BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
PERHITUNGAN ALOKASI DAN KEBIJAKAN PENYALURAN DAK TA 2014, SERTA ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010

PERANAN KEMENTERIAN KEUANGAN DALAM ALOKASI ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH GUNA MENDUKUNG INPRES NOMOR 12 TAHUN 2011

KEBIJAKAN UMUM DAN ALOKASI DAK TA 2014

Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam APBN ISBN:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL. Novotel, Bogor, 06 September 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

POKOK-POKOK PERUBAHAN KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2016

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEBIJAKAN DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG KESEHATAN TAHUN 2014

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN ALOKASI DAK BIDANG PENDIDIKAN TAHUN 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM (DBH SDA)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

DANA ALOKASI KHUSUS DALAM PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PENGANGGARAN DANA PERIMBANGAN DALAM APBD 2017 DAN ARAH PERUBAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

Evaluasi dan Agenda Kebijakan DAK

Kuliah ke-10. Desentralisasi Ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PEMBELAJARAN DTSS PENGELOLAAN TRANSFER DANA KE DAERAH

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

2016, No menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahu

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BIRO PERENCANAAN DAN ANGGARAN KEMENTERIAN KESEHATAN

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GRAFIK DAN TABEL

Catatan : Kebijakan Transfer ke Daerah Dalam rangka RAPBNP Tahun 2011 Kebijakan belanja daerah atau transfer ke daerah dalam APBN 2011

Laporan Lengkap Konsultan Global Pusat Jakarta 2014

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA EVALUASI BESARAN ALOKASI DAK BIDANG KESEHATAN SUBBIDANG PELAYANAN KEFARMASIAN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BADAN KEUANGAN DAERAH PROVINSIS SUMATERA BARAT PELAPORAN DAN REALISASI DARI DANA TRANSFER TA 2016

Revenue & Expenditure

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PELAPORAN DATA REALISASI PENDAPATAN, BELANJA, DAN PEMBIAYAAN YANG BERSUMBER DARI DANA TRANSFER

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

TABEL MEKANISME ALUR DATA DJPK

Review Kebijakan Anggaran Kesehatan Nasional. Apakah merupakan Anggaran Yang Kurang atau Berlebih?

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

PECAPP. Revenue & Expenditure. Pengenalan tentang Keuangan Daerah. Syukriy Abdullah

KEBIJAKAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

BAB I PENDAHULUAN. daerah. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang. Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEBIJAKAN ALOKASI DAN PENYALURAN DAK TAHUN 2016

ANGGARAN PENDIDIKAN DALAM RAPBN 2014

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

SERIAL MODUL PELATIHAN SISTEM PEMANTAUAN DAN EVALUASI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/DPD RI/I/ TENTANG HASIL PENGAWASAN

ANGGARAN PENDIDIKAN DAN PERMASALAHNNYA

Press Briefing. Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (PMK Nomor 50/PMK.07/2017)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan insfratruktur menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN KEBIJAKAN UMUM DANA ALOKASI KHUSUS

Pengelolaan Keuangan Daerah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

Mata Kuliah Pembiayaan Pembangunan KATA PENGANTAR

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN ALOKASI BELANJA PEGAWAI DAN BELANJA PUBLIK. Oleh: DIREKTUR JENDERAL KEUANGAN DAERAH

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

KABUPATEN JEMBRANA RINCIAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI, PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2005 TENTANG DANA PERIMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan, sehingga akses dan penyediaan obat adalah tanggung jawab pemerintah baik pusat maupun daerah. Selain itu jaminan khasiat, keamanan, mutu obat dan perbekalan kesehatan yang beredar juga harus didukung olah sarana prasarana pelayanan kefarmasian. Di dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 36 diamanatkan bahwa pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial dan dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk penyediaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat. Kebijakan Obat Nasional (KONAS) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 189/Menkes/SK/II/2006 adalah menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat essensial dengan ruang lingkup antara lain mencakup pembiayaan, ketersediaan serta pemerataan obat bagi masyarakat. Gambar 1. Skema Otonomi Daerah dan Desentralisasi Skhema Otonomi Daerah & Desentralisasi Desentralisasi Politik Perwakilan Rakyat Pilkada Otonomi Daerah Desentralisasi Fiskal Desentralisasi Penerimaan Desentralisasi Pengeluaran Perluasan Taxing Power Alokasi dana Transfer Ke Daerah Desentralisasi Kewenangan Kewenangan yang dilimpahkan Desentralisasi Ekonomi Pembangunan ekonomi dimulai dari daerah Pertumbuhan ekonomi nasional adalah agregat pertumbuhan ekonomi daerah Catatan : PAD, penerimaan lainnya, dan Transfer ke daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan desentralisasi politik dan desentralisasi kewenangan (money follows function) untuk melayani masyarakat dan penyediaan belanja aparatur, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi Sumber data : Ditjen, Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2010 1

