BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh posisi persaingan..., Rahmitha, FE UI, 2009

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

MENCERMATI KINERJA TEKSTIL INDONESIA : ANTARA POTENSI DAN PELUANG

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Perkembangan Industri

BAB 1 PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat telah memberikan dampaknya ke

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Industri pulp dan kertas merupakan salah satu industri di Indonesia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan sebuah negara. Hal ini serupa dengan pendapat yang

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

BAB I PENDAHULUAN. yang disebut perdagangan internasional. Hal ini dilakukan guna memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BPS PROVINSI JAWA BARAT A. PERKEMBANGAN EKSPOR EKSPOR MARET 2015 MENCAPAI US$ 2,23 MILYAR

BAB I PENDAHULUAN. yang memerlukan komponen yang terbuat dari karet seperti ban kendaraan, sabuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

Analisis Perkembangan Industri

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia,

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Nilai ekspor Jawa Barat Desember 2015 mencapai US$2,15 milyar naik 5,54 persen dibanding November 2015.

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BPS PROVINSI JAWA BARAT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Lubis (2008) Secara sederhana, investasi dapat diartikan sebagai cara

BAB I PENDAHULUAN. nasional adalah melalui perdagangan internasional. Menurut Mankiw. (2003), pendapatan nasional yang dikategorikan dalam PDB (Produk

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemasaran barang dan jasa. Dalam merebut pangsa pasar, kemampuan suatu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN. Neraca perdagangan komoditi perikanan menunjukkan surplus. pada tahun Sedangkan, nilai komoditi ekspor hasil perikanan

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era globalisasi telah muncul sebagai fenomena baru yang

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

BAB I PENDAHULUAN. hutang. Aktivitas pasar modal yang merupakan salah satu potensi perekonomian

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). ekonomi. Indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

1.1. Latar Belakang. dengan laju pertumbuhan sektor lainnya. Dengan menggunakan harga konstan 1973, dalam periode

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT MEI 2016

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA PEMBUKAAN PELATIHAN SDM INDUSTRI GARMEN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR JAWA TENGAH NOPEMBER 2008

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. namanya persaingan, walaupun perusahaan telah mengantisipasinya dengan

dan kelembagaan yang kegiatannya saling terkait dan saling mendukung dalam peningkatan efisiensi, sehingga terwujudnya daya saing yang kuat.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan atas sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Setiap negara di dunia ini pasti akan melakukan interaksi dengan negaranegara

BAB 17 PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Perkembangan Industri

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan konsumen terutama kebutuhan mengenai fashion, baik di bidang

KEYNOTE SPEECH MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PERESMIAN PABRIK PT. INDO KORDSA, TBK JAKARTA, 06 JANUARI 2015

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang memberikan dampak sangat

PROVINSI JAWA BARAT MARET 2017

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. merupakan komponen utama pembangunan industri nasional non-migas, yang. yang signifikan dalam penyerapan tenaga kerja.

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR PROVINSI JAWA BARAT OKTOBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. pengaruh yang sangat besar dalam perekonomian nasional.

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor Industri Pengolahan Tahun 2016

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Balakang Industri Tekstil dan Produk Tekstil sudah ada sejak lama di Indonesia. Industri ini bemula dari industri rumahan di tahun 1929 yang kemudian terus mengalami pertumbuhan terutama di tahun 1970-an semenjak masuknya investasi dari Jepang pada sub-sektor industri hulu. Pada awal perkembangannya industri ini hanya memanfaatkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) sebagai alat produksi kemudian dengan masuknya teknologi pada industri ini, alat tersebut tergantikan dengan penggunaan Alat Tenun Mesin (ATM). Sejak saat itulah industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) terus mengalami perkembangan bahkan hingga sekarang ini. Saat ini perkembangan industri TPT di Indonesia merupakan satu dari sepuluh klaster industri inti yang menjadi prioritas perkembangan dalam jangka panjang. Hal tersebut tertuang pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009. Perkembangan kesepuluh klaster industri inti tersebut, secara komprehensif dan intergratif, akan didukung oleh industri terkait (related industries) dan industri penunjang (supporting indsutries). Untuk industri TPT sendiri, dengan adanya strategi berdasarkan RPJMN tersebut, diharapkan industri ini akan tumbuh sebesar 6,65 persen per tahun serta dapat menyerap tambahan tenaga kerja sebanyak 485.955 pekerja per tahunnya. Wajar jika industri TPT menjadi salah satu prioritas perkembangan industri jangka panjang, pasalnya, selama ini industri TPT memainkan peran yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2006 industri ini memberikan kontribusi devisa sebesar 3,8 persen terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional dengan nilai mencapai USD 10,68 miliar dan di tahun 2007 kontribusi tersebut menurun menjadi sebesar 2, 4 persen persen dengan nilai USD 10,31 miliar. Nilai tersebut merupakan penyumbang terbesar PDB yang berasal dari sektor non-migas. Besaran kontribusi yang disumbangkan 1

