BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN. Hooke pada tahun Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD

ANALISA PERBANDINGAN BEBAN BATAS DAN BEBAN LAYAN (LOAD FACTOR) DALAM TAHAPAN PEMBENTUKAN SENDI SENDI PLASTIS PADA STRUKTUR GELAGAR MENERUS

PLASTISITAS. Pendahuluan. Dalam analisis maupun perancangan struktur (design) dapat digunakan metoda ELASTIS atau Metoda PLASTIS (in elastis)

ANALISIS DAKTILITAS BALOK BETON BERTULANG

BAB 1 PENDAHULUAN. metoda desain elastis. Perencana menghitung beban kerja atau beban yang akan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan telah mempermudah manusia untuk melakukan pekerjaan

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

Pertemuan I,II,III I. Tegangan dan Regangan

BAB I PENDAHULUAN. analisa elastis dan plastis. Pada analisa elastis, diasumsikan bahwa ketika struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI DAKTILITAS DAN KUAT LENTUR BALOK BETON RINGAN DAN BETON MUTU TINGGI BERTULANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembahasan hasil penelitian ini secara umum dibagi menjadi lima bagian yaitu

ANALISA LENDUTAN PROFIL BAJA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS CITRA UTAMI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat mekanik dari

KATA PENGANTAR. telah melimpahkan nikmat dan karunia-nya kepada penulis, karena dengan seizin-

BAB I PENDAHULUAN. pesat yaitu selain awet dan kuat, berat yang lebih ringan Specific Strength yang

BAB II STUDI PUSTAKA

ANALISA LENDUTAN BALOK KAYU KELAPA NON PRISMATIS PERLETAKAN SENDI ROL DENGAN METODE PLASTIS (EKSPERIMEN)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

sehingga lendutan yang disebabkan oieh beban gempa maupun angin dapat

DESAIN BALOK SILANG STRUKTUR GEDUNG BAJA BERTINGKAT ENAM

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING TAHAN GEMPA

ANALISIS PENENTUAN TEGANGAN REGANGAN LENTUR BALOK BAJA AKIBAT BEBAN TERPUSAT DENGAN METODE ELEMEN HINGGA

LENTUR PADA BALOK PERSEGI ANALISIS

d b = Diameter nominal batang tulangan, kawat atau strand prategang D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Ek

DAFTAR NOTASI. = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balok-kolom (mm²) = Luas penampang tiang pancang (mm²)

BAB II STUDI PUSTAKA. bangunan runtuh akibat sebuah muatan, maka bangunan tersebut akan aman dibebani

Hukum Hooke. Diktat Kuliah 4 Mekanika Bahan. Ir. Elisabeth Yuniarti, MT

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pembebanan

l l Bab 2 Sifat Bahan, Batang yang Menerima Beban Axial

BAB 4 Tegangan dan Regangan pada Balok akibat Lentur, Gaya Normal dan Geser

Respect, Professionalism, & Entrepreneurship. Mata Kuliah : Mekanika Bahan Kode : TSP 205. Kolom. Pertemuan 14, 15

BAB II TEORI DASAR. Gambar 2.1 Tipikal struktur mekanika (a) struktur batang (b) struktur bertingkat [2]

BAB I TEGANGAN DAN REGANGAN

PERENCANAAN PORTAL BAJA 4 LANTAI DENGAN METODE PLASTISITAS DAN DIBANDINGKAN DENGAN METODE LRFD

III. TEGANGAN DALAM BALOK

3.1 Tegangan pada penampang gelagar pelat 10

DAFTAR NOTASI. xxvii. A cp

PENGGAMBARAN DIAGRAM INTERAKSI KOLOM BAJA BERDASARKAN TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG (SNI ) MENGGUNAKAN MATLAB

Tegangan Dalam Balok

Kuliah ke-2. UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI FAKULTAS TEKNIK Jalan Sudirman No. 629 Palembang Telp: , Fax:

BAB 1. PENGUJIAN MEKANIS

PERILAKU KERUNTUHAN BALOK BETON BERTULANG TULANGAN GANDA ABSTRAK

BAB II STUDI PUSTAKA

MODUL 6. S e s i 4 Struktur Jembatan Komposit STRUKTUR BAJA II. Dosen Pengasuh : Ir. Thamrin Nasution

tegangan tekan disebelah atas dan tegangan tarik di bagian bawah, yang harus ditahan oleh balok.

