BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan merupakan elemen penting untuk kegiatan budidaya ikan nila karena dalam budidaya ikan nila persentase jenis kelamin erat kaitannya dengan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina (Phelps dan Popma 2000; Monosroi et al. 2004; Dunham 2004; Shalaby et al. 2007). Berdasarkan data hasil penelitian persentase jantan benih ikan nila merah tertinggi terdapat pada perlakuan D (lama waktu perendaman 10 jam) yaitu sebesar 84,37% dan persentae jantan benih ikan nila merah terendah terdapat pada perlakuan A (tanpa perendaman ETTS) yaitu sebesar 61,48% (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata Persentase Jantan Benih Ikan Nila Merah Setelah Direndam Ekstrak Tepung Testis Sapi. Perlakuan Lama Waktu Perendaman (jam) Rata rata Persentase Jantan (%) A 0 jam 61,48a B 6 jam 69,01ab C 8 jam 74,88bc D 10 jam 84,37c E 12 jam 80,14c Hasil tersebut menunjukan bahwa persentase jantan benih ikan nila merah meningkat bersamaan dengan meningkatnya lama waktu perendaman, dimana hormon testosteron yang diduga masuk secara osmosis ke dalam tubuh larva ikan nila merah, selanjutnya hormon testosteron di dalam media masuk secara difusi ke dalam tubuh larva dan semakin lama perendaman yang dilakukan, maka akan semakin banyak hormon testosteron yang masuk ke dalam tubuh yang akan 24
25 mempengaruhi proses alih kelamin. Akan tetapi konsentrasi hormon testoteron yang berlebihan diduga akan memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan seperti yang terjadi pada perlakuan E, dimana terjadi penurunan persentase jenis kelamin jantan dibandingkan dengan perlakuan D (Gambar 3). Gambar 3. Persentase Jantan Benih Ikan Nila Merah Menurut Nakamura et al. (1998), pemberian hormon steroid dengan dosis yang rendah tidak akan mampu untuk membentuk populasi jantan secara maksimal, dan menyebabkan terbentuknya individu interseks. Sebaliknya dosis terlalu tinggi akan menyebabkan efek kebalikan dari populasi yang diharapkan, dan terbentuknya individu steril. Terjadinya ikan intersex umumnya disebabkan pemberian hormon steroid dosis rendah (suboptimum) (Yamazaki, 1983). Pada penelitian ini ditemukan gonad interseks yaitu pada perlakuan B (perendaman ETTS selama 6 jam) sebanyak 4 ekor (8,86%), perlakuan C (perendaman ETTS selama 8 jam) sebanyak 1 ekor (2,22%), dan perlakuan E (perendaman ETTS selama 12 jam) sebanyak 1 ekor (2,22%). Sedangkan pada perlakuan A (tanpa perendaman ETTS) dan perlakuan D (perendaman ETTS selama 10 jam) tidak ditemukan adanya gonad interseks (Lampiran 5).
26 Perlakuan A (kontrol) yaitu perlakuan untuk benih ikan nila merah yang tidak direndam dengan ETTS memberikan rata-rata persentase jantan yang terendah sebesar 61,48%. Hal ini disebabkan tidak adanya hormon testosteron tambahan yang masuk ke dalam tubuh larva pada saat proses alih kelamin sehingga tidak ada faktor pembantu yang mendorong larva ikan nila merah condong untuk menjadi kelamin jantan. Karena tanpa adanya hormon testosteron tambahan yang dimasukkan dari luar tubuh larva ikan nila merah, larva akan melakukan proses alih kelamin secara alamiah sebagaimana bawaan genetik dari induknya. Pada perlakuan B yaitu pemberian ETTS terhadap benih ikan nila merah melalui perendaman selama 6 jam memberikan rata-rata persentase jantan sebesar 69,01%, persentase tersebut lebih tinggi daripada perlakuan A tanpa perendaman ETTS. Adanya proses perendaman ETTS selama 6 jam diduga mengakibatkan terjadinya proses osmosis hormon testosteron yang ada dalam media perendaman sehingga terjadi sedikit peningkatan persentase jantan, namun tidak ada perbedaan dengan perlakuan A. Pada perlakuan C yaitu perendaman ETTS selama 8 jam terjadi peningkatan rata-rata persentase jantan daripada perlakuan A dan perlakuan B yaitu sebesar 74,88%, terjadinya peningkatan persentase jantan yang berbanding lurus dengan peningkatan lama waktu perendaman ETTS. Terjadinya hal tersebut memperlihatkan perbedaan persentase jantan antara perlakuan A dan perlakuan C sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan pemberian ETTS dengan lama waktu perendaman selama 8 jam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan tanpa pemberian ETTS. Perlakuan D dan perlakuan E memberikan rata-rata persentase jantan masing-masing sebesar 84,37% dan 80,14% dimana perlakuan D memberikan pengaruh yang sama dengan perlakuan E. Hal ini diduga pada lama waktu perendaman ETTS selama 10 jam dan 12 jam, konsentrasi hormon testosteron yang masuk ke dalam tubuh larva ikan nila merah melalui proses osmosis dan difusi sudah mencapai konsentrasi yang optimal yang mendorong larva untuk menjadi kelamin jantan pada saat proses alih kelamin.
