yang disimpan di perbankan. Imbal balik dapat berupa jasa giro atau pendapatan bunga yang masuk dalam akun lain-lain PAD yang sah. Sedangkan dampak negatifnya adalah adanya belanja yang tertunda. Dari daerah sampel, belanja kegiatan fungsi pendidikan merupakan yang terbanyak tertunda atau tidak terserap dan jenis belanja modal yang paling dominan. Fungsi pelayanan umum merupakan fungsi belanja kedua yang banyak tertunda/tidak terserap dalam belanja daerah Dari kendala dan permasalahan diatas dapat direkomendasikan beberapa kebijakan yang dapat diambil, antara lain adalah : 1. Perlu adanya perubahan mekanisme transfer Dana Bagi Hasil dari pemerintah. Mekanisme yang diusulkan adalah alokasi Dana Bagi Hasil dapat ditetapkan bersamaan dengan penetapan DAU dan DAK, dan lebih penting lagi agar alokasi per daerah diinformasikan ke daerah bersamaan tepat setelah kesepakatan RAPBN di DPR (akhir Oktober) sehingga daerah mempunyai vi Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

cukup waktu untuk memasukannya ke dalam RAPBD. Di sisi lain, disarankan agar alokasi dan penyaluran DBH tidak terdapat perubahan ditahun berjalan (based on budget), selanjutnya mengenai selisih dengan penerimaan riil negara dapat diakomodasi ditahun berikutnya. 2. Pemerintah Provinsi, juga perlu melakukan perubahan yang sama terhadap mekanisme transfer bagi hasil kepada kabupaten/kota seperti halnya mekanisme yang diusulkan dalam alokasi DBH pemerintah. 3. Bagi pemerintah daerah perlu kiranya membuat peraturan daerah dalam rangka meningkatkan SDM pejabat lelang, sehingga kekurangan SDM pejabat lelang tidak lagi menjadi kendala dalam penyerapan belanja. Perlu mekanisme konkrit untuk memaksa pejabat daerah memiliki keahlian dalam bidang pengadaan, antara lain melalui sertifikasi pengadaan barang dan jasa sebagai prasyarat jabatan struktural tertentu di Pemerintah Daerah. 4. Perlu pengaturan mengenai pembatasan atas besaran dana yang bisa disimpan dalam bentuk deposito berjangka, agar kewenangan untuk berinvestasi tidak justru meninggalkan tugas pemda yang utama untuk menyediakan layanan publik. Salah satu usul konkrit adalah agar deposito berjangka waktu 3 bulan atau lebih tidak diperkenankan apabila jumlah deposito tersebut melebihi 3 bulan belanja APBD. Executive Summary vii

viii Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat ridho-nya, Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah dapat diselesaikan. Laporan ini merupakan bagian pelaksanaan kegiatan pada Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah - Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tahun 2013. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal yang telah efektif dilaksanakan lebih dari satu dasawarsa telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam prinsipprinsip pengelolaan Keuangan Negara. Salah satunya adalah sistem penganggaran surplus/defisit. Jika anggaran defisit, maka kekurangan pendapatan atas belanjanya akan ditutup dengan pembiayaan yang salah satunya berasal dari SiLPA tahun anggaran sebelumnya, sedangkan jika terjadi surplus, akan dimanfaatkan untuk pengeluaran pembiayaan. Selanjutnya salah satu tujuan dari pelaksanaan Desentralisasi Fiskal adalah memberi kewenangan kepada pemda untuk mengelola keuangannya sendiri secara lebih optimal dengan menyajikan bentuk output layanan publik yang lebih sesuai dengan karakter dan kebutuhan daerah masing masing. Tetapi harus diakui bahwa sampai saat ini tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai, hal ini ditandai dengan masih terjadinya beberapa kendala dalam pengelolaan APBD, yaitu di sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan. Besaran SiLPA yang terus mengalami peningkatan dalam realisasi APBD tahun 2012 telah mencapai angka Rp 97,1 triliun harus menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah. Meskipun SiLPA yang disimpan dalam perbankkan secara tidak langsung juga berkontribusi dalam peningkatan jumlah PAD berupa pendapatan bunga, tapi akan jauh lebih besar manfaatnya jika dibelanjakan dengan output pelayanan masyarakat sebagaimana tugas pokok pemda terkait desentralisasi fiskal. Untuk itulah laporan ini disusun untuk dapat memberi kontribusi dalam memperbaiki kebijakan pengelolaan anggaran terutama terkait dengan masih tingginya SiLPA. Laporan ini disusun dengan skema pembahasan yang sederhana dan ringkas, Kata Pengantar ix

namun tetap mengutamakan aspek analisa yang komprehensif baik dari sisi kualitatif maupun kuantitatif. Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan ini. Direktur, Yusrizal Ilyas, MPA x Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal yang telah dilaksanakan lebih dari satu dasawarsa bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, hal ini sesuai dengan tugas pokok Pemerintah Daerah terkait Desentralisasi Fiskal. Kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan Undang- Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang keduanya telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Guna mendorong pembangunan secara nasional pemerintah telah memberikan dana transfer yang semakin meningkat tiap tahunnya. Dilain sisi guna meningkatkan penguatan pendapatan daerah, pemerintah telah meningkatkan kewenangan bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Mengingat tantangan yang semakin berat dalam mengelola APBN kedepan perlu kiranya Pemerintah Daerah semakin didorong untuk dapat memanfaatkan sumber pendapatan serta mampu mengefisienkan dan mengefektifkan sisi belanjanya. Dengan kewenangan dan keleluasaan yang dimilikinya dalam menggunakan dana transfer yang diterimanya, daerah diharapkan dapat berbuat banyak untuk melakukan penguatan sektor riil dalam meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan di wilayah masing-masing. Kondisi saat ini SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) dalam tiap tahunnya terus meningkat, dengan kata lain jumlah dana yang tidak digunakan dalam pelayanan ke masyarakat tiap tahunnya semakin meningkat. Tren SiLPA dapat dilihat dalam grafik berikut. Pendahuluan 1

