2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus).

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

POLA MUSIMAN IKAN KURISI (Nemipterus japonicus, Bloach 1791) DI PERAIRAN SELAT SUNDA, KECAMATAN LABUAN, KABUPATEN PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3. METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN KURISI (Nemipterus furcosus) BERDASARKAN MODEL PRODUKSI SURPLUS DI TELUK BANTEN, KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi PPP Labuan, Banten 2.2 Sumberdaya Ikan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

3. METODE PENELITIAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA, PROVINSI DKI JAKARTA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pola Rekrutmen, Mortalitas, dan Laju Eksploitasi Ikan Lemuru (Amblygaster sirm, Walbaum 1792) di Perairan Selat Sunda

3.3 Pengumpulan Data Primer

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

c----. Lemuru Gambar 1. Perkembangan Total Produksi Ikan Laut dan Ikan Lemuru di Indonesia. Sumber: ~tatistik Perikanan Indonesia.

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

STUDI DINAMIKA STOK IKAN BIJI NANGKA

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

STUDI DINAMIKA STOK IKAN LAYUR (Lepturacanthus savala) DI TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT

2. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

BAB I PENDAHULUAN. dunia merupakan hasil tangkap sampingan dari perikanan rawai tuna (Prager et

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN STOK IKAN SWANGGI Priacanthus tayenus (Richardson, 1846) DI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG DIDARATKAN DI PPP LABUAN, PANDEGLANG BANTEN

Transkripsi:

5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan kurisi 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan kurisi terkenal sebagai ikan demersal yang hidup soliter dengan pergerakan yang lambat. Morfologi ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus). Menurut (Bloch, 1791) in FAO (2001), klasifikasi ikan kurisi adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Super kelas : Osteichthyes Kelas : Actinopterygii Sub Kelas : Actinopterygii Super ordo : Acanthopterygii Ordo : Perciformes Sub ordeo : Percoidei Family : Nemipteridae Genus : Nemipterus Spesies : Nemipterus japonicus(bloch 1791) Nama Internasional : Japanese threadfine bream Nama Indonesia : Kurisi

6 Ikan kurisi dicirikan dengan bentuk mulut yang letaknya agak kebawah dan adanya sungut yang terletak didagunya yang digunakan untuk meraba dalam usaha pencarian makanan (Burhanuddin et al. 1994 in Siregar 1997). Ciri-ciri ikan kurisi menurut Ficcher & Whitehead (1974) in Siregar (1997) adalah berukuran kecil, badan langsing dan padat. Tipe mulut terminal dengan bentuk gigi kecil membujur dan gigi taring pada rahang atas (kadang-kadang ada juga pada rahang bawah). Bagian depan kepala tidak bersisik. Sisik dimulai dari pinggiran depan mata dan keping tutup insang. Bentuk tubuh ikan kurisi yaitu badan memanjang, bentuk mulut terminal dan lubang hidung terletak di kedua sisi moncong, berdekatan satu sama lain.rahang atas dan bawah ukurannya hampir sama dengan rahang bawah lebih menyembul. Pada kedua rahang terdapat barisan gigi berbentuk kerucut yakni gigi canin dan gigi viliform. Selain itu, ikan kurisi memiliki 7-8 tulang tapis insang pada bagian lengkung atas dan 15-18 tulang tapis insang pada lengkung bawah, dengan jumlah total 22-26 tulang tapis insang (Hukom et al. 2004in Harahap et al.2008 ). Ciri-ciri ikan kurisi lainnya yaitu sirip dorsal terdiri dari 10 duri keras dan 9 duri lunak, sirip anal terdiri dari 3 duri keras dan 7 duri lunak. Ikan betina umumnya mendominasi pada ukuran tubuh yang lebih kecil dan ikan jantan mendominasi ukuran tubuh yang lebih besar.terdapat totol berwarna jingga atau merah terang dekat pangkal garis rusuk (linea lateral). Sirip dorsal berwarna merah, dengan garis tepi berwarna kuning atau jingga (Fishbase2011).Pada bagian dorsal dan lateral tubuh ikan kurisi terdapat gradiasi warna kecokelatan. Sirip caudal dan sirip dorsal berwarna biru terang atatu keunguan dengan warna merah kekuningan pada bagian tepi siripnya. 2.1.2 Biologi dan Habitat Ikan Kurisi termasuk kedalam jenis ikan damersal. Habitat ikan kurisi meliputi perairan estuari dan perairan laut. Tipe substrat sangat mempengaruhi kondisi kehidupan ikan kurisi untuk dapat berkembang dengan baik, karena sedimen dasar laut mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup di dasar perairan. Kebanyakan ikan ini hidup di dasar laut dengan jenis substrat berlumpur atau lumpur bercampur pasir (Burhanuddin et al. 1984 in Siregar 1997). Hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur berpasir pada kedalaman 10-50 m (Pusat Informasi

