KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Konversi Otot Menjadi Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh lama istirahat terhadap karakteristik karkas dan kualitas fisik daging sapi Brahman Cross Steer

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK DAN KOMPOSISI DAGING

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. hewan (Animal Welfare) menjadi hal yang sangat penting karena tidak saja

Penelitian Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingkat kebutuhan gizi

BAB I PENDAHULUAN. mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, karena daging merupakan sumber protein

MENERAPKAN PRINSIP KESEJAHTERAAN HEWAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

SIFAT-SIFAT FISIK DAN PARAMETER SPESIFIK KUALITAS DAGING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses pemotongan/penyembelihan dapat mengakibatkan stres hewan,

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

TUGAS 3 SISTEM PORTAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

Kata kunci: Fascioliosis, total eritrosit, kadar hemoglobin,pakced cell voleme, Sapi Bali

ANALISIS HORMON KORTISOL DAN PENERAPAN ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DAN TIDAK DIPINGSANKAN SEBELUM PENYEMBELIHAN

KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI PERANAKAN ONGOLE PADA BERBAGAI TINGKATAN BOBOT BADAN

KUALITAS FISIK DAGING LOIN SAPI BALI YANG DIPOTONG DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MODEREN DAN TRADISIONAL

POKOK BAHASAN IX IX. PENGGUNAAN ENERGI MEKANIK PADA TERNAK KERJA. Mengetahui proses metabolisme dan dinamika fisiologi pada ternak kerja

~Ir\"-r\ ) \~I~! 09!/

Kualitas Daging Sapi di Rumah Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari Uji ph dan Daya Ikat Air

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada April 2014 di Tempat Pemotongan Hewan di Bandar

Karakteristik mutu daging

MENETAPKAN KESIAPAN HEWAN UNTUK DISEMBELIH

DAGING. Theresia Puspita Titis Sari Kusuma. There - 1

PERUBAHAN NILAI ph POSTMORTEM DAGING SAPI YANG DIPOTONG DENGAN MENGGUNAKAN RESTRAINING BOX ROHIMAN ALIYANA HERMANSYAH

KUALITAS FISIK DAGING SAPI DARI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN DI BANDAR LAMPUNG. Physical Quality of Beef from Slaughterhouses in Bandar Lampung

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu - 19 o c

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Metode

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

PENGARUH ENZIM PAPAIN TERHADAP MUTU DAGING KAMBING SELAMA PENYIMPANAN

PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DALAM PEMOTONGAN SAPI DI RPH DAN KARAKTERISTIK FISIK DAGING ARIF WICAKSONO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi bali dikenal sebagai sapi lokal yang banyak dipelihara di Pulau Bali karena sangat

BAB 3 METODE PENELITIAN

PENAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS DAGING KERBAU DENGAN PENAMBAHAN PROBIOTIK, KUNYIT DAN TEMULAWAK PADA PAKAN PENGGEMUKAN SKRIPSI NOVARA RAHMAT

THERMOREGULATION SYSTEM ON POULTRY

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. ventilasi tidak memadai, suhu dan kelembaban ekstrem serta kecepatan angin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama seperti sapi Bali betina. Kaki bagian bawah lutut berwarna putih atau

DAGING. Pengertian daging

TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL. Tujuan Praktikum Untuk pengambilan sampel yang akan digunakan untuk analisis.

Pengaruh Lama Penyimpanan dalam Lemari Es terhadap PH, Daya Ikat Air, dan Susut Masak Karkas Broiler yang Dikemas Plastik Polyethylen

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

PERKEMBANGAN KUALITAS DAGING PADA DOMBA LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

II. TINJAUAN PUSTAKA. alot (Chang et al., 2005). Daging itik mempunyai kandungan lemak dan protein lebih

Pertumbuhan dan Komponen Fisik Karkas Domba Ekor Tipis Jantan yang Mendapat Dedak Padi dengan Aras Berbeda

I PENDAHULUAN. Ternak itik mulai diminati oleh masyarakat terutama di Indonesia. Karena,

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

BAB VI PEMBAHASAN. cedera abrasi menyerupai dengan cedera peritoneum saat operasi abdomen..

ABSTRAK KUALITAS DAN PROFIL MIKROBA DAGING SAPI LOKAL DAN IMPOR DI DILI-TIMOR LESTE

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN ANGKAK SEBAGAI PEWARNA ALAMI TERHADAP PRODUKSI KORNET DAGING AYAM

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan suatu penelitian eksperimental yang dilakukan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sapi Bali relatif tersedia di pasaran. Sapi Bali juga memiliki potensi pasar yang luas

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai daging ayam karena. Sebagai sumber pangan, daging ayam mempunyai beberapa kelebihan lainnya

Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan Vol 1(3):16-20, Desember 2017 e-issn:

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

RESPON FISIOLOGIS STRES

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab III Bahan dan Metode

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daging sapi didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk

GAMBARAN HEMATOLOGI DOMBA SELAMA TRANSPORTASI : PERAN MULTIVITAMIN DAN MENIRAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Itik mempunyai potensi untuk dikembangkan karena memiliki banyak

I PENDAHULUAN. dikonsumsi khususnya anak anak dalam periode pertumbuhan agar tumbuh

SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ayam broiler berumur hari dengan bobot badan 1,0-1,3 kg. berasal dari pedagang sayur pasar Cileunyi.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI PADA BEBERAPA RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DI SULAWESI SELATAN

DAYA IKAT AIR (DIA) Istilah lain: Pengertian: Kemampuan daging didalam mengikat air (air daging maupun air yang ditambahkan)

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

PERUBAHAN FISIOLOGIS KARENA LATIHAN FISIK Efek latihan a. Perubahan biokhemis b. Sistem sirkulasi dan respirasi c. Komposisi badan, kadar kholesterol

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

PENDAHULUAN. meningkatnya tekanan osmotik serta stres panas. Itik akan mengalami kesulitan

KARAKTERISTIK KARKAS DAN KUALITAS DAGING SAPI PO YANG MENDAPAT PAKAN MENGANDUNG PROBIOTIK

ABSTRAK PERBANDINGAN PERUBAHAN KADAR GLUKOSA DARAH SETELAH PUASA DAN DUA JAM SETELAH SARAPAN SELAMA MELAKUKAN TREADMILL PADA LAKI-LAKI DEWASA MUDA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Temesi

Transkripsi:

KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014 Karunia Maghfiroh NIM B251120041

