DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

ANALISIS PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI PROVINSI JAWA BARAT OLEH ADI FERDIYAN H

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

HUBUNGAN PENERIMAAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PERKAPITA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh Noviyani H

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer)

ANALISIS PEREKONOMIAN DAN POTENSI WILAYAH PASCA PEMEKARAN KABUPATEN KUTAI OLEH YOGI ANDI WIBOWO H

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

3. KERANGKA PEMIKIRAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi sistem desentralisasi merupakan konsekuensi logis dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

I. PENDAHULUAN. dengan negara-negara lain (open economy),konsekuensinya adalah lemahnya posisi negara

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. miskin di dunia berjumlah 767 juta jiwa atau 10.70% dari jumlah penduduk dunia

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. pelimpahan wewenang pengelolaan keuangan dari pemerintah pusat kepada

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PRA DAN PASCA OTONOMI DAERAH DI PROPINSI DKI JAKARTA ( ) OLEH ESTI FITRI LESTARI H

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN ANDROS HASUGIAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYANTI). Kebijakan dan tugas umum pembangunan daerah dimasa lampau dominan dipegang oleh pemerintah pusat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Prioritas pembangunan daerah selalu diarahkan untuk mendukung kesuksesan prioritas pembangunan nasional. Karena itu sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah secara spesifik ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan yang sentralistik ini melahirkan ketergantungan pemerintah daerah dan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Karena itulah pemerintah pusat dengan kebijakan reformasi pembangunan menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal tersebut membuat konsep desentralisasi fiskal diperlukan sebagai instrumen dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri bertujuan untuk meningkatkan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Kebijakan desentralisasi fiskal, yang dititik beratkan pada kabupaten/kota, akan memberi keleluasaan daerah untuk melihat dan menentukan skala prioritas pembiayaan pembangunan yang berimplikasi pada peningkatan penerimaan daerah dan disertai dengan keleluasaan pemerintahan daerah untuk membelanjakan dana alokasi yang diterima. Kewenangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah diharapkan memberi dampak positif terhadap kinerja keuangan daerah yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu patut dipertanyakan bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah yang dikaitkan dengan kemiskinan, khususnya kabupaten/kota yang menjadi sentra otonomi daerah, dalam hal ini kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja fiskal daerah kabupaten /kota Provinsi Jabar sebelum dan masa desentralisasi fiskal, kedua menganalisis laju dan profil kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal, ketiga menganalisis hubungan faktor faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jabar. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data tersebut berasal dari kabupaten/kota seprovinsi Jawa Barat untuk tahun 1998 2004. Metode yang digunakan adalah metode

deskriptif dan Analisis Regresi dengan Metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS) terhadap data panel yaitu penggabungan antara data time series periode sebelum desentralisasi fiskal (1998 2000) dan periode masa desentralisasi fiskal (2001 2004) dengan cross section kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian dengan menggunakan metode deskriptif menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang ditunjukkan dengan tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi fiskal. Indikasi tersebut dilihat dengan rasio PAD terhadap penerimaan daerah, sedangkan laju pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis peranan mekanisme transfer terhadap tingkat kemandirian menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan satu persen rasio DAU terhadap penerimaan maka akan menurunkan tingkat rasio PAD terhadap penerimaan sebesar 0,02 persen. Demikian juga dengan variabel dummy desentralisasi fiskal yang negatif dan signifikan yang artinya rasio PAD terhadap penerimaan relatif lebih kecil pada masa desentralisasi fiskal. Hasil penelitian analisis regresi dengan metode panel data yang menganalisis pengaruh dari penerimaan daerah berupa DAU, PAD, bagi hasil terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan. Tetapi variabel dummy negatif dan signifikan, yang artinya persentase penduduk miskin pada masa desentralisasi fiskal relatif lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memang berpihak pada kemiskinan. Berlakunya otonomi daerah maka diharapkan peran badan legislatif dan eksekutif semakin besar, karena penentuan anggaran dan belanja daerah diproyeksikan dan dilakukan di daerah. Dengan demikian daerah tersebut mampu menyeleksi pengeluaran mana yang paling objektif, atau kiranya relevan dan berpihak pada masyarakat. Tetapi pengeluaran pemerintah kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat belum sepenuhnya konsisten dengan prioritas pembangunan. Hal ini dilihat dari belum adanya perubahan yang signifikan di wilayah kabupaten/kota dalam alokasi anggaran pengeluaran pada masa desentralisasi fiskal. Pengeluaran pemerintah daerah masih didominasi untuk pengeluaran rutin yang berkisar antara 60 80 persen. Keterbatasan penelitian ini hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan. Untuk melihat peran pemerintah secara lebih komprehensif terhadap kemiskinan maka perlu diteliti lebih lanjut dari sisi anggaran pengeluaran. Selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengikut sertakan seluruh sektor dan komoditi yang diunggulkan pada masing masing daerah.

