Pengertian Produk Domestik Bruto

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

Sumber : Tabel I-O Kota Tarakan Updating 2007, Data diolah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

PERKEMBANGAN PRODUK DOMESTIK BRUTO

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

Produk Domestik Bruto (PDB)

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

BAB IV ANALISA WILAYAH (Lanjutan-1)

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

Produk Domestik Regional Bruto

Tabel-Tabel Pokok TABEL-TABEL POKOK. Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

VII. ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR BERBASIS KEHUTANAN Keterkaitan Sektor Berbasis Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk. bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah.

VALUASI EKONOMI 3.1 Perkiraan Luas Tutupan Hutan 1

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

BAB IV ANALISIS SUB SEKTOR POTENSIAL DALAM MENDUKUNG FUNGSI KOTA CILEGON

PDRB HIJAU KOTA DEPOK 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

M E T A D A T A. INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2 Penyelenggara Statistik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

III. METODE PENELITIAN. deskriptif analitik. Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau tidak menggunakan

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

BADAN PUSAT STATISTIK

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BAB VII Pendapatan Nasional

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

PERTUMBUHAN EKONOMI JAMBI TAHUN 2009

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi nasional menitikberatkan pada pembanguan sektor

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

Transkripsi:

KONTRIBUSI KEHUTANAN TERHADAP PRODUK DOMESTIK BRUTO 1 Dodik Ridho Nurrochmat 2 Pengertian Produk Domestik Bruto Neraca pendapatan nasional (national income accounting) merupakan salah satu inovasi penting dalam pengukuran indikator pembangunan pada abad keduapuluh. Neraca pendapatan nasional menunjukkan tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional suatu negara, serta sumbangan masing-masing sektor kegiatan ekonomi terhadap besarnya tingkat pendapatan nasional yang bersangkutan. Dalam sistem neraca pendapatan nasional dikenal beberapa istilah penting, diantaranya: Produk Domestik Bruto (PDB), Produk Domestik Neto (PDN), Produk Nasional Bruto (PNB), Produk Nasional Neto (PNN), Pendapatan Domestik dan Pendapatan Nasional. Konsep dasar yang sudah lama dianut adalah jika elemen penyusutan (depresiasi) modal buatan manusia (man-made capital atau produced capital) dikurangkan dari nilai PDB, maka diperoleh nilai Produk Domestik Neto (PDN). Selanjutnya jika PDN ini dikurangi lagi dengan nilai pajak tidak langsung (indirect taxes), didapatkan nilai Pendapatan Nasional (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005). Salah satu tolok ukur terpenting dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah dengan melihat Produk Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan catatan tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam suatu negara untuk waktu satu tahun (Nurrochmat et al, 2007). Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung PDB suatu negara, yaitu: 1. Pendekatan pendapatan 2. Pendekatan pengeluaran 3. Pendekatan nilai tambah Di Indonesia, perhitungan nilai PDB yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah PDB dengan pendekatan nilai tambah. Menurut BPS (2002) nilai PDB suatu negara tersebut sebenarnya sama dengan nilai tambah yang diciptakan oleh semua sektor kegiatan ekonomi (lapangan usaha) dinegara tersebut. 1 Makalah disampaikan pada Rakor Mitra Praja Utama Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008: PDRB Hijau dan Bisnis Kehutanan. Hotel Kedaton, Bandung 23 Juli 2008. 2 Dosen Politik Ekonomi Kehutanan, Bagian Kebijakan Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB. Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 1