Grafik 1.1 Selain dari sisi nominal, persentase SiLPA terhadap total belanja juga mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar 12,89% meningkat di tahun 2012 menjadi 15,72% total belanja. Peningkatan rasio tersebut dikhawatirkan akan kontrapoduktif dengan usaha pemerintah yang sedang menggenjot penerimaan pendapatan. Oleh karena itu perlu sekiranya dirumuskan kebijakan untuk dapat memacu daerah agar tidak menumpuk dananya dalam SiLPA. Dengan mengetahui sumber-sumber dan kendala penyebab tingginya SiLPA daerah, diharapkan dapat diambil kebijakan yang dapat menanggulangi kendala tersebut. Guna memperoleh gambaran lebih komprehensif atas pelaksanaan kebijakan APBD terkait pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah, khususnya yang terkait dengan SiLPA, yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memperbaiki kebijakan pengelolaan keuangan daerah, maka Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah - Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan pada tahun 2013 melaksanakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah. B. Rumusan Masalah Secara garis besar, pokok masalah yang akan dianalisis dalam evaluasi ini adalah : i. Apa saja permasalahan dan kendala yang dihadapi pemerintah daerah yang mengakibatkan SiLPA semakin meningkat 2 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

ii. iii. Bagaimana dampak peningkatan SiLPA pada APBD tahun berkenaan. Kebijakan apa saja yang perlu dijalankan guna mengendalikan besaran SiLPA. C. Tujuan Penelitian Monitoring dan evaluasi ini bertujuan untuk i. Mengindentifikasi faktor faktor yang mendorong masih tingginya SiLPA. ii. Mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dengan adanya SiLPA yang meningkat dalam APBD. iii. Memberikan rekomendasi terkait pengendalian besaran SiLPA yang meningkat tersebut. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya mengendalikan besaran SiLPA yang terus meningkat dari tahun ketahun, sehingga penerimaan daerah lebih dapat dialokasikan dan dimanfaatkan secara optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.. E. Metode Penelitian Monitoring dan evaluasi pembiayaan daerah dilakukan pada beberapa daerah dengan diambil perwakilan dari provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang digunakan sebagai daerah sampel diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah yang berbeda-beda. 1. Sumber dan Metode Pengumpulan Data Monitoring dan evaluasi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, agar dapat diperoleh informasi pendukung dalam menjawab tujuan yang diharapkan. Data primer dibutuhkan untuk dapat melakukan pendekatan secara kualitatif, sedangkan secara kuantitatif digunakan data skunder. Secara lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendahuluan 3

a. Data primer : yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil Focus Group Discussion (FGD ) dengan pejabat pelaksana anggaran di daerah sampel. Dengan FGD diharapkan dapat digali informasi-informasi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran yang berkaitan dengan SiLPA daerah. b. Data skunder : yang berasal dari Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD seperti halnya data Ringkasan dan Rincian APBD, APBD Perubahan dan Realisais PABD tahun anggaran 2012. 2. Pemilihan Daerah Sampel Proses pengumpulan data primer dimulai dengan mendatangi dan melihat kondisi riil daerah sampel yang akan dikunjungi melalui pelaksanaan FGD. Daerah sampel yang dipilih didasarkan pada besaran SiLPA yang dimiliki oleh daerah dan keterwakilan karakteristik daerah dilihat dari jenis pendapatan daerah. Karakteristik daerah dilihat dari jenis pendapatan yang dibedakan menjadi : a. Daerah dengan porsi PAD yang lebih tinggi dari dana perimbangan. b. Daerah dengan porsi dana perimbangan dari dana bagi hasil (DBH) yang cukup dominan. c. Daerah dengan porsi dana perimbangan dengan Alokasi Dana Umum cukup besar. Daerah Sampel yang dikunjungi antara lain adalah : No Nama Daerah No Nama Daerah 1 Prov. Jawa Tengah 11 Kabupaten Gowa 2 Kabupaten Pati 12 Kabupaten Takalar 3 Prov. Kalimantan Selatan 13 Kabupaten Samosir 4 Kota Balikpapan 14 Kabupaten Toba Samosir 5 Kabupaten Bogor 15 Kabupaten Pamekasan 6 Kabupaten Minahasa 16 Kabupaten Sumenep 7 Kota Tomohon 17 Kabupaten Siak 4 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

No Nama Daerah No Nama Daerah 8 Kota Bontang 18 Kabupaten Klungkung 9 Prov. Riau 19 Kabupaten Bangli 10 Kabupaten Ketapang 20 Kabupaten Tanah Laut 3. Metode Analisis Data Laporan monev ini akan menyajikan analisis dalam bentuk studi kasus. Hasil pengumpulan informasi dan data tiap daerah akan dianalisis secara deskriptif untuk menjawab faktor pendorong meningkatnya SiLPA. Sumber-sumber SiLPA akan diidentifikasi dengan cara membandingkan antara APBD, APBD Perubahan, dan Realisasi APBD. Pendahuluan 5

6 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

II. KEBIJAKAN DEFISIT APBD DAN PEMBIAYAAN DAERAH A. Kebijakan Defisit APBD Dengan pelaksanaan Desentralisasi Fiskal berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004, daerah dimungkinkan menetapkan anggaran defisit, anggaran surplus, disamping anggaran berimbang yang telah dilaksanakan pada periode sebelumnya. Dengan model anggaran defisit, maka kekurangan pendapatan atas belanjanya akan ditutup dengan pembiayaan yang antara lain berasal dari SiLPA tahun anggaran sebelumnya, sedangkan jika terjadi surplus, akan dimanfaatkan untuk pengeluaran pembiayaan. Kebijakan pemerintah tentang pengendalian defisit APBD daerah merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengendalikan dan mengelola keuangan negara, yang didalamnya termasuk pengelolaan APBD. Pengendalian dimaksudkan agar defisit daerah tetap berada pada koridor yang telah ditentukan sehingga tidak menimbulkan suatu kondisi yang dapat membahayakan keuangan negara secara keseluruhan. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan tersebut, telah terbit beberapa peraturan yang terkait dengan pengedalian defisit APBD, yaitu: 1. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara a. Pasal 12 Ayat (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-Undang tentang APBN. Penjelasan : Besaran Defisit Anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah 7

b. Pasal 17 Ayat (3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Penjelasan : Besaran Defisit Anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto Daerah yang bersangkutan. 2. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Pasal 67 ayat (6) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. a. Pasal 83 ayat: (1) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD. Penjelasan : Yang dimaksudkan dengan jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD adalah jumlah defisit APBN ditambah jumlah defisit seluruh APBD dalam suatu tahun anggaran. Penetapan batas maksimal kumulatif defisit dimaksudkan dalam rangka prinsip kehati-hatian dan pengendalian fiskal nasional. (2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihii 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. Penjelasan : Jumlah maksimal kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto, hal ini sesuai dengan kaidah yang baik (best practice) dalam bidang pengelolaan fiskal. 8 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