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JABAR Oleh ANDROS M P HASUGIAN H14101079 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Andros M P Hasugian Nomor Registrasi Pokok : H14101079 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jawa Barat Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP.131 653 137 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Tanggal Kelulusan : Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2006 Andros M P Hasugian H14101079

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Andros M P Hasugian lahir pada tanggal 13 April 1983 di Sidikalang. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Togar Hasugian dan Ibunda Ridha Manurung. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari TK HKBP Tarutung, SD St. Fransiskus III Jakarta dan SLTP St. Fransiskus II Jakarta, lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 22 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi setelah menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Dikarenakan sakit, penulis mengambil cuti dan aktif kembali menjadi mahasiswa pada tahun 2002. Selama penulis menjalani studi, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Teater Permissie 38, DPM FEM, Himpro HIPOTESA, Perintis Koperasi FOKUS serta aktif diberbagai kepanitiaan seperti Dies Natalis FEM IPB. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan menulis dan olahraga, serta pernah menjuarai beberapa kompetisi antara lain Juara II Lomba Essay Politik FEM Beraspirasi pada tahun 2005 dan 2006, kemudian meraih Juara I Himafarin Cup pada tahun 2005. Hingga saat ini penulis masih aktif membuat artikel dan karya tulis di berbagai kesempatan.

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah Nya hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2006 dengan judul Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten Kota Provinsi Jabar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Wiwiek Rindayanti, M.Si yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis, dan dukungan moral dalam pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah bersedia menjadi dosen penguji dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini dan Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku komisi pendidikan dalam ujian sidang penulis serta memberikan kritk dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga sangat terbantu oleh teman teman seperjuangan Adi, Aira, Thamic, Iqbal, Imam, Fickry, Rudi, VOE, Ratna, Febri, Esti, Indah, Girma crews, yang senantiasa membantu baik secara teknis dan moral, dengan menghibur dan memberikan motivasi kepada penulis sampai dengan skripsi ini dapat terselesaikan. Akhirnya penulis ingin memberikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Orang tua, Abang Pantas, Otto, dan Martin serta keluarga Uda dan Inanguda Rosa, yang telah banyak memberikan kesabaran dan kasih sayang dalam mendorong proses penyelesaian skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis juga memohon maaf kepada Orang tua karena banyaknya kekecewaan dan kekhawatiran selama penulis menjalani masa kuliah di IPB ini. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata mata

ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2006 Andros Hasugian H14101079

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...xii I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan... 5 1.4 Kegunaan Penelitian... 5 1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1 Konsep Desentralisasi... 7 2.2 Konsep Dana Alokasi Umum... 10 2.3 Konsep Kemiskinan... 15 2.4 Konsep Kinerja Keuangan..... 17 2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu... 18 III. KERANGKA PEMIKIRAN... 19 3.1 Kerangka Teori... 19 3.1.1 Landasan Transfer Pusat Daerah.... 19 3.1.2 Pola Pemberian Bantuan... 22 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional... 24 3.3 Hipotesis Penelitian.... 25 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT... 27 4.1 Kondisi Wilayah... 27 4.1.1 Geografis.... 28

4.1.2 Topografi.... 28 4.1.3 Iklim.... 29 4.1.4 Populasi... 29 4.1.5 Sosial Budaya.... 29 4.2 Karakteristik Ekonomi... 30 4.3 Penduduk Miskin... 33 V. METODE PENELITIAN... 36 5.1 Jenis dan Sumber Data... 36 5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 36 5.3 Metode Analisis... 36 5.3.1 Metode Deskriptif... 36 5.3.2 Metode OLS Panel... 37 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 44 6.1 Desentralisasi Terhadap Kinerja Keuangan Jawa Barat Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah... 44 6.1.1 Penerimaan Pemerintah Daerah Jawa Barat... 46 6.1.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.... 48 6.2 Deskripsi Penerimaan Keuangan Kabupaten/Kota... 51 6.3 Deskripsi Pengeluaran Keuangan Kabupaten/Kota... 56 6.4 Profil Tingkat Kemiskinan Sebelum dan Masa Desentralisasi... 59 6.5 Hasil Estimasi dan Evaluasi Model... 60 6.5.1 Peranan Mekanisme Transfer Terhadap Kemandirian... 61 6.5.2.Peranan Variabel Penerimaan Terhadap Kemiskinan... 65 VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 68 6.1 Kesimpulan... 68 6.2 Saran... 70 DAFTAR PUSTAKA... 71 LAMPIRAN.... 73

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 4.1. Penggolongan Karakteristik Sektor Ekonomi Wilayah... 31 4.2. Persentase Penduduk Miskin Indonesia 1976 2004... 34 4.3. Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat... 35 6.1. Ratio Penerimaan Terhadap Pengeluaran Provinsi Jawa Barat... 44 6.2. Realisasi Penerimaan Keuangan Daerah... 47 6.3. Pengeluaran Keuangan Pemerintah Daerah Menurut Jenis Komponen Pengeluaran... 49 6.4 Realisasi Anggaran Belanja Provinsi Jawa Barat... 50 6.5. Penerimaan Keuangan Kabupaten dan Kota Jawa Barat... 52 6.6. Persentase Kontribusi PAD Terhadap Penerimaan... 53 6.7. Pengeluaran Keuangan Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat... 57 6.8. Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Sebelum Desentralisasi Fiskal... 59 6.9. Persentase Perubahan Jumlah Penduduk Miskin Masa Desentralisasi Fiskal... 60 6.10. Hasil Estimasi Peranan Mekanisme Transfer Terhadap Tingkat Kemandirian... 63 6.11. Hasil Estimasi Peranan Variabel Penerimaan Terhadap Persentase Penduduk Miskin... 66

