II. TINJAUAN PUSTAKA. hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai

dokumen-dokumen yang mirip
SUPERKONDUKTOR 1. Sejarah Superkonduktor 2. Teori Superkonduktor 2.1. Pengertian Superkonduktor

I. PENDAHULUAN. Superkonduktor merupakan suatu bahan dengan konduktivitas tak hingga, karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun Sebelumnya, pada

I. PENDAHULUAN. oleh H.K Onnes pada tahun 1911 dengan mendinginkan merkuri (Hg) menggunakan helium cair pada temperatur 4,2 K (Darminto dkk, 1999).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sifat superkonduktivitas bahan ditemukan pertama kali oleh Heike Kammerlingh

II. TINJAUAN PUSTAKA. walaupun tanpa adanya sumber tegangan (Rusdi, 2010). Suatu superkonduktor

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013 di

BAB IX SUPERKONDUKTOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

METODE SOL-GEL RISDIYANI CHASANAH M

Bahan Listrik. Bahan Superkonduktor

PENDAHULUAN. Di dalam modul ini Anda akan mempelajari Aplikasi Superkoduktor yang mencakup:

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BPSCCO/Ag MENGGUNAKAN METODE PADATAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN VARIASI Bi DAN Pb MELALUI METODE SOL GEL DAN ANALISIS POLA DIFRAKSI SINAR X MENGGUNAKAN METODE RIETVELD FULLPROF

NANOKRISTALISASI SUPERKONDUKTOR (Bi,Pb) 2 Sr 2 CaCu 2 O 8+δ DENGAN METODE PENCAMPURAN BASAH DENGAN VARIASI SUHU DAN WAKTU KALSINASI DAN SINTER

SINTESIS SUPERKONDUKTOR BPSCCO/Ag MENGGUNAKAN METODE PADATAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit CSZ-Ni dengan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

MENGENAL SUPERKONDUKTOR Oleh : Sugata Pikatan

PROSES PEMBUATAN MATERIAL SUPERKONDUKTOR BSCCO DENGAN METODA PADATAN

Spektroskopi Difraksi Sinar-X (X-ray difraction/xrd)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMASI KOMPOSISI MOLAR AWAL OFF-STOIKHIOMETRI PADA SINTESIS SUPERKONDUKTOR SISTEM Bi-2223

Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metoda Lelehan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1]

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Suhu Sinter Terhadap Struktur Kristal

STRUKTUR BAHAN Y 1-X Pr X Ba 2 Cu 3 O 7-δ KERAMIK SUPERKONDUKTOR HASIL SINTESIS DENGAN REAKSI PADATAN SKRIPSI

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

KB 2. Teknologi Kereta Api Yang Berkecepatan Tinggi. Aplikasi superkonduktor dalam teknologi kereta Api supercepat adalah memanfaatkan

Eksperimen Pembentukan Kristal BPSCCO-2223 dengan Metode Self-Flux

BAB III METODE PENELITIAN

Efek Atmosfer Udara dan Oksigen Terhadap Struktur Kristal dan Kristalografi Material Superkonduktor (Bi0,40Pb0,45)Sr2(Ca0,40Y0,70)Cu2Oz

Bab IV Hasil dan Pembahasan

MAKALAH FABRIKASI DAN KARAKTERISASI XRD (X-RAY DIFRACTOMETER)

ANALISIS STRUKTUR DAN SIFAT MAGNET BAHAN SUPERKONDUKTOR Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ ELECTRON-DOPED

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Sejak ditemukan oleh ilmuwan berkebangsaan Jerman Christian Friedrich

