BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB III METODE PENELITIAN. cekat dan cetakan saat pemakaian retainer. 2. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan Rumus Federer sesuai dengan.

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk maloklusi primer yang timbul pada gigi-geligi yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. wajah yang menarik dan telah menjadi salah satu hal penting di dalam kehidupan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. KELAINAN DENTOFASIAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. empat tipe, yaitu atrisi, abrasi, erosi, dan abfraksi. Keempat tipe tersebut memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sampai perawatan selesai (Rahardjo, 2009). Hasil perawatan ortodontik

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan prevalensi nasional untuk masalah gigi dan mulut di Indonesia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

TINGKAT KEPARAHAN MALOKLUSI DAN KEBUTUHAN PERAWATAN ORTODONTI BERDASARKAN INDEX OF COMPLEXITY, OUTCOME, AND NEED (ICON) PADA MURID SMA NEGERI 18 MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2012). Perawatan ortodontik mempunyai riwayat yang panjang, anjuran tertulis

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi. syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: Nama : Vanny Anandita Gayatri Aulia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

Analisa Ruang Metode Moyers

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keadaan normal (Graber dan Swain, 1985). Edward Angle (sit. Bhalajhi 2004)

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB I PENDAHULUAN. ini sangatlah tinggi. Gaya hidup dan tren mempengaruhi seseorang untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penampilan fisik yang baik terutama penampilan gigi-geligi adalah salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. PERAWATAN ORTODONTIK

LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANG TUA/ WALI OBJEK PENELITIAN. Kepada Yth, Ibu/ Sdri :... Orang tua/ Wali Ananda :... Alamat :...

II. ORTODONSI INTERSEPTIF

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ortodontik (Shaw, 1981). Tujuan perawatan ortodontik menurut Graber (2012)

KEBUTUHAN PERAWATAN ORTODONSI BERDASARKAN INDEX OF ORTHODONTIC TREATMENT NEED PADA SISWA KELAS II DI SMP NEGERI 2 BITUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. alat ortodontik cekat telah dilakukan di Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut memiliki peran yang penting bagi fungsi

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

ABSTRAK. Kata kunci : IOTN, Dental Health Component, Aesthetic Component, Tingkat Kebutuhan Perawatan Ortodontik

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada tindakan pencegahan dan koreksi terhadap maloklusi dan malrelasi pada

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodonti merupakan perawatan yang bertujuan untuk

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BUKU AJAR ORTODONSIA III KGO III. Penanggungjawab Mata Kuliah drg. Soehardono D., MS., Sp.Ort (K)

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

III. RENCANA PERAWATAN

BUKU AJAR ORTODONSIA III KGO III

BAB 1 PENDAHULUAN. Penampilan fisik mempunyai peranan yang besar dalam interaksi sosial.

ORTODONSIA III PERAWATAN ORTODONTIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TINGKAT KEPARAHAN MALOKLUSI DAN KEBERHASILAN PERAWATAN ORTODONTI CEKAT MENGGUNAKAN INDEX OF COMPLEXITY, OUTCOME AND NEED

Kata kunci: lebar mesiodistal gigi, indeks Bolton, maloklusi kelas I Angle, overjet, overbite, spacing, crowding

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

Gambaran tingkat keparahan maloklusi dan keberhasilan perawatan menggunakan Index of Complexity, Outcome and Need (ICON) di RSGM-P FKG Unair

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. jaringan lunak. Gigi digerakkan dalam berbagai pola, dan berbagai cara perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oklusi Oklusi dalam pengertian yang sederhana adalah penutupan rahang beserta gigi atas dan bawah. Pada kenyataannya oklusi merupakan suatu proses kompleks karena meibatkan gigi (termasuk mofologi dan angulasinya), otot, rahang, sendi temporomandibula, dan gerakan fungsional rahang. Oklusi juga melibatkan relasi gigi pada oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009). Oklusi normal menurut Angle (1899) dilihat dari hubungan gigi molar atas terhadap gigi molar bawah sebagai kunci oklusi. Suatu oklusi dinilai baik atau normal jika terdapat keserasian antara komponen-komponen yang berperan untuk terjadinya kontak antara gigi-gigi rahang atas dan bawah (Trimelda et al, 2008; Hassan R et al, 2007). Oklusi normal dan maloklusi kelas I memiliki relasi molar yang sama namun memiliki perbedaan pada susunan gigi-geliginya. Malokusi kelas I tidak memiliki susunan gigi-geligi yang baik (Hassan et al, 2007). Gambar 2.1: A. Oklusi Normal; B. Maloklusi Kelas I 5