ANALISIS CELLULAR BEAM DENGAN METODE PENDEKATAN DIBANDINGKAN DENGAN PROGRAM ANSYS TUGAS AKHIR. Anton Wijaya

Bab 5 Puntiran. Gambar 5.1. Contoh batang yang mengalami puntiran

PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN ITSM BAHAN AJAR MEKANIKA REKAYASA 2

DEFORMASI BALOK SEDERHANA

KONSEP TEGANGAN DAN REGANGAN NORMAL

TUGAS AKHIR ANALISIS PLASTIS PADA PORTAL DENGAN METODE ELEMEN HINGGA. Disusun oleh: FIRDHA AULIA ARIYANI AZHARI. Dosen Pembimbing:

Analisis Profil Baja Kastilasi. Ni Kadek Astariani

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

MODUL KULIAH STRUKTUR BETON BERTULANG I LENTUR PADA PENAMPANG 4 PERSEGI. Oleh Dr. Ir. Resmi Bestari Muin, MS

A. Pendahuluan. Dalam cabang ilmu fisika kita mengenal MEKANIKA. Mekanika ini dibagi dalam 3 cabang ilmu yaitu :

PENGARUH VARIASI LUAS PIPA PADA ELEMEN BALOK BETON BERTULANG TERHADAP KUAT LENTUR

2- ELEMEN STRUKTUR KOMPOSIT


KAJIAN EKSPERIMENTAL PERILAKU BALOK BETON TULANGAN TUNGGAL BERDASARKAN TIPE KERUNTUHAN BALOK ABSTRAK

LENDUTAN (Deflection)

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

ANALISA PENGARUH PENAMBAHAN TULANGAN TEKAN TERHADAP DAKTILITAS KURVATUR BALOK BETON BERTULANG ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN Umum. Pada dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral

xxv = Kekuatan momen nominal untuk lentur terhadap sumbu y untuk aksial tekan yang nol = Momen puntir arah y

ANALISIS KOLOM BAJA WF MENURUT TATA CARA PERENCANAAN STRUKTUR BAJA UNTUK BANGUNAN GEDUNG ( SNI ) MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2002

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD

D3 TEKNIK SIPIL FTSP ITS

ANALISIS ELASTOPLASTIS PORTAL GABEL BAJA DENGAN MEMPERHITUNGKAN STRAIN HARDENING

PERILAKU BALOK BERTULANG YANG DIBERI PERKUATAN GESER MENGGUNAKAN LEMBARAN WOVEN CARBON FIBER

STUDI EKSPERIMENTAL KUAT LENTUR PADA BALOK BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN BAJA RINGAN PROFIL U TUGAS AKHIR. Disusun oleh : LOLIANDY

L p. L r. L x L y L n. M c. M p. M g. M pr. M n M nc. M nx M ny M lx M ly M tx. xxi

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

5- STRUKTUR LENTUR (BALOK)

D = Beban mati atau momen dan gaya dalam yang berhubungan dengan beban mati e = Eksentrisitas dari pembebanan tekan pada kolom atau telapak pondasi

PROPOSAL TUGAS AKHIR DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembebanan yang berlaku untuk mendapatkan suatu struktur bangunan

Bab II STUDI PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 7.1. Stabilitas benda di atas berbagai permukaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keliatan dan kekuatan yang tinggi. Keliatan atau ductility adalah kemampuan. tarik sebelum terjadi kegagalan (Bowles,1985).

BAB III LANDASAN TEORI. dibebani gaya tekan tertentu oleh mesin tekan.

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian rangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEGANGAN (YIELD) Gambar 1: Gambaran singkat uji tarik dan datanya. rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan

BAB III PEMODELAN KOLOM DAN PERHITUNGAN

Bab 6 DESAIN PENULANGAN

Oleh : MUHAMMAD AMITABH PATTISIA ( )

Studi Analisis Tinggi Lubang Baja Kastilasi dengan Pengaku.Ni Kadek Astariani 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perancangan Struktur Atas P7-P8 Ramp On Proyek Fly Over Terminal Bus Pulo Gebang, Jakarta Timur. BAB II Dasar Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR NOTASI. = Luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton, mm² = Luas efektif bidang geser dalam hubungan balokkolom