2 oleh industri TPT tersebut berasal dari net export, penjualan domestik serta investasi pada industri ini. Sementara itu, jika ditinjau dari sisi perdagangan, nilai surplus perdagangan ekspor TPT selalu diatas USD 5 milyar pertahunnya. Pada tahun 2007 dari keseluruhan surplus perdagangan Indonesia yang sebesar USD 39,92 Milyar, sebesar 24,33 persennya merupakan sumbangan dari industri TPT seperti terlihat pada gambar 1.1. Angka tersebut merupakan angka terbesar jika dibandingkan dengan surplus ekspor yang disumbangkan oleh sektor lainnya. Bahkan jika dibandingkan dengan tahun 2006 maka sumbangan surplus perdagangan indsutri TPT tersebut meningkat karena sebelumnya hanya sebesar 20,2 persen. TPT; 24.33% Lainnya; 6.87% Migas; 1.67% Barang Tambang; 6.88% Sepatu dan Produk Kulit; 5.16% Produk Karet; 17.92% Furniture; 7.90% Sawit dan Olahannya; 16% Pulp dan Kertas; 13.37% Sumber : API Gambar 1.1. Share Surplus Perdagangan Indonesia 2007 Selain itu,daya serap industri ini terhadap tenaga kerja juga cukup besar, yakni mencapai 1,84 juta orang pekerja. Jumlah tersebut merupakan 15 persen dari share tenaga kerja yang terserap di industri manufaktur, dimana industri manufaktur sendiri menyerap 12 persen dari keseluruhan tenaga kerja yang terserap di seluruh sektor perekonomian yang mencakup 97,58 juta total pekerja. Industri TPT merupakan industri berbasis ekspor yang sebagian besar hasil industrinya untuk tujuan pasar luar negeri. Pada tahun 2003 total ekspor Indonesia

3 atas tekstil dan produk tekstil adalah sebesar USD 7,051 Milyar dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya hingga mencapai USD 9,814 Milyar di tahun 2007. Bahkan jika angka ekspor pada bulan Januari hingga Maret 2007 dibandingkan dengan total ekspor TPT pada bulan yang sama ditahun 2008 maka angka ekspor ditahun 2008 meningkat jika dibandingkan angka ekspor ditahun 2007 sebesar 4,60 persen. Tabel 1.1. Perkembangan Ekspor Impor TPT Tahun 2003 2008 (USD juta) Tahun Ekspor Impor 2003 7.051 1.513 2004 7.647 1.718 2005 8.604 1.605 2006 9.446 1.714 2007 9.814 1.998 Jan-Mar 07 2.413 487 Jan-Mar 08 2.524 1.089 Perub (%) 07/06 3,90 16,57 Trend (%) 03-07 9,11 5,69 Perub (%) Jan-Mar 08/07 4,60 123,45 Sumber : Departemen Perdagangan RI Meskipun nilai ekspor industri TPT terus meningkat, sangat disayangkan tingkat ketergantungan industri TPT Indonesia terhadap impor, terutama masalah ketersediaan bahan baku, masih cukup tinggi. Seperti terlihat pada tabel 1.1, seiring dengan peningkatan ekspor, nilai impor Indonesia untuk industri TPT juga terus mengalami peningkatan meskipun sempat mengalami penurunan di tahun 2005. Di dalam negeri sendiri selama tahun 2006-2007 konsumsi TPT dipasar domestik naik 20,43 persen dari 1.013 ribu ton menjadi 1.220 ribu ton, begitu juga dengan impor naik 72,55 persen dari 51 ribu ton ke 88 ribu ton, namun penjualan