6 Menurut Andrew (1972), terdapat 6 karakteristik dari suatu oklusi normal yaitu: (Hassan R et al, 2007) 1. Relasi molar (Molar relationship) 2. Angulasi mahkota (Correct crown angulation) 3. Inklinasi mahkota (Correct crown inclination) 4. Tidak ada rotasi (Absence of rotation) 5. Kontak proksimal yang rapat ( Tight proximal contact) 6. Penampang oklusal yang datar (Flat occlusal plane) Secara universal, metode yang digunakan untuk melihat suatu oklusi normal atau tidak dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Angle karena kemudahannya untuk dideskripsikan dan dikomunikasikan antar para klinisi (Aslam et al, 2010). 2.2 Maloklusi Pengertian maloklusi adalah penyimpangan letak gigi dan atau malrelasi lengkung geligi (rahang) di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga dapat merupakan variasi biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh yang lain, tetapi karena variasi letak gigi mudah diamati dan mengganggu estetik sehingga menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk melakukan perawatan (Rahardjo, 2009). Istilah malokusi juga berarti semua penyimpangan dari gigi dan rahang dari kondisi normal, termasuk beberapa kondisi yang berbeda, seperti diskrepansi antara ukuran gigi dan ukuran rahang (crowding

7 dan spacing), malrelasi lengkung gigi (sagital, transversal, dan vertikal), dan malposisi dari gigi itu sendiri (Aslam et al, 2010). 2.2.1 Klasifikasi Maloklusi Menurut Angle Dasar dari klasifikasi Angle adalah relasi anteroposterior dari Molar I permanen rahang atas dan rahang bawah serta keselarasan dari gigi-geligi. Klasifikasi ini digunakan sebagai acuan dalam menentukan kategori suatu maloklusi karena mudah dan akurat dan digunakan secara global oleh para klinisi (Erum G et al, 2008). Namun, sistem klasifikasi ini juga memiliki kelemahan karena hanya melihat relasi dalam jurusan sagital saja, padahal maloklusi juga bisa terjadi dalam jurusan transversal dan vertikal. Bila terjadi pergeseran molar perlu dibayangkan letak molar sebelum bergeser kemudian baru dibuat klasifikasinya (Shrikant et al, 2011; Rahardjo, 2009). a. Kelas I: Maloklusi dengan molar pertama permanen bawah setengah lebar tonjol lebih mesial terhadap molar pertama permanen atas. Relasi lengkung gigi semacam ini biasa disebut juga dengan istilah netroklusi. Kelainan yang menyertai dapat berupa gigi berdesakan, proklinasi, gigitan terbuka anterior, dan lain-lain (Rahardjo, 2009; Houston, 1994) b. Kelas II: Lengkung bawah minimal setengah lebar tonjol lebih posterior dari relasi yang normal terhadap lengkung geligi atas dilihat pada relasi molar. Relasi seperti ini biasa juga disebut distoklusi. Maloklusi kelas II dibagi menjadi dua divisi menurut inklinasi insisivi atas (Rahardjo, 2009; Houston, 1994).

8 Divisi 1: insisivi atas proklinasi atau meskipun insisivi atas inklinasinya normal tetapi terdapat jarak gigit dan tumpang gigit yang bertambah. Divisi 2: insisivi sentral atas retroklinasi. Kadang-kadang insisivi lateral proklinasi, miring ke mesial atau rotasi mesiolabial. Jarak gigit biasanya dalam batas normal tetapi kadang-kadang sedikit bertambah. Tunpang gigit bertambah. Dapat juga keempat insisivi atas retroklinasi dan kaninus terletak di bukal. c. Kelas III: Lengkung bawah setidak-tidaknya satu lebar tonjol lebih ke mesial daripada lengkung geligi atas bila dilihat dari relasi molar pertama permanen. Relasi lengkung geligi semacam ini biasa disebut juga mesioklusi. Relasi anterior menunjukkan adanya gigitan terbalik (Rahardjo, 2009; Houston, 199). A B C Gambar 2.2: A. Malokusi kelas I; B. Maloklusi kelas II (divisi 1); C. Maloklusi kelas III (Shrikant et al, 2011)