(3) Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun. Penjelasan : Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD untuk masing-masing Daerah setiap tahun pada bulan Agustus. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan. b. Pasal 84 Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari: a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA); b. Dana Cadangan; c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Pinjaman Daerah. Penjelasan : Pada dasarnya APBD disusun dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah. Dalam hal belanja diperkirakan lebih besar daripada pendapatan, maka sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh dari penggunaan SiLPA, Dana Cadangan, hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Pinjaman Daerah. 3. PP Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemda. a. Pasal 3 ayat (2) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah 9

b. Pasal 4 ayat: Jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga persen) dari PDB tahun bersangkutan. Penjelasan : Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat atau Pemda dapat menjalankan anggaran defisit sesuai dengan keadaan keuangan dan perekonomian yang dihadapinya. Agar defisit anggaran tidak membawa dampak negatif terhadap kestabilan ekonomi makro dalam jangka pendek dan jangka menengah, maka besaran defisit tersebut perlu dikendalikan. Sesuai kaidah-kaidah yang baik dalam bidang pengelolaan fiskal, jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi paling tinggi 3% (tiga persen) dari PDB. Dalam peraturan diatas dinyatakan bahwa pembiayaan timbul karena adanya imbas selisih pendapatan dengan belanja yang berbentuk surplus atau defisit. Namun kondisi saat ini pembiayaan daerah didominasi oleh penerimaan pembiayaan yang berasal dari SiLPA atau dengan kata lain sumber penerimaan pembiayaan tersebut berasal dari dana milik pemda sendiri. Penggunaan SiLPA dalam belanja daerah menyebabkan terjadinya defisit daerah, dengan kata lain besaran defisit daerah tidak murni disebabkan anggaran pemda yang ekspansif tetapi lebih dikarenakan penggunaan SiLPA. B. Pembiayaan Daerah. Termasuk dalam penerimaan pembiayaan adalah Sisa Lebih Penggunaan Anggaran tahun sebelumnya (SiLPA tahun sebelumnya), Pencairan Dana Cadangan, Hasil Penjualan Kekayaan Yang Dipisahkan, Penerimaan Pinjaman dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman. Dari beberapa jenis penerimaan pembiayaan, maka SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber penerimaan pembiayaan yang paling dominan, karena jumlahnya lebih dari 90% total penerimaan pembiayaan, sedangkan penerimaan pembiayaan yang mempunyai resiko/kewajiban mengembalikan yaitu penerimaan pembiayaan dalam bentuk pinjaman hanya mempunyai kontribusi sekitar 1% saja dari total penerimaan pembiayaan. Hal lain yang terkait dengan pembiayaan adalah pengeluaran pembiayaan, dengan jenis pengeluaran pembiayaan antara lain adalah penyertaan modal, pembayaran pokok 10 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

utang, pemberian pinjaman daerah, pembayaran kegiatan lanjutan dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga. Dibanding dengan penerimaan, nilai pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil yaitu hanya sekitar 15% dari penerimaan pembiayaan. Realisasi penyertaan modal merupakan pengeluaran pembiayaan terbesar, dengan porsi berkisar 48% dari total pengeluaran pembiayaan. C. SiLPA Dalam realisasi APBD terdapat dua jenis SiLPA. Pertama, SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan sisa penggunaan anggaran tahun sebelumnya dan merupakan bagian dari penerimaan pembiayaan. Kedua, SiLPA tahun berkenaan yang merupakan sisa penggunaan anggaran pada tahun berjalan dan akan menjadi salah satu penerimaan pembiayaan di tahun berikutnya. Dalam anggaran, SiLPA tahun sebelumnya cenderung dianggarkan lebih rendah dari realisasi. SiLPA tahun berkenaan mempunyai pergerakan yang meningkat dalam kurun waktu empat tahun terakhir (2009-2012), bahkan besaran SiLPA tahun 2012 hampir mencapai dua kali lipat tahun 2009 (dari Rp52 triliun menjadi Rp 97 triliun). Kondisi ini menunjukkan gejala yang kurang baik karena semakin besar SiLPA tahun berkenaan maka menjadi indikasi semakin besar pula dana yang tidak digunakan dalam memenuhi pelayanan dasar kepada masyarakat. Walaupun secara nasional SiLPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang cukup besar, namun jika dilihat dari data APBD yang masuk maka akan terlihat bahwa terdapat beberapa daerah yang mempunyai nilai negatif atau lebih kecil dari nol. SiLPA tahun berkenaan yang bernilai negatif mempunyai arti bahwa pemda belum bisa menutup belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan pada tahun tersebut, sehingga nilai tersebut akan menjadi beban pada tahun berikutnya. Beberapa kondisi tersebut mencerminkan masih belum optimalnya proses manajemen pengelolaan keuangan daerah, sehingga perlu aktivitas yang terus menerus dan sinergi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi tersebut. Kebijakan Defisit APBD dan Pembiayaan Daerah 11