4 produk dalam negeri di pasar domestik turun 42,98 persen dari 456 ribu ton menjadi 260 ribu ton. Seperti terlihat pada gambar 1.2, besarnya konsumsi garmen domestik cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun yang perlu diperhatikan dari peningkatan tersebut, besarnya sumbangan produk domestik terhadap konsumsi domestik jauh lebih kecil dibandingkan dengan produk impor ilegal yang ada di pasar domestik. Gambar 1.2. Share Konsumsi Garment di Pasar Domestik (000 Ton) Sumber : API Pada tahun 2007, produk tekstil lokal hanya mampu menguasai 22 persen dari total keseluruhan penjualan tekstil di dalam negeri yang mencapai 1.220 ribu ton. Sementara itu, produk tekstil impor mampu menguasai 7 persen penjualan.dan selebihnya penjualan tekstil dalam negeri dikuasai oleh produk impor ilegal. Sebagai akibat produk TPT impor yang terus membanjiri pasar dometik, industri TPT Menengah & Kecil yang orientasi pasarnya 100% domestik kehilangan pangsa pasarnya, sehingga dampak kerugiannya adalah mematikan industri tersebut & berlanjut ke PHK, resiko kredit macet dan pendapatan pajak menurun (Soetrisno, 2007). Bahkan disinyalir bahwa keberadaan impor ilegal tersebut telah mempengaruhi kinerja industri tekstil dari hilir hingga hulu (Kompas cetak, 2009), dimana pada tingkat hilir, produk dari perusahaan konveksi dan garmen skala kecil yang berorientasi ke pasar lokal langsung berhadapan dengan produk impor tersebut, dan karena serapan pasar tidak optimal, maka akan berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan. Sebagai

5 akibatnya, di tingkat hulu produksi perusahaan tekstil berskala besar yang biasa meyuplai bahan baku ke perusahaan kecil juga ikut menurun. Sumber : API Gambar 1.3. Domestic Market Share 2007 Selain dikarenakan membanjirnya produk impor ilegal di pasar domestik, penyebab rendahnya daya saing TPT di pasar domestik juga karena mahalnya bahan baku produksi, sehingga biaya produksi meningkat. Selain itu, mesin-mesin yang digunakan di industri ini juga berumur sangat tua, sekitar 80 persen dari keseluruhan mesin TPT yang ada saat ini telah berusia diatas 20 tahun, sehingga menyebabkan produktivitas menurun hingga 50 persen (Miranti, 2007). Ditambah lagi adanya kenyataan bahwa sebagian besar penjualan domestik berasal dari industri rumahan dan hanya sebagian kecil saja yang berasal dari industri berskala sedang hingga besar. Seperti terlihat pada Gambar 1.4, hampir sebagian besar penjualan di pasar domestik berasal dari industri rumahan. Angka penjulan domestik tesebut juga semakin mengalami penurunan tiap tahunnya. Dengan melemahnya daya saing TPT Indonesia di pasar domestik, tentu saja akan mempengaruhi perkembangan industri ini dikemudian hari, terlebih lagi sebagian besar penjualan domestik berasal dari industri rumahan.

6 Sumber : API Gambar 1.4. Penjualan Domestik (000 Ton) Sementara itu, posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia dapat dikatakan cukup baik. Pada 2006, Indonesia merupakan pemasok keempat terbesar untuk pasar tekstil AS dengan kontribusi 4,18 persen (USD 3,9 juta). Posisi perdagangan TPT Indonesia di AS setiap tahunnya cenderung membaik. Sementara di Uni Eropa, Indonesia merupakan pemasok TPT kesepuluh terbesar dengan share 1,2 persen (EURO 1,57 juta) pada 2006 dan posisi perdagangan Indonesia yang cenderung stagnan di Eropa. Sementara di pasar Jepang Indonesia merupakan pemasok kain & benang ketiga terbesar dengan kontribusi 6 persen (USD 349 juta) dengan posisi perdagangan yang cenderung stagnan. Meskipun Indonesia masih memiliki daya saing yang cukup baik di pasar internasional, jika dibandingkan dengan pesaing lainnya, Indonesia masih kalah bersaing dalam hal produktivitas pekerja dan biaya upah tenaga kerja. Produktivitas pekerja Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan produsen lainnya. Dalam tabel 1.2 terlihat bahwa rangking produktivitas Indonesia jika dibandingkan dengan negara lainnya berada pada tingkat 59, posisi tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya, seperti China yang menempati posisi 31, Malaysia 28 dan Thailand yang berada pada posisi 27. Tabel 1.2. Rangking Produktivitas Tenaga Kerja 2005 Negara Rangking Produktivitas Tenaga Kerja Thailand 27