2 Otonomi daerah di Indonesia mulai diterapkan sejak tahun 2000 berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan didukung dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan dipertegas dengan PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, mengakibatkan beberapa peran pemerintah pusat dialihkan ke pemerintah daerah, termasuk bidang kesehatan. Dengan adanya otonomi daerah ini terjadi 4 desentralisasi yaitu desentralisasi politik dalam bentuk pemilihan kepala daerah; desentralisasi fiskal yang meliputi penerimaan (perluasan kewenangan pajak) dan pengeluaran (alokasi transfer ke daerah); desentralisasi kewenangan (kewenangan yang dilimpahkan); dan desentralisasi ekonomi (pembangunan ekonomi dimulai dari daerah dan pertumbuhan nasional adalah agregat pertumbuhan ekonomi daerah). Penelitian Danishevski, et al (2006) yang mengamati federasi yang terfragmentasi pada desentralisasi kesehatan di Rusia yang dahulunya sangat sentralisasi menjadi federasi sehingga pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya kewenangan pada daerah, namun hasil penelitian menyebutkan ternyata daerah mempunyai lingkup terbatas dalam melakukan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat. Saltman et al (1997) menyatakan pergerakan menuju desentralisasi politik dan ekonomi pada pemerintahan Rusia, tercermin dalam sektor kesehatan dan pandangan komunitas kesehatan internasional menyatakan bahwa reformasi kesehatan membutuhkan desentralisasi sistem kesehatan. Sehingga dalam periode pasca transisi ini dapat terlihat antusiasme negara mantan komunis menerapkan desentralisasi secara luas dan besar-besaran, tetapi tantangan desentralisasi dalam sistem kesehatan Rusia adalah adanya hambatan karena kurangnya kapasitas kelembagaan Vlassov, (2000). Selain itu menurut Twigg (1999) terkait hambatan desentralisasi Rusia lainnya adalah kesiapan administrator/pemerintah lokal untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengelola pendapatan atau anggaran kesehatan.

3 Alur penganggaran bersumber APBN dari pusat kepada kementerian/lembaga dan daerah seperti pada gambar 2. Gambar.2. Alur APBN Ke Daerah Sumber data: Ditjen. Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2011 Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terdiri dari komponen pendapatan dan komponen belanja negara. Komponen belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat dan anggaran yang ditransfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat selain untuk digunakan di pusat yaitu kementerian/lembaga (K/L), ada bagian dari belanja pusat yang diserahkan ke daerah melalui dana Unit Pelayanan Teknis (UPT); dana dekonsentrasi; dan dana tugas pembantuan (TP). Anggaran yang ditransfer ke daerah terdiri dari dana perimbangan; dana otonomi khusus (otsus); dan dana penyesuaian. Dana Perimbangan meliputi Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Bagi Hasil (DBH); dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana otsus diberikan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Dana penyesuaian digunakan antara lain

