MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI

dokumen-dokumen yang mirip
III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD

II. LANDASAN TEORI. Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear)

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB 2015 Vol. I : ISBN :

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD DENGAN INKUBASI INTRINSIK DAN GABUNGAN INKUBASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK RINANCY TUMILAAR

ANALISIS DINAMIKA PENYEBARAN VIRUS DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN DUA SEROTIPE AHMAD SUYUTI LATIF

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE TIPE SEIR INFEKSI GANDA ELINORA NAIKTEAS BANO

II MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS MODEL SPASIAL TEMPORAL PADA DINAMIKA PENYEBARAN PENYAKIT MALARIA RAHMAT

MODEL EPIDEMI SIRS DENGAN TIME DELAY

DINAMIKA PERKEMBANGAN HIV/AIDS DI SULAWESI UTARA MENGGUNAKAN MODEL PERSAMAAN DIFERENSIAL NONLINEAR SIR (SUSCEPTIBLE, INFECTIOUS AND RECOVERED)

PENENTUAN PELUANG BERTAHAN DALAM MODEL RISIKO KLASIK DENGAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI LAPLACE AMIRUDDIN

MODEL MATEMATIKA TIPE SEIRS-SEI UNTUK TRANSMISI PENYAKIT MALARIA RESMAWAN

ANALISIS KESTABILAN DARI SISTEM DINAMIK MODEL SEIR PADA PENYEBARAN PENYAKIT CACAR AIR (VARICELLA) DENGAN PENGARUH VAKSINASI SKRIPSI

MODEL SEIRS-LSEI PADA PENYAKIT CHIKUNGUNYA SUAEDAH

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

BAB II LANDASAN TEORI. selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ANALISIS STABILITAS PADA PENYEBARAN PENYAKIT CAMPAK DAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh Andy Setyawan NIM

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

BAB II LANDASAN TEORI

PEMODELAN MATEMATIKA DAN ANALISIS KESTABILAN MODEL PADA PENYEBARAN HIV-AIDS

Analisis Stabilitas Model SIR (Susceptibles, Infected, Recovered) Pada Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Provinsi Maluku

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. ekuilibrium bebas penyakit beserta analisis kestabilannya. Selanjutnya dilakukan

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE

III PEMBAHASAN. μ v. r 3. μ h μ h r 4 r 5

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

BAB II KAJIAN TEORI. digunakan pada bab pembahasan. Teori-teori ini digunakan sebagai bahan acuan

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ABSTRAK. Kata Kunci: SEIS, masa inkubasi, titik kesetimbangan, pertussis, simulasi. iii

II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Definisi 1 [Sistem Persamaan Diferensial Linear (SPDL)]

Oleh Nara Riatul Kasanah Dosen Pembimbing Drs. Sri Suprapti H., M.Si

BAB II LANDASAN TEORI. dalam penulisan skripsi ini. Teori-teori yang digunakan berupa definisi-definisi serta

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MODEL PEMBERIAN KOMPENSASI BAGI PENGANGGUR UNTUK MENCAPAI KESEJAHTERAAN EKONOMI HADI KUSWANTO

BAB II LANDASAN TEORI. eigen dan vektor eigen, persamaan diferensial, sistem persamaan diferensial, titik

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN VIRUS WORM PADA JARINGAN SENSOR NIRKABEL SKRIPSI

ANALISIS DAN SIMULASI MODEL MATEMATIKA PENYAKIT DEMAM DENGUE DENGAN SATU SEROTIF VIRUS DENGUE

PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA

KESTABILAN MODEL SUSCEPTIBLE VACCINATED INFECTED RECOVERED (SVIR) PADA PENYEBARAN PENYAKIT CAMPAK (MEASLES) (Studi Kasus di Kota Semarang)

MODEL SIR UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT FLU BURUNG

KAJIAN MODEL HIDDEN MARKOV KONTINU DENGAN PROSES OBSERVASI ZERO DELAY DAN APLIKASINYA PADA HARGA GABAH KERING PANEN T A M U R I H

ANALISIS STABILITAS PENYEBARAN VIRUS EBOLA PADA MANUSIA

KAJIAN MODEL MIKROSKOPIK DAN MODEL KINETIK LALU LINTAS KENDARAAN DAN SIMULASINYA DESYARTI SAFARINI TLS

KATA PENGANTAR. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

Pemodelan dan Simulasi Matematika Pengendalian Epidemi DBD di Wilayah Bandung dan Sekitarnya

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PERAN TRANSFORMASI TUSTIN PADA RUANG KONTINU DAN RUANG DISKRET SAMSURIZAL

