GAMBARAN MEKANISME KOPING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME DI SLB NEGERI UNGARAN KABUPATEN SEMARANG Moh. Arjunawadi*) Faridah Aini, S.Kep, Ns., M.Kep., Sp.KMB**) Gipta Galih Widodo, S.Kp, M.Kep., Sp.KMB**) *) Mahasiswa PSK STIKES Ngudi Waluyo **) Dosen PSK STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Diperkirakan 20% anak dengan down syndrome dilahirkan oleh ibu yang berumur diatas 35 tahun. Di Indonesia terdapat lebih dari 300.000 orang down syndrome. Anak dengan down syndrome membuat ibu menjadi tertekan karena kenyataan yang tidak meraka inginkan, sehingga diperlukan mekanisme koping bagi orantua. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang. Desain penelitian ini berbentuk deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini syndrome dan sampel sebanyak 33 orang dengan teknik total sampling. Alat pengambilan data menggunakan kuesioner dengan analisis data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome sebagian besar kategori adaptif (57,6%). Responden sebagian besar dewasa akhir (84,8%), berpendidikan tinggi (72,7%), karyawan swasta (42,4%) dan mempunyai 3 anak (72,7%). Responden kategori dewasa akhir sebagian besar melakukan mekanisme koping adaptif (67,9%). Responden yang berpendidikan tinggi sebagian besar melakukan mekanisme koping adaptif (79,2%). Responden yang bekerja sebagai karyawan swasta sebagian besar melakukan mekanisme koping adaptif (71,4%). Responden yang mempunyai 3 anak sebagian besar melakukan mekanisme koping adaptif (79,2%). Sebaiknya orang tua dengan anak down syndrome memberikan kasih sayang pada anak dan bergabung dengan komunitas orang tua penyandang down syndrome sehingga kemampuan mereka dalam merawat anak akan meningkat. Kata Kunci : mekanisme koping, anak down syndrome Kepustakaan : 48 (2005-2015) ABSTRACT An estimated 20% of children with down syndrome are born from mothers aged over 35 years. In Indonesia there are more than 300,000 people withdown syndrome. Children with down syndrome makes mothers become depressed due to the fact that the they do not want itcoping mechanisms in parentsis needed. The research objective is to reveal the coping mechanisms in parents with down syndrome children at SLB Ungaran Semarang Regency. The study design was a descriptive with cross sectional approach. The study population wereparents who have children with down syndrome and sample of 33 people with total sampling technique. Data retrieval tool used a questionnaire with data analysis using frequency distribution.
Results show that the coping mechanisms of parents who have children with down syndrome is mostly in adaptive category (57.6%). Respondents are mostly in middle age (84.8%), highly educated (72.7%), private sector employees (42.4%) and have 3 children (72.7%). Respondents in middle age category mostly perform adaptive coping mechanisms (67.9%). Respondents with high education mostly perform adaptive coping mechanisms (79.2%). Respondents who work as private employees mostly perform adaptive coping mechanisms (71.4%). Respondents who have three children mostly perform adaptive coping mechanisms (79.2%). It is recommended that parents with down syndrome children give love to children and join a community of parents with down syndrome so that their ability to take care their children will increase. Keywords: coping mechanism, down syndrome children. Bibliographies : 48 (2005-2015) PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak dengan down syndrome membuat ibu menjadi tertekan karena kenyataan yang tidak meraka inginkan. Kondisi ini dalam Psikologi disebut dengan stres. Stres adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 2008). Permasalahanpermasalahan yang dihadapi tersebut memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan masalah ini disebut dengan mekanisme koping (Wardani, 2009). Mekanisme koping merupakan cara yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Mekanisme koping yang berhasil maka seseorang dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar yang dimaksud yaitu kemampuan menyesuaikan diri pada pengeruh faktor internal dan eksternal. Koping yang efektif menempati tempat yang penting terhadap ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial dan spiritual (Nursalam, 2007). Mekanisme koping yang diberikan orang tua kepada anak dengan down syndrome antara lain mendorong anak agar bereksplorasi, mengajarkan kemampuan dasar, merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah dicapai, mengulang kembali yang sudah dicapai, melindungi anak dari kondisi yang berbahaya dan menciptakan lingkungan yang responsif dan kaya akan bahasa (Gunarsa, 2011). Mekanisme koping pada anak yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak di masa yang akan datang (Soetjiningsih, 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping antara lain usia, pekerjaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, motivasi, serta dukungan keluarga (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stress dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Menurut Hurlock (2008), bahwa semakin tinggi umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya. Semakin tua umur seseorang, makin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. Pengalaman dan kematangan jiwa