4 untuk tunjangan penghasilan guru, tunjangan profesi guru, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Dana Insentif Daerah (DID). Anggaran pusat yang ditransfer ke daerah sebagai komponen pembiayaan desentralisasi sesuai dengan gambar 3 dibawah ini. Gambar 3. Ruang Lingkup Transfer Ke Daerah Ruang Lingkup Transfer Ke Daerah Dana Perimbangan TRANSFER KE DAERAH Dana Otsus & Penyesuaian Dana Otsus Dana Penyesuaian Dana Bagi Hasil (DBH) DBH Pajak Dana Alokasi Umum (DAU) DBH PBB Dana Alokasi Khusus (DAK) DBH BPHTB Dana Otsus PAPUA DBH PPh Dana Otsus PAPUA BARAT DBH Cukai HT Dana Otsus ACEH DBH SDA Dana Infras Otsus Papua DBH Kehutanan Dana Infras Otsus Papua Barat DBH Pert umum Tambahan Penghasilan Guru DBH Perikanan Tunjangan Profesi Guru DBH Migas Bantuan Operasional Sek (BOS) DBH Panas Bumi Dana Insentif Daerah (DID) 4 Sumber data: Ditjen. Perimbangan Keuangan Kemenkeu, 2011 Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK merupakan bagian dari dana perimbangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Daerah tertentu yang mendapat DAK memenuhi kriteria umum (kemampuan fiskal), kriteria khusus (karakteristik wilayah) dan kriteria teknis (data teknis yang diformulasikan menjadi indeks teknis oleh K/L). Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan block grant yang diserahkan kepada daerah yang umumnya untuk sebagai belanja pegawai/gaji, belanja modal dan operasional sedangkan

5 DAK merupakan specific grant yang penggunaannya mengikuti petunjuk teknis yang ditetapkan oleh kementerian terkait setiap tahunnya. Dalam penggunaan DAU tidak dibebankan dana pendamping sedangkan DAK membutuhkan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari besaran DAK yang diterima daerah. Dalam era desentralisasi ini, terjadi reposisi peran pemerintah pusat terhadap akses dan penyediaan obat bagi masyarakat di lingkup kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, namun karena adanya keterbatasan anggaran yang ada di daerah maka pemerintah pusat mempunyai kewajiban penyediaan obat program dan persediaan penyangga serta membantu pembiayaan obat di daerah. Gambar 4. Sumber Pembiayaan Obat di Daerah. SUMBER OBAT UNTUK KAB/ KOTA US$ 2.00 DAK I. APBN - PUSAT : - Bufferstok - obat Program : P2PL & Gizi - Obat bencana + Flu burung - Vaksin Reguler - Daerah : - Jamkesmas II. APBD : - DAU - ASKES - BKKBN Sumber data : Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes Kemenkes, 2010 Di tingkat kabupaten/kota sumber pembiayaan obat meliputi APBN (bufferstock, obat program, obat bencana dan vaksin reguler, jamkesmas) sedangkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) meliputi DAU, Askes dan BKKBN). DAU dapat digunakan untuk penyediaan obat, namun tidak menjamin seluruh kebutuhan obat di daerah, karena banyak digunakan untuk gaji ataupun operasional. Dari kedua sumber tersebut ternyata sesuai dengan analisis Direktorat Jenderal Bina Kefamasian dan Alat

6 Kesehatan (Ditjen. Binfar dan Alkes) belum mencapai standar obat 2 dollar per kapita atau sekitar Rp.18.000,-/orang. Sehingga diusulkan kekurangan pembiayaan obat tersebut melalui DAK. Hal serupa yang dilakukan oleh pemerintah Kenya untuk mengatasi keterbatasan anggaran kesehatan melalui inovasi pendanaan fasilitas langsung (DFF) yaitu anggaran khusus ke daerah untuk sektor kesehatan di daerah. Inovasi sistem pendanaan ini telah digunakan pada sektor pendidikan di Kenya dan negara-negara lain yang mengikuti penerapan pendidikan dasar gratis ( Ayako, 2006). UU No. 33 Tahun 2004, dimana DAK dipergunakan untuk kegiatan fisik dan berumur ekonomi panjang. Obat bisa masuk salah satu kegiatan DAK setelah mendapat persetujuan DPR RI melalui Badan Anggaran Transfer Daerah. Obat adalah benda fisik namun umur ekonomis tidak sepanjang bangunan karena obat mempunyai batas kadaluarsa. Oleh karena itu, sangat penting untuk penyediaan obat ini dari sisi perencanaan (pembiayaan, pengadaan) dan penggunaannya. Bila tidak tepat, obat yang ada bisa menjadi kadaluarsa dan dianggap merugikan negara. Arah kebijakan DAK Bidang Kesehatan untuk subbidang pelayanan kefarmasian adalah penyediaan obat terutama obat generik dan sarana pendukung pengelolaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin yang berkhasiat, aman, bermutu dan bermanfaat terutama untuk pelayanan kesehatan penduduk miskin dan penduduk di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Sasaran dari penerapan kebijakan ini adalah bantuan untuk penyediaan obat dan perbekalan kesehatan bagi daerah untuk pelayanan kesehatan dasar di kabupaten/kota terutama penduduk miskin dan DTPK untuk mendukung pemenuhan obat 18 bulan. Besaran alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian dibandingkan Pagu DAK Kesehatan secara keseluruhan sekitar 35% atau satu per tiga dari total anggaran DAK Bidang Kesehatan. Ruang lingkup kefarmasian ini juga diperluas dengan menu sarana prasarana penunjang instalasi farmasi kabupaten/kota dalam rangka pengelolaan obat untuk menjamin mutu dan khasiat obat bagi masyarakat.