Mekanika Bahan TEGANGAN DAN REGANGAN

PEMASANGAN STRUKTUR RANGKA ATAP YANG EFISIEN

BAB II STUDI PUSTAKA

Henny Uliani NRP : Pembimbing Utama : Daud R. Wiyono, Ir., M.Sc Pembimbing Pendamping : Noek Sulandari, Ir., M.Sc

Transkripsi:

BAB II TEORI DASAR II.I.HUBUNGAN TEGANGAN DAN REGANGAN Hubungan tegangan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hukum hooke dijelaskan bahwa apabila suatu baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan, kondisi tersebut kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan ragangan dapat diiterpretasikan sebagai berikut: σ = (2.1) ε =.. (2.2) σ = E. ε (2.3) Dimana: P = beban aksial A = luas profil Lo = panjang mula-mula L = panjang batang setelah dibebani E = modulus young/modulus kekenyalan 22

Hubungan antara tegangan dan regangan untuk lebih jelasnya dapat diperlihatkan pada gambar 2.1 berikut ini σ M C σyu σu A A B 0 εy ερ ε GAMBAR 2.1 Hubungan Tegangan Regangan untuk Baja lunak. Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah linier elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau disebut juga modulus young, E. Diagram tegangan-regangan untuk baja lunak umumnya memiliki titik leleh atas (upper yield point), σ, dan daerah leleh datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A, tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaikan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.0012. 23

Dari grafik tesebut dapat terlihat bahwa bila regangannya terus bertambah hingga melampaui harga ini, ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian disebut sebagai kondisi plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan sedikit mengalami kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat ditentukan terletak pada regangan 0.014 atau secara praktis dapat ditetapkan sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh. Daerah BC merupakan daerah strain-hardenig, dimana pertambahan regangan akan diikuti oleh sedikit pertambahan tegangan. Disamping itu hubungan tegangan-regangannya tidak bersifat linier. Kemiringan garis setelah titik B ini didefinisikan sebagai Es. Dititik M, tegangan mencapai nilai maksimum yang disbut sebagai tegangan tarik ultimit (ultimate tensile strength). Pada akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C. Besaran-besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja, proses pengerjaan pembuatan baja dan temperatur baja pada saat percobaan. Tetapi factor-faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus elastisitas (E). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan ditampilkan pada table 2.1 : 24

TABEL Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan %C σ (N/mm 2 ) σ ya / σ y ε s / ε y E s / E y 0.28 340 1.33 9.2 0.037 0.49 386 1.28 3.7 0.058 0.74 448 1.19 1.9 0.070 0.89 525 1.04 1.5 0.098 Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka akan semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan leleh bahan akan berpengaruh pada daktilitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin rendah daktilitas dari material tersebut. Daktilitas adalah perbandingan antara ε s dan ε y, dimana ε s adalah regangan strain hardening dan ε y adalah regangan leleh. Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan tarik secara berulang, diagram tegangan-regangannya dapat terbentuk seperti gambar 2.2. lintasan tarik dan tekan adalah sama. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang disebut efek Bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886. 25

σ y ε GAMBAR2.2 Efek Bauschinger Hubungan tegangan-regangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening) dan efek Bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti gambar 2.3. Keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan plastis ideal (ideal plastic relation). 26

σ σ y o ε y ε -σ y GAMBAR 2.3 Hubungan plastis ideal II.2. MENENTUKAN GARIS NETRAL PROFIL Garis netral untuk tampang yang sama pada kondisi elastis tidak akan sama dengan kondisi garis netral pada saat kondisi plastis. Pada kondisi elastis, garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut: 27

σ y D 1 A1 Z 1 A2 D 2 Z 2 σ y GAMBAR 2.4 Penentuan letak garis netral secara plastis D1 = A1. y... ( 2.4 ) D1 = A2. y... ( 2.5 ) Agar terjadi kesetimbangan, maka : D1 = D2 Sehingga A1 = A2 = ½ A Selanjutnya Z1 = S1/A1 Z2 = S2/A2 Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis Z1 = section modulus luasan 1 28

Z2 = section modulus luasan 2 Untuk menentukan momen plastis batas digunakan : Mp = D1 ( Z1+Z2 ) Mp = y. ½ A ( Z1+Z2 ) II.3. HUBUNGAN MOMEN-KELENGKUNGAN Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan sederhana, struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelum gaya luar bekeja, balok masih dalam keadaan lurus. Setelah gaya luar bekrja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial. 29