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah... 14 3.1. Dampak Bantuan Spesifik dan Block Grant Terhadap Alokasi dan Kesejahteraan Masyarakat.... 22 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional... 24 4.1. Pengelompokan LPE dan PDRB per Kapita Kabupaten dan Kota Jawa Barat... 32

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel Anggaran Penerimaan Kabupaten dan Kota... 74 Lampiran 2. Tabel Anggaran Penerimaan Kabupaten dan Kota... 84 Lampiran 3. Hasil Estimasi Peranan Mekanisme Transfer... 96 Lampiran 4. Hasil Estimasi Variabel Penerimaan Terhadap Kemiskinan... 98

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebijakan dan tugas umum pembangunan daerah di masa lampau sangat dominan dipegang oleh pemerintah pusat baik dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan. Prioritas pembangunan daerah selalu diarahkan untuk mendukung kesuksesan prioritas pembangunan nasional. Karena itu sebagian besar pembiayaan pembangunan daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Pemerintahan yang sentralistik ini melahirkan ketergantungan pemerintah daerah dan ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Pada dasarnya pendekatan pemerintahan yang sentralistik bukan pedoman bangsa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan UUD 1945 Pasal 18 yaitu bangsa Indonesia terdiri atas daerah besar dan daerah kecil dan susunannya diatur dengan undang undang. Namun seiring pergantian pemerintahan undang undang otonomi daerah selalu berganti. Sebagai catatan bangsa Indonesia telah menerbitkan tidak kurang dari sembilan undang undang yang mengatur perihal tersebut. Ini mengindikasikan bahwa setiap UU otonomi yang ada rata rata hanya bertahan kurang dari tujuh tahun, artinya selama beberapa dekade, pelaksanaan otonomi daerah bersifat semu, daerah daerah masih kurang mandiri, karena semua wewenang dan urusan pemerintahan masih dipegang oleh pemerintahan pusat (Saragih, 2003).

Hal di atas memperlihatkan bahwa desentralisasi fiskal merupakan langkah pembaharuan. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Pemerintahan Republik Indonesia, kepala daerah diberikan keluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah, termasuk segala kewajiban yang ada didalamnya. Pada era desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mempunyai peranan penting dalam pembangunan, hal ini mengingat berbagai program pembangunan yang telah dirancang oleh pemerintah pusat mulai mengarah pada pembangunan yang bersifat desentralistik. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Hal tersebut membuat konsep desentralisasi fiskal diperlukan sebagai instrumen dalam mendukung daerah dalam pelayanan publik dengan transfer dana ke daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal sendiri bertujuan untuk memampukan keuangan daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum (Saragih, 2003). Pada hakikatnya kemampuan suatu daerah, khususnya kabupaten dan kota dalam melaksanakan fungsi otonominya tidak sama satu dengan yang lain. Di satu pihak beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki sumber sumber penerimaan yang potensial, baik yang berasal dari bagi hasil pajak dan bukan pajak. Di lain pihak, banyak kabupaten dan kota yang memiliki

kemampuan dan keuangan yang kurang memadai, mengakibatkan daerah ini mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerahnya. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU). Jumlah DAU ditetapkan sekurang kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Selanjutnya, 10 persen dari dana tersebut akan diberikan kepada pemerintah provinsi dan sisanya 90 persen akan diberikan kepada pemerintah kabupaten dan kota. Tujuan pengalokasian DAU ini selain dalam kerangka otonomi daerah juga memiliki tujuan dalam kerangka pemerataan daerah. Secara teoritis, DAU dapat menimbulkan dorongan positif atas penanggulangan kemiskinan dan tata kelola pemerintahan yang baik karena dengan meningkatnya sumber penerimaan daerah yang sangat signifikan akan mendorong perekonomian rakyat sehingga elemen masyarakat madani mempunyai peluang yang lebih besar dalam berusaha (Alkatiri, 2005). Pemerintah Pusat mengharapkan dengan adanya pelimpahan wewenang dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab maka pemerintahan kabupaten dan kota mempunyai peluang dan kesempatan yang lebih besar dalam menanggulangi kemiskinan. Pemerintah kabupaten dan kota dapat meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, karena lebih dekat dan dengan mudah memonitor dan mengevaluasi proyek apa saja yang kiranya tepat sesuai potensi masyarakat yang ada untuk menanggulangi kemiskinan di daerahnya.