7 Tabel 1. Perbandingan DAK Subbidang Pelayanan Kefarmasian dibandingkan dengan pagu DAK Bidang Kesehatan. Tahun Total DAK Prosentase Anggaran Kefarmasian Kesehatan (%) 2010 2.829.760.000.000 1.000.000.000.000 35,34 2011 3.000.800.000.000 1.100.685.000.000 36,68 2012 3.005.931.000.000 1.100.685.000.000 36,62 Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemenkes 2012 Tabel 2. Menu DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian Tahun Anggaran 2010 2011 2012 Obat dan Perbekkes Obat dan Perbekkes Obat dan Perbekkes IFK Kab/Kota IFK Kab/Kota dan sarana Sarana Prasarana IFK prasarana IFK gugus pulau dan satelir serta Sarana Prasarana Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran, Kemkes, 2012 Perencanaan DAK Bidang Kesehatan selalu dimulai dengan t-1, misalkan perencanaan DAK Bidang Kesehatan Tahun 2011 maka proses perencanaannya dimulai sejak awal tahun 2010 yang meliputi penetapan arah kebijakan, ruang lingkup kegiatan/menu dan pembahasan data-data antara pusat dan daerah, sehingga perencanaan DAK bersifat bottom up. Data tersebut akan diolah dengan menggunakan formula teknis sehingga menjadi indeks teknis (IT) subbidang pelayanan kefarmasian. Indeks fiskal adalah indeks yang didapatkan dari perhitungan Fiskal Netto (FN) yang merupakan Penerimaan Umum Daerah dikurangi Belanjan Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Indeks wilayah (IKW) ditentukan berdasarkan karakteristik wilayah seperti daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan, daerah tertinggal/terpencil, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan. Hasil gabungan indeks teknis, indeks fiskal dan indeks kewilayahan akan digabung menjadi Indeks Fiskal Wilayah Teknis (IFWT) akan dibahas dalam sidang badan anggaran transfer dan selanjutnya menjadi alokasi untuk DAK per kabupaten/kota. Penentuan daerah yang layak dengan komposisi 50 %

8 IFW dan 50 % IT dan penentuan besaran alokasi digunakan perumusan 20 % IFW dan 80% IT. Hasil penentuan daerah yang mendapat alokasi beserta besarannya harus dibahas dan mendapat persetujuan panitia kerja (panja) belanja transfer daerah DPR RI. Tabel 3.Jumlah kabupaten/kota penerima DAK Bidang Kesehatan untuk Subbidang Pelayanan Kefarmasian Jumlah Kabupaten/ Alokasi Kab/kota Kota maksimal Tahun Indeks Penerima Teknis >0 DAK Alokasi Minimal 2010 419 378 18,087 M 489,2 juta 2011 491 440 18,607 M 512,3 juta 2012 491 444 16,464 M 462, 5 juta Sumber data: Biro Perencanaan dan Anggaran Kemenkes, 2012 Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak semua daerah bisa mendapatkan alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian. Namun melihat dari persentase penerima DAK pada tahun 2011 dan 2012 sekitar 90% dari total kabupaten/kota maka perlu diteliti ketepatan sasaran DAK pada subbidang pelayanan kefarmasian pada tingkat kabupaten/kota, karena bila 90% mendapat alokasi khusus maka ada kecenderungan bahwa DAK ini sudah kehilangan kekhususannya. Sangat dimungkinkan terjadinya daerah dengan kapasitas fiskal tinggi yang seharusnya tidak layak mendapatkan alokasi, tetap mendapat alokasi tersebut. Hal ini akan mengurangi besaran anggaran DAK pada daerah lainnya yang lebih layak mendapatkan. Dengan adanya DAK untuk memenuhi kebutuhan obat, maka daerah akan cenderung mengurangi anggaran obatnya dalam APBD dan mengandalkan pusat sebagai sumber pembiayaan obat. Hal ini tidak sesuai dengan konsep desentralisasi dan kembali ke resentralisasi. Selain itu tujuan DAK sebagai bantuan atau penambah anggaran obat di daerah tidak tercapai karena justru anggaran DAK ini menjadi subsitusi atau pengganti anggaran obat di daerah. Menurut Gilson et al (2005) dan James et al (2006) mengurangi anggaran kesehatan mempunyai dampak terhadap pengurangan anggaran untuk fasilitas pelayanan kesehatan, peningkatan beban kerja, pengurangan anggaran obat,