A B C A1 B1 C1 O M M A y a a1 A1 B b b1 B1 C c1 C1 GAMBAR 2.5 Kelengkungan balok 30

Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5. Titik A, B, dan C akan tertekan, sedangkan titik A1, B1, dan C1 akan meregang. Perpanjangan titik A1-A, B1-B, dan C1-C akan mengalami perpotongan pada titik O. Sudut yang terbentuk akibat terjadinya perubahan kelengkungan dititik A dan B atau B dan C, dinyatakan dengan φ. Kalau φ ini sangat kecil, maka : a b = (ρ - y) φ a1 b1 = ρ. φ dengan ρ adalah jari-jari kelengkungan (Radius of curvature ). Sehingga, regangan pada arah memanjang di suatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat dinyatakan sebagai : ε = ε =... ( 2.6 ) dimana 1/ ρ menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa pada bagian diatas garis netral berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan ε = /E, maka : = =... ( 2.7 ) Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah : = 31

Dimana : S = Modulus penampang y = D/2 Akhirnya didapat : = dimana S. D/2 = I ( Momen Inersia). = =... ( 2.8 ) σ y D/2 D/2 z garis netral B σ y = Daerah yang mengalami plastis = Daerah yang berada pada kondisi elastis GAMBAR 2.6 Distribusi tegangan pada tampang profil IWF 32

Pada gambar 2.6 dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat sejauh z dari garis netral belum mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2z materialnya masih berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan bagian elastis dan plastis. Jika z = D/2, hanya serat terluar saja yang mengalami / mencapai kondisi leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My). My = S. y... ( 2.9 ) dimana S adalah Modulus penampang (section modulus ). Dari persamaaan (2.6) dengan harga ε = ε y, y = z, dapat diperoleh : K = ε y / z... ( 2.10 ) Selanjutnya untuk z = ½ D diperoleh : Ky = 2 εy / D... (2.11 ) Dimana : K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian ( partially plastic state ). Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh. Pada penampang IWF seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.6, ketika balok mengalami lentur maka bagian sayap (flens) atas akan memendek dan bagian sayap bawah akan memanjang / meregang. Selanjutnya selama proses elastis menuju plastis ada tiga keadaan penting yang harus di periksa yaitu ketika 33

tegangan leleh masih berada pada daerah sayap, telah melampaui sayap dan seluruh serat pada bagian sayap telah mengalami leleh. Perbandingan antara momen plastis (Mp) dan momen leleh (My) menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau pada kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang dinotasikan sebagai f. (M/My) c a b (K/Ky) GAMBAR 2.7 Hubungan momen-kelengkungan Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen terhadap kelengkungan ( M K ), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa nilai momen (M) akan semakin mendekati f. My apabila harga K semakin besar. Bila nilai My mencapai nilai faktor bentuk f maka harga K akan mencapai harga tidak terhingga, dimana ini manandakan bahwa nilai z dalam parsamaan (2.10) sama dengan nol, dimana y = z, maka seluruh penampang serat mencapai kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f. My. 34

II.4. ANALISA PENAMPANG Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang digambarkan pada gambar 2.8 pada halaman berikutnya : D t σ y T 1 2 D/2 σ y 2 1 B Tampang IWF σ y 2 (a) Momen elastis 2 1 1 σ y (b) Momen plastis GAMBAR 2.8 Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF II.4.1. MODULUS ELASTIS ( sumbu X ) M = 2M1 + 2M2 M = 2BT ½ + M = 1/2 (BT)(D T) y 35

M = y M = y/d σ y = S X = = SX =... (2.12.a) II.4.2. MODULUS PLASTIS Mp = 2M1 + 2M2 Mp = 2 + 2 y Mp = y Mp = y σ y = Zx = = Zx =... ( 2.12 ) Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f, dimana f = Zx / Sx (untuk sumbu X) maka hubungan antara kapasitas momen pada saat keadaan leleh (My) dan kapastas momen pada keadaan plastis (Mp) akan menghasilkan persamaan berikut : 36

= = = f.... ( 2.13 ) II.5. FAKTOR BENTUK ( Shape Factor ) Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan antara momen plastis dan elastis. Dari persamaan (2.13) diperoleh : Mp = f. My Mp / My = f f =. f =. ( 2.14 ) 37

