BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Kejahatan merupakan perilaku anti sosial dan juga

Bagian Kedua Penyidikan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Fenomena maraknya kriminalitas di era globalisasi. semakin merisaukan segala pihak.

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

Pengertian Maksud dan Tujuan Pembuatan Visum et Repertum Pembagian Visum et Repertum


BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

FUNGSI DAN KEDUDUKAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PIDANA ARSYADI / D

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. matinya orang misalkan pembunuhan, aparat kepolisian sebagai penyidik yang

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BAB I PENDAHULUAN. Presiden, kepolisian negara Republik Indonesia diharapkan memegang teguh nilai-nilai

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 9/Okt-Des/2016

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. perlakuan yang sama dihadapan hukum 1. Menurut M. Scheltema mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBUKTIAN MENGGUNAKAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dan empiris,

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

III. METODE PENELITIAN. hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi,

BAB III HAMBATAN DALAM PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM PADA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MENGGUNAKAN RACUN

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

MODUL FORENSIK FORENSIK KLINIK dan VeR. Penulis : Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F Dr. Citra Manela, Sp.F Dr. Taufik Hidayat

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak berabad-abad yang lalu, dokter dalam pandangan masyarakat khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi. Faktor yang menciptakan keadaan tersebut adalah karena masyarakat khususnya pasien merupakan pihak yang awam atau tidak mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pemeriksaan otopsi forensik. Konsekuensinya karena ketidaktahuannya tersebut, maka pasien memberi kepercayaan kepada dokter untuk melakukan pemeriksaan otopsi forensik guna mengetahui latar belakang penyebab kematiannya. Dalam hal ini kepasrahan juga meliputi diri keluarga korban, dan hal ini menyebabkan keluarga korban bersikap pasif serta menunggu terhadap apa yang dilakukan ataupun yang akan dilakukan oleh dokter kepada mayat tersebut. Dari sisi lain apabila ditinjau dari posisi dokter, maka dokter adalah pihak yang karena pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya berdasarkan pendidikan dan latihan dalam memberikan pelayanan pemeriksaan otopsi forensik, sehingga berada dalam posisi yang dominan dan pada akhirnya membentuk kewibawaan pada diri dokter. Terciptanya keadaan ini menyebabkan masyarakat berpandangan untuk menempatkan dokter pada kedudukan dan martabat yang tinggi. Sebagai kelanjutan dari adanya pandangan tersebut, maka keluarga korban

2 atau pasien akan bersikap hormat apabila dokter berhasil dalam upayanya dalam menyembuhkan penyakit atau menentukan latar belakang kematian keluarganya, sehingga profesi kedokteran akan makin dihormati oleh masyarakat khususnya pasien atau keluarga korban yang bersangkutan, dan apabila gagal, maka akan dipandang sebagai nasib yang harus diterima. Berbeda halnya dengan beberapa dasawarsa belakangan ini sebagai akibat dari pembangunan yang pesat dan adanya perkembangan masyarakat, maka pandangan pasien atau keluarga korban otopsi forensik kepada dokterpun dipengaruhi oleh situasi sosial pada saat ini, yang kemudian menyebabkan terjadinya pula perubahan pandangan masyarakat khususnya pasien atau keluarga korban otopsi forensik. Nilai-nilai yang dulu berlaku berkembang menjadi nilai-nilai baru yang membawa perubahan. Hubungan antara dokter dengan pasien berkembang bukan lagi hanya berdasarkan kepercayaan antara dokter dengan pasien atau keluarga korban otopsi forensik yang tidak setara, tetapi berubah menjadi hubungan yang luas antara manusia dengan manusia. Hal inilah yang kemudian membentuk pandangan masyarakat khususnya pasien atau keluarga korban otopsi forensik bahwa dokterpun sebagai seorang profesional dibidang pemeriksaan otopsi forensik mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan profesinya, sedangkan pasien atau keluarga korban otopsi forensik mempunyai hak-hak yang dapat diwujudkan. Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan ini telah terlihat adanya perubahan pandangan masyarakat

3 khususnya pasien atau keluarga korban otopsi forensik. Sebagai petunjuk dari adanya perubahan tersebut, maka antara lain dapat dilihat dengan bermunculannya kasus-kasus dipengadilan yang bertolak dari ketidakpuasan atau tindakan yang menimbulkan kerugian materi yang menyertai pemeriksaan otopsi forensik akibat tindakan dokter. Reaksi yang timbul sehubungan dengan tindakan tindakan dokter yang dianggap menimbulkan akibat atau kerugian atas pelayanan pemeriksaan otopsi yang diberikan oleh dokter, merupakan perwujudan dari adanya perubahan pandangan masyarakat khususnya pasien atau keluarga korban pemeriksaan otopsi forensik terhadap dokter. Esensi yang perlu diperhatikan dari apa yang telah diuraikan di atas bahwa terjadinya perubahan pandangan masyarakat khususnya pasien atau keluarga korban pemeriksaan otopsi forensik terhadap dokter itu melatarbelakangi adalah adalah mengenai kemungkinan terjadinya kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya, yang kemudian pada akhirnya menimbulkan akibat atau kerugian bagi pasien atau keluarga korban otopsi forensik, khususnya kesalahan dalam pemeriksaan bedah mayat forensik. Seperti telah diketahui bahwa dokter yang melakukan pekerjaannya tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran berarti telah melakukan malpraktek. Dengan demikian maka pasien atau keluarga korban otopsi forensik dapat menuntut pertanggungjawaban dan ganti rugi baik secara pidana maupun perdata dari dokter yang telah melakukan malpraktek tersebut, karena telah dirugikan secara materiel.