7 Malaysia 28 Korea 29 China 31 Filipina 49 Indonesia 59 Sumber : Departemen Tenaga Kerja dalam API Sementara itu, untuk masalah biaya tenaga kerja, Indonesia juga merupakan Negara dengan upah tertinggi diantara negara produsen lainnya. Bila negara Bangladesh dan Vietnam hanya membayar upah buruh sebesar USD 0,35/ jam, Pakistan USD 0,40/jam, India USD 0,6/jam, maka Indonesia membayar lebih mahal, yakni lebih dari dua kalinya Bangladesh dan Vietnam, yaitu sebesar USD 0,76/jam seperti terlihat pada tabel 1.3. Tabel 1.3. Biaya Rata-Rata Per Pekerja 2007 (USD/Jam) Negara Biaya Rata-Rata Per Pekerja Banglades 0.35 Vietnam 0.35 Pakistan 0.40 China 0.55 India 0.60 Indonesia 0.76 Sumber : Departemen Tenaga Kerja dalam API Kondisi pasar domestik yang tidak cukup kondusif bagi industri TPT Indonesia dikarenakan membanjirnya produk impor ilegal yang tentu saja berdampak pada daya saing tekstil dan produk tekstil Indonesia di pasar domestik tersebut. Hal ini terlihat dari besarnya nilai penjualan produk impor ilegal yang lebih besar dibandingkan dengan produk tekstil domestik. Di sisi lain, posisi

8 perdagangan tekstil dan produk tekstil Indonesia dibeberapa negara cukup baik namun daya jika dibandingkan dengan daya saing yang dimiliki pesaing lainnya seperti halnya dalam hal produktivitas dan upah pekerja di pasar internasional, maka daya saing industri TPT Indonesia masih kalah untuk dapat menguasai pasar internasional, padahal industri TPT Indonesia difokuskan untuk tujuan pasar ekspor. 1.2. Perumusan Masalah Melihat peranan industri TPT yang sangat besar dalam perekonomian nasional, maka sudah seharusnya industri ini memiliki iklim usaha yang kondusif. Namun yang terjadi di pasar domestik adalah produk tekstil nasional kalah bersaing dengan produk impor ilegal yang ditandai dengan lebih dikuasainya pasar domestik oleh produk-produk tersebut. Adanya produk impor tekstil ilegal tersebut akan mempengaruhi harga di pasar domestik, sehingga menyebabkan distorsi terhadap struktur pasar dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan keberadaan produk impor ilegal tersebut akan lebih mempengaruhi perusahaan dominan yang cenderung memiliki sunk cost 1 yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan kecil dalam industri, sehingga struktur di pasar domestik akan ikut terpengaruh dengan keberadaan impor ilegal tersebut. Oleh karena itulah dalam penelitian ini ingin dianalisis apakah posisi suatu perusahaan didalam pasar domestik akan mempengaruhi kemampuan perusahaan tersebut dalam bermain di pasar internasional, sehingga menyebabkan ekspor industri TPT nasional dapat meningkat. Dalam hal ini apakah kondisi persaingan pasar domestik yang cenderung menuju kondisi pasar persaingan sempurna dan juga dibanjiri oleh produk impor ilegal akan menyebabkan perusahaan cenderung memilih pasar yang baru dalam memasarkan produknya, yakni ke pasar internasional yang ditandai dengan meningkatnya rasio ekspor perusahaan. Sementara untuk pasar internasional, industri TPT nasional masih memiliki daya saing yang cukup baik walaupun masih kalah jika dibandingkan dengan produk dari beberapa negara lain seperti China. Oleh karena industri TPT merupakan industri yang diarahkan untuk tujuan pasar ekspor, maka perlu 1 Merupakan pengeluaran yang apabila sudah dikeluarkan tidak bisa diperoleh kembali.