seseorang disebabkan semakin cukupnya umur dan kedewasaan dalam berfikir termasuk dalam memberikan koping kepada anak yang mengalami down syndrome. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi orang tua termasuk dalam memberikan koping bagi anak yang mengalami down syndrome. Makin tinggi tingkat pendidikan orang tua makin mudah menerima informasi termasuk yang berkaitan dengan mekanisme pada anak down syndrome, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki yang pada akhirnya dapat memberikan koping adaptif. Orang yang bekerja lebih sering berinteraksi dengan orang lain bila dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja atau tanpa ada interaksi dengan orang lain. Pengalaman belajar dalam bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang merupakan keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik. Orang tua yang berkerja mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang mekanisme koping pada anak dengan down syndrom dibandingkan dengan yang tidak bekerja sehingga mereka akan memberikan mekanisme yang adaptif bagi anak yang mengalami down syndrome (Ratnawati, 2009). Penelitian Dewi dan Daulay (2011), tentang mekanisme koping pada orang tua SDLB Negeri 10 Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitian menunjukan bahwa mekanisme koping yang dimiliki oleh orangtua 98,4% adalah koping adaptif dan 1,6% memiliki koping maladaptif. Penelitian ini menggunakan variabel mekanisme koping dengan sub variabel mekanisme koping adaptif dan maladaptif, sedangkan penelitian yang akan dilakukan melakukan penambahan sub variabel, variabel karakteristik responden yaitu umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan untuk memperdalam variabel dan sub variabel penelitian ini. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Juni 2015 di Semarang diperoleh jumlah anak yang mengalami down syndrome sebanyak 33 anak. Hasil pengukuran mekanisme koping dengan menggunakan kuesioner sederhana yang dilakukan ketika mengantar anak ke sekolah diperoleh 10 dari orang tua dengan anak down syndrome ternyata 6 ibu (60,0%) yang berusia 26-35 tahun, berpendidikan SMA dan bekerja sebagai PNS dan karyawan swasta memberikan mekanisme koping maladaptif yaitu jarang mendorong anak agar bereksplorasi ketika mengalami masalah bermain, jarang mengajarkan kemampuan dasar kepada anak seperti toilet training dan jarang merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah dicapai oleh anak. Ibu yang memberikan mekanisme koping positif sebanyak 4 ibu (40,0%) yang berusia 18-25 tahun, berpendidikan SMP dan SMA dimana ibu memberikan mekanisme koping adaptif yaitu selalu mendorong anak agar bereksplorasi ketika mengalami masalah bermain, selalu mengajarkan kemampuan dasar kepada anak seperti toilet training dan selalu merayakan setiap kemajuan perkembangan yang sudah dicapai oleh anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua memberikan koping maladaptif terhadap anaknya yang mengalami down syndrome meskipun anggota keluarga yang lain (suami, mertua) sudah memberikan dukungan dan motivasi. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran mekanisme koping orang tua yang
memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang? 3. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengetahui gambaran mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang. Tujuan Khusus : Mengetahui karakteristik orang tua meliputi umur, jumlah anak, pendidikan dan pekerjaan orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang. Mengetahui gambaran mekanisme koping Kabupaten Semarang berdasarkan umur. Mengetahui gambaran mekanisme koping Kabupaten Semarang berdasarkan jumlah anak. Mengetahui gambaran mekanisme koping Kabupaten Semarang berdasarkan tingkat pendidikan. Mengetahui gambaran mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang berdasarkan pekerjaan. 4. Manfaat Penelitian Bagi Semarang : Memberikan informasi kepada tim pendidik anak cacat mengenai usaha pengoptimalan perkembangan anak down syndrome yang tidak hanya berfokus pada anak saja, tapi juga ditujukan pada keluarga. Bagi Keluarga : Memberikan pengetahuan kepada keluarga mengenai mekonisme koping yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak down syndrome. BAHAN DAN CARA 1. Populasi Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang yaitu sebanyak 33 orang 2. Sampel Sampel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang yaitu sebanyak 33 orang. 3. Metode Pengambilan Sampel Teknik sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara total sampling HASIL 1. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua Umur (f) (%) Remaja akhir 0 0,0 Dewasa awal 5 15,2 Dewasa akhir 28 84,8 Jumlah 33 100,0 Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa syndrome sebagian besar kategori dewasa akhir (36-45 tahun) yaitu sebanyak 28 orang (84,8%). 2. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua Pendidikan (f) (%) Dasar 9 27,3 Menengah 24 72,7 Tinggi 0 0,0 Jumlah 33 100,0 Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar berpendidikan menengah yaitu sebanyak 24 orang (72,7%).
3. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Pekerjaan (f) (%) Tidak bekerja 10 30,3 Swasta 14 42,4 Wiraswasta 9 27,3 PNS 0 0,0 Jumlah 33 100,0 Tabel 3 menunjukkan bahwa Kabupaten Semarang sebagian besar bekerja sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 14 orang (42,4%). 4. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Tabel 4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Jumlah Anak (f) (%) 1 orang 0 0,0 2 orang 9 27,3 3 orang 24 72,7 >3 orang 0 0,0 Jumlah 33 100,0 Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar mempunyai 3 anak yaitu sebanyak 24 orang (72,7%). 2. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua yang Memiliki Anak Down Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Mekanisme Koping Orang Tua yang Memiliki Anak Down Mekanisme (f) (%) Koping Maladaptif 14 42,4 Adaptif 19 57,6 Jumlah 33 100,0 Tabel 5 menunjukkan bahwa mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang sebagian besar kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). PEMBAHASAN 1. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua yang Memiliki Anak Down di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping orang tua Semarang kategori maladaptif yaitu sebanyak 14 orang (42,4%). Responden juga menilai bahwa anak mengalami down syndrome dapat pula terjadi pada orang lain (62,0%). Mereka berpikir down syndrome dapat terjadi pada orang lain jika mereka mengalami hal kurang tepat dalam masa kehamilan diantaranya ibu yang menjalani kehamilan diusia resiko tinggi yaitu diatas 35 tahun. Mekanisme koping Kabupaten Semarang kategori maladaptif diduga disebabkan oleh faktor tingkat pendidikan yang rendah. Orang tua yang memiliki anak down
Kabupaten Semarang yang memberikan mekanisme koping kategori maladaptif sebanyak 14 orang dimana sebagian besar dari mereka berpendidikan dasar (SMP) yaitu sebanyak 9 orang (64,3%) lebih banyak dari pada yang berpendidikan menengah yaitu sebanyak 5 orang (35,7%). Orang tua juga tidak mau menggali informasi yang berkaitan dengan down syndrome baik melalui psikolog ataupun buku literatur lainnya. Kurangnya informasi yang mereka miliki menyebabkan pengetahuan mereka tentang mekanisme koping menjadi rendah sehingga pengontrolan diri mereka terhadap ketika mempunyai anak down syndrome juga rendah sehingga cenderung melakukan koping maladaptif. Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki (Siswanto, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme koping orang tua Semarang kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%)..Responden juga menyatakan mereka mendapatkan dukungan dari teman-teman untuk tetap merawat anak yang mengalami down syndrome (57,6%). Teman-teman selalu memberikan dukungan kepada orang tua dengan memberikan semangat dalam memberikan asuhan kepada anak. mereka juga memberikan alat permainan bagi anak yang dapat menstimulasi perkembangan anak yang mengalami down syndrome. Responden juga berusaha untuk merawat anak yang mengalami down syndrome (57,6%). Mereka tidak sungkan untuk bertanya kepada orang tua atau orang lain yang mempunyai pengalaman dalam mengasuh anak yang mengalami down syndrome, sehingga pola asuh yang diberikan lebih tepat. Mekanisme koping Kabupaten Semarang kategori adaptif di dukung oleh faktor usia orang tua. Orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang yang melakukan mekanisme koping kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%) dimana sebagian besar berumur 36-45 tahun yaitu sebanyak 9 orang (64,3%) lebih banyak dari pada yang berumur 26-35 tahun yaitu sebanyak 5 orang (35,7%). Responden yang berusia dewasa lebih mampu mengendalikan emosi mereka yang disebabkan oleh kehadiran anak yang mengalami down syndrome. Mereka merasa bahwa semua yang diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik bagi mereka sehingga mereka dapat menerima keadaan tersebut. Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stres dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Menurut Hurlock (2008), bahwa semakin tinggi umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya. Semakin tua umur seseorang, makin konstruktif dalam