RINGKASAN KARUNIA MAGHFIROH. Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih. Dibimbing oleh HADRI LATIF dan KOEKOEH SANTOSO. Metode penyembelihan dapat dibagi menjadi dua yaitu metode penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan (stunning) dan tanpa pemingsanan (non stunning). Teknik penyembelihan yang didahului pemingsanan yang umum di Indonesia yaitu dengan menggunakan captive bolt stun gun. Teknik tersebut dianggap sesuai dengan kesejahteraan hewan namun diduga juga dapat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Sampel darah dan daging diambil dari 11 ekor sapi di dua rumah potong hewan (RPH) yang masing-masing berada di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sapi dipingsankan dengan menggunakan cash magnum knocker 0.25 sebelum disembelih. Darah yang memancar setelah penyembelihan ditampung dan diambil serumnya. Pengukuran konsentrasi hormon kortisol dilakukan dengan menggunakan metode radioimmunoassay (RIA). Pengukuran kualitas daging dilakukan dengan mengukur nilai ph, cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel pada data konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan. Data juga dianalisis secara analitik yaitu analisis korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph, konsentrasi hormon kortisol dengan nilai cooking loss, dan korelasi nilai ph dengan nilai cooking loss. Nilai rata-rata konsentrasi hormon kortisol dalam serum darah sapi adalah 26.59 ng/ml. Nilai rata-rata ph jam ke-1 dan ke-24 masing-masing yaitu 6.65 dan 6.21 yang menggambarkan nilai ph yang cukup tinggi. Nilai rata-rata cooking loss yaitu 26.77%. Pengujian kesempurnaan pengeluaran darah pada semua sapi menunjukkan adanya pengeluaran darah yang sempurna. Terdapat korelasi bermakna (p<0.05) antara konsentrasi kortisol dengan nilai ph jam ke-1 dan konsentrasi hormon kortisol dengan cooking loss (p<0.05) namun korelasi antara nilai ph jam ke-24 dengan nilai cooking loss menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p>0.05). Nilai konsentrasi hormon kortisol lebih tinggi dibandingkan dengan normal yang diduga karena hewan mengalami stres. Diduga hewan mengalami stres tidak hanya pada saat penyembelihan namun juga pada saat penanganan yang kurang baik di kandang penampungan, penggiringan sapi di gang way, penanganan ketika memasuki restraining box, dan stunner yang kurang terlatih. Nilai ph ultimate (ph u ) daging hanya sedikit mengalami penurunan juga diduga karena kurangnya waktu istirahat pada kandang penampungan setelah sapi menempuh transportasi dari peternakan asal dan penanganan sapi yang buruk selama di kandang penampungan. Cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih termasuk dalam kisaran normal.

Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum penyembelihan memiliki konsentrasi hormon kortisol yang tinggi (26.59 16.61 ng/ml). Nilai kortisol yang tinggi menyebabkan ph u tetap tinggi namun nilai cooking loss masih dalam kisaran normal. Penyembelihan sapi yang diawali dengan pemingsanan menggunakan captive bolt stun gun menghasilkan daging dengan pengeluaran darah yang sempurna dan kualitas daging yang relatif baik. Kata kunci: kortisol, kualitas daging, pemingsanan

SUMMARY KARUNIA MAGHFIROH. Cortisol Concentration and Meat Quality in Beef Cattles Stunned by Captive Bolt Stun Gun before Slaughter. Supervised by HADRI LATIF and KOEKOEH SANTOSO. Slaughter methods can be devided by two methods there are slaughter with prior stunning and slaughter withouth prior stunning. Stunning which is common in Indonesia done by using a captive bolt stun gun. This technique is considered to fulfill animal welfare aspects, but is suspected to affect meat quality. This study aimed to describe cortisol hormone concentration and meat quality which were produced in beef cattles stunned with captive bolt stun gun before slaughter. Blood and meat samples were taken from 11 cattles in two abattoirs located in West Java and Banten. Cattles were stunned using cash magnum knocker 0.25 before slaughter. Blood samples were collected immediately after slaughter and the serum was separated. Cortisol hormone concentration in the serum was measured using radioimmunoassay (RIA). Meat quality assessment were based on ph, cooking loss, and complete drainage of blood. The research data were presented descriptively in the form of tables describing cortisol concentration and criteria of meat quality. The data were also analyzed by correlative analysis including correlation between cortisol concentration and ph, cortisol concentration and cooking loss, as well as ph and cooking loss. The average value of cortisol concentration in this study was 26.59 ng/ml. The average value of meat ph at 1 hour postmortem and 24 hours postmortem were 6.65 and 6.21 respectively. These ph values were considered quite high. The average value of cooking loss was 26.77%. Examination of blood drainage in all meat samples showed complete drainage. There was a significant correlation (p<0.05) between cortisol concentration and ph at 1 hour postmortem as well as between cortisol concentration and cooking loss, but no significant correlation (p>0.05) between ph at 24 hours postmortem and cooking loss. Cortisol concentrations in this study was higher than normal presumably due to animal stress. It was presumed that the cattles did not only experience stress during slaughter, but also prior to slaughter which can be caused by poor handling at lairage, in the gang way, or when animals entering the stunning box as well as poorly trained stunner operator. Animal stress was also suspected to cause only slight decrease of meat ph ultimate (ph u ) in this study due to little glycogen reserves in cattles before slaughter. Cooking loss in this study was within normal range. Based on this study, it could be concluded that cattles which were stunned with a captive bolt stun gun before slaughter has a high cortisol concentration (26.59±16.61 ng/ml). High cortisol caused meat ph u which remained high whereas cooking loss were still within normal range. Complete blood drainage and relatively good meat quality was discovered in cattles stunned with captive bolt stun gun before slaughter. Keywords: cortisol, meat quality, stunning

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONSENTRASI HORMON KORTISOL DAN KUALITAS DAGING PADA SAPI YANG DIPINGSANKAN DENGAN CAPTIVE BOLT STUN GUN SEBELUM DISEMBELIH KARUNIA MAGHFIROH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi

Judul Tesis Nama NIM : Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih : Karunia Maghfiroh : B251120041 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr med vet drh Hadri Latif, MSi Ketua Dr med vet drh Koekoeh Santoso Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah Konsentrasi Hormon Kortisol dan Kualitas Daging pada Sapi yang Dipingsankan dengan Captive Bolt Stun Gun sebelum Disembelih. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr med vet drh Hadri Latif, MSi dan Bapak Dr med vet drh Koekoeh Santoso selaku pembimbing serta Bapak Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi sebagai dosen penguji sekaligus ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak memberi saran dan masukan. Penghargaan penulis juga sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data dan proses penulisan tesis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Suami serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2014 Karunia Maghfiroh

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Penyembelihan 2 Captive Bolt Stunning 3 Kortisol 4 Kualitas Daging 6 3 METODE 7 Waktu dan Tempat 7 Bahan dan Alat 8 Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel 8 Metode Pengukuran Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Metode Radioimmunoassay (RIA) 8 Metode Pengukuran Nilai ph Daging 9 Metode Pemeriksaan Cooking Loss 9 Metode Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah 9 Analisis Data 10 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Konsentrasi Hormon Kortisol 10 Nilai ph Daging 12 Cooking Loss 13 Kesempurnaan Pengeluaran Darah 14 Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai ph 14 Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai Cooking Loss 14 Korelasi Nilai ph dengan Nilai Cooking Loss 15 5 SIMPULAN DAN SARAN 15 DAFTAR PUSTAKA 16 RIWAYAT HIDUP 20 vii viii

DAFTAR TABEL 1 Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 11 2 Nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 12 3 Nilai cooking loss daging sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih 13 DAFTAR GAMBAR 1 Pathway respon plasma kortikosteroid terhadap rasa takut 5 2 Tipikal standar kurva kit RIA untuk pengujian kortisol 10