7 Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2012). Ikan kurisi ditemukan pada kedalaman lebih dari 100 m (Masuda 1984 in Harahap et al. 2008). Menurut Allen (1999), ikan ini terdapat pada lingkungan laut pada kedalaman mencakup 100-330 m. Hukom et al. (2004) in Harahap et al. (2008) mengatakan bahwa ikan kurisi terdapat pada kedalaman lebih dari 100 m (antara 100-500 m). Selain itu, ikan kurisi tidak melakukan migrasi dan biasanya hidup berasosiasi dengan karang (Fishbase 2011). Ikan kurisi bersifat dioecious yaitu organ reproduksi jantan dan betina terbentuk pada individu berlainan. Pembuahan terjadi secara eksternal yaitu pembuahan telur oleh sperma yang berlangsung di luar tubuh induk betina. Menurut Sjafei & Robiyani (2001) ikan ini bersifat karnivora, jenis makanan yang terdapat pada lambung ikan kurisi antara lain: udang, kepiting, ikan, gastropoda, cephalopoda, bintang laut, dan polychaeta. Brojo & Sari (2002) mengatakan bahwa berdasarkan pola rasio kelamin dengan ukuran panjang ikan, ikan kurisi digolongkan kedalam kelompok yang terdiri dari ikan betina matang gonad lebih awal dan biasanya mati lebih dahulu dari pada ikan jantan, sehingga ikan-ikan dewasa yang lebih muda terutama terdiri dari ikanbetina, sementara ikan-ikan yang lebih besar ukurannya adalah ikan jantan. Perbandingan atau rasio jenis kelamin yang ada di alam bersifat relatif Effendie (2002). Perbandingan 1:1 ini sering menyimpang pada kenyataannya di alam, antara lain disebabkan oleh perbedaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan laju pertumbuhannya (Nasabah 1996 in Ismail 2006). Menurut Sentan dan Tan (1975) in Brojo & Sari (2002), laju pertumbuhan ikan kurisi betina di Laut Andaman lebih rendah daripadaikan jantan setelah tahun kedua. Hal ini terjadi karena untuk mencapai matang gonad, energi yang digunakan untuk pertumbuhan gonad lebih besar dari pada untuk pertumbuhan tubuhnya. Beberapa peneliti menemukan ukuran maksimum ikan kurisi betina lebih kecil dari pada ikan jantan (Chullasorn & Martosubroto 1986 in Brojo & Sari 2002). Dugaan lain sehubungan dengan relatif sedikitya jumlah ikan kurisi betina berukuran besar yang tertangkap, yaitu adanya migrasi ikan kurisi di sekitar Selat Sunda untuk memijah. Tempat pemijahan diperkirakan berada di sekitar daerah penangkapan utama di perairan bagian barat Pulau Jawa. Kebanyakan ikan akan