Kemiskinan sendiri masih menjadi isu sentral di Indonesia dan segera perlu diatasi. Menurut BPS (2006), kemiskinan pernah menurun tajam pada kurun waktu 1976 1996, yaitu dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen dari total penduduk Indonesia. Akan tetapi penduduk miskin kembali meningkat pada periode 1996 1999. Akibat krisis multidimensi yang menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin pada periode 1996 1999, meningkat tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3 persen) menjadi 47,9 juta jiwa (23,43 persen) atau bertambah sebanyak 25,4 juta jiwa. Kebijakan sistem desentralisasi fiskal memungkinkan daerah untuk dapat mengupayakan peningkatan kinerja ekonomi dengan kebijakan kebijakan tertentu. Melalui pengenalan potensi baik ekonomi maupun non ekonomi yang dimiliki oleh suatu daerah, nantinya akan memberikan konsekuensi yang positif terhadap pembangunan ekonomi, sehingga kegiatan ekonomi akan dapat terus berkembang dan meningkat. Dengan demikian pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pengentasan kemiskinan di daerah tersebut, namun di pihak lain dapat terjadi sebaliknya dimana kebijakan tersebut malah dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Oleh karena itu perlu dianalisis bagaimana dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan, khususnya kabupaten/kota yang menjadi sentra otonomi daerah. Apakah dengan penyerahan wewenang dan kekuasaan pada pemerintahan daerah serta pembagian jatah pembangunan akan menurunkan kinerja keuangan yang pada akhirnya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat.

1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. a) Bagaimanakah kinerja fiskal daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal? 1. b) Apakah dengan penerapan desentralisasi fiskal melalui pengalokasian Dana Alokasi Umum mampu menciptakan kemandirian fiskal daerah? 2. Bagaimana laju dan profil penurunan kemiskinan di kabupaten/kota Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal? 3. Bagaimana pengaruh faktor faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan? 1.3. Tujuan Penulisan Dengan merujuk pada latar belakang dan permasalahan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja fiskal daerah Kabupaten /Kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 2. Menganalisis laju dan profil kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat sebelum dan masa desentralisasi fiskal. 3. Menganalisis hubungan faktor faktor penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi: 1. Bagi pemerintah, yang mempunyai posisi dan otoritas dalam mengambil kebijakan dan keputusan sebagai dasar dalam menentukan upaya peningkatan kinerja fiskal di Provinsi Jabar, khususnya kabupaten dan kota. 2. Bagi peneliti berikutnya, yang mungkin tertarik untuk menggunakan penelitian ini sebagai rujukan melanjutkan penelitian tentang desentralisasi fiskal di masa yang akan datang. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Analisis penelitian hanya meliputi kebijakan desentralisasi fiskal, tidak meliputi kebijakan desentralisasi politik. Kemudian keterbatasan penelitian ini hanya melihat alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terhadap tingkat kemiskinan. Untuk melihat peran pemerintah secara lebih komprehensif terhadap kemiskinan maka perlu diteliti lebih lanjut dari sisi anggaran pengeluaran. Selain itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja keuangan daerah dengan mengikutkan seluruh sektor dan komoditi yang diunggulkan pada masing masing daerah.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Desentralisasi Fiskal Secara umum, konsep desentralisasi dibagi menjadi desentralisasi politik desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi ekonomi Desentralisasi adminitratif sendiri merupakan pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumbersumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan manajemen fungsi fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu (Delivery, 2005) Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap aktivitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi juga merupakan suatu bentuk pemindah tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang dari tingkat pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Keputusan untuk melakukan desentralisasi dikarenakan faktor pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat di daerahnya. Sebab disatu sisi bila

desentralisasi dilakukan, akan berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap masyarakat itu sendiri. Desentralisasi fiskal jadi salah satu pilar dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah (Pakasi, 2005). Prinsip prinsip utama desentalisasi fiskal menurut Delivery (2005) adalah: 1. Otonomi Daerah Otonomi Daerah memberikan wewenang penuh kepada daerah untuk menjalankan pemerintahannya sendiri termasuk menyediakan pelayanan yang berdasar pada prioritas daerah itu sendiri, yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta berjalan di atas rel hukum dan peraturan yang berlaku. 2. Perencanaan Bottom up Perencanaan Bottom up akan mengangkat isu penggunaan pendekatan partisipatif oleh pemerintah daerah. Itu dilakukan untuk lebih mendengarkan pendapat masyarakat sasaran dalam proses identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap inisiatif pembangunan sosial dan ekonomi. Dengan memperkenalkan sistim perencanaan bottom up akan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat yang dilayaninya dengan melibatkan masyarakat sebagai elemen utama dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. 3. Partisipasi dalam Proses Demokratis Konteks desentralisasi pemerintah, "partisipasi" mengacu pada anggota masyarakat di dalam menjalankan hak dan tanggung jawabnya melalui proses