Untuk mempermudah perhitungan nilai tambah, BPS membagi sektor perekonomian di Indonesia menjadi sembilan sektor usaha, yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 2) Pertambangan dan penggalian 3) Perindustrian Pengolahan 4) Listrik, Gas, dan Air Bersih 5) Bangunan (konstruksi) 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran 7) Angkutan dan Komunikasi 8) Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan 9) Jasa-jasa Dalam perhitungan PDB yang dilakukan oleh BPS, kehutanan termasuk salah satu sub-sektor perekonomian di dalam sektor pertanian. Perhitungan nilai PDB dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan diantaranya: pertama, untuk keperluan analisis ekonomi serta perencanaan pembangunan nasional; kedua, sebagai salah satu tolok ukur atau instrumen untuk menilai keberhasilan pembangunan nasional; ketiga, untuk mengetahui hasil-hasil pembangunan; dan keempat, untuk menyusun rencana pembangunan nasional secara lebih rinci. Selain beberapa manfaat tersebut, salah satu penggunaan PDB yang sering dipergunakan secara internasional adalah pembedaan kategori negara maju dan negara berkembang atau terbelakang dengan melihat tinggi rendahnya tingkat pendapatan nasional per kapita di negara-negara tersebut (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005). Perhitungan PDB Sektor Kehutanan Sebagai bagian dari kegiatan sektor perekonomian nasional, kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional juga dihitung dengan menggunakan pendekatan nilai tambah. Nilai tambah yang diciptakan sektor kehutanan merupakan perbedaan nilai suatu barang/jasa yang timbul sebagai akibat suatu kegiatan produksi dan/atau distribusi hasil hutan. Produksi sektor kehutanan dapat bersifat ekstraktif berupa kayu hutan, rotan, daun, buah dan lain-lain; dan dapat pula berupa produk non-ekstraktif seperti rekreasi dan wisata hutan lainnya. Kedua jenis produk itu walaupun berbeda sifatnya namun memiliki ciri yang sama dalam hal produknya dapat dipasarkan. Jenis produk hutan yang lain adalah jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan yang berupa kemampuan menahan air, menahan banjir, menahan erosi, sebagai tempat hidup keanekaragaman hayati, maupun sebagai penyerap karbon (carbon sink); yang semuanya itu tidak ada transaksi pasar dalam penggunaan atas produk jasa lingkungan tersebut (Gambar 1). Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 2

Hutan Produk (tangible) Jasa Lingkungan (intangible) Marketed Flow PDB Konvensional Valuasi Regulasi Non Marketed Nilai Potensi PDB Hijau Potensial Realisasi Flow PDB Hijau Aktual Sumber: Suparmoko dan Nurrochmat (2005) Gambar 1. Transformasi PDB Konvensional Menjadi PDB Hijau Kontribusi sektor kehutanan dalam PDB konvensional saat ini hanya memperhitungkan manfaat tangible hutan, terutama kayu dan industri primer produk perkayuan. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa karena belum ada transaksi pasarnya, maka dalam perhitungan PDB konvensional yang berlaku di Indonesia pada saat ini, jasa lingkungan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan PDB. Salah satu alasan yang sering dikemukakan, mengapa jasa lingkungan tak ada transaksi pasarnya, adalah karena jasa-jasa lingkungan tersebut merupakan barang publik dan memiliki eksternalitas dimana semua pihak yang memanfaatkan jasa lingkungan tersebut tidak harus melakukan pembayaran kepada pengelola hutan. Membayar atau tidak membayar, semua pihak yang menggunakan jasa lingkungan sebagai produk sektor kehutanan tetap dimungkinkan. Mengapa demikian? Karena memang belum ada mekanisme yang mengatur pembayaran terhadap jasa lingkungan yang bersifat sebagai barang publik. Ciri barang publik ialah tidak diberlakukannya exclusion principle dan rivalry in consumption (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005). Bagaimana dengan nilai tambah dari penggunaan jasa hutan untuk pencegahan banjir, penyerapan karbon, penyediaan air, perlindungan dari erosi dan Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 3