8 berimigrasi untuk pemijahan setelah ovarium matang, danakan kembali ke daerah penangkapan setelah memijah (Brojo & Sari 2002). Berdasarkan pengamatan Brojo & Sari (2002) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan betina matang gonad (Lm) adalah pada ukuran sekitar 17 cm (kisaran 15-18 cm) yaitu sekitar 63 % dari panjang maksimumnya. Boorrvarich & Vadhnakul in Brojo & Sari (2002)memperoleh ikan kurisi pertama kali matang gonad pada ukuran antara 45-66 % dari panjang maksimumnya. Menurut Food & Agricultural Organization (1972) in Siregar (1997), ciri-ciri khusus dari ikan kurisi adalah panjang tubuh tidak termasuk flagel pada sirip ekor maksimum 32 cm dan umumnya 12-25 cm. Menurut Udupa in Brojo & Sari (2002), ukuran pada waktu kematangan gonad pertama kali bervariasi diantara dan di dalam spesies.lagler (1977) in Gumilar (2011) mengatakan bahwa perbedaan ukuran ikan antar jenis kelamin kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik.menurut Gulland (1983), keadaan spawning stock yang rendah menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan anak-anak ikan (recruitment) di masa mendatang yang akhirnya akan menyebabkan recruitment overfishing. Menurut Sjafei & Robiyani (2001) kelompok ikan kurisi yang tertangkap di Teluk Labuan diduga pada bulan April - Mei merupakan masa perkembangan bagi populasi ikan kurisi dan jugaukuran mata jaring nelayan tepat untuk ukuran pada bulan tersebut. 2.1.3 Sebaran Habitat Daerah penyebaran ikan kurisi hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia, ke utara meliputi Teluk Siam dan Philipina (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Pardjoko (2001) in Priyanie (2006) mengatakan bahwa persebaran ikan kurisi di Indonesia meliputi wilayah perairan sekitar Ambon, Sumatera, jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.

9 Gambar 3 Peta sebaran ikan kurisi (Nemipterus japonicus) Sumber:www.fishbase.org2011 ( : Daerah sebaran ikan kurisi). 2.1.4 Alat Tangkap Ikan kurisi dapat tertangkap dengan alat tangkap pukat tarik, payang, jaring insang, rawai, pancing, sero, trawl, dan bubu (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2005 in Sulistiyawati 2011). Alat tangkap yang digunakan di Selat Sunda untuk menangkap ikan kurisi adalah dogol, payang, jaring insang, pancing, bagan dan jaring rampus. Cantrang merupakan alat tangkap yang dominan digunakan untuk menangkap ikan kurisi di Selat Sunda. Cantrang merupakan alat penangkap ikan yang terdiri dari bagian-bagian yaitu mulut, sayap, badan, dan kantong. Pada bagian mulut terdiri bibir jaring atas dan bibir jaring bawah yang mempunyai ukuran yang berbeda. Badan merupakan bagian yang terbesar dari jaring yang terletak antara kantong dan sayap. Sayap merupakan sambungan dan perpanjangan antara badan dan tali selambar, bagian ini merupakan bagian yang berfungsi sebagai penghalau ikan untuk masuk kantong dan akhirnya seluruh hasil tangkapan dapat terkumpul dibagian kantong (Sudirman et al. 2007). Masing-masing bagian pada alat tangkap cantrang yang digunakan terbuat dari bahan sintetis fibre polyethylene. Ukuran mata jaring (mesh size) alat tangkap cantrang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena fungsi dari tiap-tiap bagian berbeda-beda. Bagian sayap terdiri dari sayap kiri dan sayap kanan. Kedua sayap memiliki ukuran mata jaring yang lebih besar dari bagian-bagian yang lain, karena bagian ini berfungsi sebagai penghalau ikan. Panjang jaring pada bagian sayap