demokratis. Proses tersebut antara lain berupa partisipasi anggota masyarakat dalam pemerintahan daerah untuk memilih wakil wakil mereka di pemerintah daerah; juga membentuk kelompok kelompok masyarakat seperti LSM LSM, organisasi para pembayar bea, dan kelompok kelompok pelayanan, di mana keduanya menjadi inisiator program mandiri yang inovatif seperti proyek pengentasan kemiskinan dan melakukan lobi ke pemerintah atas nama anggotanya. 4. Pembangkitan Sumber sumber Keuangan Kesuksesan inisiatif desentralisasi dan otonomi daerah ditentukan oleh kapasitas pemerintah daerah untuk membangkitkan sumber sumber keuangan dan sumber lainnya (seperti personil). Sumber sumber daya ini dapat berbentuk pemasukan pajak yang diatur oleh pemerintah lokal (pengumpulan pajak daerah) ataupun mentransfer dan menyeimbangkan pembayaran dari pemerintah yang lebih tinggi. 5. Keseimbangan Pembagian Sumber sumber Daya Pembagian sumber sumber daya yang seimbang di antara berbagai tingkatan pemerintahan akan menjamin bahwa daerah daerah yang kaya akan sumber daya akan memperoleh manfaat dari eksploitasi sumber sumber daya tersebut, sementara daerah daerah yang miskin sumber daya akan memperoleh pembagian yang adil dari pendapatan yang dihasilkan. Secara teoritik, garis besar dana alokasi dari pemerintah pusat ke daerah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu berupa bantuan bersyarat (conditional grants) dan bantuan tidak bersyarat (unconditional grants). Terdapat tiga bantuan bersyarat, yaitu:

1. Matching open ended grants, pusat akan memberikan bantuan sejumlah dana tertentu kepada daerah untuk setiap alokasi yang dibelanjakan daerah untuk kegiatan tertentu. Misalnya, untuk pendidikan, Pemerintah Pusat akan membantu dalam jumlah yang sama atau dalam porsi tertentu. Pola bantuan seperti ini bisa mengakibatkan bantuan pusat terlalu besar, apabila pengeluaran daerah untuk program yang dibantu sangat besar, atau sebaliknya; 2. Matching closed ended grants, pemerintah pusat menetapkan batas maksimum bantuan kepada daerah. Mekanisme semacam ini digunakan oleh banyak negara sebagai bgian dari upaya mengontrol anggaran. 3. Non matching grants, pemerintah pusat menawarkan sejumlah dana bantuan untuk dibelanjakan pada sektor publik yang spesifik. Sedangkan untuk bantuan tidak bersyarat pemerintah pusat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk memanfaatkan bantuan tersebut. Alasan utama pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk mewujudkan pemerataan dalam kapasitas fiskal dari daerah daerah guna menjamin penyediaan jasa publik yang layak bagi masyarakat ( Sumedi,2005). 2.2. Konsep Dana Alokasi Umum Mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25

persen dari penerimaan dalam negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. DAU secara definisi merupakan dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan masyarakat didaerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil (Brodjonegoro, dkk 2002). Sesuai dengan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerahdaerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU

yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacity nya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAU akan negatif. Kebutuhan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi Sumber Daya Alam (SDA), potensi Sumber Daya Manusia, dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). (Saragih, 2003) Formula dasar yang pertama kali digunakan dalam formula dasar DAU 2001 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 104/2000 yang disusun oleh LPEM FE UI (2000) dalam Brodjonegoro, dkk 2002. LPEM FE UI merumuskan formula alokasi yang dinilai paling tepat untuk ditransfer dari pemerintah pusat kepada daerah. Formula yang digunakan berbentuk blok, yakni DAU yang diberikan untuk membiayai selisih antara kebutuhan daerah dengan potensinya. Formula tersebut disusun dengan memilih variabel variabel yang datanya tersedia dan dianggap cukup akurat. Adapun yang dilakukan kemudian adalah dengan menghitung bobot lima variabel yang menentukkan kebutuhan fiskal daerah dan empat variabel potensi penerimaan daerah. Variabel kebutuhan daerah terdiri dari pengeluaran rata rata daerah, indeks penduduk, indeks luas daerah, indeks harga bangunan dan indeks kemiskinan relatif. Formula tersebut dirumuskan sebagai berikut: Pengeluaran daerah rata rata dihitung dari rasio total belanja daerah secara nasional dan dana Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang didaerahkan dengan jumlah