Profil IWF D (mm) TABEL 2.2 Nilai faktor bentuk pada profil IWF B (mm) t (mm) T (mm) Ix (cm 4 ) Zx (cm 3 ) 100x50 100 50 5 7 187 37.5 1.220 100x100 100 100 6 8 383 76.5 1.167 125x60 125 60 6 8 413 66.1 1.226 125x125 125 125 6.5 9 847 136 1.155 150x75 150 75 5 7 666 88.8 1.155 150x100 150 100 6 9 1020 138 1.170 150x150 150 150 7 10 1020 219 1.147 175x90 175 90 5 8 1210 139 1.176 175x125 175 125 5.5 8 1530 181 1.152 175x175 175 175 7.5 11 2880 330 1.141 200x100 200 100 5.5 8 1840 184 1.185 200x150 200 150 6 9 2690 277 1.144 200x200 200 200 8 12 4720 472 1.137 250x125 250 125 6 9 4050 324 1.177 250x175 250 175 7 11 6120 502 1.145 250x250 250 250 9 14 10800 867 1.130 300x150 300 150 6.5 9 7210 481 1.182 300x200 298 201 9 14 13300 893 1.132 300x300 300 300 10 15 20400 1360 1.126 350x175 350 175 7 11 13600 775 1.167 350x250 340 250 9 14 21700 1290 1.139 350x350 350 350 12 19 40300 2300 1.127 400x200 400 200 8 13 23700 1190 1.165 400x300 390 300 10 16 38700 1980 1.132 400x400 400 400 13 21 66600 3330 1.124 450x200 450 200 9 14 33500 1490 1.183 450x300 440 300 11 18 56100 2550 1.140 500x200 500 200 10 16 47800 1910 1.194 500x300 488 300 11 18 71000 2910 1.146 600x200 600 200 11 17 77600 2590 1.223 600x300 588 300 12 20 118000 4020 1.161 700x300 700 300 13 24 201000 5760 1.169 800x300 800 300 14 26 292000 7290 1.183 900x300 900 300 16 28 411000 9140 1.206 f 38

Rata rata sampel ( x ) = = 1.164 Standar deviasi ( ) = 0.01 Faktor bentuk rata rata = 1.164 (1.164 x 0.01) = 1.147 Maka faktor bentuk ( f ) = 1.147 II.6. SENDI PLASTIS II.6.1. Umum Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran sudut (rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus-menerus sebelum pada akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal. Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu struktur maka sifat dari konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh: 1. Bila konstruksi semula merupakan konstruksi statis tertentu, maka dengan timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan runtuh. 2. Pada suatu konstruksi hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatisannya. Kemudian untuk 39

menjadikannya runtuh diperlukan sendi plastis dengan jumlah tertentu sesuai dengan derajat hiperstatis dari suatu konstruksi Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut. Dalam hal ini, pertama-tama penulis akan meninjau distribusi tegangan normal pada penampang profil IWF seperti tergambar pada gambar 2.9. berikut ini: y y y y (1- x My Mep Mp y y y Profil IWF Situasi leleh Situasi elastoplastis Situasi plastis (a) (b) (C) (d) Gambar 2.9. Distribusi tegangan pada penampang IWF Dimana: My = Momen leleh Mep = Momen elastoplastis/momen peralihan 40

Mp = Momen plastis Gambar 2.9 menunjukkan bahwa penampang telah mencapai momen tahanan leleh (MRelastis) kemudian mengalami keadaan peralihan (elastoplastis) dan akhirnya mencapai keadaan momen plastis (MR plastis). Pada penampang ini terjadi distribusi tegangan leleh yang diawali dari serat terluar. Gambar 2.9 memperlihatkan tinggi bagian panampang yang mendapatkan distribusi tegangan yang disebut sebagai jarak elastis ( D/2). Perhatikan tegangan dan regangan yang terjadi pada gambar 2.10 berikut: yb σ y σ y D/2 M M D/2(1- ).D/2 D/2 K σ y σ y Profil IWF (a) Diagram Regangan (b) Diagram Tegangan (c) GAMBAR 2.10 Diagram Tegangan Regangan Dari Gambar : K = kelengkungan = R = Jari-jari kelengkungan = Regangan 41

y = Tinggi serat yang ditinjau dalam keadaan elastis (jarak plastis) Maka tg K = (untuk sudut kecil tg K = K). Dari persamaan (2.7) : = Untuk y =, Didapat rumus untuk keadaan elastoplastis =... (2.15) Rumus untuk keadaan leleh, dimana = 1 dan y = D/2 adalah: = (2.16) II.6.2. Bentuk Sendi Plastis Sendi plastis akan membentuk suatu persamaan garis tertentu sebelum terjadi keruntuhan. Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat simestris 42