27 Tingginya persentase jantan benih ikan nila merah pada penelitian ini diduga dipengaruhi oleh hormon testosteron yang terkandung dalam ekstrak tepung testis sapi, karena hormon testosteron merupakan unsur yang akan mempertahankan kelangsungan proses spermatogenesis dan menjadi mediator utama spermiasi (Brown dan Stubbs 1983). Hormon testosteron yang masuk ke dalam tubuh ikan akan mempengaruhi hypopthalamus untuk merangsang hipofisa untuk mengeluarkan LH dan FSH. LH akan mempengaruhi sel leydig untuk mengeluarkan testoteron. Sedangkan FSH akan mempengaruhi sel sertoli untuk menstimulsi camp (cyclic Adenosine Mono Phosphat) yang akan menginduksi pembentukan ABP (Androgen Binding Protein), yang berfungsi untuk mengikat testosteron yang dikeluarkan oleh sel leydig. Selanjutnya kompleks ikatan ABP + testosteron aktif akan menginisiasi kegiatan spermatogenesis pada sel spermatogenik sehingga memacu pembelahan meiosis pertama sel-sel spermatosit primer menjadi spermatosit sekunder dan kompleks ikatan tersebut akan berinterakasi langsung pada pembelahan meiosis kedua yang mengubah bentuk spermatosit sekunder menjadi spermatid. Dugaan lain yang mempengaruhi tingginya persentase ikan jantan adalah umur ikan yang direndam ETTS sesuai dengan terjadinya proses diferensiasi kelamin yaitu 4 hari setelah menetas. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan sex reversal adalah umur dan ukuran, lama perlakuan, lingkungan (Phelps dan Popma 2000), spesies ikan, genetic, tipe hormon, dosis hormon, waktu perlakuan (Dunham, 2004). Selanjutnya menurut Kwon et al. (2000), masa differesiasi gonad pada ikan nila terjadi hingga 30 hari setelah penetasan, namun periode paling sensitif untuk pengarahan jenis kelamin pada ikan nila adalah 7-14 hari setelah menetas. Differesiasi kelamin pada ikan nila terjadi pada saat larva berumur 6-7 hari setelah menetas sampai sekitar 27-28 hari setelah menetas (Yuniarti et al. 2007). Menurut Pandian (1999), sex differentiation pada ikan teleostei umumnya terjadi pada awal setelah penetasan, proses differensiasi kelamin pada ikan teleostei berangsur-angsur dan labil. Aplikasi teknik pengarahan kelamin umumnya dilakukan pada ikan yang masih dalam proses
28 differensiasi (periode labil) (Dunham 2004). Pada periode labil ini kelamin ikan dapat diarahkan melalui induksi hormon (Pandian 1999). Hasil perhitungan analisis regresi kuadratik menunjukan bahwa antara lama waktu perendaman dengan ekstrak tepung testis sapi terhadap persentase jantan benih ikan nila merah membentuk suatu kurva parabolik dengan persamaan Y = 4,87 + 15,37x 0,75x 2, dimana terdapat satu titik optimum yang menghasilkan persentase jantan benih ikan nila merah teringgi (Gambar 4). Gambar 4. Kurva Parabolik Lama Waktu Perendaman ETTS Terhadap Persentase Jantan Benih Ikan Nila Merah Berdasarkan perhitungan dari persamaan yang terdapat pada kurva, diperoleh lama waktu perendaman optimum yaitu selama 10 jam 30 menit dengan prediksi hasil persentase jantan sebesar 86,71%. Hubungan antara lama waktu perendaman dengan ekstrak tepung testis sapi terhadap persentase jantan benih ikan nila merah mempunyai keeratan yaitu sebesar 0,69 (Lampiran 5). Hasil pengamatan morfologi menunjukan pada gonad jantan benih ikan nila merah terdapat sel-sel folikel spermatogonia berbentuk seperti titik hitam yang mempunyai ekor, sedangkan pada gonad betina benih ikan nila merah terdapat sel-sel folikel oogonia berbentuk seperti telur yang saling menumpuk Diantara gonad jantan dan gonad betina ditemukan gonad intersex yang terlihat