PENGARUH VARIASI PERLAKUAN DOPING Pb PADA Bi DALAM SINTESIS SUPERKONDUKTOR BSCCO TERHADAP EFEK MEISSNER DAN SUHU KRITIS

Bab III Metodologi Penelitian

Superkonduktor Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

+ + MODUL PRAKTIKUM FISIKA MODERN DIFRAKSI SINAR X

I. PENDAHULUAN. rumah tangga dan bahan bangunan, yang selanjutnya keramik tersebut dikenal

METODE X-RAY. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

Gambar 5. Skema SEM, III. BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

BAB I PENDAHULUAN. Telah disadari bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISTILAH DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG BAB I

I. PENDAHULUAN. komposit. Jenis material ini menjadi fokus perhatian karena pemaduan dua bahan

Pengaruh Temperatur Leleh Terhadap Rapat Arus Kritis Pada Kristal Superkonduktor Bi-2223 Dengan Menggunakan Metode Self-Fluks SKRIPSI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENERAPAN SUPERKONDUKTOR DALAM TEKNOLOGI TRANSPORTASI KERETA MAGLEV (MAGNETIC LEVITATION) MAKALAH. Oleh FITRIA SEPTIANI NIM

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

4 Hasil dan pembahasan

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT LISTRIK SUPERKONDUKTOR Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ (ECCO) UNTUK UNDER-DOPED

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

STRUKTUR KRISTAL DAN MORFOLOGI TITANIUM DIOKSIDA (TiO 2 ) POWDER SEBAGAI MATERIAL FOTOKATALIS

SINTESIS SUPERKONDUKTOR YBCO DENGAN METODE EVAPORASI DAN KARAKTERISASINYA ANDRI PURNOMO PUTRO

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dibutuhkan oleh setiap negara

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

PENGGUNAAN DOPAN Pb, Ba DALAM SINTESIS BAHAN SUPERKONDUKTOR Bi-Sr-Ca-Cu-O FASA 1223 MELALUI METODE PENCAMPURAN BASAH

Karakterisasi XRD. Pengukuran

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

Bab III Metodologi Penelitian

Sifat-sifat gelombang elektromagnetik

4 Hasil dan Pembahasan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil XRD

VARIASI DOPING Pb TERHADAP PERTUMBUHAN FASE BAHAN SUPERKONDUKTOR Bi-2212 PADA KADAR Ca 1,10 DAN SUHU SINTERING 830. (Skripsi) Oleh Riandini Pratiwi

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

SINTESIS DAN KARAKTERISASI XRD MULTIFERROIK BiFeO 3 DIDOPING Pb

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dihasilkan sebanyak 5 gram. Perbandingan ini dipilih karena peneliti ingin

ILMU BAHAN LISTRIK_edysabara. 1 of 6. Pengantar

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II DASAR THERMOELECTRIC GENERATOR

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

NANOKRISTALISASI SUPERKONDUKTOR (Bi,Pb) 2 Sr 2 CaCu 2 O 8+δ DENGAN METODE PENCAMPURAN BASAH

LATIHAN UJIAN NASIONAL

BAB III METODE PENELITIAN

XRD ANALYSIS OF Bi-2212 SUPERCONDUCTORS: PREPARED BY THE SELF-FLUX METHOD

SOAL BABAK PEREMPAT FINAL OLIMPIADE FISIKA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN ADITIF Ca DARI BATU KAPUR ALAM DENGAN METODE PENCAMPURAN LARUTAN

KARAKTERISASI DIFRAKSI SINAR X DAN APLIKASINYA PADA DEFECT KRISTAL OLEH: MARIA OKTAFIANI JURUSAN FISIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. XRD, serta pengujian sifat fisis keramik (densitas, porositas, penyusutan, dan resistivitas).