9 2.3 Etiologi Maloklusi Maloklusi merupakan penyimpangan dari pertumbuhkembangan disebabkan faktor-faktor tertentu. Secara garis besar etiologi atau penyebab suatu maloklusi dapat digolongkan dalam faktor heriditer (genetik) dan faktor lokal. Kadang-kadang suatu maloklusi sukar ditentukan secara tepat etiologinya karena perkembangannya yang seiring dengan perkembangan anak dan adanya berbagai faktor (multifaktor) yang mempengaruhi pertumbuhkembangan (Rahardjo, 2009; Shrikant et al, 2011). 2.3.1 Faktor Herediter Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukkan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitf sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi (Rahardjo, 2009; Houston, 1994). Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu: 1) Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang dijumpai. 2) Disproporsi ukuran, posisi, dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Implikasi klinis suatu maloklusi yang lebih banyak dipengaruhi faktor heriditer adalah kasus tersebut mempunyai prognosis yang kurang baik bila dirawat ortodontik, namun sayngnya sukar untuk dapat menentukan seberapa pengaruh faktor

10 heriditer pada maloklusi tersebut. Perkembangan pengetahuan genetik molekuler diharapkan mampu menerangkan penyebab etiologi heriditer dengan lebih tepat (Rahardjo, 2009; Houston, 1994). 2.3.2 Faktor Lokal a. Gigi sulung tanggal prematur Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivi sentral dan lateral sulung yang tanggal prematur tidak bergitu berdampak, tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan pergeseran garis median. Molar kedua sulung terutama rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser ke arah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis (Rahardjo, 2009). b. Trauma Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila

11 mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka (Rahardjo, 2009; Houston, 1994). c. Kebiasaan buruk Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang bekepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivi atas disertai jarak gigit yang bertambah dan retroklinasi insisivi bawah (Rahardjo, 2009; Houston, 1994). 2.4 Fase Geligi Pergantian Masa geligi pergantian merupakan peralihan (transitional dentition) atau pergantian dari masa geligi sulung ke masa geligi permanen. Kadang-kadang disebut masa geligi campuran (mixed dentition) oleh karena di dalam rongga mulut terdapat campuran gigi sulung dan gigi permanen. Fase geligi pergantian terdiri dari: a. Ugly duckling stage Insisivi sentral permanen atas berbeda dari insisivi sentral permanen bawah yang biasanya dalam keadaan kontak. Insisivi sentral permanen atas sering erupsi dalam keadaan condong ke distal sehingga terdapat

12 diastema di antaranya. Keadaan ini merupakan sebagian dari masa yang disebut ugly duckling stage yang secara estetik terlihat tidak baik. Pada saat insisivi lateral permanen atas erupsi, sebagian diastema akan menutup. Dalam erupsinya, benih kaninus permanen atas akan mempengaruhi akar insisivi lateral permanen atas dan mendorong insisivi lateral ke mesial. Bila kaninus permanen telah erupsi, insisivi lateral dapat menegakkan diri dan diastema akan tertutup. Makin lebar diastema (lebih dari 2 mm), makin kecil kemungkinan diastema dapat menutup secara spontan (Rahardjo, 2009). b. Leeway space Perbedaan jumlah lebar kaninus, molar pertama dan molar kedua sulung dengan kaninus permanen, premolar pertama dan premolar kedua. Besarnya di rahang atas 0,9 mm dan 1,8 mm di rahang bawah. Pada saat molar kedua sulung tanggal, molar pertama permanen bergerak ke mesial menempati leeway space. Leeway space tidak digunakan untuk menghilangkan berdesakan di anterior secara spontan kecuali bila dikehendaki demikian dengan perawatan ortodontik (Rahardjo, 2009). c. Flush terminal plane Bila terdapat flush terminal plane pada relasi molar kedua sulung dan hanya didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula, demikian juga bila hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat relasi molar gigitan tonjol. Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke depan akan didapat relasi molar pertama permanen berupa relasi kelas I.