10 adalah 12 m, dengan ukuran mesh size 12 cm. Pada bagian badan, memiliki panjang jaring 15 m dengan ukuran mesh size 5 cm. Sedangkan bagian kantong memiliki ukuran mesh size yang lebih kecil dari pada bagian-bagian yang lain. Hal ini dikarenakan pada bagian kantong merupakan tempat hasil tangkapan ditampung. Ukuran mesh size pada bagian ini adalah 2 cm dengan panjang 12 m. Pada bagian kantong juga dilengkapi dengan bagian yang dapat dibuka dan ditutup yang letaknya pada ujung kantong yang berfungsi sebagai tempat hasil tangkapan dikeluarkan (Sudirman et al. 2007). Menurut Subani & Barus (1989), jaring cantrang terdiri dari kantong, dua buah sayap, dua buah tali ris, tali selembar serta pelampung dan pemberat. Ciri khusus alat ini adalah bibir atas dan mulut jaring lebih menonjol keluar dibandingkan bibir bawah atau tali ris bawah lebih panjang dari tali ris atas. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah ikan lari ke arah vertikal. Gambar 4 Alat tangkap jaring cantrang (Sumber: uptuppiprobolinggojatim.blogspot.com2011).

11 2.2 Analisis Frekuensi Panjang Semua metode pengkajian stok (stock assessment) pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Oleh karena itu kompromi paling baik bagi pengkajian stok dari spesies tropis adalah suatu analisis sejumlah data frekuensi panjang total ikan. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Dengan kata lain tujuannya adalah untuk memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Umur ikan bisa ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal. Kelompok umur bisa diketahui dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Hasil identifikasi kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan (Busacker et al. 1990in Syakila 2009). Fungsi analisis frekuensi panjang adalah untuk menentukan umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur lebih rumit (Pauly 1984 in Ruth 2011). Penentuan umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar dan diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama. Ketika suatu contoh dalam jumlah besar dan tidak bisa diambil dari suatu stok ikan atau invertebrata, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok ukuran atau kelas yang berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada distribusi frekuensi panjang (King 1995). Setelah komposisi umur diketahui melalui analisis frekuensi panjang, maka parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode-metode estimasi yang sesuai. Selain parameter pertumbuhan, mortalitas total juga dapat diduga dari hasil tangkapan yang dilinierkan dan metode ini merupakan metode berbasis panjang.

12 2.3 Pertumbuhan Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam periode waktu. Sedangkan pada populasi pertumbuhan merupakan peningkatan biomassa suatu populasi yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang berasal dari luar maupun dalam (Effendi 2002). Pertumbuhan ikan merupakan proses kejadian kompleks yang melibatkan banyak faktor yang berbeda, antara lain: (1) temperatur dan kualitas air; (2) ukuran, kualitas dan ketersediaan makanan; (3) ukuran, umur dan jenis kelamin; (4) jumlah ikan ikan lain yang memanfaatkan sumber sumber yang sama, serta kematangan gonad pertama dari ikan tersebut (Effendi 2002). Pada waktu pertama kali mencapai kematangan gonad kecepatan pertumbuhan menurun, karena sebagian makanan yang dimakan digunakan untuk perkembangan gonad (Effendi 2002). Pertumbuhan ikan tergantung dari ketersediaan makanan dan daya cernanya. Faktor eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan. Menurut Priyanie (2006) Kondisi lingkungan tempat hidup ikan memegang pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ikan. Namun demikian ikan yang hidup diperairan tropik, makanan merupakan faktor yang lebih penting. Pertumbuhan hanya akan terjadi apabila energi yang diserap oleh tubuh lebih besar dari pada energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas, proses pencernaan dan yang terbuang melalui eksresi(affandi 2002). Boverton & Holt (1957) in Sparre & Venema (1999) menyebutkan bahwa persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan populasi yang memuaskan. Hal ini dikarenakan persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan. Metode Ford Walford merupakan metode sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L dan K dari persamaan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparre & Venema 1999). Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan program FISAT II (FAO- ICLARM Stok Assesment Tool) yaitu dengan metode NORMSEP (Normal