4 Sekarang yang menjadi permasalahan adalah dokter yang melakukan pemeriksaan bedah mayat forensik tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran, (walaupun terhadap mayat dan bukan pasien hidup) dapat dipersalahkan menurut Pasal 351, 352, dan 353 kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun Hukum Perdata. Oleh karena tentunya pesien itu sendiri tidak akan dapat melakukan tindakan atau gugatan ganti rugi kepada dokter yang telah melakukan malpraktek, maka dapat berarti melakukannya adalah para pihak yang merasa dirugikan dengan dilakukannya pemeriksaan otopsi forensik yang tidak sesuai dengan standar profesi. Forensik ditinjau dari Hukum Pidana dengan maksud untuk ikut serta dalam pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan hukum pada khususnya, yang merupakan tanggung jawab sosial bagi setiap anggota masyarakat sebagaimana dijelaskan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Tentang Garis-Garis besar Haluan Negara yang menentukan bahwa : Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan dan mengamankan pelaksaan pembangunan dan hasil - hasilnya. Menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih memberi dorongan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata. Menumbuhkan dan mengembangkan disiplin nasional dan rasa aman dan tentram, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kreativitas dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 Dari arahan GBHN tersebut, maka jelas sekali bahwa salah satu tujuan pembangunan hukum adalah untuk pengamanan pembangunan nasional dan 1 Indonesia, Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Maret 1993, (Jakarta : Republik Indonesia, 1993), hlm. 16.

5 hasil-hasilnya. Penegakkan hukum terhadap kesalaha pemeriksaan bedah mayat forensik ditinjau dari hukum pidana merupakan kegiatan pengamanan pembangunan dari segi hukum. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan identifikasi masalah tersebut sebagai berikut : 1. Otopsi dan Kegunaannya? 2. Bagaimana pengaturan menurut Hukum Pidana? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan diadakannya penelitian hukum ini adalah : 1. Untuk mengetahui Otopsi dan Kegunaannya 2. Untuk mengetahui pengaturan Otopsi menurut Hukum Pidana. D. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teoritis Sebagaimana diketahui bahwa Otopsi merupakan pemeriksaan dan pembedahan atas tubuh mayat karena adanya faktor yang melatar belakangi terjadinya pemeriksaan dan pembedahan tubuh mayat tersebut. Pemeriksaan dan pembedahan tersebut tentunya harus dilakukan oleh orang yang ahli sebagaimana dijelaskan dalam Paal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan yaitu :

6 Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperlihatkan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan Corpus Delicti. Sedangkan dalam perkara pidana lain yang barang buktinya (Corpus Delcti) merupakan suatu benda (tidak bernyawa) misalnya senjata tajam atau senjata api yang dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana, barang hasil pencurian atau penggelapan, mata uang yang dipalsukan, barang-barang hasil penyelundupan dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan di muka persidangan pengadilan sebagai barang atau tanda bukti. Lain halnya dengan tubuh manusia, yang karena waktu akan mengalami perubahan misalnya luka menjadi sembuh atau semakin parah, mayat yang akan membusuk sehingga corpus delictinya tidak dapat diajukan ke muka persidangan. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pengaturan bahwa penyidik berhak meminta pemeriksan otopsi yang diatur dalam Pasal 133 ayat (1) yang menyatakan bahwa : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan maupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau hal lainnya. Dalam Pasal 70 undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tersebut mengatur bahwa pemeriksaan Bedah Mayat Forensik

7 (Otopsi), harus sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yaitu mengenai Standar Profesi, yang menyatakan bahwa : (1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. (2) Ketentuan mengenai kategori, jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomro 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan menentukan bahwa Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Dalam pasal tersebut, maka dapat diartikan bahwa suatu standar Profesi menjadi ukuran apakah suatu pekerjaan telah dilakukan dengan baik dan tidak. Standar Profesi ini berlaku secara universal, karena Standar Profesi tersebut dan ilmu pengetahuan umumnya merupakan sesuatu yang universal dalam bidang Kedokteran. Dengan demikian Standar profesi bagi pemeriksaan Bedah mayat Forensik (otopsi) adalah mengikuti ketentuan dalam Ilmu Kedokteran Forensik, yaitu seperti yang penuliskutip dari pendapat Handoko Tjontropuranto, bahwa : Bedah Mayat (otopsi) berarti membuka semua rongga tubuh (kepala, dada, perut, pinggul) dan memeriksa sekalian alat-alat (organ)