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dikawasan Asia

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Superkonduktor Bahan superkonduktor pertama kali ditemukan pada tahun 1911 oleh seorang fisikawan Belanda dari Universitas Leiden yaitu Heike Kamerlingh Onnes. Pada tanggal 10 Juli 1908, Onnes mencairkan helium dengan cara mendinginkan hingga suhu 4 K atau -269ºC. Kemudian Onnes pada tahun 1911 mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada saat itu diketahui bahwa hambatan dari suatu logam akan menurun ketika didinginkan di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika suhu logam mendekati 0 K atau nol mutlak (Widodo, 2010). Beberapa ilmuwan lainnya, William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak. Sedangkan ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada suhu mencapai nol mutlak. Untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi, kemudian Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat murni. Sambil menurunkan suhunya, Onnes mengukur hambatannya. Ketika pada suhu 4,2 K, Onnes melihat hambatannya tiba-tiba menjadi hilang tetapi arusnya mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus.

6 Pada keadaan tidak adanya hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi sedikitpun. Onnes mengalirkan arus pada suatu kumparan superkonduktor dalam rangkaian tertutup, kemudian sumber arusnya dicabut. Satu tahun kemudian, Onnes mengukur arusnya dan ternyata arus masih tetap mengalir. Kemudian oleh Onnes fenomena ini diberi nama superkonduktivitas. Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1913 (Yuliati, 2010). Pada tahun 1933, fisikawan Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan bahwa bahan superkonduktor menolak medan magnet. Telah diketahui bahwa, jika suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet maka arus induksi akan mengalir dalam konduktor tersebut. Akan tetapi, arus dalam bahan superkonduktor yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan magnet tersebut, sehingga material superkonduktor tidak dapat ditembus oleh medan magnet. Fenomena ini dikenal dengan istilah diamagnetisme dan efek ini kemudian dinamakan Efek Meissner (Ismunandar & Chun, 2002). Pada tahun 1957, tiga orang fisikawan yaitu Barden, Cooper dan Schrieffer mengajukan teori tentang superkonduktor yaitu bahwa elektron-elektron dalam superkonduktor selalu dalam keadaan berpasang-pasangan dan seluruhnya berada dalam keadaan kuantum yang sama. Pasangan-pasangan ini disebut pasangan Cooper. Teori ini dikenal dengan nama teori BCS. Teori BCS menjadikan ketiga ilmuwan tersebut memenangkan hadiah Nobel pada tahun 1972 (Pikatan, 1989). Pada tahun 1986 fisikawan dari Switzerland yaitu Alex Müller and George Bednorz, melakukan penelitian di Laboratorium Riset IBM di Rüschlikon.

7 Mereka berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur lanthanum, barium, tembaga, dan oksigen yang bersifat superkonduktor pada suhu tertinggi 30 K. Penemuan ini menjadi populer karena selama ini keramik dikenal sebagai isolator dan pada suhu ruang tidak dapat menghantarkan listrik sama sekali. Setahun kemudian keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel (Aruku, 2009). Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor pada suhu 90 K. Sehingga dapat didinginkan menggunakan nitrogen cair. Karena suhunya cukup tinggi dibandingkan material superkonduktor yang lain, maka material-material tersebut diberi nama superkonduktor suhu tinggi. Suhu tertinggi superkonduktor saat ini adalah 138 K, yaitu untuk bahan Hg 0.8 Ti 1.2 Ba 2 Ca 2 Cu 3 O 8.33 (Ismunandar & Chun, 2002). B. Karakteristik Superkonduktor Suatu bahan dapat dibedakan berdasarkan sifat konduktivitas elektrik atau resistivitasnya. Ada empat kelompok bahan berdasarkan resistivitasnya, yaitu: isolator (10 6-10 20 Ωm), semikonduktor (10-4 -10 6 Ωm), konduktor (10-8 -10-4 Ωm), dan superkonduktor (nilai resistivitasnya nol) (Juhari, 2005). 1. Tanpa resistivitas (ρ = 0) pada T < Tc Pada suhu rendah, bahan superkonduktor memiliki resistivitas sama dengan nol (ρ = 0). Material yang didinginkan di dalam nitrogen cair atau helium cair, resistivitasnya akan turun seiring dengan penurunan suhu. Pada suhu tertentu, resistivitas material akan turun secara drastis menjadi nol. Suhu dimana resistivitas material turun drastis menjadi nol ini disebut suhu kritis (Tc), yaitu