pelindungan dari sedimentasi? Untuk dapat diketahui berapa manfaatnya dan berapa penggunaan jasa jenis pelayanan tersebut, haruslah ditemukan sebuah metode pendekatan sebagai proksi untuk dapat melakukan penghitungan. Namun demikian akan sangat sulit untuk menghitung nilai tambah yang diciptakannya, karena semua jasa lingkungan tersebut merupakan sebagian masukan dalam proses produksi yang sifatnya sulit dikuantifikasi dalam setiap unit produk yang dihasilkan oleh sektor industri, sektor pertanian, maupun sektor perdagangan dan restoran, dan sektor-sektor lainnya (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005). Salah satu upaya untuk mendekatkan nilai PDB dengan kenyataan adalah dengan memperhitungkan nilai deplisi dan degradasi (PDB Hijau). Namun demikian, sampai dengan saat ini perhitungan PDB Hijau masih kurang diminati pemerintah maupun pemerintah daerah karena angka PDB Hijau cenderung lebih kecil dibandingkan dengan PDB konvensional. Salah satu penyebab kecilnya nilai PDB Hijau adalah belum dimasukkannya nilai manfaat jasa lingkungan ke dalam angka PDB Hijau karena sampai dengan saat ini perhitungan nilai tambah dari jasa lingkungan hutan masih sulit direalisasikan. Oleh karena itu harus ada mekanisme yang dapat merealisasikan manfaat jasa lingkungan ke dalam nilai ekonomi riil (flow), diantaranya melalui perjanjian bilateral untuk pengaturan insentif hulu-hilir dan dengan intervensi regulasi, baik melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus maupun deregulasi perimbangan keuangan. Dengan demikian, diharapkan angka PDB Hijau yang diperoleh merupakan nilai ekonomi aktual yang benar-benar dapat dinikmati oleh pemerintah daerah pemilik sumberdaya hutan. Pertumbuhan PDB Kehutanan Di dalam sistem perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang berlaku di Indonesia, kehutanan termasuk salah satu sub-sektor yang berada di dalam lingkup sektor pertanian. Dalam sistem perhitungan PDB dan PDRB yang berlaku saat ini, yang diperhitungkan dalam PDB sub-sektor kehutanan hanyalah kegiatan sektor hulu dan industri primer pengolahan hasil hutan. Sedangkan kegiatan di sektor hilir dan industri pengolahan hasil hutan lanjutan tidak termasuk nilai tambah yang diperhitungkan dalam sub-sektor kehutanan. Perkembangan nilai nominal PDB sektor kehutanan dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005 disajikan pada Gambar 2. Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 4

Gambar 2. Pertumbuhan PDB Kehutanan Berdasarkan Nilai Nominal Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa berdasarkan nilai nominalnya PDB sektor kehutanan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. PDB sektor kehutanan pada tahun 1993 yang nilai nominalnya kurang dari Rp 15 Trilyun, sepuluh tahun kemudian pada tahun 2003 telah meningkat lebih dari dua kali lipat mendekati angka Rp 35 Trilyun. Apabila diambil angka rata-rata maka PDB sektor kehutanan atas dasar nilai nominal mengalami peningkatan sekitar cukup besar sekitar 20% pertahun. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa peningkatan nilai nominal yang besar ini tidak dapat secara langsung ditafsirkan dengan semakin membaiknya kinerja sektor kehutanan karena peningkatan nilai nominal PDB (dalam rupiah) selain dipengaruhi oleh besaran output juga sangat dipengaruhi oleh nilai tukar (moneter) dan inflasi (Nurrochmat et al, 2007). Berbeda dengan nilai nominal PDB Kehutanan yang terus meningkat, dilihat dari kontribusinya terhadap PDB peran (sub) sektor kehutanan justru cenderung mengalami penurunan. Sejatinya sejak tahun 2002 kontribusi kehutanan terhadap PDB berpotensi naik karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengelolaan kegiatan industri yang mengolah hasil hutan seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, dan veneer dialihkan ke Departemen Kehutanan dari Departemen Perindustrian. Namun ternyata walaupun kontribusi sektor industri pengolahan produk primer kehutanan itu ditambahkan kepada kontribusi sektor kehutanan pada PDB Indonesia, angkanya masih saja tetap relatif kecil bila dibandingkan dengan kontribusi sektor-sektor lain terhadap PDB nasional. Dilihat dari sumbangan sektor kehutanan pada PDB sejak tahun 1993 sampai dengan 2005 tampak bahwa peranan sektor kehutanan dalam pembentukan PDB Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu. Rata-rata kontribusi sub-sektor kehutanan terhadap PDB kurang dari 2% (Suparmoko dan Nurrochmat, 2005; Nurrochmat et al, 2007). Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 5

