Dian Lazuardi Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Seminar Nasional Agroforestry, Bandung, 19 Nvember 2015
Perladangan berpindah, swidden agriculture, perladangan bergilir, dan perladangan gilir balik menggambarkan suatu sistem penggunaan lahan yang melibatkan fase tanam atau fase produksi dan masa bera, (Mulyoutami et al., 2010) Evolusi Tebang, Tebas, Bakar, Tanam dan Bera ke arah Tebang, Tebas, Bakar, Tanam, Bera, dan Kebun Subsisten - Matapencaharian Ladang + Semak-Belukar Ladang + Kebun Driving Forces : - Kebutuhan hidup masyarakat - Pasar dan Harga - Aksesibilitas wilayah -
Persepsi : Salah satu agen Deforestasi dan Degradasi Lahan - Keterbatasan Lahan - Penurunan masa bera
Perladangan berpindah yang telah dipraktekan secara turun temurun. Struktur bentang alam : Hutan alam, Hutan sekunder, ladang, kebun karet, kebun kayu manis, kemiri dan kebun kayu campuran, Hasil kebun sebagai matapencaharian utama. Hasil ladang sebagian untuk dujual selain untuk konsumsi sendiri. TELAH TERJADI PERUBAHAN DARI SISTEM PERLADANGAN BERPINDAH TRADISIONAL
PROBLEM Deforestasi (lost of biodiverisity), degradasi lahan, dan rusaknya tata-air. Berada di wilayah pegunungan sebagai daerah hulu DAS Amandit Masih adanya sisa ekosistem hutan hujan tropika alami Daerah pengembangan wisata alam Sebagian besar masuk wilayah kawasan KPHL Model Hulu Sungai Selatan (2012)- Konflik.
BAGAIMANA ARAH PENGELOLAAN KPHL MODEL HARUS BERJALAN? Perlu pemahaman mengenai dinamika perubahan yang terjadi dalam sistem perladangan berpindah masyarakat adat dan faktor-faktor yang mendasarinya
Mengetahui status sistem perladangan berpindah saat ini, perubahanperubahan yang telah terjadi dan faktor utama yan g mendasarinya.
Lokasi : Empat Kampung (Balai) adat yang berada di dalam kawasan KPHL. 1. Haratai : 4 km arah utara dari pusat kota kecamatan Loksado, objek wisata alam Air terjun, jalan akses roda dua dan sudah ada pengerasan 2. Kedayang : 4 km dari Haratai ke arah puncak gnung, jalan akses roda dua dg pengerasan (5 terahir), elum jadi objek wisata. 3. Kamawakan : 6 km dari kota Loksado arah Barat, jalan akses roda dua dengan pengerasan (5 th terahir), tak ada objek wisata 4. Malino : 12 Km arah Barat Loksado, dilalui jalan raya Kandangan Batu Licin.
KEDAYANG HARATAI LOKSADO KAMAWAKAN MALINO
PENYULUHAN Aksesibilitas Driving Foreces - Populasi - Sumberdaya BA -Opsi Penggunaan lahan -Preference budaya - Akses pasar -Infrastruktur -Teknologi Aktor - Keputusan -Pembelajaran Dinamika Landscape Nilai ekonomi untuk rumah tangga Perubahan Penggunaan & Penutupan lahan Produktivitas level unit penggunaanpenutupan lahan MIGRASSI Konsekwensi External - Penyerapan karbon - Fungsi perlindungan tanah- air - Keanekaragaman-hayati - Eksistensi budaya masyarakat adat - Fungsi Amenity - Fungsi Produksi - dll FALLOW MODEL Forest, Agroforest, Low-value Landscape Or Wasteland? (SUYAMTO ET AL., 2009)
A. Pola Perladangan Ladang : berasal dari hutan jurungan (hutan Sekunder) umur bera 6-8 tahun, atau hutan bambu Jurungan : lahan pada fase berupa semak belukar. Lahan yang ditujukan untuk dibuat ladang kembali. Kebun : lahan yang ditanami oleh jenis-jenis tanaman tahunan. Peremajaan kembali dilakukan dengan tanaman sejenis atau jenis berbeda
H. Bambu LADANG JURUNGAN MUDA JURUNGAN TUA Periode Ladang : 1 tahun di semua balai Adat Umur Jurungan : Masa bera 6 tahun di semua Balai Adat Hutan Bambu ditemukan dijadikan ladang di Desa Haratai Telah terjadi penurunan masa bera jika dibandingkan dengan hasil penelitian Asysyifa (2012) Pembukaan hutan bambu sebagai tanda sudah kekurangan lahan jurungan KOMODITI : Tanaman pangan (terutama Padi dan Ketan), dan Palawija. Tujuan hanya untuk konsumsi sendiri (Kedayang dan Kamawakan). Di Malino dan Haratai menanam komoditi yang untuk dijual, yaitu Cabe Rawit.
KEBUN KARET KAYU MANIS KEMIRI PISANG K. CAMPURAN Perubahan komoditi kebun Karet tua menjadi Kayu Manis, atau kemiri, atau dibiarkan menjadi kebun campuran. Alasan : fluktuasi harga karet dan memilih harga komoditi stabil dan lebih tinggi, dan lebih cepat menghasilkan. Terjadi di semua Balai Adat Konversi kebun campuran dan Karet tua menjadi kebun Pisang melalui proses pembuatan ladang, terjadi di Malino. Pertimbangan harga dan kecepatan untuk menghasilkan menjadi dasar utama. Sebagai dampak dari tingginya aksesibilitas lahan terhadap jalan raya (jatak kebun antara 0-500 m dari tepi jalan raya)
HUTAN LADANG/JURUNGAN KEBUN BERBAGAI UMUR-JENIS PEMUKIMAN KEDAYANG dan KAMAWAKAN HUTAN LADANG/JURUNGAN KEBUN + LADANG PEMUKIMAN HARATAI HUTAN LADANG/JURUNGAN MOSAIK KEBUN +LADANG PEMUKIMAN MALINO Semakin dekat dengan pusat pemasaran dan tingginya aksesibilitas, pola penggunaan lahn yang memerlukan curahan tenaga lebih intensif akan lebih mendekati pemukiman /jalan akses.
Kesimpulan : Jarak dari pusat keramian (wisata) dan pemasaran serta kualitas jaringan transportasi secara bertahap mampu mempengaruhi para pemilik lahan untuk merubah komoditi dan alokasi penggunaannya. Secara bentang alam mampu merubah pola penyebaran tipe penutupan dan penggunaan lahan.
Saran : Sangat mendesak untuk menetapkan batas wilayah tanah adat berbasis kesepakatan semua fihak, guna membatasi perluasan pembukaan hutan bagi perladangan. Arah kebijakan pembangunan infrastruktur daerah, melalui peningkatan kualitas jaringan jalan yang telah ada di semua balai adat. Diharapkan jadi faktor penggerak bagi para peladang untuk secara sukarela mengalihkan aeral perladangan dari tepi hutan ke arah tepi jalan dan pemukiman. Merubah jurungan menjadi kebun kayu campuran atau menjadi hutan sekunder.