8 terjadinya transisi dari keadaan normal ke keadaan superkonduktor (Pikatan, 1989). Hubungan antara suhu dengan resistivitas terlihat pada Gambar 1. ρ Tc Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas listrik (Pikatan, 1989). T Dari Gambar 1, pada suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam keadaan normal, artinya bahan tersebut memiliki resistivitas listrik. Dalam keadaan normal bahan ini dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek atau isolator. Untuk suhu T Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor, artinya bahan akan menolak medan yang datang, disebabkan karena medan luar yang diberikan selalu sama besar dengan magnetisasi bahan. Hal ini ditandai dengan resistivitasnya turun drastis menjadi nol (Pikatan, 1989). 2. Medan magnetik superkonduktor nol (B = 0) Suatu bahan dikatakan sebagai superkonduktor jika menampilkan sifat diamagnetik, yaitu medan magnet (B) sama dengan nol jika bahan didinginkan hingga di bawah Tc dan medan magnet yang diberikan tidak terlalu tinggi (Sukirman dkk, 2003). Hal ini terjadi karena superkonduktor menolak fluks magnet yang mencoba memasuki bahan superkonduktor (Cyrot & Pavuna, 1992).

9 C. Efek Meissner Pada tahun 1933, Meissner dan Ochsenfeld mengamati sifat kemagnetan superkonduktor. Ternyata superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetik sempurna (menolak medan magnet), sehingga apabila sebuah magnet tetap diletakkan di atas bahan superkonduktor, maka magnet tersebut akan melayang. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Fenomena ini dikenal dengan nama efek Meissner. Jika bahan superkonduktor yang berada di atas suhu kritisnya (T > Tc) diletakkan di atas suatu medan magnet, maka medan magnet akan menerobos ke dalam bahan, sehingga terjadi induksi magnet di dalam bahan. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor yang berada di bawah suhu kritisnya (T < Tc) dikenai medan magnet, maka superkonduktor akan menolak medan magnet yang mengenainya (Pikatan, 1989). Efek Meissner bahan superkonduktor ditunjukkan seperti Gambar 2 dan Gambar 3. H H Gambar 2. Efek Meissner (Windartun, 2010). Gambar 3. Bahan superkonduktor dapat melayangkan magnet di atasnya (Ismunandar, 2002).

10 Pada tahun 1935 London bersaudara melalui penelitian sifat elektrodinamik superkonduktor mendapatkan bahwa intensitas medan magnet masih dapat menembus bahan superkonduktor walaupun hanya sebatas permukaan saja, ordenya hanya beberapa ratus angstrom. Sifat rembesan ini dinyatakan oleh parameter λ yang disebut kedalaman rembesan London. Medan magnet ternyata berkurang secara eksponensial terhadap kedalamannya. Sedangkan λ membesar dengan naiknya suhu. Pada T = Tc harga λ tak berhingga besarnya, sehingga medan magnet mampu menerobos ke seluruh bagian bahan tersebut, atau dengan kata lain sifat superkonduktor telah hilang digantikan dengan keadaan normalnya. Teori London juga memberikan kesimpulan bahwa dalam bahan superkonduktor arus listrik akan mengalir di bagian permukaannya saja. Hal ini berbeda dengan arus listrik dalam konduktor biasa yang mengalir secara merata di seluruh bagian konduktor. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal, superkonduktor tipe I dan tipe II adalah seperti pada Gambar 4. Bc Bc 1 Bc Bc 2 (a) (b) Gambar 4. Perbandingan sifat magnetik pada keadaan normal superkonduktor: (a) tipe I dan (b) tipe II (Pikatan, 1989). Berdasarkan Gambar 4, superkonduktor tipe I memiliki satu nilai medan magnet kritis (Bc), sedangkan superkonduktor tipe II memiliki dua nilai medan magnet