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyembelihan adalah salah satu tahapan yang dapat menentukan kualitas daging yang dihasilkan. Menurut OIE (2008), terdapat dua metode penyembelihan yaitu metode penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan (stunning) dan tanpa pemingsanan (non stunning). Penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan telah banyak dilakukan di negara-negara maju namun penggunaanya di negara-negara berkembang masih terbatas. Metode penyembelihan yang akan digunakan harus mempertimbangkan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Captive bolt stunning merupakan salah satu teknik pemingsanan sebelum penyembelihan yang dianggap dapat memenuhi aspek kesejahteraan hewan dan meminimalkan stres. Teknik ini telah digunakan oleh beberapa rumah potong hewan (RPH) di Indonesia dan dianggap dapat mengefisienkan penyembelihan dalam jumlah yang besar. Teknik captive bolt stunning diduga memiliki kelemahan yaitu dapat menyebabkan pengeluaran darah yang tidak sempurna sehingga berpengaruh pada kualitas daging. Dua teknik captive bolt stunning yang umum digunakan pada sapi yaitu penetrative captive bolt dan non penetrative captive bolt. Teknik pemingsanan ini bertujuan untuk menghilangkan kesadaran sehingga hewan tidak merasakan sakit dan stres yang mungkin ada ketika proses penyembelihan (Gibson et al. 2009). Kondisi stres merupakan mekanisme modifikasi fisiologis yang memungkinkan hewan untuk merespon rangsangan stres dengan perubahan homeostasis yang minimum (Mudron et al. 2005). Kondisi stres sebelum penyembelihan dapat menstimulasi pelepasan hormon kortisol. Dengan demikian konsentrasi hormon kortisol dapat menggambarkan kondisi stres pada hewan. Kortisol adalah salah satu hormon stres utama pada mamalia yang dilepaskan ketika terdapat rangsangan stres (Petrauskas 2005). Menurut Okeudo dan Moss (2005), rangsangan stres dapat berupa stres fisik, psikologi, dan hipoglikemia. Kortisol secara cepat akan bersirkulasi di dalam darah dengan target organ yaitu hati, sel limfoid, kelenjar timus, dan ginjal. Hormon ini akan dilepaskan baik pada saat stres akut maupun kronis dan berfungsi untuk menyuplai cadangan energi pada setiap individu melalui konversi glikogen menjadi energi (Petrauskas 2005). Menurut Mareko (2005), stres baik selama di peternakan maupun sebelum penyembelihan dapat berdampak pada kualitas daging. Penanganan sebelum penyembelihan umumnya memiliki dampak yang paling besar terhadap kualitas daging karena waktu yang singkat antara penanganan dan penyembelihan dapat mempengaruhi metabolisme otot setelah penyembelihan. Berdasarkan penelitian Colditz et al. (2006), kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol dalam darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan mempertahankan ph daging yang tetap tinggi sehingga daging menjadi gelap. Stres juga dapat memiliki efek buruk terhadap daya ikat air (water holding capacity) (Mounier et al. 2006).

2 Perumusan Masalah Teknik pemingsanan sebelum penyembelihan yang umum digunakan pada sapi di Indonesia yaitu dengan menggunakan captive bolt stun gun. Teknik penyembelihan tersebut dianggap sesuai dengan kesejahteraan hewan dan efektif digunakan pada penyembelihan sapi dengan jumlah yang besar namun teknik penyembelihan tersebut diduga juga dapat menurunkan kualitas daging yang dihasilkan. Diperlukan penelitian untuk mengetahui kadar hormon kortisol yang dapat menggambarkan tingkat stres pada hewan dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyembelihan Penyembelihan menggambarkan proses untuk mematikan dan mengeluarkan darah hewan. Istilah penyembelihan secara ilmiah disebut sebagai exsanguination. Menurut FAWC (2003), penyembelihan hewan harus dilakukan dengan meminimalkan terjadinya stres. Beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan untuk menerapkan kesejahteraan hewan ketika penyembelihan hewan yaitu fasilitas yang digunakan untuk menangani hewan sebelum disembelih harus dapat meminimalkan stres, personal yang telah dilatih dengan baik, perlengkapan yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan, proses efektif yang menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran namun tanpa diikuti stres dan menjamin bahwa hewan tidak tersadar kembali hingga mengalami kematian. Menurut OIE (2008), penyembelihan dibagi menjadi dua yaitu penyembelihan yang didahului oleh pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Penyembelihan yang didahului dengan pemingsanan terdiri dari tiga metode yaitu metode mekanis, elektrik, dan gas. Metode mekanis dilakukan dengan menggunakan sebuah perangkat mekanik yang umumnya diaplikasikan pada bagian depan kepala dan tegak lurus terhadap permukaan tulang. Posisi pemingsanan yang optimal untuk sapi yaitu pada persilangan dua garis imajiner yang ditarik secara berlawanan dari belakang mata dan tanduk. Metode ini memiliki teknik spesifik yaitu free bullet, captive bolt

penetrating, dan captive bolt non-penetrating. Penggunaan metode elektrik berfungsi untuk menyebabkan berhentinya jantung sementara (cardiac arrest). Perangkat elektrik yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi yang diterapkan. Elektroda harus dirancang, dibangun, dipelihara, dan dibersihkan secara teratur untuk memastikan bahwa aliran arus mengalir optimal dan sesuai dengan spesifikasi produk. Teknik spesifik dari metode elektrik yaitu split application, single application, dan waterbath. Metode pemingsanan dengan menggunakan gas dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis gas karbondioksida (CO 2 ) atau campuran gas. Campuran gas yang umum digunakan dalam metode ini yaitu argon, nitrogen, oksigen, dan CO 2. Konsentrasi gas yang digunakan harus dapat meminimalkan terjadinya stres hingga hewan kehilangan kesadaran (OIE 2008). Penanganan sebelum penyembelihan dapat menyebabkan hewan stres. Menurut Adzitey (2011), penanganan sebelum penyembelihan termasuk semua aktivitas dan proses penanganan hewan hingga penyembelihan. Aktivitas dan proses tersebut dapat terjadi di peternakan, selama transportasi, pemasaran dan tempat penyembelihan. Selama transportasi hewan dapat terpapar oleh stres akibat lingkungan seperti panas, kelembapan, suara, dan kepadatan. Gregory dan Grandin (2007) menjelaskan bahwa beberapa penanganan sebelum penyembelihan diantaranya pemisahan hewan secara individu melalui gang way sebelum dipingsankan dapat menimbulkan efek stres yang lebih kecil jika dibandingkan dengan pemisahan secara berkelompok. Penanganan lainnya yaitu hewan yang menolak untuk masuk ke restraining box atau hewan yang gagal memposisikan dirinya pada area pemingsanan. Hal tersebut karena adanya dinding di dalam restraining box yang terlihat tidak memiliki pintu keluar. Lantai restraining box juga harus memberikan kenyamanan pada kaki hewan sehingga terhindar dari risiko jatuhnya hewan. Menurut FAO (2013), restraining box adalah fasilitas yang paling umum digunakan untuk menangani sapi. Ukuran restraining box tersebut harus sesuai dengan ukuran tubuh hewan untuk mencegah hewan berbalik arah yang menyebabkan kesulitan pada proses pemingsanan. Lantai restraining box tidak licin dan sebuah jepitan leher dapat digunakan untuk menangani sapi. Operator harus diposisikan di balik dinding restraining box. Penyembelihan dan pemingsanan adalah dua prosedur yang berbeda. Tujuan dari pemingsanan yaitu untuk menghilangkan kesadaran hewan sehingga hewan tidak merasa kesakitan ketika disembelih dan bertujuan untuk menghentikan pergerakan sehingga memberikan keamanan bagi penyembelih. Tujuan dari penyembelihan yaitu untuk mematikan hewan sebelum hewan tersadar kembali dan untuk mengeluarkan darah dari karkas (Gregory 1998). 3 Captive Bolt Stunning Teknik pemingsanan pada sapi yang umum digunakan di RPH yaitu captive bolt stunning. Menurut Anil (2012b), teknik ini bertujuan untuk menghilangkan kesadaran pada hewan dengan cepat. Ketidaksadaran harus dipertahankan hingga hewan mengalami kematian tanpa disertai dengan pemulihan agar hewan tidak merasakan kesakitan. Dua tipe captive bolt gun yaitu penetrating dan non-penetrating. Tipe penetrating dapat terdiri dari blank catridge, air injected bolt,