Gambar 3 menyajikan perkembangan kontribusi kehutanan terhadap PDB dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2005. Gambar 3. Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB (1993-2005) Gambar 3 diatas memberikan ilustrasi kontribusi hasil hutan kayu dan hasil pengolahan (industri) kayu dan hasil hutan lainnya terhadap nilai PDB dengan Minyak Bumi dan Gas Alam. Dari Gambar 3 tersebut terlihat bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan pada PDB dengan migas, kontribusi sub-sektor kehutanan cenderung terus mengalami penurunan. Nilai kontribusi terhadap nilai PDB untuk industri barang kayu dan hasil hutan lainnya juga tampak menurun dari dari tahun 1993 sampai tahun 2005, walaupun sedikit mengalami kenaikan pada tahun 2004. Dari fakta tersebut dapat diduga adanya korelasi yang kuat antara kemampuan produksi kayu di sektor kehutanan dengan industri pengolahan kayu dan hasil hutan lainnya. Hal ini berarti bahwa jika kondisi hutan Indonesia sudah mulai menipis, maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil dari industri kehutanan juga akan menurun. Kecilnya kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB disebabkan karena nilai PDB kehutanan hanya menghitung manfaat tangible hasil hutan terutama kayu dan nilai tambah dari industri primer hasil hutan. Sementara, manfaat intangible yang sangat besar dari sektor kehutanan dan kontribusinya terhadap penciptaan nilai tambah bagi sektor lain tidak tercermin dalam nilai PDB. Dengan kata lain, dilihat dari penciptaan nilai tambah pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ditunjukkan oleh nilai PDB, fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dari sektor kehutanan yang berperan penting dalam penciptaan nilai tambah bagi sektor lain dalam perhitungan PDB konvensional yang berlaku sekarang ini dinilai terlalu rendah (undervalued). Kelemahan Konsep PDB Konvensional dan Urgensi Penerapan PDB Hijau Penghitungan PDB yang dilakukan hingga saat ini (PDB Konvensional) sebenarnya baru menghitung nilai total barang dan jasa akhir (final product) Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 6

yang dihasilkan selama satu tahun dan dinyatakan dalam nilai rupiah. Nilai PDB (Konvensional) tersebut seolah-olah memberikan gambaran tentang struktur perekonomian dan pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh suatu daerah, baik secara total maupun secara sektoral, sehingga dianggap mencerminkan kondisi perekonomian daerah yang bersangkutan. Namun demikian, sesungguhnya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar karena nilai sumberdaya alam yang hilang (dieksploitasi) dan kerusakan (degradasi) lingkungan belum diperhitungkan sebagai nilai kehilangan dan kerusakan yang seharusnya dibayar, sehingga nilai-nilai yang tercantum dalam PDB yang konvensional itu belum menunjukkan nilai kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya. Dalam kaitannya dengan penggunaan sumberdaya alam, pendekatan yang digunakan dalam menghitung PDB Konvensional biasanya adalah pendekatan nilai tambah atau pendekatan produksi. Berdasarkan konsep perhitungan PDB Konvensional pengambilan sumberdaya alam justru dinyatakan sebagai penciptaan nilai tambah dan belum diperhitungkan sebagai modal alam yang hilang yang juga harus dinilai penyusutannya seperti halnya dengan penyusutan modal buatan manusia (gedung, mesin dan sebagainya). Suparmoko dan Nurrochmat (2005) menyatakan bahwa nilai PDB Hijau dapat diperoleh dengan mengurangkan nilai PDB Konvensional dengan nilai deplisi sumberdaya alam dan nilai degradasi lingkungan. Nilai deplisi dapat didekati dengan melakukan identifikasi jenis dan jumlah sumberdaya alam yang diambil (digunakan dalam suatu kegiatan perekonomian) dalam satu tahun. Sementara nilai degradasi lingkungan dapat diketahui dengan menganalisis besarnya nilai kerugian akibat kerusakan kerusakan lingkungan yang terjadi di suatu daerah. Bila ditemukan telah terjadi degradasi lingkungan seperti pada tanah/lahan, air dan udara, maka diidentifikasi macam dan volume kerusakannya dan kemudian dihitung nilainya, baik kerugian dari nilai penggunaan (use value) maupun nilai tanpa penggunaan (non-use value). Rendahnya nilai kontribusi kehutanan terhadap PDB adalah contoh konkrit dari perhitungan PDB konvensional yang bias. Sumbangan sektor kehutanan yang cukup besar terhadap perekonomian nasional adalah hal yang tak terbantahkan. Namun demikian pada kenyatannya dalam tampilan PDB kegiatan di bidang usaha kehutanan rata-rata sumbangannya dalam PDB nasional seolah-olah sangat rendah. Hal ini sangat ironis, karena bila terjadi kerusakan di sektor kehutanan, nilai kerugian yang ditanggung oleh suatu perekonomian akan jauh lebih besar daripada rusaknya sektor kehutanan itu sendiri. Keadaan ini dapat terjadi tidak lain karena sektor kehutanan mempunyai kaitan ke depan (forward linkages) yang semuanya itu sangat panjang dan besar, seperti sektor-sektor industri pengolahan hasil-hasil hutan, industri farmasi, sektor pariwisata, sumberdaya air, pertanian, transportasi dan kelautan. Oleh karena itu, selain mendesakkan pentingnya menyajikan nilai PDB Hijau sebagai neraca pendamping, hal yang tidak kalah penting adalah memberikan Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 7