11 kritis (Bc 1 dan Bc 2 ) (Salmah, 2001). Superkonduktor tipe I membutuhkan suhu yang sangat dingin agar menjadi bahan superkonduktor, yaitu ketika medan magnet luar (H) lebih kecil dari medan magnet kritis (Bc). Sehingga medan magnet luar akan ditolak sepenuhnya oleh bahan superkonduktor. Contoh superkonduktor tipe I adalah Hg, Pb dan La. Sedangkan superkonduktor tipe II, pada daerah medan magnet B < Bc 1 bahan superkonduktor bersifat seperti superkonduktor tipe I dan pada daerah Bc 1 < B < Bc 2 medan magnet luar dapat menembus bahan. Pada kondisi ini superkonduktor dalam keadaan tercampur. Contoh superkonduktor tipe II adalah V 3 Si dan Nb 3 Sn (Smitth, 1990). D. Superkonduktor Sistem BSCCO Superkonduktor sistem BSCCO merupakan superkonduktor oksida keramik yang mempunyai struktur berlapis-lapis, sehingga menyebabkan bahan superkonduktor sistem BSCCO sangat rapuh dan mudah patah. Selain itu, superkonduktor sistem BSCCO memiliki sifat anisotropi superkonduktivitas yang tinggi dan panjang koherensi yang pendek (Herlyn, 2008). Superkonduktor sistem BSCCO memiliki keunggulan dibandingkan superkonduktor keramik yang lainnya karena suhu kritisnya (Tc) relatif tinggi dan tidak mengandung unsur beracun. Dalam superkonduktor sistem BSCCO dikenal 3 fase superkonduktif yaitu fase 2201 (Bi 2 Sr 2 CuO) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 10 K, fase 2212 ( Bi 2 Sr 2 CaCu 2 O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 80 K

12 dan fase 2223 (Bi 2 Sr 2 Ca 2 Cu 3 O) memiliki suhu kritis (Tc) sebesar 110 K (Siswanto, 1999). Struktur kristal sistem BSCCO ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Struktur kristal sistem BSCCO (Lehndroff, 2001). E. Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223 Untuk memperoleh fase tunggal atau kristal tunggal superkonduktor fase 2223 ada beberapa upaya yang telah dilakukan, seperti menggunakan doping Pb dan Ag, doping Pb dan Sb, menggunakan fluks (Bi 2 O 3, KCI, dan NaCl). Selain itu juga dilakukan dengan mengubah beberapa parameter pemrosesan seperti variasi komposisi awal (Rachmawati, 2009). Superkonduktor fase 2223 adalah superkonduktor yang memiliki Tc paling tinggi daripada fase 2201 dan 2212, sehingga banyak penelitian dilakukan untuk mendapatkan fase 2223 murni. Menurut Strobel (1992) walaupun pada proses sintesis senyawa yang diinginkan merupakan fase dengan komposisi dan struktur

13 tertentu, namun hasil akhir biasanya akan menghadirkan beberapa fase lain. Diagram fase superkonduktor dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Diagram fase superkonduktor BSCCO. Berdasarkan Gambar 6, terdapat lima daerah yang terjadi pembentukan fase 2223, yaitu daerah fase BSCCO-2212+BSCCO-2223+L1, daerah c (BSCCO-2223+(Sr, Ca) 2 CuO 3 +L1), daerah d (BSCCO-2223+(Sr, Ca) 2 CuO 3 +CuO+L1), daerah fase BSCCO-2223+(Sr, Ca) 2 CuO 3 +CuO, dan daerah fase BSCCO-2212+BSCCO- 2223. Terdapat dua daerah fase yang berupa padatan, yaitu daerah yang tidak mengandung cairan (L1). Untuk menghindari fase impuritas seperti CuO, (Sr, Ca) 2 CuO 3 dan fase lainnya, maka daerah fase BSCCO-2212 dan BSCCO-2223 merupakan daerah yang paling efektif dalam menumbuhkan fase 2223, karena hanya mengandung fase 2212 dan fase 2223 (Marhaendrajaya, 2001). Sedangkan