12 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

III. HASIL TEMUAN LAPANGAN. SiLPA merupakan imbas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah, dengan kata lain sumber-sumber SiLPA dapat berasal dari pelampauan anggaran pendapatan, realisasi belanja yang rendah atau keduanya. Dalam kajian ini digunakan dua puluh daerah sampel yang diharapkan dapat mewakili karakteristik daerah yang ada. Tiap-tiap daerah akan dibahas secara terpisah guna memperoleh informasi yang lebih mendalam. A. Prov. Jawa Tengah Provinsi Jawa Tengah (Prov. Jateng) merupakan salah satu provinsi yang sumber pendapatan APBD-nya lebih didominasi oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tahun 2012, Jateng menganggarkan 53,5% pendapatan berasal dari PAD. Sumber PAD terbesar berasal dari pajak daerah khususnya Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Lebih detail ringkasan pendapatan Jateng dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3.1 Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan Total Pendapatan 10,833.74 PAD 5,799.96 53.5 Pajak Daerah 4,873.00 45.0 Retribusi Daerah 66.03 0.6 Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan 222.28 2.1 Lain-lain PAD yang sah 638.64 5.9 Hasil Temuan Lapangan 13

Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan Dana Perimbangan 2,130.49 19.7 DBH 562.96 5.2 DAU 1,516.89 14.0 DAK 50.63 0.5 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 2,903.30 26.8 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 2,834.43 26.2 Lainnya 68.87 0.6 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, kontribusi dana perimbangan, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari pemerintah, hannya sebesar 19,7 persen. Sumber pendapatan lainnya yang berasal dari pemerintah adalah dana penyesuaian, yang mempunyai kontribusi sebesar 26,2% total pendapatan, namun penggunaan dana tersebut sudah ditetapkan (earmarked). Dengan melihat sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari PAD, maka sebagian besar belanja daerah sudah dapat direncanakan lebih baik disaat pembuatan rancangan APBD tahun berikutnya, karena prediksi pemda pasti lebih akurat terhadap rencana PAD dibanding Dana Perimbangan. Prediksi penerimanaan PAD yang baik akan mempengaruhi rencana belanja, karena jika prediksi penerimaan PAD pesimis maka akan membuat rencana belanja juga tidak berjalan optimal. Dilain sisi prediksi penerimaan PAD yang terlalu optimis dapat menimbulkan resiko tidak telaksananya rencana belanja karena realisasi akan lebih rendah dibanding anggaran. Dalam satu tahun anggaran pemerintah daerah dapat melakukan perubahan APBD dalam rangka melakukan penyesuaian belanja yang disebabkan oleh adanya perubahan rencana penerimaan pendapatan dan penerimaan pembiayaan. Tabel berikut menyajikan perbedaan APBD murni, yaitu APBD yang dibuat saat tahun anggaran belum berjalan; APBD-Perubahan, yaitu APBD yang dibuat di tahun berjalan karena adanya penyesuaian anggaran; dan realisasi APBD, yaitu nilai riil dari pelakasanaan APBD. 14 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

Grafik 3.1 Pada tahun berjalan diketahui bahwa potensi pendapatan APBD tahun 2012 lebih besar dari yang dianggarkan, maka dalam APBD penyesuaian perkiraan pendapatan dinaikan sebesar 5,4% anggaran pendapatan APBD murni. Karena perkiraan pendapatan mengalami peningkatan maka dilakukan penyesuaian terhadap anggaran belanja yang naik sebesar 6,1% dari anggaran belanja APBD. Kenaikan belanja yang lebih besar dari pendapatan tersebut disebabkan adanya peningkatan di sisi pembiayaan, khususnya yang berasal dari besaran SiLPA tahun sebelumnya yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan dalam APBD murni. Dalam APBD Perubahan dilakukan penyesuaian belanja dengan didasarkan perkiraan peningkatan pendapatan dan pembiayaan sehingga meningkatkan defisit APBD Prov. Jateng. Dalam kasus ini defisit dianggarkan guna memanfaatkan SiLPA tahun anggaran sebelumnya (sumber utama pembiayaan) bukan sebaliknya, dimana pembiayaan dianggarkan guna menutup belanja yang tidak terpenuhi oleh pendapatan. Dalam hal Realisasi APBD Prov. Jateng tahun 2012 ternyata mempunyai penerimaan pendapatan yang lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD murni dan APBD Perubahan, atau dapat dikatakan telah terjadi pelampauan anggaran pendapatan ditahun 2012. Berbeda dengan pendapatan maka realisasi belanja pada tahun tersebut justru terjadi sebaliknya yaitu lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD sehingga terjadi surplus. Sedangkan disisi pembiayaan tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara realisasi dan anggaran karena pembiayaan yang sumber utamanya berasal dari SiLPA tahun sebelumnya, sudah Hasil Temuan Lapangan 15

diketahui besaran pastinya dalam APBD Perubahan. Realisasi APBD Prov. Jateng 2012 mengalami surplus sehingga pembiayaan daerah tidak digunakan dalam belanja daerah. Oleh karena itu surplus dengan pembiayaan menjadi SiLPA tahun berkenaan di realisasi APBD 2012 dan akan digunakan dalam APBD 2013 sebagai penerimaan pembiayaan. Dengan melihat perbandingan SiLPA tahun sebelumnya (menjadi penerimaan pembiayaan) lebih rendah dari SiLPA tahun berkenaan (penjumlahan surplus dengan pembiayaan) maka dapat diartikan bahwa Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun 2012 lebih tinggi dari tahun 2011. SiLPA hasil realisasi APBD 2012 adalah sebesar Rp755,38 miliar atau sebesar 6,33% belanja yang dianggarkan di APBD Perubahan. Besaran SiLPA tersebut terjadi dikarenakan dalam realisasi APBD 2012, terjadi pelampauan pendapatan sebesar Rp271,22 miliar dibanding APBD-Pnya dan ada belanja yang tidak terserap sebesar Rp481,73 miliar, disamping itu juga terdapat peningkatan besaran pembiayaan sebesar Rp2,43 miliar. Dibanding dengan APBD murni, realisasi pendapatan dalam APBD Prov. Jawa Tengah lebih tinggi Rp860,7 miliar. Realisasi terbesar berasal dar pajak daerah dengan rincian Rp396,2 miliar berasal dari pelampauan penerimaan bea balik nama kendaraan bermotor, Rp160,9 miliar berasal dari pelampauan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Rp159,1 miliar berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor dan sisanya berasal dari pajak air permukaan. Sedangkan realisasi pendapatan dari pemerintah pusat terdapat pelampauan sebesar Rp188,32 miliar di penerimaan Dana Bagi Hasil, namun untuk penerimaan dana penyesuaian Rp140,23 miliar lebih rendah dari yang dianggarkan atau dengan kata lain pelampauan pendapatan yang berasal dari pemerintah adalah sebesar Rp48,09 miliar. Karena penerimaan pajak daerah dianggarkan meningkat di APBD-P maka belanja bagi hasil ke pemerintah kab/kota mengalami peningkatan sebesar Rp376,35 miliar dan telah direalisasikan 100%. Belanja hibah yang termasuk dalam fungsi pelayanan umum merupakan porsi terbesar dalam APBD 2012 Prov. Jateng (28,9%), belanja ini mempunyai penyerapan sebesar 92,7% APBD-P atau selisih antara anggaran dengan realisasi adalah Rp244,9 miliar. Pembiayaan daerah yang menjadi alat penyesuaian perbedaan pendapatan dan belanja juga mengalami perubahan di APBD-P, hal tersebut dikarenakan dalam 16 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