pemahaman bahwa angka PDB bukan satu-satuya tolok ukur kuat atau lemahnya peran suatu sektor dalam pembangunan nasional. Selain dapat dilihat dari besar kecilnya kontribusi suatu sektor terhadap PDB nasional, peran suatu sektor juga perlu ditinjau dari aspek lain yang strategis, misalnya efek pengganda (multiplier effect) dan keterkaitan (linkages) dengan sektor lain. Pada kedua aspek terakhir inilah sesungguhnya sektor kehutanan diyakini memiliki peran yang sangat penting. Rekomendasi Kebijakan Sudah saatnya perhitungan PDB Hijau digunakan sebagai neraca pendamping (satelite account) dari PDB konvensional sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran. PDB Hijau dapat dihitung dengan cara memasukkan dimensi deplisi sumberdaya alam, degradasi lingkungan, dan manfaat jasa lingkungan ke dalam perhitungan PDB konvensional. Dengan pendekatan konsep PDB Hijau ini, maka nilai manfaat dari keberadaan hutan yang sangat mempengaruhi sektor-sektor lain dalam suatu perekonomian, termasuk sumbangannya dalam menyediakan jasa lingkungan bagi perekonomian secara keseluruhan dan dapat tercermin dalam nilai PDB. Peran sektor kehutanan seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi pangsa (persentase kontribusi) PDB yang semakin menurun, namun perlu pula ditinjau dari aspek lain yang tidak kalah strategis, misalnya efek pengganda (multiplier effect) dan linkages. Dengan adanya penilaian dari aspek yang lebih komprehensif akan dapat diketahui peran suatu sektor tidak hanya kontribusinya terhadap penciptaan nilai tambah tetapi juga perannya dalam mendukung berjalannya sektor lainnya secara lebih berimbang dan menyeluruh. Berdasarkan klasifikasi sektor yang dilakukan BPS pada Tabel Input-Output, peranan sektor kehutanan hanya dilihat dari produksi kayu dan non kayu yang umumnya merupakan input dasar yang masih akan diolah lagi menjadi produk yang bernilai tambah. Produk-produk yang berasal dari hutan yang kemudian diolah lagi (industri hilir) tidak masuk ke dalam kontribusi sektor kehutanan. Sehingga apabila produk tersebut dimasukan dalam kontribusi sektor kehutanan, kontribusi sektor kehutanan diestimasi menjadi sangat besar. Dengan demikian persoalan posting terkadang menyebabkan nilai PDB sektor kehutanan tidak mencerminkan fakta sesungguhnya, sehingga disarankan posting PDB antar sektor disempurnakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif. Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 8

Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, 1993-2005. Statistik Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2002. Pendapatan Nasional Indonesia 1998-2001, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Indonesia 2004, Jakarta. Nurrochmat, D.R., Sudradjat, A., Ramdan, H., Haryadi, D., dan D.S. Irawanto (Eds.), 2007. Reposisi Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan, Jakarta. Suparmoko dan D.R. Nurrochmat, 2005. Urgensi Implementasi PDRB Hijau di Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dr. Dodik R. Nurrochmat, Fakultas Kehutanan IPB 9