14 fase 2223 terbentuk dari proses pengintian dan penumbuhan fase 2212 yang terjadi pada suhu 840 C sampai 880 C (Sukirman, 2003). F. Kalsinasi Kalsinasi merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk menghilangkan zatzat yang tidak diperlukan di bawah titik leleh. Pada proses ini terjadi reaksi dekomposisi secara endotermik, dimana garam seperti karbonat/ hidroksida akan menguap sehingga menghasilkan produk padatan yang berupa oksida (Irfan, 2012). Contoh reaksi yang terjadi pada kalsinasi adalah: CaCo 3 CaO (s) + CO 2(g) (1) BaCO 3 BaO (s) + CO 2(g) (2) (Ningrum, 2006). Peristiwa yang terjadi selama kalsinasi antara lain: 1. Pelepasan air bebas (H 2 O) dan terikat (OH), berlangsung sekitar suhu 100 C sampai 300 C. 2. Pelepasan gas-gas, seperti CO 2 berlangsung sekitar suhu 600 C dan pada tahap ini disertai terjadinya pengurangan berat yang cukup drastis. 3. Pada suhu lebih tinggi sekitar 800 C struktur kristal sudah terbentuk, pada kondisi ini ikatan antar partikel serbuk belum kuat dan mudah lepas (Mukti, 2012). Selain menghilangkan zat-zat yang tidak diperlukan, kalsinasi juga mempengaruhi fraksi volume dalam sintesis bahan superkonduktor BSCCO. Fraksi volume akan semakin besar dengan kenaikan suhu dan waktu tahan kalsinasi serta sintering

15 (Khafifah, 2010). Kalsinasi yang tidak sempurna mengakibatkan permukaan sampel menggelembung. Beberapa faktor yang mempengaruhi kalsinasi, yaitu suhu pemanasan, waktu penahanan suhu dan kecepatan pendinginan (Suryawan, 2008). G. Sintering Sintering merupakan proses pembakaran (pemanasan pada temperatur tinggi) yang secara global menurunkan energi bebas disertai perubahan dimensional. Menurut Van Vlack (1991) sintering merupakan proses pengikatan secara termal yang bertujuan untuk merubah bentuk partikel-partikel kecil atau kelompokkelompok kecil yang seragam sehingga membentuk ikatan yang kuat dan keras. Prinsip-prinsip yang melandasi proses sintering ditunjukkan pada Gambar 7. (a) (b) Gambar 7. Prinsip sintering (a) sebelum sintering, (b) setelah sintering (Van Vlack, 1991). Terdapat tiga tahapan dalam sintering, antara lain: 1. Tahap Awal Secara mikrostruktural pada keadaan awal terdapat pemuaian, belum terjadi proses sintering dan susunan patikel tidak berubah. Selama sintering tahap

16 awal terjadi penyusunan kembali (rearrangement), yaitu sedikit gerakan atau rotasi partikel untuk mempertinggi jumlah kontak antarpartikel dan pembentukan kaitan antar butir (neck). 2. Tahap Intermedier (kedua) Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan. 3. Tahap Akhir Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat, ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara dkk, 2007). H. X-Ray Diffraction (XRD) Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifatsifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncakpuncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-x yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-x berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal. Ketajaman sinar-x yang didifraksikan merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal.