Analisis Kestabilan Model MSEIR Penyebaran Penyakit Difteri Dengan Saturated Incidence Rate

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

Model Matematika Penyebaran Penyakit HIV/AIDS dengan Terapi pada Populasi Terbuka

SEBARAN ASIMTOTIK PENDUGA KOMPONEN PERIODIK FUNGSI INTENSITAS PROSES POISSON PERIODIK DENGAN TREN FUNGSI PANGKAT RO FAH NUR RACHMAWATI

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada

ANALISIS KESTABILAN MODEL SEIR DENGAN VAKSINASI PADA PENYEBARAN PENYAKIT CAMPAK DI KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DIY TUGAS AKHIR SKRIPSI

Analisa Kualitatif pada Model Penyakit Parasitosis

Oleh : Dinita Rahmalia NRP Dosen Pembimbing : Drs. M. Setijo Winarko, M.Si.

KESTABILAN TITIK EQUILIBRIUM MODEL SIR (SUSPECTIBLE, INFECTED, RECOVERED) PENYAKIT FATAL DENGAN MIGRASI

DINAMIKA PENYEBARAN PENYAKIT KOLERA OLEH BAKTERI VIBRIO CHOLERAE BERTIPE HYPERINFECTIOUS NUR RAHMI

ANALISIS MODEL EPIDEMIK SEIRS PADA PENYEBARAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT) DI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh

ANALISIS KESTABILAN MODEL DINAMIK PENYEBARAN VIRUS INFLUENZA

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai definisi-definisi dan teorema-teorema

ANALISIS DAN KONTROL OPTIMAL MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT INFLUENZA H1N1 SKRIPSI

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH

Jalan Soekarno-Hatta Km. 09 Tondo, Palu 94118, Indonesia.

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

MODEL SEIR PENYAKIT CAMPAK DENGAN VAKSINASI DAN MIGRASI

Bab II Teori Pendukung

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

ANALISIS PENYEBARAN PENYAKIT DIARE SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB KEMATIAN PADA BALITA MENGGUNAKAN MODEL MATEMATIKA SIS

MODEL SIR (SUSCEPTIBLE, INFECTIOUS, RECOVERED) UNTUK PENYEBARAN PENYAKIT TUBERKULOSIS

ANALISIS KETAHANAN DAN APLIKASINYA UNTUK PEMODELAN INTERVAL KELAHIRAN ANAK PERTAMA HARNANTO

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PENGARUH SERTIFIKASI GURU TERHADAP KESEJAHTERAAN DAN KINERJA GURU DI KABUPATEN SUMEDANG RIZKY RAHADIKHA

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

BAB II LANDASAN TEORI. pada bab pembahasan. Materi-materi yang akan dibahas yaitu pemodelan

OLEH : IKHTISHOLIYAH DOSEN PEMBIMBING : Dr. subiono,m.sc

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

Analisis Kestabilan Pada Model Transmisi Virus Hepatitis B yang Dipengaruhi Oleh Migrasi

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

Dinamik Model Epidemi SIRS dengan Laju Kematian Beragam

APLIKASI METODE MATRIKS GENERASI DALAM MENENTUKAN NILAI MATEMATIKA PENYEBARAN VIRUS HIV/AIDS. 10 Makassar, kode Pos 90245

BAB I PENDAHULUAN. ibu kepada anaknya melalui plasenta pada saat usia kandungan 1 2 bulan di

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

MODEL MATEMATIKA PERPINDAHAN KELOMPOK BELALANG DENGAN METODE GELOMBANG BERJALAN NURUDIN MAHMUD

HUBUNGAN EFEKTIVITAS SISTEM PENILAIAN KINERJA DENGAN KINERJA KARYAWAN PADA KANTOR PUSAT PT PP (PERSERO), TBK JULIANA MAISYARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

KAJIAN MODEL EPIDEMIK SIR DETERMINISTIK DAN STOKASTIK PADA WAKTU DISKRIT. Oleh: Arisma Yuni Hardiningsih

ANALISIS STABILITAS SISTEM DINAMIK UNTUK MODEL MATEMATIKA EPIDEMIOLOGI TIPE-SIR (SUSCEPTIBLES, INFECTION, RECOVER)

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

PERBANDINGAN METODE PENDUGAAN PARAMETER DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL LA MBAU

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

Transkripsi:

MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011 James U.L. Mangobi NIM G551090351

ii

iii ABSTRACT JAMES URIEL LIVINGSTONE MANGOBI. Mathematical Model of Dengue Hemorrhagic Fever with Aedes albopictus Mosquitos as Vector. Supervised by PAIAN SIANTURI and N.K. KUTHA ARDANA. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an acute febrile illness caused by a dengue virus. This virus has four serotypes, i.e. Dengue I - IV. The dengue virus is transmitted by various species of Aedes mosquitoes. Mathematical model can be used to study the spread of the disease. The mathematical model discussed in this paper is SEIR model. The main vector of the disease is mosquito of the Aedes albopictus type. In the SEIR model, an analysis is performed to assess the stability of the equilibrium point and numerical simulations. There are two equilibrium points obtained. The first equilibrium point is a disease-free equilibrium (DFE), which is stable, given the basic reproductive number R <1. The second equilibrium point is called an endemic point, which stability is guaranteed if the value R >1. The numerical simulations show that increasing mosquitoes mortality rate makes the number of exposed susceptible humans decrease. Furthermore, increase in the average bite of infected mosquito will increase the number of exposed susceptible humans. For the mosquito population, increasing mosquitoes mortality rate will decrease the number of exposed susceptible mosquitoes. Finally, increase in the average bite of infected mosquito will increase the number of exposed susceptible mosquitoes. Keywords: dengue hemorrhagic fever, Aedes albopictus, SEIR model, equilibrium point, stability analysis

iv

v RINGKASAN JAMES U.L. MANGOBI. Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan N.K. KUTHA ARDANA. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini memiliki empat serotype virus, yaitu Dengue I IV (Gubler 1998). Virus ini ditularkan oleh berbagai nyamuk spesies Aedes. Nyamuk ini merupakan vektor yang sangat efisien, sehingga penyakit ini menjadi wabah (epidemi). Berbagai program pengendalian epidemi DBD menjadi prioritas utama WHO dan departemen kesehatan di banyak negara selama ini. Di Indonesia, upaya ini terbilang belum berhasil karena adanya berbagai kendala baik secara teknis maupun non-teknis. Sehubungan dengan banyaknya kendala tersebut, perlu adanya suatu penelitian dan pemikiran yang dilakukan. Pemodelan Matematika dapat membantu memahami dan mengidentifikasi hubungan penyebaran penyakit DBD dengan berbagai parameter epidemiologi. Model matematik yang dimaksud diantaranya ialah model Susceptible, Infected, Recovered (SIR) dan model Susceptible, Exposed, Infected, Recovered (SEIR). Dalam tesis ini dibahas model SEIR yang dikenalkan oleh Erickson et al. (2010). Vektor utama dalam model ini adalah nyamuk Aedes albopictus, sehubungan dengan banyaknya kasus DBD yang disebabkan oleh nyamuk ini dan juga, mempunyai cakupan yang lebih besar dan lebih sulit dikendalikan. Pada model SEIR dilakukan analisis kestabilan dan simulasi numerik dengan pemrograman berbasis fungsional menggunakan software Mathematica 8.0 (Wolfram Research, Inc, Champaign, IL). Dalam proses analisis kestabilan, ditentukan titik-titik tetap, bilangan reproduksi dasar dan kestabilan dari titik-titik tetap tersebut. Simulasi dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan laju kematian nyamuk dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi terhadap populasi manusia dan nyamuk. Bilangan reproduksi dasar (R ) merupakan suatu ukuran potensi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai nilai harapan banyaknya populasi rentan yang menjadi terinfeksi selama masa infeksi berlangsung. Jika R <1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu nyamuk rentan, sehingga lambat laun penyakit DBD akan hilang dari populasi. Jika R >1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan bertahan di dalam populasi. Nilai R ini dapat ditentukan antara lain dari the next generation matrix, yaitu matriks yang dibentuk hanya pada sub-subpopulasi yang menyebabkan infeksi saja (,,, dan ).

vi Analisis kestabilan menghasilkan dua titik tetap. Pertama, titik tetap tanpa penyakit, yang selalu ada dan merupakan titik yang stabil jika R <1. Kedua, titik tetap endemik. Kestabilan titik ini dijamin apabila nilai R >1. Simulasi menunjukkan bahwa jumlah tiap subpopulasi pada populasi manusia dan nyamuk akan stabil ke titik tetap tanpa penyakit ketika R <1 dan stabil ke titik tetap endemik ketika R >1. Pada populasi manusia, semakin besar laju kematian nyamuk maka jumlah manusia rentan yang menjadi terpapar semakin sedikit. Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka jumlah manusia rentan yang menjadi terpapar semakin banyak. Pada populasi nyamuk, semakin besar laju kematian nyamuk maka jumlah nyamuk rentan yang menjadi terpapar semakin sedikit. Sedangkan semakin besar rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi maka jumlah nyamuk rentan yang menjadi terpapar semakin banyak. Kata kunci: demam berdarah dengue, Aedes albopictus, model SEIR, titik tetap, analisis kestabilan