9 penurunan kinerja sumber daya kesehatan dan dampak negatifnya adalah keengganan masyarakat untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan dalam rangka melihat ketepatan sasaran dalam penerapan kebijakan pembiayaan obat melalui DAK Bidang Kesehatan yang dilatarbelakangi dengan adanya kekurangan sumber pembiayaan obat dari pusat dan daerah untuk mencapai standar Rp. 18.000,- per kapita. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalahnya adalah apakah besaran alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian untuk kabupaten/kota sudah sesuai sasaran? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum: diketahuinya hasil evaluasi besaran DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian terhadap kesesuaian dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan khusus mengetahui penggunaan DAK bagi daerah yang dengan kemampuan fiskal tinggi. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan masukan dan saran dalam rangka penyempurnaan arah kebijakan, data dan formulasi yang digunakan dalam pengalokasian DAK di daerah bagi pengambil kebijakan di Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan, khususnya di Biro Perencanaan dan Anggaran serta Ditjen. Bina Kefarmasian dan Alkes yang disertai dengan bukti empirik tentang besaran

10 alokasi DAK Bidang Kesehatan Subbidang Pelayanan Kefarmasian terkait dengan sasaran yang akan dicapai. E. Keaslian Penelitian Penelitian oleh Gani (1999) tentang Aplikasi Indikator Kesehatan dan Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) dalam Alokasi Anggaran Kesehatan Masyarakat mengevaluasi bagaimana cara alokasi anggaran pusat ke kabupaten-kabupaten di Jawa Barat sehingga alokasi tersebut relevan dan responsif terhadap kebutuhan kesehatan di masing-masing kabupaten. Adapun data yang digunakan meliputi data IPM yang diambil dari BPS, data imunisasi diambil dari Dinas Kesehatan dan data keadaan lantai rumah serta akses rumah tangga kepada air bersih diperoleh dari Susenas. Analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif. Hasil penelitian Gani menyatakan bahwa penggunaan formula dalam pengalokasian anggaran mempunyai keunggulan 2 kali lebih baik dari cara konvensional. Sedangkan penelitian ini difokuskan untuk ketepatan sasaran kabupaten/kota yang mendapatkan DAK yang pengalokasiannya berdasarkan formulasi dari indeks fiskal, indeks kewilayahan dan indeks teknis. Data yang digunakan bersumber dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Penelitian oleh Herbianto dkk (2004) yang berjudul Desentralisasi Pembiayaan Kesehatan dan Teknik Alokasi Anggaran, melihat tentang perkembangan dana-dana desentralisasi dan dekonsentrasi, apakah bergerak ke arah desentralisasi atau ke arah resentralisasi. Hasil penelitian Herbianto menemukan bahwa pengalokasian anggaran kesehatan tidak mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah dan sosial ekonomi masyarakat, sehingga daerah yang kaya dan miskin mendapatkan alokasi yang sama. Mekanisme anggaran pusat belum dapat menyeimbangkan perbedaan keuangan antar daerah dan tidak adanya formula yang jelas, maka proses penganggaran banyak dipengaruhi hal yang bersifat non teknis. Jenis penelitian menggunakan data sekunder yang diolah secara kuantitatif.