9 dianalisis pula faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk bersaing dalam pasar internasional, sehingga industri TPT Indonesia memiliki daya saing yang lebih baik lagi di pasar internasional. 1.3. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan pokok pemasalahan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengaruh posisi persaingan domestik industri TPT terhadap kemampuan ekspor industri tersebut. 2. Mengetahui variabel determinan yang mempengaruhi kemampuan ekspor industri TPT. 3. Mengetahui besarnya pengaruh variabel-variabel determinan tersebut terhadap kemampuan ekspor industri TPT. 1.4. Pertanyaan Penelitian Dengan adanya tujuan penelitian yang ingin dicapai seperti yang telah disebutkan diatas, perlu diajukan beberapa pertayaan pengarah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini. Beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakan pengaruh posisi persaingan domestik industri TPT terhadap kemampuan ekspor industri TPT Indonesia? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kemampuan ekspor industri TPT Indonesia? 3. Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kemampuan ekspor industri TPT Indonesia? 1.5. Hipotesis Penelitian Demi tercapainya keakuratan hasil penelitian, maka hipotesis sementara penulisan penelitian ini adalah: 1. Pengaruh posisi persaingan domestik industri TPT Indonesia akan secara signifikan mempengaruhi kemampuan ekspor industri TPT nasional.

10 2. Semakin besar strategi ekspor yang dilakukan oleh perushaaan didalam industri TPT maka akan semakin besar kemampuan ekspor yang dimiliki oleh industri TPT Indonesia 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi perusahaan besar dan sedang dalam industri Tekstil dan produk tekstil yang dilakukan pada tahun 2002 sampai tahun 2006. Data yang digunakan adalah data panel dalam industri TPT dengan sampel 40 perusahaan tekstil yang melakukan ekspor TPT terbesar selama tahun 2002 sampai 2006 tersebut. 1.6.2. Metode Pengumpulan Data Data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder, beberapa di antaranya bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Depertemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja serta Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). 1.6.3. Metode Pengolahan Data Model yang digunakan untuk menganalisis pengaruh posisi persaingan domestik dan strategi ekspor terhadap kemampuan ekspor suatu industri dalam penelitian ini adalah model Kiyohiko Ito. Ito pada tahun 1997 meneliti tentang industri manufaktur yang ada di Jepang dalam jurnal yang berjudul Domestic Competitiveness Position and Export Strategy of Japaness Manufacturing Firms : 1971-1985. Ito menganalisis perilaku ekspor perusahaan manufaktur Jepang beserta kinerja yang mempengaruhinya. Dalam penelitian tersebut, Ito menggunakan dua buah model Ordinary Least Squares (OLS). Pada awalnya, dianalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemampuan perusahaan manufaktur Jepang dalam melakukan ekspor yang diwakilkan oleh variabel rasio ekspor. Model yang digunakan adalah :