APBD sudah mencantumkan SiLPA tahun sebelumnya yang sesuai dengan audit BPK. SiLPA yang dicantumkan dalam APBD-P sebesar Rp705,31 miliar lebih tinggi dari yang dianggarkan di APBD (Rp562 miliar). Berdasarkan data APBD yang telah disampaikan diatas, maka diketahui bahwa SiLPA tahun 2012 Prov. Jateng mengalami peningkatan yang antara lain karena adanya realiasi pelampauan pendapatan sebesar Rp689,9 miliar dari APBD-P khususnya dari penerimaan pajak daerah, selanjutnya dari sisi belanja terdapat Rp454,03 Miliar yang tidak dapat direalisasikan dan sebagian besar berasal dari belanja hibah (fungsi pelayanaan umum). Dari uraian diatas dapat disimpulkan, karena realisasi pendapatan lebih besar dari belanja maka terjadi surplus anggaran dan menambah pembiayaan yang tidak digunakan sehingga SiLPA tahun 2012 Prov. Jateng menjadi Rp755,38 miliar. B. Prov. Kalimantan Selatan Serupa dengan Prov. Jateng, pendapatan APBD Provinsi Kalimantan Selatan (Prov. Kalsel) tahun 2012 sebagian besar berasal dari PAD (63,5%) khususnya pajak daerah (53,9%). Sedangkan dana yang berasal dari pemerintah didominasi oleh Dana Perimbangan berupa DBH dan DAU. Tabel 3.2 Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan Total Pendapatan 2,966.94 PAD 1,882.94 63.5 Pajak Daerah 1,598.45 53.9 Retribusi Daerah 5.89 0.2 Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan 43.26 1.5 Lain-lain PAD yang sah 235.35 7.9 Dana Perimbangan 1,038.92 35.0 Hasil Temuan Lapangan 17

Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan DBH 492.10 16.6 DAU 521.82 17.6 DAK 25.00 0.8 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 45.08 1.5 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 25.00 0.8 Lainnya 20.08 0.7 Dari tabel 3.2 terlihat bahwa sebagian besar (63,5%) pendapatan daerah dapat diperkirakan sendiri oleh pemprov Kalsel, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau 63,5% belanja tergantung pada tingkat ketepatan perkiraan/ rencana perhitungan PAD. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemprov. Kalsel terhadap kecepatan informasi pagu dana trasnfer pemerintah pusat tidak terlalu dominan, dari data tersebut bahkan dapat dikatakan bahwa Prov. Kalsel lebih mandiri bila dibanding dengan Prov. Jateng. Dengan melihat postur pendapatan, belanja Prov. Kalsel sangat didominasi oleh belanja yang kebijakannya berasal dari Prov. Kalsel sendiri (non earmarked) dibanding belanja yang sudah ditentukan oleh pemerintah (earmarked). Hanya 1,6% dari total pendapatan yang peruntukannya sudah ditentukan oleh pemerintah (DAK dan Dana Penyesuaian). Perbandingan antara APBD, APBD Perubahan dan realisasi APBD dapat dilihat dalam tabel berikut : 18 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

Grafik 3.2 Perbedaan APBD dengan APBD-P terlihat cukup besar yaitu mencapai Rp856,0 miliar, bahkan disisi belanja mempunyai perbedaan yang cukup mencolok yaitu mencapai 1,49 triliun. peningkatan anggaran belanja yang cukup fantastis tersebut dikarenakan terjadi peningkatan perkiraan penerimaan pendapatan daerah dan besaran pembiayaan daerah. Dalam APBD Perubahan, pendapatan dianggarkan lebih besar dengan nominal kurang lebih sebesar Rp856,5 miliar. Peningkatan anggaran pendapatan dikarenakan adanya perkiraan penerimaan PAD yang bersumber dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan yang meningkat dari Rp718 miliar menjadi Rp1,02 tiliun atau meningkat sebesar Rp294 miliar. Selain itu peningkatan disebabkan adanya penyesuaian penerimaan dana perimbangan (DBH dari Rp492,1 miliar menjadi Rp556,0 miliar; DAU dari Rp517,1 miliar menjadi Rp652,5 miliar dan DAK dari Rp25 miliar menjadi Rp38,9 miliar) sesuai dengan data alokasi pemerintah. Selanjutnya peningkatan penerimaan juga terjadi dalam pembiayaan daerah, dimana peningkatan tersebut terjadi karena adanya penyesuaian penerimaan yang berasal dari SiLPA tahun sebelumnya. Semula SiLPA tahun sebelumnya dianggarkan sebesar Rp165,0 miliar ternyata setelah akhir tahun besaran SiLPA tahun sebelumnya atau tahun 2011 mengalami peningkatan yang cukup fantasti yaitu sebesar Rp924,1 miliar. Peningkatan pendapatan dan pembiayaan mewajibkan adanya penyesuaian di belanja daerah, sehingga dalam APBD Perubahan Prov. Kalimantan Selatan disisi belanja daerah meningkat dari Rp3,11 triliun menjadi Rp4,60 triliun atau meningkat sebesar Rp1,49 triliun, angka tersebut merupakan nilai yang cukup besar untuk Hasil Temuan Lapangan 19