4 air activated/injected bolt sedangkan tipe non penetrating memiliki bentuk seperti jamur (mushroom head bolt) yang mentransmisikan pukulan tanpa adanya penetrasi. Tipe non-penetrating umumnya menyebabkan ketidaksadaran melalui pelemahan sistem saraf yang mengakibatkan hilangnya kesadaran tanpa perubahan anatomis di otak. Teknik ini menggunakan tekanan gelombang kuat yang diaplikasikan pada tengkorak kepala dan umumnya hanya digunakan pada sapi (Anil 2012b). Menurut Gregory (1998), posisi penembakan yang ideal yaitu pada titik silang diantara garis penglihatan pada dasar tanduk dan mata. Empat tahap ketidaksadaran yaitu hewan mengalami disorientasi, koordinasi melemah, memori melemah, hewan berada di dasar lantai dengan pernafasan yang masih dipertahankan dan tahap terakhir yaitu hewan tidak berdaya di dasar lantai dan tidak bernafas (Gregory 1998). Menurut EFSA (2013), tanda yang mengindikasikan pemingsanan yang efektif adalah hewan mengalami kejang yang ditandai dengan adanya punggung melengkung dan kaki yang mengalami fleksi, kehilangan fungsi otot, telinga dan ekor terkulai. Hewan juga tidak bersuara, mata tidak berotasi, tidak terdapat refleks kornea, tidak terdapat refleks pupil, dan kelopak mata tidak bergerak. Kortisol Mostl dan Palme (2002) mengemukakan bahwa istilah yang paling sering digunakan untuk mendifinisikan rangsangan lingkungan yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis yaitu stressor dan reaksi pertahanan yang sesuai dari hewan disebut sebagai respon stres. Respon stres terhadap rasa takut berasal dari amigdala yang dikeluarkan melalui sistem saraf simpatik, medula adrenal, sistem saraf parasimpatik dan korteks adrenal. Sistem saraf simpatik dan medula adrenal menimbulkan respon cepat seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah melalui pelepasan adrenalin dan noradrenalin. Adrenalin dilepaskan dari medula kelenjar adrenal sedangkan noradrenalin dilepaskan dari medula adrenal dan dari saraf akhir sistem saraf simpatik. Adrenalin dan noradrenalin tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan kortikosteroid sebagai indikator stres karena hormonhormon tersebut memiliki waktu paruh yang pendek pada sistem sirkulasi. Noradrenalin memiliki waktu paruh sekitar 2 menit sedangkan kortisol memiliki waktu paruh sekitar 20 menit (Gregory 1998). Menurut Grandin (2007), hormon kortisol akan mencapai nilai puncak setelah 15-20 menit hewan terpapar oleh stressor. Korteks adrenal melepaskan kortikosteroid (kortisol atau kortikosteron). Respon kortikosteroid telah membantu dalam membandingkan efek stres yang berbeda pada hewan. Ketika respon tersebut disebabkan oleh rasa takut maka akan menstimuli amigdala yang selanjutnya akan mengaktifasi nukleus paraventrikular hipotalamus untuk melepaskan cortichotropic releasing factor (CRF). Neurotransmiter tersebut menuju ke pituitari melalui hypophyseal portal vessel yang selanjutnya menginduksi dilepaskannya adrenocortichotropic hormone (ACTH) ke sistem sirkulasi. ACTH akan bersirkulasi melalui darah menuju ke korteks adrenal yang selanjutnya menstimulasi dilepaskannya hormon kortikosteroid (Gambar 1). Hormon kortikosteroid utama pada sapi yaitu kortisol. Fungsi utama dari hormon kortikosteroid yaitu untuk menstimulasi proteolisis, menstimulasi glukoneogenesis, dan berperan pada efek antiinflamasi (Gregory 1998).

5 Rasa Takut Amigdala Nukleus paraventrikulus dari hipotalamus Mekanisme umpan balik negatif CRF dilepaskan ke dalam pembuluh darah Kelenjar anterior pituitari Mekanisme umpan balik negatif ACTH dilepaskan ke dalam darah Korteks adrenal Hormon kortikosteroid dilepaskan ke dalam darah Gambar 1 Pathway respon plasma kortikosteroid terhadap rasa takut (Gregory 1998) Menurut Mareko (2005) respon cepat sympathomedullary akan mengikuti stimulus stres yang mengakibatkan sekresi adrenalin dan noradrenalin yang dapat memobilisasi cadangan glikogen otot untuk memproduksi glukosa (glikogenolisis). Jika stimulus stres tidak dihilangkan secara cepat maka respon hipotalamus pituitari aksis (HPA) akan terjadi. Respon HPA tersebut menyebabkan sekresi hormon glukokortikoid (kortisol pada sebagian besar hewan peliharaan) yang akan memecah cadangan protein otot dan asam lemak menjadi glukosa (glukoneogenesis). Respon sympathomedullary dan HPA memiliki waktu yang berbeda yaitu respon sympathomedullary bersifat cepat sedangkan respon HPA lebih lambat. Kedua respon tersebut berfungsi untuk menjaga tingkat glukosa darah yang digunakan oleh otot dan otak selama periode stres. Menurut Parker et al. (2004), HPA dapat digunakan untuk mengetahui efek jangka panjang suatu stressor terhadap fisiologi hewan. Menurut Sapolsky et al. (2000), kortisol adalah hormon stres penting terkait dengan aktivasi dari HPA dan dapat menginduksi perubahan patofisiologi pada sistem kekebalan, metabolik, dan sistem reproduksi hewan (Macfarlane et al. 2000). Kortisol digunakan sebagai indikator stres dan rasa sakit. Serum kortisol yang