daerah. Indeks penduduk dihitung dari rasio populasi daerah dengan rata rata populasi daerah secara nasional. Indeks luas diperoleh dengan membandingkan luas daerah dengan rata rata luas daerah secara nasional. Indeks harga bangunan diperoleh dari indeks konstruksi daerah dibagi 100. Sedangkan indeks kemiskinan relatif daerah diperoleh dengan menghitung rasio antara jumlah penduduk miskin daerah dengan rata rata jumlah penduduk miskin nasional. Penerimaan daerah rata rata dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah dan bagi hasil pajak dengan jumlah daerah. Indeks SDA diperoleh dari rasio sektor SDA daerah dengan PDRB daerah dibagi dengan rasio Produk Domestik Bruto (PDB) sektor SDA nasional dengan PDB nasional. Industri diperoleh dari rasio PDRB sektor nonprimer daerah dengan PDRB daerah dibagi dengan PDB sektor non primer nasional dengan PDB nasional. Sedangkan indeks SDM daerah dihitung dengan membandingkan rasio angkatan kerja daerah dengan populasi daerah dibagi rasio angkatan kerja nasional dengan populasi nasional. Seiring dengan penyesuaian dengan melihat pelaksanaan yang telah dilakukan, formula DAU mengalami revisi melalui UU No 33 tahun 2004 tetapi tidak terlalu drastis. Sejalan dengan amanat UU No 33 tahun 2004 Pasal 27 data daerah yang digunakan untuk mengukur kebutuhan fiskal daerah mengalarni perubahan menjadi jumlah penduduk, luas wilayah, PDRB per Kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan kapasitas fiskal diukur dengan data bagi hasil pajak dan bukan pajak serta PAD realisasi. Selanjutnya data jumlah kebutuhan belanja gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah yang sebelumnya digunakan sebagai acuan

untuk memperhitungkan faktor penyeimbang dalam formula DAU, berdasarkan UU No 33 tahun 2004 data tersebut digunakan sebagai dasar penghitungan alokasi dasar dalam DAU. UU No 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kebutuhan Fiskal Jumlah penduduk Luas Wilayah Keadaan Geografis Kapasitas Fiskal Potensi Industri Potensi SDA Potensi SDM PDRB Variasi Kebutuhan Fiskal Indeks Jumlah Penduduk Indeks Luas Wilayah Indeks Harga Variabel Kebutuhan Fiskal PDRB Jasa Bagi Hasil SDA PBB PPh Pribadi Formula DAU UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kebutuhan Fiskal Jumlah penduduk Luas Wilayah Pembangunan SDM Kapasitas Fiskal Potensi Ekonomi Daerah Potensi SDA Potensi SDM PDRB Variasi Kebutuhan Fiskal Index Jumlah Penduduk Index Luas Wilayah Index PDRB per Kapita Variabel Kebutuhan Fiskal PAD Bagi Hasil PPh Pribadi Formula DAU

Sumber : Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah (2005) Gambar 2.1. Revisi UU Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 2.3. Konsep Kemiskinan Sampai saat ini definisi tentang kemiskinan juga sangat beragam. Terutama bila kemiskinan dilihat dari pendekatan subyektif. Konsep kemiskinan itu antara lain dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan bahan di berbagai keadaan hidup. Penggunaan istilah ini termasuk: Penggambaran kebutuhan material termasuk kekurangan bahan pokok dan pelayanan Keadaan ekonomi, di mana kekurangan kekayaan (biasanya dianggap sebagai modal, uang, barang material, atau sumber daya) Hubungan sosial, termasuk pengecualian sosial, ketergantungan, dan kemampuan untuk hidup dalam apa yang dianggap masyarakat sebagai hidup "normal"; contohnya, kemampuan untuk mendidik anak dan berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat.

Kemiskinan juga merupakan bentuk ketidakmampuan terhadap pihak penguasa sehingga mereka masuk dalam pihak kategori yang lemah, yang tidak bisa berbuat apa apa, terancam dan tereksploitasi dan juga kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat (Mubyarto, 2002). Indikator kemiskinan menurut BPS dilihat dari tingkat pendapatan minimum yang merupakan pembatas antara keadaan yang disebut miskin dan tidak miskin. Garis kemiskinan tersebut dilihat dari konsumsi kalori per kapita per hari sebesar 2100 kkalori. Lingkungan masyarakat pada umumnya memandang kemiskinan bila pihak tersebut tidak mampu mengikuti standar kehidupan masyarakat sekitar atau dengan kata lain seseorang akan dikatakan miskin apabila pihak tersebut tidak dapat memenuhi konsumsi. Tidak dapat dipungkiri pula pada umumnya, banyak masyarakat yang menilai kemiskinan dari sisi harta atau materi. Menurut. Mubyarto (2002) bila kemiskinan dilihat dengan hal ini maka dapat mempermudah dalam melihat indikator kemiskinan, tetapi tetap tidak cukup layak untuk mengkategorikan seseorang dalam kemiskinan karena (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif. Konsep tentang kemiskinan dari Bappenas adalah kemiskinan dilihat dari kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. Hak hak dasar menurut Bappenas terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosialpolitik, baik bagi perempuan maupun laki laki. Dalam melihat hak hak ini Bappenas menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar dan pendekatan objektif and subjektif. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan (Mubyarto, 2002). 2.4. Konsep Kinerja Keuangan