diserap dalam waktu kurang dari 6 bulan. Menurut Permendagri, APBD Perubahan dapat dilakukan setelah ada audit BPK terhadap APBD tahun sebelumnya, sehingga paling cepat APBD Perubahan dapat dilakukan di bulan Agustus. Peningkatan belanja yang cukup besar adalah pada sisi belanja modal yaitu meningkat sebesar Rp584,19 miliar, belanja hibah Rp339,5 miliar, belanja barang dan jasa meningkat Rp257,4 miliar. Selanjutnya karena ada peningkatan pendapatan pajak daerah maka belanja bagi hasilpun mengalami peningkatan sebesar Rp239,4 miliar. Realisasi APBD Prov. Kalsel mengalami pelampauan pendapatan dan pembiayaan yang lebih tinggi dari yang dianggarkan dalam APBD-P, hanya saja realisasi belanja daerah tetap lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD-P. Pelampauan pendapatan tersebut lebih didominasi adanya transfer pemerintah, khususnya DBH yang belum masuk dalam APBD-P atau dengan kata lain alokasi dana tersebut dikeluarkan setelah APBD-P diketok atau pada akhir tahun anggaran. Dua pendapatan yang mengalami pelampauan terbesar adalah pendapatan yang berasal dari dana perimbangan yaitu dana bagi hasil sebesar Rp264,2 miliar dan penerimaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor sebesar Rp200,1 miliar. Kedua pelampauan pendapatan tersebut bersifat block grant atau penggunaannya tidak ditentukan, untuk tahun anggaran tersebut. Karena pendapatan tersebut belum dianggarkan penggunaanya dalam APBD-P maka pendapatan tersebut hanya dapat digunakan pada tahun berikutnya dengan masuk dalam SiLPA terlebih dahulu. Sedangkan disisi pembiayaan karena adanya selisih penerimaan kembali penyertaan modal. Realisasi penyerapan belanja Prov. Kalsel berkisar 87,1% dari belanja yang dianggarkan dalam APBD-P. Realisasi terendah adalah belanja modal (72,5%) khususnya fungsi pelayanan umum dalam rencana kegiatan pembelian tanah lingkar bandara dan pembebasan lahan guna pembangunan sport center dan perumahan PNS sebesar Rp174,4 miliar, sedangkan penyerapan belanja barang jasa yang paling rendah adalah fungsi pendidikan dimana 37,5% atau Rp148,9 belanja barang jasa fungsi pendidikan dan 36% atau Rp73,8 miliar belanja barang jasa fungsi pelayanan umum yang tidak terserap. SiLPA Prov. Kalsel tahun 2012 meningkat dari tahun 2011, dari Rp924,1 miliar menjadi Rp1,16 triliun. sebagaimana telah dirinci diatas, peningkatan tersebut 20 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

disebabkan terjadinya surplus anggaran sehingga pembiayaan tidak tergunakan dalam belanja dan menambah surplus menjadi SiLPA ditahun 2012. C. Prov. Riau Prov. Riau mempunyai karakter pendapatan yang berbeda dengan dua provinsi sebelumnya. PAD Prov. Riau mempunyai porsi dibawah 50% yang menunjukkan bahwa PAD bukan merupakan pendapatan yang dominan. Porsi pendapatan terbesar Prov. Riau adalah pendapatan yang berasal dari dana bagi hasil (DBH) khususnya sumber daya alam, hal tersebut menunjukkan sebagian besar belanja daerah tergantung pada informasi besaran DBH dari pemerintah. Pendapatan APBD Prov. Riau tahun 2012 yang berasal dari DBH mencapai rasio 44,6% lebih tinggi dari rasio pajak daerah yang sebesar 27,4%, rincian pendapatan daerah Prov. Riau tahun 2012 dapat dilihat dalam table berikut. Tabel 3.3 Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan Total Pendapatan 5,487.78 PAD 1,824.50 33.2 Pajak Daerah 1,502.89 27.4 Retribusi Daerah 6.56 0.1 Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan 157.16 2.9 Lain-lain PAD yang sah 157.89 2.9 Dana Perimbangan 2,999.00 54.6 DBH 2,447.33 44.6 DAU 489.18 8.9 DAK 62.49 1.1 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 664.27 12.1 Hasil Temuan Lapangan 21

Nominal (dalam miliar Rp) % Total Pendapatan Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 664.27 12.1 Lainnya.00 0.0 Mekanisme alokasi DBH adalah sesuai dengan penerimaan Negara pada tahun berkenaan. Alokasi DBH disampaikan melalui Peraturan Menteri Keuangan dengan dua tahap, yaitu PMK alokatif dan PMK Definitif. PMK Alokatif berisikan perkiraan penerimaan DBH tiap daerah yang didasarkan pada perkiraan penerimaan tahun berkenaan, sedangkan PMK definitif diterbitkan pada akhir tahun yang didasarkan pada realisasi sumber daya alam/pajak yang telah diterima dan perkiraan penerimaan beberapa bulan di akhir tahun. Sebagian besar daerah menganggarkan pendapatan DBH menggunakan perkiraan dari pemda sendiri karena PMK alokatif masih belum terbit pada saat APBD diproses, sehingga penyesuaian sesuai PMK alokatif dilakukan pada saat APBD Perubahan. Perbandingan pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dianggarkan dalam APBD, APBD-P dan realisasi APBD dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 3.3 Dalam APBD Prov. Riau menganggarkan defisit dalam rangka menggunakan dana SiLPA tahun sebelumnya, dimana SiLPA tahun sebelumnya diperkirakan mencapai Rp453,88 miliar. Namun dari perbedaan besaran defisit dengan pembiayaan dalam APBD dapat diartikan bahwa Prov. Riau tidak menggunakan seluruh penerimaan dalam belanja atau sengaja menganggarkan SiLPA di akhir tahun 2012 sebesar 22 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