O x Gambar 2.11.a Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terpusat M R = Mp ( 1 - ) M R = Mp ( 1 βα 2 ) ( 1 - ) = ( 1 βα 2 ) x = βlα 2 α = βl f(x) = βl α f(x) = βl β Gambar 2.11.b Lengkung sendi plastis beban terpusat 43

Sekarang kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis (lp) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata. g.n O x lp L Gambar 2.12a Bentuk sendi plastis pada balok dengan pembebanan terbagi rata M R = Mp ( 1 - ) M R = Mp ( 1 βα 2 ) ( 1 - ) = ( 1 βα 2 ) x 2 = βl 2 α 2 α f(x) = βlx α = βlx f(x) = βlx Gambar 2.12.b. kurva sendi plastis beban terbagi rata β 44

II.7. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS II.7.1. Pendahuluan Analisa strukur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Keruntuhan struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat menyeluruh ataupun bersifat parsial. Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami keruntuhan total jika kondisinya labil, disini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis. Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis menjadi statis tertentu. Jadi struktur masih hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari semula. Suatu struktur statis tak tentu mampunyai sejumlah mekanisne keruntuhan yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang berbeda. Sehingga akhirnya dipilihlah mekanisme yang menghasilkan beban runtuh terkecil. Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat rumusan sebagai berikut : n = r + 1 (2.17) 45

dimana : n = jumlah sendi plastis untuk runtuh r = derajat statis tak tentu 1. Untuk struktur balok dua perletakan sendi-sendi (struktur statis tertentu) dengan r = 0 dan n = 1 P (a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh GAMBAR 2.13.a Mekanisme Keruntuhan Balok Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi plastis untuk mencapai mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pada momen maksimum (dibawah beban titik). 2. Struktur balok dua perletakan sendi-jepit (struktur statis tak tentu berderajat satu) dengan r = 1 dan n = 2. P (a) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh GAMBAR 2.13.b P Mekanisme Keruntuhan Balok 46

Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit. 3. Untuk balok struktur perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu berderajat dua) dengan r = 2 dan n = 3. P (b) Struktur pembebanan (b) Mekanisme runtuh GAMBAR 2.13.c Mekanisme Keruntuhan Balok Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi plastis pada sistem perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada kedua perletakan jepitnya. II.7.2. Perhitungan Struktur Pada prinsipnya jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka akan dipenuhi tiga kondisi berikut : 47

1. Kondisi leleh (Yield Condition) Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas (Mp). 2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition) Jumlah gaya-gaya dan momen dalam keadaan seimbang adalah nol 3. Kondisi mekanisme (Mecanism Condition) Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan. Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut : 1. Teorema batas bawah (Lower Bound Theorem) Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang dianalisa memiliki faktor beban (λ) yang memiliki nilai yang lebih kecil dari harga yang sebenarnya (λc), dirumuskan λ λc, sehingga ha sil yang dihasilkan mungkin aman atau benar, karena hasil yang diperoleh lebih kecil atau sama dengan nilai faktor beban yang sebenarnya. 2. Teorema batas atas (Upper Bound Theorem) Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasarkan syarat yang memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan bahwa harga faktor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga sebenarnya, λc. jadi λ λc. Sehingga nilai yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak aman. 48

3. Teorema unik (Unique Theorem) Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi tersebut diatas sehingga akan diperoleh nilai faktor beban eksak dari mekanisme struktur yang ditinjau : λ = λc. Pada teorema ini terdapat tiga metode yang dapat digunakan : a) Metode statis b) Metode kerja virtual (Virtual Work Method) c) Metode distribusi momen (Momen Balancing Method) II.7.3. Metode kerja virtual Metode kerja virtual adalah metoda yang meninjau keseimbangan energi dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Persamaan kerja virtual ini dapat ditulis sebagai berikut : Wi. i = Mj. θj... (2.18) Dimana : Wi = beban luar (beban terpusat atau terbagi rata) i = Deformasi struktur i = L/2 tan θ, untuk sudut yang kecil tan θ = θ Tan θ = θ Mj = Momen pada tampang kritis θj = Sudut rotasi sendi plastis 49