vii Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

viii

ix MODEL MATEMATIK DEMAM BERDARAH DENGUE DENGAN NYAMUK Aedes albopictus SEBAGAI VEKTOR JAMES U. L. MANGOBI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Matematika Terapan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Toni Bakhtiar, M.Sc. x

xi Judul Tesis : Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor Nama : James U.L. Mangobi NIM : G551090351 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Paian Sianturi Ketua Ir. N.K. Kutha Ardana, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Matematika Terapan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 22-08-2011 Tanggal Lulus:...

xii

xiii I can do all things through Christ Who strengthens me (Philippians 4 : 13) ku persembahkan tesis ini untuk orang tuaku, isteri tercinta dan keluargaku

xiv

xv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih dan pertolongan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penulisan tesis ini dengan judul Model Matematik Demam Berdarah Dengue dengan Nyamuk Aedes albopictus sebagai Vektor. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Matematika Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini. Penulis sangat berterima kasih kepada Dr. Paian Sianturi selaku pembimbing I dan Ir. N.K. Kutha Ardana, M.Sc. selaku pembimbing II. Penulis menyampaikan terima kasih juga kepada: 1. Prof. Dr. Ph.E.A. Tuerah, M.Si. DEA selaku Rektor Universitas Negeri Manado. 2. Prof.Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc. selaku Rektor Institut Pertanian Bogor. 3. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. S.M. Salajang, M.Si. selaku Direktur Eksekutif Proyek I-MHERE Batch IV Universitas Negeri Manado yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. 5. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. selaku Ketua Program Studi Matematika Terapan merangkap penguji dari Departemen Matematika. 6. Dr. Toni Bakhtiar, M.Sc. selaku penguji luar komisi pembimbing. 7. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Matematika. 8. Papa (alm.) dan Mama yang dengan tabah mendidik, membesarkan dan memberikan doa restu. 9. Isteriku tercinta dan seluruh keluargaku yang selalu memberikan dorongan dan mendoakan keberhasilan studiku. 10. Teman-teman penghuni Asrama Mahasiswa Sulawesi Utara Sam Ratulangi di Sempur, Bogor Baru I dan Bogor Baru II. 11. Seluruh mahasiswa Departemen Matematika khususnya teman-teman angkatan tahun 2009 di program studi Matematika Terapan. 12. Sahabat-sahabatku yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Dengan harapan disertai dengan keyakinan kiranya Tuhan Yang Maha Esa akan membalas segala kebaikan dan bantuan dari bapak, ibu, saudara sekalian. Semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar serta wawasan kita semua. Bogor, Agustus 2011 James U.L. Mangobi NIM G551090351

xvi

xvii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Dagho Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 15 Juli 1977 sebagai anak bungsu dari pasangan Bapak Franssiscus Mangobi (alm) dan Ibu Martha Pereman. Penulis mempunyai isteri bernama Meyni E. Lepa. Penulis menamatkan SD, SMP dan SMA di Tamako. Setelah lulus dari SMA Negeri Tamako, penulis melanjutkan studi S1 di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado dan lulus pada tahun 2002. Setelah memperoleh gelar sarjana, penulis menjadi Dosen Luar Biasa di Jurusan Matematika dan Statistika FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado hingga akhir tahun 2004. Tahun 2005, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil dan menjadi staf pengajar di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado hingga sekarang. Pada tahun 2009 penulis lulus seleksi masuk Program Magister pada Program Studi Matematika Terapan Institut Pertanian Bogor.

xviii

xix DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xxi DAFTAR GAMBAR... xxiii DAFTAR LAMPIRAN... xxv I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Tujuan Penelitian... 2 II. LANDASAN TEORI... 3 2.1 Sistem Persamaan Diferensial (SPD)... 3 2.2 Titik Tetap... 4 2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen... 4 2.4 Pelinearan... 4 2.5 Kestabilan Titik Tetap... 5 2.6 Kriteria Routh-Hurwitz... 5 2.7 Bilangan Reproduksi Dasar... 6 III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD... 8 3.1 Model SIR... 8 3.2 Model SEIR... 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 15 4.1 Penentuan Titik Tetap... 15 4.2 Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar... 16 4.3 Analisis Kestabilan Titik Tetap... 16 4.3.1 Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit... 16 4.3.2 Kestabilan Titik Tetap Endemik... 18 4.4 Simulasi Dinamika Populasi Penularan Virus Dengue... 19 4.4.1 Nilai Parameter... 19 4.4.2 Dinamika Populasi untuk Kondisi R <1... 20 4.4.3 Dinamika Populasi untuk Kondisi R >1... 25 V. SIMPULAN DAN SARAN.... 31 5.1 Simpulan... 31 5.2 Saran... 32 DAFTAR PUSTAKA... 33 LAMPIRAN... 35