29 seperti perpaduan antara gonad jantan dan gonad betina, dimana pada gonad intersex ini terdapat sel-sel folikel spermatogonia dan oogonia yang terdapat dalam satu gonad (Gambar 5). Sel folikel spermatogonia Sel folikel oogonia (a) (b) Sel folikel spermatogonia Sel folikel oogonia (c) Gambar 4. Gonad Benih Ikan Nila Merah Hasil Pengamatan Mikroskop Perbesaran 400x Keterangan: (a) gonad jantan, (b) gonad betina, dan (c) gonad intersex. Sel-sel folikel spermatogonia selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi primordial germ cell dan berkembang biak beberapa kali sampai menjadi spermatozoa melalui proses spermatogenesis. Sedangkan sel-sel folikel oogonia akan berdeferensiasi membentuk primordial germ cell yang selanjutnya memperbanyak diri dan berkembang biak menjadi oogonia.
30 4.2 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup merupakan total organisme yang mampu bertahan hidup hingga waktu yang ditentukan dalam suatu percobaan atau penelitian. Menurut Mudjiman (1998), tingkat kelangsungan hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berhubungan dengan ikan itu sendiri seperti umur dan genetika yang meliputi keturunan, kemampuan untuk memanfaatkan makanan dan ketahanan terhadap penyakit. Faktor eksternal merupakan faktor yang berkaitan dengan lingkungan habitat hidup yang meliputi sifat fisika, dan kimia air, ruang gerak dan ketersediaan makanan dari segi kualitas dan kuantitas. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila merah memiliki kisaran 78,00-79,33%. Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan lama waktu perendaman ETTS yang berbeda tidak berpengaruh (tidak berbeda nyata) terhadap tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila merah (Tabel 2). Tabel 2. Rata-rata Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila Merah Setelah Direndam Ekstrak Tepung Testis Sapi. Perlakuan Lama Waktu Perendaman (jam) Rata rata Kelangsungan Hidup (%) A 0 jam 79,33a B 6 jam 78,67a C 8 jam 78,00a D 10 jam 77,33a E 12 jam 79,33a Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila merah yang dianalisis pada penelitian ini yaitu tingkat kelangsungan hidup sampai minggu keenam atau sebelum terjadinya mati listrik selama 6 jam yang menyebabkan ikan banyak yang mati. Hal tersebut diduga yang menyebabkan pada akhir penelitian data menjadi bias karena pada umumnya tingkat kelangsungan hidup ikan nila yang relatif
31 tinggi (>75,00%), berdasarkan kemampuan ikan nila yang memiliki resistensi relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit serta memiliki toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan (Sucipto 2007). Tingkat kelangsungan benih ikan nila merah merah setelah perendaman ETTS tidak ditemukan adanya benih ikan nila merah yang mati (SR 100%). Namun pada minggu pertama mulai ditemukan benih ikan nila merah yang mati dengan rata-rata benih yang mati yaitu sebesar 8,12%. Pada minggu kedua ratarata kematian benih ikan nila merah sedikit menurun dibandingkan minggu pertama yaitu sebesar 6,67%. Pada minggu ketiga rata-rata kematian benih ikan nila merah menurun kembali dibandingkan minggu kedua yaitu sebesar 5,73%. Pada minggu keempat tidak ditemukan benih ikan nila merah yang mati kecuali pada perlakuan perendaman 10 jam yaitu sebesar 1,34%. Pada minggu kelima dan minggu keenam tidak ditemukan benih ikan nila merah yang mati pada semua perlakuan. Pada minggu ketujuh ditemukan banyak benih ikan nila merah yang mati pada semua perlakuan disebabkan karena aliran listrik mati (Gambar 6). Gambar 6. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila Merah