11 Sedangkan penelitian ini mengarah kepada sumber pembiayaan desentralisasi yaitu DAK dikaitkan dengan sasaran kebijakan penerapan pembiayaan obat melalui DAK. Penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2008) tentang Kebijakan Transfer Anggaran Belanja Departemen Kesehatan dan Penyusunan Formula Anggaran, menjelaskan tentang mekanisme transfer anggaran dekonsentrasi, tugas pembantuan dan sektoral di Departemen Kesehatan yang tidak jelas arahnya dan belum menggunakan formulasi yang jelas. Hasil penelitian Herawati menyatakan program kesehatan ibu belum mempunyai formula yang jelas; program TBC berdasarkan hystorical budget dan dipengaruhi oleh donor; alokasi untuk RS tidak mempertimbangkan kemampuan fiskal daerah; program obat dan gakin menggunakan jumlah penduduk miskin sebagai indikator pengalokasian anggaran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Sedangkan penelitian ini lebih mengarah kepada formulasi anggaran transfer daerah yaitu DAK yang sudah menggunakan formulasi. Hasil dari penghitungan tersebut dikaitkan kembali kepada sasaran DAK. Penelitian yang dilakukan Opwora et al pada tahun 2009 terkait Direct Facility Funding (DFF) yaitu pendanaan langsung kepada fasilitas pelayanan kesehatan sebagai dampak dari pengurangan anggaran kesehatan yang diimplementasikan pada pusat pelayanan kesehatan dan apotik (pelayanan kefarmasian) di Kenya. Penelitian ini dilakukan setelah implementasi kebijakan DFF selama 2,5 tahun. Secara kuantitatif dengan mengambil data dari 30 pelayanan kesehatan dan apotik serta depht interview dengan 12 pimpinan pelayanan kesehatan, staf dinas kesehatan dan stake holder lainnya. DFF ini merupakan income/pendapatan bagi daerah dimana 47 % untuk pelayanan kesehatan dan 62% untuk farmasi. Penggunaan DFF ini untuk tenaga kesehatan (32%), untuk perjalanan dinas (21%) sedangkan untuk infrastruktur dan pemeliharaan (18%). DFF ini berdampak positif pada pelayanan kesehatan masyarakat, renovasi infrastruktur pelayanan kesehatan, rujukan pasien dan peningkatan motivasi tenaga kesehatan. Permasalahan dari

12 DFF ini adalah tingkat kepatuhan pelaporan dan tidak ada dokumentasi DFF ini di fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu keterbatasan pengetahuan terkait DFF ini membuat ketidakpercayaan antara tenaga kesehatan dengan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah peningkatan anggaran kesehatan berdampak signifikan ketika anggaran tersebut dikelola oleh daerah, dan pemerintah Kenya akan menerapkan DFF ini secara luas namun disertai pelatihan, pendokumentasian dan fokus untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat. Pada penelitian ini DFF merupakan sistem pendanaan yang menyerupai DAK di Indonesia, dimana anggaran langsung dari pusat masuk ke daerah. Kuantitatif menggunakan data dari 491 kabupaten/kota untuk evaluasi besaran alokasi DAK Bidang Kesehatan 2011 dan 2012 untuk Pelayanan Kefarmasian dikaitkan dengan kesesuaian sasaran dalam arah kebijakan DAK Bidang Kesehatan. Sedangkan kualitatif dengan melakukan wawancara pengelola kefarmasian di 2 kabupaten/kota kemampuan fiskal tinggi, namun daerah tersebut mendapat DAK. Penelitian yang dilakukan Ockti Palupi (2011) menitikberatkan pada pengaruh formula dalam pengalokasian DAK untuk menu tempat tidur kelas III di RS provinsi/ kabupaten/kota. Penelitian ini dilakukan 2 tahap, yaitu penyusunan formula DAK baru oleh RS terpilih dan tahap kedua membandingkan formula DAK versi Ditjen. Pelayanan Medik (Yanmed) dengan formula DAK yang baru. Rancangan penelitian pada tahap pertama menggunakan analisis deskriptif, sedangkan tahap kedua menggunakan analisis cross sectional dengan uji statistik Chi Square ( x²). Hasil penelitian Palupi (2011), adanya usulan formula pengalokasian DAK daerah hampir sama dengan pusat dan prioritas yang ditentukan pusat belum tentu sesuai dengan kebutuhan daerah. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada besaran alokasi DAK dikaitkan dengan arah kebijakan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan yang sasarannya adalah penduduk miskin dan DTPK.