xx

xxi DAFTAR TABEL Halaman 1. Kondisi Kestabilan Titik Tetap... 19 2. Definisi dan Nilai Parameter Model SEIR dalam Simulasi Numerik... 20 3. Simulasi untuk Kondisi R <1... 21 4. Simulasi untuk Kondisi R >1... 26

xxii

xxiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema penyebaran penyakit DBD model SIR... 8 2. Skema penyebaran penyakit DBD model SEIR... 12 3. Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap waktu untuk kondisi R <1... 20 4. Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R <1 dan nilai parameter diubah... 22 5. Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R <1 dan nilai parameter diubah... 24 6. Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap waktu untuk kondisi R >1... 25 7. Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R >1 dan nilai parameter diubah... 27 8. Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R >1 dan nilai parameter diubah... 29

xxiv

xxv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Penentuan Titik Tetap... 35 2. Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar (R )... 36 3. Analisis Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit... 37 4. Analisis Kestabilan Titik Tetap Endemik... 39 5. Simulasi untuk Kondisi R <1... 44 6. Simulasi untuk Kondisi R >1... 46

1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus Dengue. Virus ini memiliki empat serotype virus, yaitu Dengue I IV (Gubler 1998). Virus Dengue ditularkan oleh berbagai nyamuk spesies Aedes. Nyamuk ini merupakan vektor yang sangat efisien karena adanya asosiasi nyamuk dengan kehidupan manusia. Juga, perilaku menggigit dan menghisap darah pada beberapa orang oleh satu nyamuk betina dewasa. Dengan demikian, begitu mudah penyakit ini menjadi wabah (epidemi) di dalam populasi manusia. Penyakit DBD ini banyak ditemukan di Indonesia. Tercatat telah empat kali Kejadian Luar Biasa (KLB) yakni tahun 1988, 1998, 2004 dan 2006. WHO memperkirakan sekitar 2,5 miliar penduduk dunia menghadapi risiko penyakit DBD (Anonym 2009). Dengan fakta tersebut, program pengendalian epidemi DBD menjadi prioritas utama WHO dan Departemen Kesehatan RI. Sejak tahun 1962, pencegahan epidemi DBD telah difokuskan pada pemberantasan nyamuk pembawa virus Dengue. Namun demikian kita pahami, upaya penanggulangan epidemi DBD di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Berbagai kendala seperti sedikitnya anggaran pemerintah untuk penanggulangan epidemi, keterbatasan infrastruktur, dan kurangnya data dan informasi menjadi penyebab utama keterbelakangan kita dalam pencegahan dan penanggulangan epidemi ini. Pemodelan matematika dapat membantu memahami dan mengidentifikasi hubungan penyebaran penyakit DBD dengan berbagai parameter epidemiologi. Model matematik di antaranya ialah model Susceptible-Infected-Recovered (SIR) dan model Susceptible-Exposed-Infected-Recovered (SEIR). Dalam tesis ini dibahas model SEIR yang mengacu pada kajian Erickson et al. (2010). Vektor utama dalam model ini adalah nyamuk Aedes albopictus, sehubungan dengan banyaknya kasus DBD yang disebabkan oleh nyamuk

2 ini (Gratz 2004). Juga, nyamuk Aedes albopictus mempunyai cakupan yang lebih besar dan lebih sulit dikendalikan (Estrada-Franco and Craig 1995). Pada model SEIR dilakukan analisis kestabilan dan simulasi numerik dengan pemrograman berbasis fungsional menggunakan software Mathematica 8.0 (Wolfram Research, Inc, Champaign, IL). 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji model-model matematik penyebaran penyakit DBD. 2. Melakukan analisis kestabilan titik tetap model SEIR. 3. Melakukan simulasi numerik terhadap model SEIR untuk melihat pengaruh perubahan laju kematian nyamuk dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi terhadap populasi manusia dan nyamuk.