13 Separation). Menurut Hasselblad (1996), Mc New & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menjelaskan bahwa indeks separasimenggambarkan kualitas pemisahan dua kelompok umur yang berdekatan. Apabila indeks separasi kurang dari dua (<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan kelompok umur karena akan terjadi tumpang tindih dengan kedua kelompok umur tersebut. 2.4 Hubungan Panjang Bobot Pendugaan suatu pertumbuhan dapat menggunakan dua model, yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 2002). Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 2002). Pola pertumbuhan di bagi menjadi 2, yaitu petumbuhan isometrik dan Pertumbuhan alometrik. Pertumbuhan allometrik ada 2 yaitu pertumbuhan allometrik positif (b>3) dan pertumbuhan allometrik negatif(b<3). Pertumbuhan allometrik positif dimana perubahan berat lebih dominan dari pada pertumbuhan panjang. Pertumbuhan allometrik negatif merupakan perubahan panjang lebih dominan dari pada perubahan berat. Pertumbuhan isometrik dimaksudkan sebagai perubahan yang bersifat seimbang terus dalam tubuh suatu organisme. Pertumbuhan allometrik adalah pertumbuhan yang tidak seimbang dan dapat bersifat sementara, misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad pada ikan (Effendie 2002). Menurut Efendie (2002), pertumbuhan isometrik dimaksudkan sebagai perubahan yang bersifat seimbang terus dalam tubuh suatu organisme, sedangkan pertumbuhan allometrik adalah perubahan yang tidak seimbang antara panjang dan berat ikan.pertumbuhan ikan tergantung dari ketersediaan makanan dan daya cernanya. Pertumbuhan hanya akan terjadi apabila energi yang diserap oleh tubuh

14 lebih besar dari pada energi yang digunakan untuk melakukan aktivitas, proses pencernaan dan yang terbuang melalui eksresi (Affandi 2002). Sjafei & Robiyani (2001) mengatakan bahwa hasil analisis hubungan panjangbobot ikan kurisi menunjukkan bahwa ikan kurisi mempunyai pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Pola pertumbuhan allometrik negatif pada ikan kurisijuga ditemukan pada penelitian Tarigan (1995) in Sjafei & Robiyani (2001) terhadap ikan kurisi (Nemipterus sp.) di Selat Makassar, Siregar (1997) in Sjafei & Robiyani (2001) terhadap ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Teluk Lampung, dan Gumilar (2011) terhadap ikan kurisi (Nemipterus furcosus) di Teluk Banten. Bahkan pada ketiga penelitian tersebutdiperoleh nilai b yang lebih rendah yairu 2,278 ; 2,512 dan 2,848. Tampaknya perbedaan ini lebih disebabkan oleh perbedaan spesies.sjafei & Robiyani (2001) juga mengatakan bahwa ikan jantan lebih besar dari pada ikan betina. Angka ini memperlihatkan bahwa pada panjang yang sama ikan jantan lebih gemuk dari pada ikan betina. Fischer & Whitehead (1974) in Robiyani (2000) menyatakan bahwa ikan kurisi maksimal berukuran 30 cm, umumnya yang sering tertangkap berukuran 16-25 cm. Ikan kurisi yang ditemukan di perairan Teluk Labuan pada tahun 2000 berukuran 18.8-23.3 cm (Robiyani 2000). 2.5 Faktor Kondisi Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka (Lagler 1961 in Effendie 2002). Faktor kondisi merupakan turunan terpenting dari pertumbuhan. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Keadaan disini mempunyai arti dapat memberikan keterangan baik secara biologis atau secara komersial. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan (Effendie 2002). Effendie (2002) menyatakan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh umur, makanan, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan untuk perkembangan gonad. Ikan kurisi memiliki rata-rata faktor kondisi yang semakin meningkat dari kelompok ukuran kecil sampai besar, sedangkan pada kelornpok ekstra-besar terjadi