13 Anak yang mempunyai relasi molar kedua sulung flush terminal plane membutuhkan gerakan molar pertama permanen bawah ke mesial sebanyak 3,5 mm untuk mencapai relasi molar pertama permanen kelas I. Kurang lebih setengahnya didapatkan dari leeway space dan setengahnya lagi didapatkan dari pertumbuhan rahang bawah (Rahardjo, 2009). d. Mesial Step Bila terdapat mesial step pada relasi molar kedua sulung dan hanya didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula, demikian pula bila hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat relasi molar kelas I. Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke depan akan didapat relasi molar pertama permanen berupa relasi kelas III. Bila didapatkan mesial step sebesar 1 mm biasanya akan terjadi relasi molar pertama permanen kelas I sedangkan bila mesial step lebih besar daripada 2 mm akan didapatkan relasi molar kelas III (Rahardjo, 2009). e. Distal Step Bila terdapat distal step pada relasi molar kedua sulung dan bila didapatkan pertumbuhan diferensial minimal pada mandibula, dan bila hanya terjadi pergeseran gigi ke mesial akan terdapat relasi molar kelas II. Bila terdapat pertumbuhan mandibula ke depan akan didapat relasi molar pertama permanen berupa gigitan tonjol (Rahardjo, 2009).

14 2.5 Indeks Maloklusi Indeks adalah sebuah angka atau bilangan yang digunakan sebagai indikator untuk menerangkan suatu keadaan tertentu atau sebuah rasio proporsional yang dapat disimpulkan dari sederetan pengamatan yang terus menerus. Dengan menggunakan suatu indeks dapat dinilai beberapa hal menyangkut maloklusi, misalnya prevalensi, keparahan maloklusi dan hasil perawatan. Indeks maloklusi mencatat keadaan maloklusi dalam suatu format kategori atau numerik sehingga penilaian suatu maloklusi bisa objektif (Rahardjo, 2009). Salah satu indeks yang menjadi acuan dalam perawatan ortodonti adalah Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN). IOTN berfungsi sebagai indeks untuk mengukur kebutuhan perawatan, dapat juga dipakai untuk mengukur keberhasilan perawatan. Indeks ini terdiri dari dua buah komponen yaitu Dental Health Component (DHC) dan Aesthetic Component (AC). Dalam penggunaannya, Dental Health Component dipergunakan terlebih dahulu, baru kemudian Aesthetic Component (AC) (Dika et al, 2011). Dental Health Component menggunakan aturan yang simpel serta menggunakan istilah MOCDO untuk membimbing peneliti dalam meneliti maloklusi. MOCDO mewakili Missing Teeth atau kehilangan gigi, Overjet, Crossbite, Displacement of Contact Points atau perpindahan titik kontak, dan Overbite. Pada pasien dengan gigi insisivus yang impaksi dikategorikan menjadi grade 5 (Susanto, 2010; Agusni, 2004): Grade 1: Tidak membutuhkan perawatan Grade 2: Sedikit membutuhkan perawatan

15 Grade 3: Cukup membutuhkan perawatan Grade 4: Membutuhkan perawatan Grade 5: Amat membutuhkan perawatan (Farahani, 2011) Aesthetic Component terdiri dari 10 foto berwarna yang menunjukkan tingkatan derajat yang berbeda dari penampilan estetik susunan geligi. Dengan mengacu pada gambar ini, derajat penampilan estetik gigi dari pasien dapat dinilai dalam salah satu tingkatan derajat tertentu (Dika et al, 2011). Gambar yang berwarna digunakan untuk pemeriksaan secara langsung dengan melihat subjek penelitian. Sedangkan gambar yang digunakan untuk menganalisis model studi adalah yang berwarna hitam dan putih Gambar 2.3: Aesthetic Component (IOTN) untuk pemeriksaan pada subjek

16 Gambar 2.4: Aesthetic Component (IOTN) untuk pemeriksaan pada model studi Keterangan Gambar: Skor 1 atau 2 tidak memerlukan perawatan Skor 3 atau 4 sedikit membutuhkan perawatan Skor 5, 6 atau 7 cukup membutuhkan perawatan Skor 8, 9 atau 10 jelas membutuhkan perawatan (Rahardjo, 2009) Dalam pengukuran IOTN, digunakan suatu penggaris khusus. Penggaris plastik yang transparan telah dikembangkan untuk membantu pengukuran, dimana penggaris tersebut berisi semua informasi yang diperlukan untuk mengukur DHC, yang antara

17 lain mengukur jarak gigit, tumpang gigit, pergeseran titik kontak dari geligi, gigitan terbalik, gigitan terbuka, baik di anterior ataupun posterior (Agusni, 2004) Gambar 2.5: Penggaris IOTN (Ucuncu et al, 2001)