menggunakan koping terhadap masalah yang dihadapi. 2. Karakteristik Orang Tua Meliputi Umur, Jumlah Anak, Pendidikan dan Pekerjaan yang Memiliki Anak Down di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang 1. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar berumur 36-45 tahun yaitu sebanyak 28 orang (84,8%) lebih banyak dari pada yang berumur 26-35 tahun yaitu sebanyak 5 orang (15,2%). Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berumur 36-45 tahun. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menikah di usia yang tepat sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Mereka menyadari bahwa menikah di usia yang masih muda saat mempunyai anak down syndrome (kurang dari 20 tahun) sangat beresiko terutama bagi ibu yang melahirkan dan bayinya sendiri. 2. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar berpendidikan menengah yaitu sebanyak 24 orang (72,7%) lebih banyak dari pada yang berpendidikan dasar yaitu sebanyak 9 orang (27,3%). Responden yang mempunyai pendidikan menengah semuanya berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). 3. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar bekerja sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 14 orang (42,4%) lebih banyak dari pada yang bekerja sebagai wiraswasta 9 orang (27,3%) dan yang tidak bekerja yaitu sebanyak 10 orang (30,3%). Responden sebagian besar adalah karyawan swasta dimana mereka bekerja di perusahaan swasta yang ada di Kabupaten Semarang misalnya garmen atau industri lainnya. Mereka yang bekerja mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam berinteraksi dengan orang lain, sehingga informasi yang dimiliki juga baik. 4. Gambaran Karakteristik Orang Tua yang Memiliki Anak Down Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak down Kabupaten Semarang sebagian besar mempunyai 3 anak yaitu sebanyak 24 orang (72,7%) lebih banyak dari pada yang mempunyai 2 anak yaitu sebanyak 9 orang (27,3%). Responden dalam penelitian ini sebagian besar
mempunyai tiga anak, dimana keyakinan mereka bahwa mempunyai anak lebih dari dua meningkatkan rejeki. Adapula diantara mereka yang mempunyai keyakinan dengan memiliki anak yang banyak maka keluarga menjadi lebih berarti. 3. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan umur, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping adaptif sebagian besar berumur 36-45 tahun yaitu sebanyak 19 orang (67,9%). Responden yang berumur 36-45 tahun menyatakan bahwa tidak akan mengkonsumsi alkohol ketika merasa emosi karena memiliki anak down syndrome, mendapatkan dukungan dari teman-teman untuk tetap merawat anak saya yang mengalami down syndrome dan berusaha untuk merawat anak yang mengalami down syndrome. Hasil analisis gambaran mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang berdasarkan umur, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping maladaptif sebagian besar berumur 36-45 tahun yaitu sebanyak 9 orang (32,1%). Responden yang berumur 36-45 tahun menyatakan bahwa menyerah jika harus merawat anak saya yang mengalami down syndrome, menginstropeksi diri karena memiliki anak down syndrome dan menilai bahwa anak saya yang mengalami down syndrome dapat pula terjadi pada orang lain. 4. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan pendidikan, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping adaptif sebagian besar mempunyai pendidikan menengah yaitu sebanyak 19 orang (100,0%). Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan pendidikan, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping maladaptif sebagian besar mempunyai pendidikan menengah yaitu sebanyak 9 orang (100,0%). Responden yang mempunyai pendidikan menengah menyatakan bahwa menyerah jika harus merawat anak saya yang mengalami down syndrome, menginstropeksi diri karena memiliki anak down syndrome dan menilai bahwa anak yang mengalami down syndrome dapat pula terjadi pada orang lain. 5. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan pekerjaan, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping adaptif sebagian bes ar bekerja sebagai karyawan swasta yaitu sebanyak 10 orang (71,4%).
Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan pekerjaan, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping maladaptif sebagian besar tidak bekerja yaitu sebanyak 8 orang (80,0%). Responden yang tidak bekerja menyatakan menyerah jika harus merawat anak saya yang mengalami down syndrome, menginstropeksi diri karena memiliki anak down syndrome dan menilai bahwa anak saya yang mengalami down syndrome dapat pula terjadi pada orang lain. 6. Gambaran Mekanisme Koping Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Berdasarkan hasil analisis Semarang berdasarkan jumlah anak, diperoleh hasil responden yang melakukan mekanisme koping adaptif sebagian besar mempunyai 3 orang anak yaitu sebanyak 19 orang (79,2%). Responden yang mempunyai jumlah anak 3 (tiga) orang mempunyai pengalaman dalam mengasuh anak sebelumnya sehingga pengetahuan dan pengalaman mereka cukup baik. Pengetahuan dan pengalaman mereka yang cukup baik tersebut mendukung mereka dalam memberikan pengasuhan termasuk anak mereka yang mengalami down syndrome. Mereka memiliki kesabaran yang lebih dalam mengasuh anak mereka yang mengalami down syndrome sehingga ketika mengalami kendala tidak akan menggunakan cara yang maladaptif akan tetapi lebih mengedepankan kasih sayang. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Mekanisme koping orang tua yang memiliki anak down syndrome di Semarang sebagian besar kategori adaptif yaitu sebanyak 19 orang (57,6%). 2. Orang tua yang memiliki anak down syndrome sebagian besar kategori dewasa akhir (84,8%), berpendidikan tinggi (72,7%), karyawan swasta (42,4%) dan mempunyai 3 anak (72,7%). 3. Sebagian besar responden kategori dewasa akhir melakukan mekanisme koping adaptif yaitu sebanyak 19 orang (67,9%). 4. Sebagian besar responden yang berpendidikan tinggi melakukan mekanisme koping adaptif yaitu sebanyak 19 orang (79,2%). 5. Sebagian besar responden yang bekerja sebagai karyawan swasta melakukan mekanisme koping adaptif yaitu sebanyak 10 orang (71,4%). 6. Sebagian besar responden yang mempunyai 3 anak melakukan mekanisme koping adaptif yaitu sebanyak 19 orang (79,2%). 2. Saran 1. Bagi SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang Sebaiknya pihak sekolah lebih mengoptimalkan pendidikan yang mendukung perkembangan anak down syndrome dengan mengenali bakat anak dan memfokuskan pendidikan anak untuk mengembangkan bakat yang dimiliki. 2. Bagi Responden Sebaiknya orang tua dengan anak down syndrome mencari tahu tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan down syndrome, selalu memberikan kasih sayang pada anak, mengunjungi dokter secara rutin, mencarikan sekolah yang cocok bagi anak 3. Bagi Penelitian Sebaiknya peneliti selanjutnya meningkatkan hasil penelitian ini dengan melanjutkan ke penelitian bivariat dengan menggunakan faktor karakteristik responden sebagai variabel independen atau variabel lainnya sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih lengkap dan terlihat hubungan antar variabel. DAFTAR PUSTAKA Chaplin, 2008. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Strategi Coping Gunarsa, 2011. Dari anak sampai usia lanjut: bunga rampai psikologi anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hurlock, E. B. 2008. Developmenral psychology. Jakarta: Erlangga Nursalam, 2011. Manajemen Keperawatan.edisi 3. Jakarta : Salemba Medika. Ratnawati, 2009. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Patient Safety dengan Tindakan Pemasangan Infus Sesuai Standar Operasional Prosedur. http://www.biddokes.com/index.p hp Siswanto. 2007. Kesehatan mental, konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta: CV. Andi Offset Soetjiningsih, 2012. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC Tamher dan Noorkasiani, 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan. Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Wardani, 2009. Orang Tua Menghadapi Anak Autis. Jurnal. Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.