6 meningkat dapat terjadi pada sapi yang mengalami peradangan pada kaki (Forslund et al. 2010). Stead et al. (2000) menjelaskan bahwa secara konvensional, penilaian respon adrenal terkait stres dilakukan dengan koleksi sampel darah dan pengukuran kortikosteroid. Kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot (Colditz et al. 2006). Hal tersebut menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan meningkatkan ph daging yang menyebabkan manifestasi daging yang gelap (Mounier et al. 2006). Kualitas daging yang rendah juga dapat diakibatkan oleh penanganan yang tidak baik, tergelincir atau agresi selama pergerakan di kandang (Nanni Costa et al. 2006). Mounier et al. (2006) mengemukakan bahwa peningkatan konsentrasi kortisol terkait dengan adanya stres di kandang penampungan atau penanganan hewan pada saat penyembelihan. Kualitas Daging Potensial Hidrogen (ph) Daging Otot-otot akan dikonversi menjadi daging segera setelah hewan disembelih akibat adanya proses metabolisme dan struktural yang terjadi ketika posmortem. Perubahan pada otot posmortem ini dapat diukur dengan mengetahui ph (Chulayo 2012). Glikogen otot kemudian akan dimetabolisme melalui glikolisis anaerobik dan menghasilkan asam laktat yang terakumulasi pada otot sehingga menurunkan ph intraseluler (Maltin et al. 2003). Nilai ph dapat menunjukkan penyimpangan kualitas daging karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya ikat air, dan masa simpan (Lukman et al. 2007). Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan ph daging posmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum dipotong, dan suhu penyimpanan. Faktor intrinsik yang mempengaruhi yaitu kandungan glikogen daging dan stres pada ternak. Soeparno (2005) menambahkan faktor intrinsik tersebut antara lain spesies, tipe otot, dan keragaman diantara ternak. Laju penurunan ph posmortem otot longissimus dorsi sapi pada suhu 37 ºC yaitu berangsur-angsur turun mulai dari ph 6.6-6.8 pada jam ke-1, ph 6.0-6.2 pada jam ke-3 hingga ph 5.4-5.6 pada jam ke-7. Laju penurunan ph pada sapi lebih cepat jika dibandingkan dengan kuda namun lebih lambat jika dibandingkan dengan babi. Penurunan ph posmortem bervariasi diantara ternak. Penurunan ph daging pada sejumlah ternak hanya menurun sedikit selama beberapa jam pertama setelah pemotongan yaitu 6.5-6.8 sedangkan pada ternak lain dapat terjadi secara cepat hingga mencapai 5.4-5.5 setelah beberapa jam pemotongan. Daging ternak tersebut akan mempunyai ph akhir antara 5.3-5.6. Nilai ph otot pada saat ternak masih hidup berkisar 7.2-7.4 dan ph akhir daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam. Nilai ph otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) menjadi 5.6 5.7 pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai ph tersebut akan menurun mencapai ph akhir sekitar 5.3 5.7 pada jam ke-24 posmortem (Aberle et al. 2001). Penurunan nilai ph setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologis dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam laktat

atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (Henckel et al. 2000). Laju penurunan ph otot yang cepat dan ekstensif mengakibatkan warna daging menjadi pucat, daya ikat protein terhadap cairannya menjadi lebih rendah, dan permukaan potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan potongan daging yang disebut drip atau weep (Aberle et al. 2001). Daya Ikat Air (Water Holding Capacity) Daya ikat air merupakan kemampuan daging untuk mempertahankan air (Muchenje et al. 2008). Menurut Lukman et al. (2007), daya ikat air dipengaruhi oleh faktor nilai ph, rigor mortis dan aging. Daya ikat air mempengaruhi beberapa sifat fisik daging antara lain warna, citarasa (flavour), dan tekstur. Daya ikat air oleh protein daging ditentukan dengan pemeriksaan susut masak (cooking loss) dan drip loss. Cooking loss adalah berat yang hilang (penyusutan berat) setelah pemasakan. Drip loss adalah cairan atau (eksudat) yang keluar dari daging tanpa aplikasi/penerapan tekanan dari luar. Proses memasak daging merupakan faktor penting untuk menentukan persepsi sensorik oleh konsumen. Memasak adalah suatu proses pemanasan daging sapi pada suhu yang cukup tinggi yang dapat mendenaturasi protein dan memudahkan untuk dikonsumsi (Garcia-Segovia et al. 2006). Proses tersebut dapat dilakukan dengan merebus atau memanggang (Shilton et al. 2002). Susut masak merupakan salah satu parameter kualitas daging yang mengacu pada penurunan berat daging selama proses memasak (Vasanthi et al. 2006). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi cooking loss yaitu ph, tipe otot, daerah pengambilan otot, dan suhu (Honikel 1998). Kesempurnaan Pengeluaran Darah Pengeluaran darah adalah hal yang penting dalam penyembelihan. Tujuan dari pengeluaran darah adalah untuk mengeluarkan darah dan mematikan hewan dengan menghentikan suplai oksigen ke otak (Gregory 1998). Pengeluaran darah adalah syarat utama daging yang akan dikonsumsi dan juga untuk menjaga kualitas daging. Daging yang pengeluaran darahnya tidak sempurna akan memiliki penampilan yang tidak diterima dan akan menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme (Lawrie 1979). Menurut Anil (2012b), proses kehilangan darah (blood loss) membutuhkan waktu tertentu. Diperkirakan 50% dari total volume darah akan hilang selama proses penyembelihan. Anil (2012b) juga melaporkan bahwa 33% darah akan hilang setelah 30 detik penyembelihan, sedangkan Anil et al. (2006) melaporkan 25% darah akan hilang setelah 17 detik. Efisiensi pengeluaran darah tidak dipengaruhi oleh metode penyembelihan baik metode penyembelihan dengan dan tanpa pemingsanan (Anil 2012a). 7 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September 2013 hingga Maret 2014. Penelitian ini dilaksanakan di dua RPH di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten,

8 Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF) serta Laboratorium Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk pengujian kortisol pada penelitian ini adalah serum darah sapi. Pengujian daging dilakukan pada daging sapi bagian longissimus dorsi. Bahan lain yang digunakan yaitu kit radioimmunoassay untuk kortisol (Institutes of Isotopes Co., Ltd, kode RK-240CT), alkohol 70%, aquades, larutan ph standar, tisu, kantong plastik, spiritus, malachite green, dan H 2 O 2 3%. Alat yang digunakan antara lain tabung, rak, cawan petri, pipet, bunsen, Erlenmeyer, gelas piala, gunting, pinset, timbangan, cool box, ph meter, stomacher, waterbath, refrigerator, kertas saring, pipet, tabung reaksi, dan automatic gamma counter A 6.24 (Vienna, Austria). Metode Pengambilan Sampel dan Besaran Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling. Menurut Saunders et al. (2009), purposive sampling adalah salah satu metode non-probability sampling technique yang memungkinkan peneliti untuk menentukan kejadian terbaik yang akan dipilih dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam penelitian dan objektif menurut peneliti. Sampel darah sebanyak 5 ml per ekor diambil dari 11 ekor sapi Brahman cross yang telah dikastrasi (steer) di dua RPH yang melakukan pemingsanan dengan metode captive bolt stunning sebelum penyembelihan. Sampel darah didiamkan pada suhu ruang selama transportasi yaitu dengan waktu sekitar 4-5 jam kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama 3-4 jam. Serum yang terbentuk diambil dan disentrifuse untuk memisahkan bagian darah yang tertinggal. Serum disimpan pada suhu -18 ºC hingga dilakukan pengujian selanjutnya. Sampel daging bagian longissimus dorsi juga diambil dengan jumlah 500 gram dari setiap ekor sapi. Sampel ini digunakan untuk menguji kualitas daging yang dihasilkan meliputi ph, cooking loss, dan kesempurnaan pengeluaran darah. Pengukuran Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Metode Radioimmunoassay Pengukuran konsentrasi hormon kortisol pada serum darah sapi dilakukan dengan metode radioimmunoassay (RIA) menggunakan RIA kit untuk kortisol (per vial mengandung <260 kbq 125 I-Cortisol pada buffer dengan 0.1% NaN 3 ). Prosedur pengujian yaitu seluruh reagen dan sampel diekuilibrasi pada suhu kamar sebelum digunakan (minimal selama satu jam). Coated tubes untuk setiap standar (S1-S6), serum kontrol (C), dan sampel (Sx) disiapkan masing-masing sebanyak dua tabung dan diberi label. Dua uncoated test tube disiapkan dan diberi label untuk menghitung