Pemerintah daerah dalam UU No 25 tahun 1999 mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kebijakan anggaran daerahnya. Diharapkan dengan adanya kebijakan dana perimbangan dengan pemberian dana alokasi umum dan sistem bagi hasil maka pemerintah daerah dapat lebih mengoptimalkan kinerja keuangannya. Yang berarti pemerintah daerah dalam menyusun anggarannya berorientasi kepada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis. Anggaran yang berimbang berarti seluruh pengeluaran pemerintah daerah harus dibiayai dari penerimaan daerah itu sendiri, sehingga kemampuan belanja daerah selalu seimbang dengan penerimaan daerah. Atau dalam kata lain diharapkan pemberian dana alokasi umum akan menyusut tiap tahun karena daerah tersebut telah mampu atau mandiri. Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pos pos penerimaan, Menurut BPS (2004) semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil ketergantungan daerah terhadap APBN. Kemudian kinerja keuangan yang efisien ditandakan dengan melihat besarnya rasio penerimaan terhadap pengeluaran, bila rasio penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya. Penelitian ini mengacu pada konsep di atas, di mana penerimaan dianalisis dengan melihat kontribusi masing masing dana perimbangan yaitu dana alokasi umum dan bagi hasil serta dari internal daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah. Terutama bagaimana kontribusi PAD terhadap anggaran penerimaan yang mencerminkan kemampuan daerah untuk mengoptimalkan sumber daya di daerahnya.

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Sumedi (2005), mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan daerah di Indonesia menghasilkan kesimpulan bahwa dengan mekanisme tranfer dari pemerintah pusat dapat mengurangi kesenjangan daerah dengan pusat, tetapi tidak dengan kesejangan antar daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Pakasi (2005), mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Sulawesi Utara menyimpulkan bahwa tingkat kemandirian semakin menurun ketika sesudah desentralisasi dan tingkat PAD daerah perkotaan lebih besar daripada daerah kabupaten. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Rahmatullah Sisongko (2006) yang meneliti tentang pendugaan model kebutuhan fiskal menyimpulkan bahwa perlu adanya perubahan indikator formulasi DAU yang tepat, karena banyak daerah daerah yang mendapatkan DAU tidak sesuai dengan kondisi riil di daerahnya. Alkatiri (2005) dengan penelitiannya yang berjudul demokratisasi pemerintahan dan penanggulangan kemiskinan menyimpulkan bahwa pengelolaan pemerintah berkorelasi negatif dengan kemiskinan. Apabila tata kelola pemerintah yang diukur dengan keefektifan, tingkat korupsi dan penegakkan hukum semakin baik, maka tingkat buta huruf dan tingkat kematian bayi akan semakin rendah. Perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti peneliti terdahulu dengan penelitian ini adalah terletak pada bagaimana peningkatan variabel penerimaan seperti DAU, PAD dan bagi hasil terhadap kinerja keuangan yang

ditunjukkan dengan tingkat kemandiran dan kemiskinan kemudian diikuti analisis laju kemiskinan sebelum dan masa desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat.

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Landasan Teori Transfer Pusat ke Daerah Berbagai literatur ilmu ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah. Hal ini dirangkum dalam Brodjonegoro, dkk (2002). Yaitu pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber sumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteritik besaran penerimaannnya relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat. Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal, pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumberdaya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang rendah atau tinggi. Ini semua berimplikasi kepada besarnya pajak didaerah daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan

publik. Ada daerah daerah dengan penduduk miskin, penduduk usia lanjut, dan anakanak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah daerah yang berbentuk kepulauan luas, di mana sarana prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak ada daerah daerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar namun sarana dan prasarananya sudah lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal dari daerah daerah yang bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal ini dengan kapasitas fiskal tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan atau gap fiskal dari masing masing daerah, yang seyogyanya ditutupi oleh transfer dari pemerintah pusat. Ketiga, terkait dengan butir kedua di atas, argumen lain yang menambah pentingnya peran transfer dari pemerintah pusat dalam konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Daerah daerah dengan sumberdaya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Keempat, untuk stabilisasi. Alasan terakhir dari perlunya dana transfer yang jarang dikemukakan adalah untuk mencapai tujuan stabilisasi dari pemerintah pusat. Transfer dana dapat ditingkatkan oleh pemerintah pusat ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Transfer untuk dana dana pembangunan (block grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan alasan alasan sebelumnya di atas.

Selain hal di atas, kerap pula dikemukakan bahwa pertimbangan pemberian transfer pusat dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk secara insentif menggali sumber sumber penerimaannya (sesuai dengan kriteria yang berlaku), sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya (Saragih, 2003). Dengan kata lain, transfer disini dimaksudkan sebagai saran edukasi bagi pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan mendapat transfer jika upayanya dalam menggali sumber sumber penerimaan yang menjadi kewenangannya sama atau melebihi kapasitasnya. Sementara daerah tidak akan mendapat transfer apabila upayanya menghasilkan penerimaan yang lebih rendah dari kapasitas fiskalnya. 3.1.2. Pola Pemberian Bantuan Barang Private D A E** E* E Barang Publik A D A*