Rp279,22 miliar. Hal tersebut tidak seperti kebanyakan daerah yang dalam APBD tidak menganggarkan SiLPA tahun berkenaan. Penyesuaian penganggaran dilakukan dalam APBD-P karena adanya perubahan penerimaan pendapatan dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah diperkirakan mengalami peningkatan khususnya yang berasal dari dana bagi hasil pajak/non pajak dari pemerintah dan pajak daerah. Penerimaan DBH dalam APBD dilakukan penyesuaian berdasarkan PMK Alokatif, sehingga terdapat selisih dengan APBD sebesar Rp794,94 miliar dan pendapatan dari pajak daerah diperkirakan meningkat sebesar Rp336,89 miliar. Penerimaan pajak daerah yang mengalami peningkatan cukup signifikan adalah bea balik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang keduanya mencapai Rp280,7 miliar Dari sisi pembiayaan juga mengalami peningkatan karena telah diketahui besaran SiLPA tahun sebelumnya sesuai dengan audit BPK. Dengan adanya SiLPA yang lebih besar maka besaran pembiayaan juga mengalami peningkatan dimana yang semula Rp1,03 trliun meningkat menjadi Rp1,94 triliun. Karena adanya peningkatan pendapatan dan pembiayaan daerah maka dilakukan penyesuaian terhadap belanja daerah. Peningkatan belanja yang besar adalah belanja modal (Rp921,6 miliar), belanja bagi hasil (Rp430,81), belanja barang dan jasa (Rp281,86 miliar) dan belanja hibah (Rp236,49 miliar). Berbeda dengan yang dianggarkan, realisasi APBD Prov. Riau mengalami surplus dikarenakan adanya pelampauan pendapatan, sedangkan belanja daerah terserap hanya 79,27%. Pelampauan pendapatan yang terbesar berasal dari pajak daerah dan lain-lain PAD yang sah. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor merupakan pendapatan pajak yang mempunyai pelampauan penerimaan pajak terbesar (besar pelampauan adalah Rp136,1 miliar). Sedangkan dari lain-lain PAD yang sah terdapat tiga jenis pendapatan yang mempunyai realisasi lebih besar dari yang diperkirakan dalam anggaran, yaitu Penerimaan jasa giro (Rp46,8 miliar), penerimaan bunga (Rp40,7) dan pendapatan denda pajak (Rp60,0 miliar), pendapatan denda pajak merupakan salah satu jenis pendapatan yang belum dianggarkan dalam APBD-P. Realiasi belanja Prov. Riau adalah 79,27% dari belanja yang dianggarkan dalam APBD-P atau secara nominal terdapat Rp1,74 triliun belanja tidak terserap. Selisih tersebut disebabkan oleh beberapa jenis belanja yang tidak terserap yaitu empat Hasil Temuan Lapangan 23

terbesarnya antara lain adalah Belanja Modal tidak terserap sebesar Rp495,46 miliar, belanja hibah Rp390,48 miliar, belanja barang jasa Rp364,5 miliar dan belanja bagi hasil Rp227,42 miliar. Untuk belanja modal, secara nominal terdapat dua fungsi yang merupakan kontributor terbesar yaitu fungsi pendidikan (Rp120,9 miliar) dan perumahan/ fasilitas umum (Rp269,5 miliar). Belanja modal yang mempunyai penyerapan rendah terdiri dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersifat multiyear. Sedangkan untuk belanja barang jasa, kontributor rendahnya penyerapan adalah dari fungsi pendidikan (tidak terserap Rp114,2 miliar) dan fungsi pelayanan umum (Rp118,6 miliar). Adanya pelampauan pendapatan dan realisasi belanja yang lebih rendah yang dianggarkan mengakibatkan realisasi APBD Prov. Riau terjadi surplus. Karena terjadi surplus maka pembiayaan daerah tidak tergunakan dan jika dijumlahkan dengan surplus maka hal tersebut dapat menunjukkan perkiraan besaran SiLPA tahun 2012. D. Kota Balikpapan Porsi pendapatan APBD Kota Balikapan sebagian besar berasal dari dana bagi hasil khususnya sumber daya alam (41%), sedangkan pendapatan yang berasal dari PAD mempunyai porsi 17,6%. Semakin besarnya porsi pendapatan yang berasal dari dana transfer pemerintah menunjukkan semakin besar tingkat ketergantungan daerah terhadap informasi besaran yang akan diterima oleh pemda. Tabel 3.4 (dalam miliar rupiah) APBD APBD-P R APBD Pendapatan 1.647,13 1.950,23 2.206,40 PAD 290,01 303,98 352,03 Dana Perimbangan 1.074,52 1.130,89 1.339,02 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 282,60 515,35 515,35 Belanja 1.823,79 2.399,40 1.671,85 24 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

APBD APBD-P R APBD Belanja Pegawai 685,59 799,80 653,67 Belanja Barang dan Jasa 404,43 495,07 401,36 Belanja Modal 585,29 937,12 478,33 Belanja Lainnya 148,49 167,41 138,49 Pembiayaan Netto 176,66 449,18 449,67 Penerimaan Pembiayaan 186,53 466,87 467,36 Pengeluaran Pembiayaan 9,88 17,69 17,69 Dalam APBD Perubahan Kota Balikpapan dilakukan penyesuaian beberapa jenis pendapatan, Dana Perimbangan khususnya dana bagi hasil disesuaikan dengan alokasi yang tertuang dalam PMK karena angka yang ada dalam APBD merupakan anggka perkiraan dari pemda kota Balikpapan. Untuk PAD dilakukan penyesuaian dalam perkiraan penerimaan yang berasal dari pajak daerah khususnya Pajak Penerangan Jalan (PPJ) dan pajak restoran. Dan selisih terbesar adalah berasal dari lain-lain pendapatan yang sah dimana ada tiga jenis pendaptan yang dilakukan penyesuaian karena sumbernya berasal dari provinsi dan pemerintah pusat, yaitu dana bagi hasil pajak dari provinsi yang meningkat sebesar Rp56,6 miliar, bantuan keuangan dari provinsi meningkat sebesar Rp112,9 miliar dan adanya dana penyesuaian yang belum dianggarkan dalam APBD sebesar Rp63,2 miliar. Selain pendapatan, pembiayaan juga mengalami peningkatan dikarenakan besaran SiLPA tahun sebelumnya sudah diketahui secara pasti setelah diaudit oleh BPK. SiLPA tahun sebelumnya atau sisa tahun 2011 yang semula diperkirakan sebesar Rp186,5 miliar ternyata dalam realisasinya lebih besar menjadi Rp466,9 miliar. Karena sumber penerimaan pembiayaan kota Balikpapan berasal dari SiLPA, maka netto pembiayaan juga mengalami peningkatan sebanding dengan besaran SiLPA. Dengan adanya pembiayaan yang meningkat maka besaran defisit kota Balikpapan disamakan dengan nilai pembiayaan. Selanjutnya peningkatan anggaran pendapatan mengakibatkan besaran belanja dilakukan penyesuaian Hasil Temuan Lapangan 25