jumlah total (T). Semua reagen dan sampel dihomogenkan secara perlahan untuk menghindari terbentuknya busa. Setiap standar, serum kontrol, dan sampel masingmasing sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung yang telah dilabel. Kemudian tracer sebanyak 500 ml ditambahkan ke dalam setiap tabung. Antiserum sebanyak 500 ml ditambahkan ke dalam setiap tabung kecuali tabung T. Selanjutnya rak berisi tabung uji dipasang pada shaker plate. Semua tabung ditutup dengan plastik wrap. Shaker dihidupkan dengan kecepatan sedang sehingga cairan pada setiap tabung terus-menerus berputar secara konstan. Tabung diinkubasi selama 2 jam pada suhu kamar. Supernatan kemudian diaspirasi dari semua tabung. Tabung dibalik dan diletakkan di atas kertas absorbent selama 2 menit. Konsentrasi kortisol dalam setiap tabung dihitung minimal selama 60 detik dengan gamma counter. 9 Metode Pengukuran Nilai ph Daging Pengukuran nilai ph dilakukan berdasarkan modifikasi metode Honikel (1998). Contoh daging dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan pada suhu kamar (25-34 ºC) kemudian dilakukan pengukuran ph jam ke-1, disimpan dingin dan dilanjutkan dengan pengukuran pada jam ke-24. Sebelum pengukuran, ph meter dikalibrasi menggunakan larutan standar (ph 4 dan ph 7). Setiap selesai pengukuran pada contoh, gelas elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas tisu. Metode Pemeriksaan Cooking Loss Berdasarkan modifikasi metode Salakova et al. (2009), pemeriksaan cooking loss dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap penimbangan contoh, pemasakan, dan tahap pengukuran. Contoh daging ditimbang (a gram) kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Daging tersebut dipanaskan dalam air dengan suhu 75 ºC selama 50 menit selanjutnya ditimbang kembali (b gram). Contoh daging dikeluarkan dan didinginkan pada suhu 1-5 ºC. Pengukuran nilai cooking loss dilakukan dengan cara perhitungan dengan rumus sebagai berikut: % cooking loss = a-b x 100% a Keterangan: a : Berat daging sebelum perlakuan (gram) b : Berat daging setelah perlakuan (gram) Metode Pemeriksaan Kesempurnaan Pengeluaran Darah Ekstrak daging dibuat dengan cara memotong kecil-kecil 6 gram daging dan dimasukkan ke dalam 14 ml akuades pada Erlenmeyer. Didiamkan selama 15 menit. Ekstrak tersebut disaring, diambil 0.7 ml filtrat dan dimasukkan ke dalam tabung

Hasil analisa deskriptif konsentrasi hormon kortisol pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih disajikan pada Tabel 1. Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih adalah 26.59 16.61 ng/ml. Hasil yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Mounier et al. (2006) bahwa konsentrasi kortisol darah pada saat penyembelihan rata-rata sekitar 21 ng/ml. Menurut Ewbank et al. (1992), konsentrasi kortisol sapi yang ditangani dengan baik adalah 24 ng/ml. Tingginya nilai konsentrasi hormon kortisol pada penelitian diduga karena hewan mengalami stres. Diduga hewan mengalami stres tidak hanya pada saat penyembelihan namun juga pada saat penanganan yang kurang baik di kandang penampungan, penggiringan sapi di gang way, penanganan ketika memasuki restraining box, dan stunner yang kurang terlatih. Tabel 1 Konsentrasi hormon kortisol sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) konsentrasi hormon kortisol (ng/ml) rata-rata 26.59 minimum 4.86 maksimum 50.75 + sd 16.61 Menurut Grandin (2007), penanganan sebelum penyembelihan yang dapat menyebabkan stres diantaranya penanganan ketika hewan disembelih dan desain kandang penjepit yang tidak sesuai. Stres sebelum penyembelihan dapat dibagi menjadi dua yaitu stres fisik dan psikologi. Stres fisik dapat disebabkan oleh suhu ambien yang tinggi, adanya getaran, suara gaduh, dan kepadatan (Kannan et al. 2003; Mareko 2005; Adzitey 2011; Chulayo et al. 2012), lantai licin (Grandin 2007), kekurangan air dan makanan, loading dan unloading dari alat transportasi (Mareko 2005; Mounier et al. 2006), pemuasaan dan eksploitasi yang berlebihan (Mounier et al. 2006), dan kelelahan (Chulayo et al. 2012). Stres psikologi diantaranya yaitu pemisahan dari kelompok sosial, pencampuran dengan kelompok yang tidak dikenal, bau yang tidak dikenal, dan lingkungan yang baru. Jarak transportasi yang dekat sebelum penyembelihan juga dapat menyebabkan stres fisik dan psikologi. Hal ini dapat meningkatkan konsentrasi hormon kortisol (Kannan et al. 2003; Mareko 2005; Adzitey 2011). Penanganan hewan ketika pemingsanan juga dapat menimbulkan stres jika terjadi ketidaktepatan dalam melakukan pemingsanan seperti alat-alat pemingsanan yang fungsinya tidak terjaga dengan baik dan stunner yang kurang terlatih dalam melakukan pemingsanan (Mareko 2005; Adzitey 2011). Konsentrasi kortisol juga memiliki data yang cukup bervariasi diantara individu. Pemingsanan dan penyembelihan dilakukan dengan perlakuan yang relatif sama sehingga variasi konsentrasi kortisol antar individu diduga karena perbedaan fisiologis dan kemampuan adaptif terhadap stres yang berbeda pada setiap individu. Respon terhadap stres bergantung pada kemampuan masing-masing individu untuk beradaptasi melalui mekanisme homeostasis. Terdapat perbedaan respon diantara spesies dan bangsa serta diantara individu ternak pada spesies yang sama (Mareko 2005; Soeparno 2005). Menurut Miranda-de la Lama et al. (2011) spesies individu yang sama (berasal dari bangsa yang sama dan kondisi lingkungan yang 11