3 II. LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Persamaan Diferensial Biasa Definisi 1 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear) Misalkan suatu sistem persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai = + ; =, R (1) dengan adalah matriks koefisien konstan berukuran dan adalah vektor konstan. Sistem persamaan (1) dinamakan Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Satu dengan kondisi awal =. Jika =, maka sistem dikatakan homogen dan jika, maka sistem dikatakan takhomogen. (Tu 1994) Definisi 2 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear) dengan Misalkan suatu sistem persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai =, (2),,,, = dan, =,,,,,,,, adalah fungsi taklinear dalam,,,. Sistem persamaan (2) disebut Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear. (Braun 1983) Definisi 3 (Sistem Persamaan Diferensial Biasa Mandiri) Misalkan suatu Sistem Persamaan Diferensial Biasa dinyatakan sebagai =, R (3) dengan merupakan fungsi kontinu bernilai real dari dan mempunyai turunan parsial kontinu. Sistem persamaan (3) disebut Sistem Persamaan Diferensial Biasa Mandiri (autonomous) karena tidak memuat t secara eksplisit di dalamnya. (Tu 1994)

4 2.2 Titik Tetap Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebagaimana pada sistem (3). Titik disebut titik tetap, jika =. Titik tetap disebut juga titik kritis atau titik kesetimbangan. Untuk selanjutnya digunakan istilah titik tetap. (Tu 1994) 2.3 Nilai Eigen dan Vektor Eigen Diberikan matriks koefisien konstan berukuran dan sistem persamaan diferensial biasa homogen =, =, R. Suatu vektor taknol di dalam R disebut vektor eigen dari jika untuk suatu skalar berlaku: =. (4) Nilai skalar dinamakan nilai eigen dari. Untuk mencari nilai dari, maka sistem persamaan (4) dapat ditulis =. (5) dengan adalah matriks identitas. Sistem persamaan (5) mempunyai solusi taknol jika dan hanya jika = = 0. (6) Persamaan (6) merupakan persamaan karakteristik matriks. (Anton 1995) 2.4 Pelinearan Analisis kestabilan sistem persamaan diferensial taklinear dapat dilakukan melalui pelinearan. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa taklinear =, R (7) dengan R adalah suatu fungsi bernilai vektor dalam (waktu) dan : R adalah suatu fungsi mulus yang terdefinisi pada subhimpunan R.

5 Dengan menggunakan ekspansi Taylor di sekitar titik tetap, maka sistem persamaan (7) dapat ditulis sebagai = +. (8) dengan adalah matriks Jacobi = = dan adalah suku berorde tinggi yang bersifat lim = 0, dengan =. pada sistem persamaan (8) disebut pelinearan sistem persamaan (7). (Tu 1994) 2.5 Kestabilan Titik Tetap Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebarang =, R dengan sebagai titik tetap. Kestabilan titik tetap dapat ditentukan dengan memperhatikan nilai-nilai eigen, yaitu, = 1, 2,,, yang diperoleh dari persamaan karakteristik. Secara umum, kestabilan titik tetap mempunyai perilaku: 1. Stabil, jika: a. Re < 0, untuk setiap, atau b. Terdapat Re = 0 untuk sebarang dan Re < 0 untuk setiap. 2. Tidak stabil, jika terdapat paling sedikit satu sehingga Re > 0. (Tu 1994) 2.6 Kriteria Routh-Hurwitz Kriteria Routh-Hurwitz ini digunakan ketika nilai eigen persamaan karakteristik tidak dapat ditentukan dengan mudah. Jika diberikan persamaan karakteristik = + + + = 0, maka didefinisikan matriks sebagai berikut:

=, = 1 0 0 0 1 1 0,..., = 0,..., = 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 dengan syarat setiap unsur, pada matriks adalah h = 1 0, untuk 0 < 2, untuk 2 =, untuk 2 < atau 2 > +. Dengan demikian, titik tetap stabil jika dan hanya jika det > 0, untuk setiap = 1, 2,,. Untuk = 4 dan = 5, kriteria Routh-Hurwitz diberikan berikut ini. = 4: > 0, > 0, > 0, > +. = 5: > 0; = 1,, 5, > +, dan > +. 6 (Edelstein-Keshet 1988) 2.7 Bilangan Reproduksi Dasar Bilangan reproduksi dasar, dinotasikan dengan R, merupakan suatu ukuran potensi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Bilangan reproduksi dasar didefinisikan sebagai nilai harapan banyaknya populasi rentan yang menjadi terinfeksi selama masa infeksi berlangsung (van den Driessche dan Watmough 2008). Kondisi yang timbul adalah: 1. Jika R < 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi kurang dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan hilang dari populasi.