Sumber: Stiglitz (2000) Gambar 3. 1 Dampak Bantuan Spesifik dan Block Grant Terhadap Alokasi dan Kesejahteraan Masyarakat. Garis AA yang menunjukkan garis anggaran masyarakat sebelum adanya bantuan kepada pemerintah daerah, dimana keseimbangan terjadi pada titik E. Subisidi barang publik yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian barang publik bagi pemerintahan daerah setempat, yang selanjutnya menyebabkan pergeseran garis anggaran keatas (AA*). Meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah setempat untuk pembelian barang publik akan mendorong stimulasi atau menggairahkan perekonomian masyarakat didaerah, contohnya dengan pembangunan jalan raya, dan fasilitas umum lainnya. Hal ini kemudian akan meningkatkan pendapatan masyarakat atau dalam arti lain kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sehingga kurva indifferent bergeser keatas menjadi E*. Apabila pemerintah pusat memberikan bantuan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant maka garis anggaran akan bergeser sejajar dengan garis anggaran semula (DD ). Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat ditunjukkan oleh pergeseran kurva indifferent keatas. Kemudian bila dikaitkan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sama dengan kebijakan subsidi, ditandai oleh adanya persinggungan garis anggaran (DD ) dengan kurva indifferent yang sama dengan kurva indifferent setelah ada subsidi. Titik E** merupakan keseimbangan baru yang tercapai, di mana pola bantuan block grant lebih tinggi dari pola bantuan spesifik,

dimana pengeluaran untuk barang publik lebih sedikit dari pada program bantuan spesifik, sehingga anggaran dari pemerintah pusat menjadi lebih rendah. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Melihat bagaimana hubungan antara kinerja keuangan dengan kemiskinan dilakukan dan untuk melihat pengaruh dana perimbangan melalui instrumen DAU terhadap PAD dilakukan dengan analisis regresi dengan metode estimasi Panel Ordinary Least Square (POLS). Kebijakan Reformasi Pembangunan Revenue Power Otonomi Daerah UU No 22 n 1999 Pemerintah Daerah, Pengembangan Kewenangan Pusat dan Daerah Revenue Sharing Desentralisasi Fiskal UU No 25 tahun 1999 Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat Daerah Anggaran Daerah Penerimaan Daerah (PAD, DAU, Bagi Hasil) Pengeluaran (Rutin, Pembangunan) Fiscal Availability Fiscal Needs Kemandirian Fiscal Gap Microsoft Excel Analisis Deskriptif Kinerja Keuangan Kemiskinan Asumsi dan Keterbatasan OLS Panel Microsoft Excel, Eviews, 4,1

Keterangan: tanda panah menunjukkan pengaruh Gambar 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Kemudian akan dilakukan uji signifikansi model, pengujian hipotesis penelitian dan pengujian asumsi asumsi. Penggunaan analisis deskriptif juga untuk melihat besarnya laju pengurangan kemiskinan yang ada di Provinsi Jawa Barat, melihat bagaimana laju pengurangan kemiskinan sebelum otonomi dan pada masa otonomi daerah dan wilayah mana yang paling maju dalam menurunkan tingkat kemiskinan di wilayahnya. 3.3. Hipotesis Penelitian Potensi keuangan pemerintah daerah berkaitan erat dengan kinerja fiskal daerah. Kemudian peningkatan atau penurunan kinerja ekonomi daerah dan kapasitas keuangan daerah yang dihasilkan tidak lepas dari pengaruh kebijakan pemerintah. Selain itu pengambilan keputusan yang akan dibuat mengenai kebijakan anggaran tergantung dari perilaku pemerintah daerah. Oleh karena itu efektif atau tidaknya kebijakan desentralisasi fiskal baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran tergantung kebijakan daerah untuk menentukan alokasi belanja pembangunan infrastruktur publik di daerah yang berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat.

Penelitian ini dibangun berdasarkan atas pemikiran di atas, bahwa Peningkatan potensi keuangan pemerintah daerah disertai kinerja fiskal daerah yang seimbang dari sisi penerimaan dan pengeluaran dan didukung oleh perilaku pemerintah daerah yang menegakkan akuntabilitas, transaparansi, penyusunan anggaran diduga berpeluang dalam mendukung keberhasilan desentralisasi fiskal dan penurunan kemiskinan. Maka dengan itu hipotesis penelitian ini adalah: 1. Kebijakan desentralisasi fiskal dengan dana alokasi umum, penerapan sistem bagi hasil dan pemberian wewenang PAD secara penuh akan berpengaruh positif terhadap kinerja fiskal dan berpengaruh negatif terhadap tingkat ketergantungan pemerintah daerah dengat pusat. 2. Peningkatan variabel penerimaan pemerintah daerah akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan.

IV. GAMBARAN UMUM Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad No 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No 11 tahun 1950, tentang Pembentukan Provinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat baru bertambah lima wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok(1999) dan dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian ( BPS Jawa Barat, 2004). Pada kurun waktu 1994 1999, secara kuantitatif jumlah Wilayah Pembantu Gubernur tetap lima wilayah dengan tediri dari: 20 kabupaten dan lima kota, dan tahun 1999 jumlah kota bertambah menjadi delapan kota. Kota administratif berkurang dari enam daerah menjadi empat, karena Kota Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan lahirnya UU No 23 tahun 2000 tentang Provinsi Banten, maka Wilayah Administrasi Pembantu Gubernur Wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Provinsi Banten dengan daerahnya meliputi: Kabupaten