12 sama) memiliki variasi perilaku yang tinggi. Sapi yang menunjukkan keaktifan yang tinggi ketika keluar dari area penggembalaan umumnya memiliki kadar kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang tenang (Grandin 2007). Variasi konsentrasi hormon kortisol juga dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor kompleks di lapangan yang susah untuk dikendalikan. Faktor tersebut diantaranya adalah adanya interaksi antara tindakan penanganan sapi dengan lingkungan serta kondisi fisiologis sapi. Interaksi faktor-faktor tersebut juga perlu didukung dengan data fisiologis sapi seperti frekuensi denyut jantung dan pernafasan, suhu sehingga dapat menggambarkan kondisi stres sapi secara lengkap. Nilai ph Daging Nilai ph daging merupakan salah satu karakteristik yang dapat menggambarkan kualitas daging. Tabel 2 menunjukkan hasil analisa deskriptif nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih. Nilai rata-rata ph daging jam ke-1 dan ke-24 (ph u ) setelah penyembelihan pada penelitian ini masing-masing secara berurutan adalah 6.65+0.31 dan 6.21+0.23. Nilai tersebut menggambarkan bahwa nilai ph u daging hanya sedikit mengalami penurunan yang diduga karena hewan memiliki cadangan glikogen yang sedikit sebelum disembelih. Hal ini diduga dapat disebabkan oleh kurangnya waktu istirahat pada kandang penampungan setelah sapi menempuh transportasi dari peternakan asal dan penanganan sapi yang buruk selama di kandang penampungan. Tabel 2 Nilai ph daging pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) nilai ph daging jam ke-1 jam ke-24 rata-rata 6.65 6.21 minimum 6.02 5.78 maksimum 7.01 6.55 + sd 0.31 0.23 Nilai ph otot setelah hewan mati akan menurun dari 7.4 (awal) hingga mencapai ph u 5.3 5.7 (Aberle et al. 2001). Daging sapi yang memiliki ph u >6.0 setelah penyembelihan menunjukkan adanya perubahan pada kualitas daging. Daging memiliki warna merah gelap (dark firm and dry/dfd) (Kannan et al. 2003; Mach et al. 2008; Gruber et al. 2010), variasi tingkat keempukan yang tinggi, dan palatabilitas yang rendah (Mach et al. 2008). Daging sapi yang memiliki ph u lebih besar dari normal dapat disebabkan oleh berkurangnya cadangan glikogen sebelum penyembelihan sehingga produksi asam laktat hanya sedikit. Hal tersebut mengakibatkan ph u daging yang tetap tinggi (Kanan et al. 2003; Lawrie 2003; Weglarz 2010). Menurut Maltin et al. (2003), daging dengan ph u tinggi memiliki tingkat glikogen otot yang lebih rendah (40 µm-laktat/g) dibandingkan dengan otot pada daging normal (100 µm-laktat/g). Perbedaan kandungan glikogen pada saat penyembelihan tergantung pada bobot hidup, status nutrisi, jenis otot, serabut otot, bangsa, dan temperamen ternak

(Mach et al. 2008). Kandungan glikogen yang berbeda dari setiap jenis daging menyebabkan kecepatan glikolisisnya juga berbeda (Lawrie 2003). Menurut Hambrecht et al. (2005), durasi waktu istirahat yang singkat akan menyebabkan nilai ph yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan durasi waktu istirahat yang lebih lama. Waktu istirahat untuk makan dan minum dibutuhkan oleh hewan untuk memulihkan kondisi akibat proses transportasi. Sapi yang ditransportasikan selama kurang dari enam jam dapat diistirahatkan minimal selama dua jam sebelum penyembelihan. Jika sapi ditransportasikan selama enam jam atau lebih maka sapi harus diistirahatkan lebih dari dua jam. Waktu istirahat standar yang dibutuhkan untuk sapi sekitar 12-24 jam (Ferguson et al. 2007). Stres dan kekurangan nutrisi sebelum penyembelihan dapat menyebabkan daging berwarna gelap (dark cutting) (Gaden 2004). 13 Cooking Loss Cooking loss merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan. Hasil analisa deskriptif nilai cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata-rata cooking loss pada penelitian ini adalah 26.77+5.53%. Menurut Soeparno (2005), umumnya cooking loss bervariasi antara 1.5-54.5%. Nilai cooking loss yang didapat masih termasuk dalam kisaran normal. Perbedaan cooking loss dapat disebabkan oleh ph dan marbling (Yu et al. 2005). Tabel 3 Nilai cooking loss pada sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum disembelih (n=11) cooking loss (%) rata-rata 26.77 minimum 17.00 maksimum 36.78 + sd 5.53 Menurut Shanks et al. (2002) besarnya cooking loss dapat dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi protein, dan kemampuan daging untuk mengikat air. Soeparno (2005) juga melaporkan bahwa daerah pengambilan otot dapat mempengaruhi cooking loss. Perbedaan daya ikat air dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan sehingga ph diantara dan di dalam otot berbeda. Gerakan otot yang berbeda juga mempengaruhi daya ikat air karena perbedaan jumlah glikogen yang menentukan besarnya pembentukan asam laktat dan penurunan ph yang bervariasi (Soeparno 2005). Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan ph otot posmortem, pemecahan dan berkurangnya ATP (adenosine triphosphat), serta pembentukan ikatan diantara filamen pada saat rigormortis dapat menurunkan daya ikat air daging (Lawrie 2003). Daging dengan cooking loss yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan daging yang memiliki cooking loss lebih besar karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno 2005). Menurut Panea et al. (2008), cooking loss menjadi hal yang penting karena mempengaruhi variasi juiciness pada daging dan penampilan daging.

14 Kesempurnaan Pengeluaran Darah Pengeluaran darah adalah hal yang penting dalam penyembelihan dan merupakan syarat utama daging yang akan dikonsumsi dan berpengaruh pada kualitas daging. Hasil pemeriksaan kesempurnaan pengeluaran darah pada semua sampel daging menunjukkan warna biru yang berarti pengeluaran darah yang sempurna. Hal ini diduga karena proses pemotongan dilakukan dengan baik dan hewan dalam keadaan sehat sehingga tidak terdapat hemoglobin (Hb) di dalam daging. Efisiensi pengeluaran darah merupakan salah satu syarat penting pada proses penyembelihan untuk mendapatkan daging yang berkualitas tinggi karena tingginya ph darah dan kandungan protein yang dapat mempercepat proses pembusukan (Roca 2002). Menurut Mohamed dan Mohamed (2012), adanya darah yang tersisa di dalam karkas akan mempengaruhi aroma dan masa simpan daging. Pengeluaran darah yang baik dapat terjadi jika hewan dalam keadaan sehat namun dapat diperlambat jika hewan mengalami kondisi demam, infeksi pada bagian jantung (Roca 2002; Agbeniga 2011), infeksi pada bagian paru-paru dan otot serta mengalami kondisi indigesti yang berat (Agbeniga 2011). Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai ph Daging Korelasi konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-1 menunjukkan adanya korelasi yang bermakna (p<0.05) namun korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-24 menunjukkan korelasi yang tidak bermakna (p>0.05). Konsentrasi hormon kortisol dengan kedua nilai ph tersebut memiliki korelasi positif. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi kortisol maka semakin tinggi nilai ph. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Okuedo dan Moss (2005), yaitu konsentrasi hormon kortisol dengan nilai ph jam ke-24 memiliki korelasi positif. Kondisi stres dapat meningkatkan konsentrasi kortisol darah dan disertai dengan deplesi glikogen pada otot (Colditz et al. 2006). Hal tersebut menyebabkan penurunan produksi asam laktat posmortem dan ph daging yang tetap tinggi (Mounier et al. 2006). Weglarz (2010) mengemukakan bahwa stres dan kehilangan energi pada periode sebelum penyembelihan dapat menyebabkan berkurangnya cadangan glikogen otot sehingga terjadi ketidakcukupan dalam pembentukan asam laktat posmortem. Korelasi Konsentrasi Hormon Kortisol dengan Nilai Cooking Loss Korelasi bermakna terdapat pada korelasi antara konsentrasi hormon kortisol dengan nilai cooking loss (p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi hormon kortisol yang dihasilkan maka semakin tinggi juga nilai cooking loss. Menurut Gregory (1998), kortisol merupakan hormon kortikosteroid yang berfungsi untuk menstimulasi proteolisis. Proteolisis posmortem merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh pada kemampuan daging untuk mengikat air. Proses ini melibatkan sistem calpain, calpastatin, dan oksidasi protein. Sistem calpain