7 2. Jika R > 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan bertahan di dalam populasi. R dalam penelitian ini ditentukan dari nilai eigen taknegatif dengan modulus terbesar the next generation matrix. Matriks ini merupakan suatu matriks yang dikonstruksi dari sub-subpopulasi yang menyebabkan infeksi saja. Untuk model umum dengan kompartemen penyakit dan kompartemen tanpa penyakit, nilai R dapat dihitung untuk setiap kompartemen. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial taklinear =, R dan misalkan R dan R adalah sub-subpopulasi pada setiap kompartemen. Selanjutnya, dinotasikan sebagai laju kenaikan infeksi pada kompartemen penyakit ke- dan sebagai laju pergerakan penyakit, kematian dan penurunan kesembuhan dari kompartemen ke-. Model kompartemen dapat ditulis sebagai =,, =,, = 1,2,,, = 1,2,, maka sistem persamaan diferensial taklinear =, R dapat ditulis sebagai = dengan dan adalah matriks-matriks berukuran serta 0, adalah titik tetap tanpa penyakit. = 0, dan = 0, ; The next generation matrix untuk suatu sistem persamaan diferensial pada titik tetap tanpa penyakit berbentuk =. Nilai eigen taknegatif dengan modulus terbesar matriks, yaitu, yang nantinya digunakan sebagai nilai R, sehingga dapat ditulis = R. (van den Driessche dan Watmough 2008)

III. MODEL MATEMATIK PENYEBARAN PENYAKIT DBD 8 3.1 Model SIR Model SIR pada uraian berikut mengacu pada kajian Derouich et al. (2003). Asumsi yang digunakan adalah: 1. Total populasi nyamuk dan total populasi manusia adalah konstan. 2. Populasi manusia dan nyamuk adalah populasi yang tertutup. Dari asumsi di atas, misalkan adalah populasi manusia dan adalah populasi nyamuk. Populasi manusia dibagi menjadi tiga subpopulasi, yaitu manusia rentan (susceptible), manusia terinfeksi (infected), dan manusia sembuh (recovered). Populasi nyamuk dibagi menjadi dua subpopulasi, yaitu nyamuk rentan (susceptible) dan nyamuk terinfeksi (infected). Manusia rentan adalah manusia yang bukan imun dan belum tertular virus dengue. Manusia terinfeksi adalah manusia yang telah tertular virus dan dapat menularkan virus tersebut. Manusia sembuh dianggap tidak dapat tertular lagi. Nyamuk rentan adalah nyamuk yang belum tertular virus. Nyamuk terinfeksi adalah nyamuk yang telah tertular virus dan dapat menularkan virus tersebut. Secara skematis, pola penyebaran penyakit DBD dapat digambarkan dalam diagram kompartemen berikut: S v I v / / S h I h R h Keterangan : Perpindahan Individu Pengaruh Gambar 1 Skema penyebaran penyakit DBD model SIR.

9 Arti diagram kompartemen di atas adalah: 1. Laju pertumbuhan manusia rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian, fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi dan proporsi perpindahan dari manusia rentan ke manusia terinfeksi, ditulis: = + + = + +, dimana diambil =. Proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terinfeksi dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan ( ). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia rentan ( ) dengan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ). Jadi, =. 2. Laju pertumbuhan manusia terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terinfeksi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: = +. 3. Laju pertumbuhan manusia sembuh mempertimbangkan faktor kematian, fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: = +. 4. Laju pertumbuhan nyamuk rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian dan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi, ditulis: = + = +, dimana diambil =. Proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi ( ). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari manusia terinfeksi ke nyamuk rentan ( ) dengan rata-rata gigitan nyamuk rentan ( ). Jadi, =. 5. Laju pertumbuhan nyamuk terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian dan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terinfeksi, ditulis: =.

10 Berdasarkan uraian di atas, model SIR dinyatakan sebagai berikut: Populasi Manusia Populasi Nyamuk = + + = + = + (9) dengan kondisi serta = + (10) + + = dan + = (11) : total populasi manusia. : total populasi nyamuk. : laju kelahiran manusia. : laju kelahiran nyamuk. : laju kematian manusia. : laju kematian nyamuk. : fraksi acak manusia rentan yang terimunisasi. : proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh. : peluang terjadinya kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi. : peluang terjadinya kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan. Selanjutnya, sistem-sistem (9) dan (10) serta kondisi (11) dapat disederhanakan dengan pemisalan =, =, =, =, dan =, sehingga sistem tersebut dapat ditulis: = + + = + = 1 (12) dengan =, serta kondisi + + = 1 dan + = 1 (13)