terhadap penambahan nilai pembiayaan dan pendapatan tersebut. Belanja modal merupakan belanja yang paling besar mengalami penambahan anggaran yaitu sebesar Rp351,8 miliar yang kedua adalah belanja pegawai tidak langsung yang mengalami peningkatan sebesar Rp102,2 miliar dan ketiga terbesar adalah belanja barang jasa yang meningkat sebesar Rp90.6 miliar. Belanja pegawai yang mengalamii peningkatan adalah belanja pegawai fungsi pendidikan (meningkat sebesar Rp329,9 miliar) kedua adalah belanja pegawai fungsi pelayanan umum (meningkat Rp108,5 miliar). Grafik 3.4 Realisasi APBD Kota Balikapapan mempunyai pendapatan yang melampaui perkiraan pendapatan yang dianggarkan dalam APBD-P. Selisih penerimaan pendapatan terbesar berasal dari dana perimbangan khususnya dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp208,1 miliar. Selisih pendapatan DBH yang dianggarkan dengan realisasi yang diterima tidak dapat digunakan dalam belanja daerah, antara lain karena belanja daerah sudah dapat ditutup oleh pendapatan dan pembiayaan lainnya, DBH bersifat block grant dan setiap penggunaannya harus sudah dianggarkan. Selisih DBH tersebut dapat digunakan di anggaran tahun berikutnya dengan terlebih dahulu dimasukkan dalam akun SiLPA APBD 2012. 26 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa

Dalam realisasi belanja kota Balikpapan mempunyai realisasi yang cukup rendah dibanding dengan APBD-P, yaitu 69,7% bahkan masih lebih rendah dari yang dianggarkan dalam APBD. Belanja modal merupakan salah satu jenis belanja yang mempunyai penyerapan terendah dibanding dengan APBD-P (51,0%), yang kedua adalah belanja pegawai tidak langsung (80%). Belanja modal yang mempunyai penyerapan terendah adalah fungsi perumahan dan fasilitas umum (penyerapan sebesar 47%) dan fungsi lingkungan hidup (penyerapan sebesar 35%). Sedangkan untuk belanja pegawai tidak langsung, fungsi pendidikan merupakan yang fungsi yang mempunyai selisih nominal terbesar yaitu berkisar Rp92,2 miliar. Pelampauan pendapatan dan realisasi belanja yang rendah menyebabkan terjadinya surplus, selanjutnya ditambah dengan pembiayaan yang sebagian besar berasal dari SiLPA tahun sebelumnya maka besaran SiLPA tahun 2012 mempunyai nilai yang lebih besar dari tahun sebelumnya. SiLPA tahun 2011 Kota Balikpapan adalah Rp467,4 miliar ditahun 2012 menjadi Rp984,2 miliar. E. Kota Tomohon Kota Tomohon merupakan salah satu contoh kota yang sebagian besar pendapatannya berasal dari dana perimbangan (96,3%) terutama dari Dana Alokasi Umum (81,6% total pendapatan). Daerah dengan karakteristik seperti Kota Tomohon mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap informasi dana transfer dari pusat dalam menyusun belanja daerah. Tabel 3.5 (dalam miliar rupiah) APBD APBD-P R APBD Pendapatan 352,56 384,99 388,64 PAD 5,42 11,05 11,24 Dana Perimbangan 339,40 339,45 340,99 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 7,74 34,48 36,41 Belanja 378,81 403,16 374,93 Hasil Temuan Lapangan 27

APBD APBD-P R APBD Belanja Pegawai 217,54 244,23 237,29 Belanja Barang dan Jasa 63,10 68,31 56,96 Belanja Modal 88,33 83,11 73,95 Belanja Lainnya 9,83 7,52 6,73 Pembiayaan Netto 26,26 18,18 19,69 Penerimaan Pembiayaan 26,26 26,68 28,12 Pengeluaran Pembiayaan 0,00 8,50 8,43 Lain-lain Pendapatan Yang Sah merupakan pendapatan yang mengalami peningkatan yang terbesar secara persentase, yaitu mencapai 445,7% dari yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dikarenakan dalam APBD tidak dianggarkan dana penyesuaian yang berasal dari pemerintah sebesar Rp26,8 miliar. Sedangkan PAD yang merupakan pendapatan yang berasal dari Kota Tomohon sendiri mengalami peningkatan sebesar 203,8%. Peningkatan terbesar berasal dari lain-lain PAD yang sah, hal tersebut dikarenakan dalam APBD hanya tercatat penerimaan yang berasal dari jasa giro sedangkan dalam APBD Perubahan terdapat pendapatan lainnya yang dianggarkan seperti halnya pendapatan denda dan tuntutan ganti rugi (TGR). Dalam dana perimbangan tidak terdapat perubahan besar, karena alokasi DAU dan DAK tidak ada perubahan dalam tahun berjalan. Selain itu Kota Tomohon bukan merupakan daerah penghasil sehingga walaupun ada perubahan tetapi tidak terlalu significant. Dana penyesuaian yang ditransfer pemerintah telah mempunyai peruntukan, yaitu sebagai tambahan pernghasil bagi guru sehingga dalam APBD, penyesuaian masuk jumlah belanja pegawai tidak langsung. Dari segi pembiayaan daerah ada penyesuaian dalam pengeluaran pembiayaan, yaitu adanya penganggaran pembayaran pokok utang yang semula tidak dianggarkan dalam APBD. 28 Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Khusus Yang Berasal Dari Penerimaan Silpa