32 Terjadinya kematian massal pada minggu ketujuh ini membuat data pada akhir penelitian menjadi bias karena setelah kejadian tersebut tidak ditemukan lagi kematian benih ikan nila merah sampai penelitian ini selesai. Ditemukannya benih ikan nila merah yang mati pada minggu pertama sampai minggu keempat diduga terjadi karena larutan ether yang masih terdapat dalam ETTS yang menimbulkan efek karsinogenik seperti halnya 17α-metiltestosteron (Wiryowidagdo 2005), larutan ether tersebut akan terakumulasi di hati dan pankreas selanjutnya akan merusak hati dan pankreas. Menurut Connell dan Miller (2006) toleransi hewan air terhadap senyawa organik sintetik terlarut sangat rendah. Pada konsentrasi tertentu senyawa organik sintetik dapat menyebabkan terganggunya metabolisme dalam tubuh dan mengakibatkan kematian. 4.3 Kualitas Air 4.3.1 Suhu Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkungannya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup ikan (Effendi 2000). Selama penelitian dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air yaitu salah satunya suhu. Suhu selama penelitian yaitu berkisar 29-32 o C, suhu tersebut akan berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup ikan nila merah karena akan mengakibatkan metabolisme meningkat, pada akhirnya akan mengakibatkan kualitas air menjadi buruk. Menurut Popma dan Masser (1999) suhu optimal untuk kegiatan budidaya ikan nila adalah pada kisaran 26-28 o C. Kisaran suhu selama penelitian yang jauh dari kisaran suhu optimal untuk ikan nila diduga menjadi faktor lain yang mempengaruhi banyaknya ikan nila merah yang mati selama penelitian. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pengarahan kelamin jantan adalah suhu (Smith et al. 1994; Phelps dan Popma 2000; Dunham 2004; Strussmann et al. 2005). Beberapa spesies ikan phenotypic sex dapat dipengaruhi suhu media pemeliharaan selama periode awal hidup. Fenomena ini dikenal sebagai thermolabile sex determination (TSD) (Strussmann
33 et al. 2005) Menurut Smith et al. (1994), pada ikan alligator (Alligator missiissiensis) stadia larva yang diinkubasi pada suhu 30 o C menghasilkan 100% jantan. Nakamura et al. (1998) menyebutkan bahwa suhu media pemeliharaan selama proses embrionik dan tahapan perkembangan larva mempengaruhi differensiasi kelamin pada ikan. Suhu air dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein serta makro molekul lain dalam tubuh ikan (Devlin dan Nagahama 2002). 4.3.2 ph Faktor kualitas air lain yang mempengaruhi adalah derajat keasaman (ph) air. Nilai ph selama penelitian berkisar 7,30-7,68, nilai kisaran ph tersebut masih layak bagi pertumbuhan ikan nila merah. Menurut Popma dan Masser (1999) ph optimal untuk ikan nila berkisar 6,5-8,5. Kordi (2007) dalam Aliatunisa (2008), menyatakan bahwa perairan dengan ph rendah dapat mengakibatkan aktifitas tubuh menurun atau ikan menjadi lemah, lebih mudah terkena infeksi dan biasanya diikuti dengan tingkat mortalitas yang tinggi. 4.3.3 Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut selama penelitian berkisar 3,40-4,57 mg/l. Kandungan oksigen tersebut masih layak untuk ikan nila karena ikan nila dapat bertahan hidup pada kisaran oksigen terlarut yang luas (Phelps 1999). Namun kandungan oksigen terlarut 4 mg/l dapat meningkatkan respon makan ikan yang dipelihara (Phelps dan Popma 2000), sehingga pasokan energi yang dibutuhkan untuk melakukan proses seperti respirasi, pencernaan, dan reproduksi dapat terpenuhi.