11 EXPRATIO t = β 01 + β 11 RMSt + β 21 RMSSQ t + β 31 KEIRETSU t + β 41 FXASSETS% t + β 51 ABSLACK t + β 61 UABSLACK t + ε 1 (1.1) EXPRATIO adalah variabel dependen yang menggambarkan rasio ekspor, dihitung dengan rasio penjualan ekspor berbanding total penjualan keseluruhan dikurangi dengan rata-rata rasio ekspor industri. RMS adalah relative market share suatu perusahaan dibandingkan dengan market share perusahaan terbesar dalam industri. RMSSQ adalah relative market share square yang menunjukkan diversifikasi pangsa pasar yang dimiliki perusahaan. KEIRETSU adalah sebuah variabel boneka yang menunjukkan keterlibatan perusahaan manufaktur di Jepang dengan 6 kelompok besar industri. FXASSETS% merupakan rasio aset tetap dibandingkan dengan aset total yang dimiliki perusahaan dikurangi dengan ratarata aset tetap industri tersebut. ABSLACK adalah variabel yang menggambarkan kelebihan sumber daya yang dimiliki perusahaan yang terserap oleh biaya, yakni rasio seluruh beban yang dimiliki perusahaan dibandingkan dengan seluruh penjualan yang dihasilkan dikurangi dengan rata-rata kekenduran terserap industri tersebut. Sementara UNABSLACK menggambarkan kelebihan sumber daya yang tak terserap, yakni rasio aset lancar dikurangi persediaan dibandingkan dengan utang lancar perusahaan. Selain menggunakan model untuk menggambarkan kemampuan ekspor perusahaan, Ito juga menggunakan model yang menggambarkan hubungan antara kinerja perusahaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor tersebut. Model kedua yang digunakan adalah : ROA t = β 02 + β 12 RMSt + β 22 EXPRATIO t + β 32 KEIRETSU t + β 42 FXASSETS% t + β 52 ABSLACK t + β 62 UABSLACK t + ε 2 (1.2) Dalam model kedua ini kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan Return on Assets (ROA), yakni rasio pengembalian aset yang didapatkan dari rasio antara pendapatan bersih terhadap aset total perusahaan dikurangi dengan rata-rata pengembalian aset industri.

12 Dalam penelitian kali ini penulis melakukan sedikit penyesuaian dan perubahan. Penulis hanya menggunakan model pertama dari kedua model yang digunakan oleh Ito karena tujuan awal penelitian ini hanya terbatas pada kemampuan ekspor industri TPT tanpa menganalisa kinerjanya. Selain itu dalam penelitian ini juga dilakukan penyesuaian terhadap beberapa variabel independen yang digunakan. Penyesuaian tersebut diperlukan karena keterbatasan data dan juga menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : EXPRATIO it = β 01 + β 11 RMS it + β 21 RMSSQ it + β 31 SLACK it + β 41 UProdCap it + β 51 LaborProdv it + β 61 %ForeignShare it + β 71 %InputImport it + ε (1.3) Dimana, EXPRATIO it = Rasio ekspor terhadap penjualan perusahaan i pada tahun t RMS it =Relative market shares perusahaan i pada tahun t terhadap market share perusahaan terbesar pada tahun t RMSSQ it = Relative market shares square perusahaan i pada tahun t SLACK it = Slack perusahaan i pada tahun t UProdCapit it =Utilisasi dari kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan i pada tahun t LaborProdv it = Produktivitas pekerja perusahaan i pada tahun t %ForeignShare it = Persentase kepemilikan asing atas modal perusahaan i pada tahun t %InputImport it = Persentase input impor dari total keseluruhan input produksi perusahaan i pada tahun t Kemampuan ekspor industri TPT yang diteliti pada tingkat perusahaan dalam industri tersebut akan dijelaskan oleh variabel rasio ekspor terhadap keseluruhan penjualan perusahaan, baik yang ditujukan untuk pasar domestik maupun ekspor. Variabel RMS dan RMS akan menunjukkan posisi persaingan

13 yang dihadapi tiap perusahaan di pasar domestik. Selain itu, terdapat pula beberapa variabel kontrol yang menggambarkan strategi ekspor yang dijalankan oleh perusahaan dalam industri TPT Indonesia. 1.7. Sistematika Penulisan Bab I: Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, hipotesis penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Literatur Penulis akan membahas mengenai teori-teori yang mendasari penelitian pada bab ini. Serta dilengkapi juga dengan pembahasan mengenai penelitian-penelitian sebelumnya. Bab III: Perkembangan Industri TPT Bab ini meliputi penjelasan dan perkembangan industri TPT Indonesia. Bab IV :Metodologi Penelitian Bab ini meliputi model acuan penelitian yang digunakan, model penelitian yang sudah disesuaikan, serta proses pengolahan data dan pengujian model yang akan dilakukan. Bab V: Analisis dan Pembahasan Pada bab ini, penulis menganalisis hasil penelitian dan membahas hasil penelitian secara komprehensif. Bab VI: Penutup Pada bab ini, penulis akan memaparkan kesimpulan dari penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan, serta kepada pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.