15 penurunan. Diperkirakan bahwadari ukuran kecil sampai besar terjadi pertumbuhan somatik, sehingga faktor kondisi makin besar. Sementara itu pada ukuran besar pertumbuhan menurun akibat dari pemijahan ikan. Pada spesies Nemipterus japonicus ini ditemukan banyak ikan yang gonadnya sudah mengecil dan diternukan sisa-sisa telur, yang menunjukkan bahwa ikan telah selesai memijah (Sjafei & Robiyani 2001). Adanya perbedaan kisaran ukuran panjangini dapat disebabkan antara lain oleh jumlah contoh dan faktor lingkungan (Widodo in Brojo & Sari 2002). Keadaan lingkungan perairan yang buruk akan mempengaruhi kisaran ukuran ikan yang tertangkap dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan ikan (Komara 1983 in Brojo & Sari 2002 ). 2.6 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas merupakan suatu aspek dalam dinamika stok ikan. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa, mortalitas dapat terjadi karena adanya aktifitas penangkapan yang dilakukan manusia dan alami yang terjadi karena kematian karena predasi, penyakit, dan umur. Laju mortalitas total merupakan jumlah dari mortalitas penangkapan (F) dengan mortalitas alami (M). Secara matematis dapat dituliskan sebagai Z = F+M (Sparre & Venema 1999). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan yang berbeda, faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum (L ) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai jumlah ikan yang mati akibat penangkapan dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984in Syakila 2009). Gulland (1971)inSparre & Venema (1999)menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami

16 (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995). 2.7 Kondisi Lingkungan Perairan Informasi mengenai kondisi lingkungan perairan sangat dibutuhkan dalam menjelaskan hubungan antara spesies target dengan lingkungannya. Parameter yang diukur pada umumnya adalah parameter yang diperkirakan berpengaruh langsung terhadap biologi, distribusi dan kelimpahan ikan. Parameter yang diperlukan, relatif mudah dan murah untuk diukur adalah suhu perairan (King 1995). Pada perairan laut limbah industri, salinitas, dan unsur hara perlu diukur. Pada perairan dengan unsur hara yang tinggi, seperti daerah upwelling, produksi plankton hampir selalu melimpah dan diikuti produksi ikan yang cukup tinggi (Nybaken 1992). Pada bulan Agustus (akhir musim timur) terlihat konsentrasi Klorofil-a yang tinggi di perairan lepas pantai dibagian Selatan Selat Sunda. Meskipun lokasi tersebut tidak mendapat pengaruh langsung suplai nutrien dari daratan (Run off) dan aliran massa air laut Jawa (Amri 2008). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10 0 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003). Menurut Brown (1987) in Effendi (2003), peningkatan suhu sebesar 10 0 C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Perubahan suhu perairan yang sangat kecil (± 0,02ºC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di perairan tersebut (Laevastu & Hayes 1980 in Amri 2008). Amri (2008) mengatakan bahwa musim timur merupakan musim dengan kondisi suhu permukaan air laut relatif tinggi didominasi oleh masa air dengan suhu permukaan laut 29 0 C-30,5 0 C dan pada musim

17 peralihan 1 dan 2 nilai sebaran suhu permukaan laut berkisar 27 0 C-30,5 0 C. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada musim peralihan 2 (September-Oktober). Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi 2003). 2.8 Pengkajian Stok Ikan Menurut Wiyono (2005) menyatakan bahwa pengkajian stok (stock assessment) merupakan kegiatan aplikasi ilmu statistika dan matematika pada sekelompok data untuk mengetahui status stok ikan secara kuantitatif demi kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan. Pengkajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah dan kelimpahan (abundance) dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta sebab-sebab lainnya, dan mengenai berbagai tingkat laju penangkapan atau tingkat kelimpahan stok yang dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang (Widodo & Suadi 2006). Di dalam melakukan pendugaan potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia digunakan beberapa metode yaitu metode penghitungan langsung, metode penandaan 14 (tagging), metode produksi surplus (surplus production methode), metode semikuantitatif (Widodo et al. 1998in Syakila 2009). Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu. Baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Dengan densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per satuan area atau per satuan upaya penangkapan. Satuan yang sering digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort/cpue) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu (Widodo et al. 1998in Syakila 2009). Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekrutmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau pesaing (kompetitor).