17 Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-x karena panjang gelombang sinar-x berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3-2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-x dengan kisi pada bidang Kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncak-puncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991). (3) dengan: n = 1, 2, 3. (orde difraksi), λ = panjang gelombang, d (hkl) = jarak antar bidang, θ = sudut difraksi, dan hkl = indeks miller. Terjadinya difraksi sinar- X oleh atom ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8. Skema difraksi sinar-x oleh atom dalam kristal (Cullity, 1978). I. Scanning Electron Microscopy (SEM) Menurut Gabriel (1985) Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan alat untuk menganalisis struktur mikro dan morfologi pada bidang material sains,

18 kedokteran dan biologi. SEM dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara mikroskopik. Kemampuan analisis SEM melebihi mikroskop optik (Sutiani, 2009). Teori SEM didiskripsikan oleh fisikawan Jerman Dr. Max Knoll pada 1935. Tetapi fisikawan Jerman lainnya Dr. Manvred von Ardenne mengklaim telah melakukan penelitian prinsip-prinsip SEM dan interaksinya terhadap sampel pada tahun 1937. Pada 1942 tiga orang ilmuwan Amerika yaitu Dr. Vladimir Kosma Zworykin, Dr. James Hillier dan Dr. Snijder, benar-benar membangun sebuah mikroskop elektron pemindaian SEM dengan resolusi hingga 50 nm atau magnifikasi 8.000 kali. Sebagai perbandingan, SEM modern sekarang ini mempunyai resolusi hingga 1 nm atau pembesaran 400.000 kali (Hadiyanti, 2012). Menurut Gabriel (1985) SEM mempunyai kemampuan daya pisah atau resolusi yang sangat tinggi, hingga orde 100 Å. Daya pisah SEM dihasilkan oleh berkas elektron sebagai sumber cahaya dengan panjang gelombang yang jauh lebih pendek daripada panjang gelombang cahaya tampak. Hubungan daya pisah (d) dengan panjang gelombang (λ) dirumuskan oleh Reyleigh: (4) dengan β adalah celah efektif lensa objektif. Makin besar panjang gelombang, maka daya pisahnya semakin baik. Selain daya pisah yang baik, SEM mampu memperlihatkan bayangan relief yang ditimbulkan oleh kontras elektron sekunder dan kedalaman fokus (depth of field) sehingga menampilkan gambar dengan pola dua dimensi. Secara lengkap prinsip kerja SEM dapat dilihat pada Gambar 9.

19 Electron gun Electron beam Anode Magnetic lens Backscattered electron detector Specimen Secondary electron detector Stage Gambar 9. Prinsip Kerja Scanning Electron Microscopy (SEM). Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan sampel dengan berkas elektron berenergi tinggi yang dihasilkan electron gun. Elektron ditembakkan ke arah sampel yang melalui anoda dan magnetic lens, kemudian dipantulkan kembali oleh permukaan sampel. Berkas elektron (elektron sekunder) yang dipantulkan oleh sampel akan diterima oleh detektor. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam pola gelap terang pada layar monitor Cathode Ray Tube (CRT). Pada layar CRT ini gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011).

20 J. Celref (Cell Refinement) Celref adalah perangkat lunak yang digunakan untuk memperbaiki parameter kisi dengan metode least-square yang dibuat oleh Jean Laugier dan Bernard Bochu di Laboratorium des Materiaux et du Genie Physique Ecole Nationale Superieure de Physique de Grenoble. Celref dapat digunakan untuk membantu menetapkan space group dari data XRD hasil pengukuran. Perangkat lunak ini sangat berguna untuk menyelesaikan data yang memiliki puncak overlap karena banyak puncak kecil yang muncul dari hasil XRD. Berdasarkan data tersebut dipilih kurang dari 20 puncak tertinggi dan terorientasi (Janghorban, 2009). Jika proses refine menggunakan puncak tertinggi tidak sesuai dengan jumlah puncak yang berlaku dalam program, maka akan dicari model yang tepat sehingga sesuai dengan data awal yang diukur. Misalnya mengukur data XRD hanya dalam satu puncak, yaitu puncak maksimum sudut theta daripada menggunakan banyak puncak. Apabila menggunakan banyak puncak akan menghasilkan koreksi kesalahan yang lebih banyak (Laugier dan Bochu, 1999).