merupakan faktor utama yang bertanggungjawab terhadap proteolisis posmortem baik pada saat sebelum dan setelah kondisi rigor (Huff-Lonergan dan Lonergan 2005). Aktivitas calpain yang tinggi pada daging dengan ph u lebih dari 6 akan menyebabkan daging menjadi lebih empuk (Gregory 1998). Hal ini diduga dapat menyebabkan nilai cooking loss yang tinggi ketika konsentrasi hormon kortisol yang dihasilkan juga tinggi. 15 Korelasi Nilai ph dengan Nilai Cooking Loss Nilai ph daging jam ke-24 setelah penyembelihan tidak memiliki korelasi bermakna dengan nilai cooking loss (P>0.05). Nilai ph jam ke-24 cukup tinggi dengan rata-rata yaitu 6.21 yang disertai dengan nilai rata-rata cooking loss yang masih dalam kisaran normal yaitu 26.78%. Nilai ph u yang tinggi dapat menyebabkan daya ikat air yang tinggi (Soeparno 2005; Jama et al. 2008; Weglarz 2010) dan menurunkan cooking loss (Jama et al. 2008). Menurut Lawrie (2003), penurunan ph posmortem merupakan salah satu faktor penting yang menentukan daya ikat air. Denaturasi protein sarkoplasma dapat dipercepat ketika ph mengalami penurunan. Nilai ph yang menurun dengan cepat (pada saat pemecahan ATP) akan meningkatkan kecenderungan aktomiosin untuk saling berkontraksi sehingga daya ikat air rendah dan cooking loss tinggi. 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sapi yang dipingsankan dengan captive bolt stun gun sebelum penyembelihan memiliki konsentrasi hormon kortisol yang tinggi (26.59 16.61 ng/ml). Nilai kortisol yang tinggi menyebabkan ph u tetap tinggi namun nilai cooking loss masih dalam kisaran normal. Penyembelihan sapi yang diawali dengan pemingsanan menggunakan captive bolt stun gun menghasilkan daging dengan pengeluaran darah yang sempurna dan kualitas daging yang relatif baik. Saran Perlu dilakukan penilaian tentang penanganan sapi sebelum penyembelihan meliputi penanganan selama transportasi, di kandang penampungan sementara, penggiringan pada gang way, dan penanganan ketika memasuki restraining box. Penanganan sebelum penyembelihan ini diduga sebagai salah satu tahapan yang dapat mempengaruhi nilai konsentrasi hormon kortisol dan kualitas daging yang dihasilkan.

16 DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW, Hedrick HB, Judge MD, Merkel RA. 2001. Principles of Meat Science. Ed ke-4. Dubuque Iowa (US): Kendal/Hunt. Adzitey F. 2011. Minireview effect of preslaughter animal handling on carcass and meat quality. Int Food Res J. 18:485-491. Agbeniga B. 2011. Influence of Conventional and Kosher Slaughter Techniques in Cattle on Carcass and Meat Quality [Thesis]. Pretoria (ZA): University of Pretoria. Anil MH, Yesildere T, Aksu H, Matur E, McKinstry JL, Erdogan O, Hughes S, Mason C. 2006. Comparison of Halal slaughter with captive bolt stunning and neck cutting in cattle: exsanguination and quality parameters. Anim Welfare. 15:325-330. Anil MH. 2012a. Religius slughter: a current controversial animal welfare issue. Anim Front. 2:3. Anil MH. 2012b. Effect of slaughter method on carcass and meat characteristics in the meat of cattle and sheep. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 16]. Tersedia pada: www.eblex.org.uk/.../slaughter_and_meat_quality. Chulayo AY. 2012. Effects of pre-slaughter sheep handling and animal-related factors on creatine kinase levels and physic-chemical attributes of mutton [Dissertation]. Alice (ZA): University of Fort Hare. Chulayo AY, Tada O, Muchenje V. 2012. Research on pre-slaughter stress and meat quality: a review of challenges faced under practical conditions. Appl Anim Husb Rural Develop. 5:1-6. Colditz IG, Watson DL, Kilgour R, Ferguson DM, Prideaux C, Ruby J, Kirkland PD, Sullivan K. 2006. Impact of animal health and welfare research within the CRC for cattle and beef quality on Australian beef production. Aust J Exp Agr. 46:233-244. [EFSA] European Food Safety Authority. 2013. Scientific opinion on monitoring procedures at slaughterhouses for bovines. EFSA J. 11(12):3460. Ewbank R, Parker MJ, Mason CW. 1992. Reactions of cattle to head-restrain at stunning: a practical dilemma. Anim Welfare. 1(1):55-64. [FAO] Food Agricultural Organization. 2013. Slaughter of livestock. [Internet]. [diunduh 2013 Sept 16]. Tersedia pada: http://www.fao.org. [FAWC] Farm Animal Welfare Council. 2003. Report on the welfare of farmed animals at slaughter or killing Part 1: red meat animals. [Internet]. [diunduh 2013 Des 30]. Tersedia pada: http://www.fawc.org.uk. Ferguson DM, Shaw FD, Stark JL. 2007. Effect of reduced lairage duration on beef quality. Aus J Exp Agric. 47:770-773. Forslund BK, Ljungvall OA, Jones BV. 2010. Low cortisol levels in blood from dairy cows with ketosis: a field study. Acta Vet Scandinavica. 52:31. Gaden B. 2007. Meat science brings meat quality to consumers. [Internet]. [diunduh 2013 April 5]. Tersedia pada: http://www.beef.crc.org.au. Garcia-Segovia P, Andres-Bello A, Martinez-Monzo J. 2006. Effect of cooking method on mechanical properties, colour, and structure of beef muscle (M. pectoralis). J Food Eng. 80(3):813 821. Gibson TJ, Johnson CB, Murrell JC, Mitchinson SL, Stafford KJ, Mellor DJ. 2009. Amellioration of electroencephalographic responses to slaughter by non