18 Selanjutnya perubahan ukuran stok, atau ukuran beberapa bagian tertentu dari stok dalam kurun waktu tertentu, dapat digunakan sebagai data statistik kasar untuk mengestimasi laju kematian atau laju kelangsungan hidup (survival rate) dari stok yang bersangkutan. Menurut Widodo & Suadi (2006), upaya tangkap lebih (overfishing) secara sederhana dapat diartikan sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan dan terbagi ke dalam beberapa pengertian. Pada penelitian ini overfishing terbagi menjadi tiga yaitu growth overfishing, recruitment overfishing, dan biologi overfishing. Growth overfishing terjadi jika ikan yang tertangkap belum sempat mengalami pertumbuhanhinggamencapai ukuran dimana pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Recruitment overfishing adalah pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama.sedangkan biologi overfishing merupakan kombinasi dari growth dan recruitment overfishing yang terjadi apabila tingkap upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan biologi overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). Widodo & Suadi (2006 )mengatakan bahwa, proses penipisan stok sering dibarengi dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, penurunan berat rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan komposisi spesies ikan. Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya, CPUE) yang menurun, ukuran ikan yang semakin kecil, dan biaya penangkapan yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan.

19 Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998in Syakila 2009). 2.9 Model Surplus Produksi Menurut Sparre & Venema (1999) pada umumnya hasil tangkapan (C) per unit upaya penangkapan (f) atau CPUE, dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fmsy atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/msy) (Sparre & Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo et al. 1998in Syakila 2009). Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009). Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan (Sparre & Venema 1999). Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/cpue) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies

20 dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan. Oleh sebab itu penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat digunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998in Syakila 2009). Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999): (1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif (2) Distribusi ikan menyebar merata (3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre &Venema (1999) adalah : (1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam. (2) Asumsi biologi Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit dari pada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar dari pada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya

21 digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi (3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benarbenar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan. 2.10 Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan Maximum Sustainable Yield (Jumlah Maksimum Tangkapan Lestari) (Poernomo 2009). Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total allowable catch/tac) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY) (FAO 1995). Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengeluarkan daftar potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC). Potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri dari 4.4 juta ton per tahun yang berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1.85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Akan tetapi

22 manajemen perikanan menganut azas kehati-hatian (Precautionary approach), maka TAC ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut (Atmaji 2007). 2.11 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo & Suadi 2006).Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations) dan pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002). Menurut Boer & Azis (1995) bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku indutri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu pengelola perikanan juga bertugas untuk jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan umum yang digunakan dalam studi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan dengan cara menjelaskan sistem sumberdaya perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Komponen-komponen tersebut adalah penambahan, pertumbuhan, dan mortalitas. Model pengelolaan perikanan pertama kali disusun dengan berbasis pada data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Model yang dibangun dari data tersebut dikenal sebagai model hasil tangkapan lestari atau yang lebih dikenal sebagai model maximum sustainable yield (MSY). Model MSY memusatkan perhatiannya pada keperluan untuk membatasi aktivitas penangkapan agar dapat meningkatkan hasil tangkapan jangka panjang yang mengarah kepada keadaan yang lestari, berlangsung

23 terus-menerus dan rasional (Widodo & Suadi 2006).Semua kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan harus ditentukan berdasarkan pertimbanganpertimbangan berikut. Pada tahap awal, kebijakan harus ditujukan terutama untuk mendorong perkembangan perikanan. Kemudian setelah batas kemampuan (potensi, daya dukung) dari stok ikan telah tercapai, laju perkembangan harus mulai dikurangi. Selanjutnya, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha pembatasan.