8 untuk menentukan sebab kematian serta penyakit atau kelamin yang mungkin terdapat pada si korban dan melaporkan semuanya ini dalam Visum et Refertum. 2 2. Kerangka Konseptual Dalam kerangka konseptual ini perlu dijelaskan beberapa pengertian sebagai berikut : a. Menurut Kamus Kedokteran, yang dimaksud dengan otopsi adalah bedah mayat, pembedahan guna pemeriksaan tubuh bagian dalam. b. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) tentang Bedah Mayat, sebagai berikut : Ayat 1 menyatakan : Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyidik dan atau sebab kematian serta Pendidikan Tenaga Kesehatan. Ayat 2 menyatakan : Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan, untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat. c. Menurut Nawawi Hadikusumo, yang dimaksud dengan otopsi adalah pembedahan dan pemeriksaan atas tubuh mayat karena adanya sesuatu. 2 Handoko Tjondroputro, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta : Binarupa Aksara, Diktat Mata Kuliah Kedokteran Forensik), hlm. 17.

9 d. Di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam tidak keberatan mengenai pemeriksaan otopsi, sejauh seperti yang dilakukan pemeriksaan bedah mayat adalah membuka perut yang ada di dalamnya. Dari alat-alat dalam yang penting diambil potonganpotongan kecil untuk pemeriksaan mikroskopik juga perlu. Bagian yang lebih besar hanya diambil apabila mengandung penyakit yang aneh atau belum diketahui sehingga membutuhkan pemeriksan lebih lanjut. Setelah selesai diperiksa, maka alat-alat dalam dikembalikan ke tubuh semula dan irisan pada permukaan tubuh dijahit rapi. 3 E. Metode Penelitian Penulisan hukum merupakan suatu karya ilmiah, oleh karena itu kebenarannya harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Dalam menunjang kelancaran dan keberhasilan penulisan hukum ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu dengan membuat uraian secara jelas, sistematis, nyata dan tepat mengenai fakta-fakta yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan fakta-fakta yang diinginkan. Adapun metode penelitian yang dipergunakan untuk pengumpulan datanya adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Yaitu penelitian dengan mempergunakan sumber-sumber hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, surat kabar 3 Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara, Kementrian Kesehatan RI., Soal Bedah Mayat : fatwa Nomor 4 Tahun 1995, (Jakarta : Djambatan, 1956), hlm. 23.

10 atau mass media, dan tulisan-tulisan lain yang dianggap ada hubungannya dengan mass media, dan tulisan-tulisan lain yang dianggap ada hubungannya dengan masalah pemeriksaan otopsi forensik ditinjau dari hukum pidana. 2. Penelitian Lapangan Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara memperoleh data sekunder dengan mengumpulkan litetarur, dimaksudkan untuk mencari konsepsi, teori-teori, pandangan-pandangan yang berhubungan dengan permasalahan yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu menjabarkan dengan kata-kata sehingga berupa kalimat yang dapat dimengerti. Namun, tidak menutup kemungkinan diolah secara kuantitatif apabila diperlukan dengan menyajikan materi penulisan hukum ini melalui tabel-tabel atau angka-angka. F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan bagian pendahuluan yang menguraikan mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian. Kerangka pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

11 BAB II SISTEMATIKA PEMERIKSAAN ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN KHUSUS PEMERIKSAAN MAYAT Dalam bab ini dibahas mengenai Mayat Yang Dapat Dimintakan pemeriksaan Menurut KUHAP, Jenis pemeriksaan Memperkirakan dan Menentukan Saat Kematian, Menentukan Sebab Kematian. BAB III TINDAKAN VISUM RT REFERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SAH Bab ini membahas tentang Pengertian Dan Tujuan Otopsi, Pengertian Dan Penggunaan Visum Et Refertum, Pihak- Pihak yang Berkepentingan Dalam Otopsi, Pengaturan Otopsi di Indonesia. BAB IV TANGGUNG JAWAB DOKTER TERHADAP OTOPSI DI TINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA Bab ini membahas mengenai Pengertian Standar Profesi, Nilai, Kekuatan dan Kedudukan Hukum Otopsi, Ruang Lingkup Perbuatan pidana, Adanya perbuatan pidana Dalam Praktek Bedah Mayat Forensik, Kealpaan Dalam Pemeriksaan Bedah, Menghindari Kealpaan Terhadap Pemeriksaan Bedah Mayat Forensik dan Kesalahan Dalam Pemeriksaan Bedah Mayat Forensik Sebagai Perbuatan Pidana.

12 BAB V PENUTUP Bab ini sebagai penutup yang berisikan kesimpulan yang merupakan intisari dari bab-bab yang dibahas dan saransaran yang merupakan usulan atau rekomendasi yang tersirat dalam kesimpulan.