11 Karena virus dengue membutuhkan masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik sebelum menyebar (Heymann 2008), maka model SIR ini dimodifikasi menjadi model SEIR. Modifikasi dilakukan dengan menambahkan tahap exposed. Pada tahap ini, manusia atau nyamuk rentan yang telah tertular virus menyelesaikan masa inkubasi intrinsik atau ekstrinsik sebelum terinfeksi. 3.2 Model SEIR Pada model ini, populasi manusia dibagi menjadi empat subpopulasi, yaitu manusia rentan (susceptible), manusia terpapar (exposed), manusia terinfeksi (infected), dan manusia sembuh (recovered) sedangkan populasi nyamuk dibagi menjadi tiga subpopulasi, yaitu nyamuk rentan (susceptible), nyamuk terpapar (exposed), dan nyamuk terinfeksi (infected). Asumsi yang digunakan ialah: 1. Total populasi nyamuk adalah konstan sedangkan total populasi manusia tidak konstan. 2. Populasi manusia dan nyamuk adalah populasi yang tertutup. Penularan virus dari nyamuk ke manusia terjadi melalui gigitan pada saat virus tersebut berada di kelenjar ludah nyamuk. Setelah itu, virus memerlukan 4-6 hari yang menunjukkan masa inkubasi intrinsik sebelum menimbulkan penyakit. Dalam masa inkubasi ini, manusia rentan dianggap telah terbuka untuk diinfeksi virus. Dengan demikian, manusia rentan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam subpopulasi manusia terpapar. Penularan virus dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi jika nyamuk rentan menggigit manusia terinfeksi yang sedang mengalami viremia, yaitu suatu kondisi medis dimana virus Dengue berada di dalam darah manusia. Kondisi ini berlangsung selama 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam. Selanjutnya, virus memerlukan 8-10 hari yang menunjukkan masa inkubasi ekstrinsik sebelum menimbulkan penyakit. Ketika masa inkubasi ini, nyamuk rentan dianggap telah terbuka untuk diinfeksi oleh virus. Nyamuk-nyamuk tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam suatu subpopulasi nyamuk terpapar.

12 Secara skematis, pola penyebaran penyakit DBD dapat digambarkan dalam diagram kompartemen berikut: λ S v E v I v / / λ S h E h I h R h Keterangan : Perpindahan Individu Pengaruh Gambar 2 Skema penyebaran penyakit DBD model SEIR. Arti diagram kompartemen di atas adalah: 1. Laju pertumbuhan manusia rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian dan proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar, ditulis: = + = +, dimana diambil =. Proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan ( ). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia rentan ( ) dengan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ). Jadi, =. 2. Laju pertumbuhan manusia terpapar mempertimbangkan faktor kematian, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar dan proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi, ditulis: = +. 3. Laju pertumbuhan manusia terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian baik kematian secara alami maupun kematian karena DBD, proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: = + +.

13 4. Laju pertumbuhan manusia sembuh mempertimbangkan faktor kematian dan proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh, ditulis: =. 5. Laju pertumbuhan nyamuk rentan mempertimbangkan faktor kelahiran, kematian dan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar, ditulis: = + = +, dimana diambil =. Proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar dipengaruhi oleh peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi ( ). Nilai peluang ini ialah perkalian antara peluang transmisi virus dari manusia terinfeksi ke nyamuk rentan ( ) dengan rata-rata gigitan nyamuk rentan ( ). Jadi, =. 6. Laju pertumbuhan nyamuk terpapar mempertimbangkan faktor kematian, proporsi perpindahan adalah proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar dan proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk nyamuk terinfeksi, ditulis: = +. 7. Laju pertumbuhan nyamuk terinfeksi mempertimbangkan faktor kematian dan proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk nyamuk terinfeksi, ditulis: = Berdasarkan uraian di atas, model SEIR dapat dinyatakan sebagai berikut: Populasi Manusia Populasi Nyamuk = + = + = + + = = + = + = (14) (15)

14 dengan kondisi serta + + + = dan + + = (16) : total populasi manusia. : total populasi nyamuk. : laju kelahiran manusia : laju kematian nyamuk. : laju kematian manusia secara alami. : laju kematian manusia karena DBD. : proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi. : proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk terinfeksi. : proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh. : peluang terjadinya kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi. : peluang terjadinya kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan. Selanjutnya, sistem-sistem (14) dan (15) serta kondisi (16) dapat disederhanakan dengan pemisalan =, =, =, =, =, = dan =, dan juga dalam model ini dianggap bahwa nilai = =, maka sistem tersebut dapat ditulis: = + = + = + + = 1 + = (17) dengan = serta kondisi + + + = 1 dan + + = 1 (18) Sistem (17) dan kondisi (18) ini yang dibahas lebih lanjut pada bab berikut. Pembahasannya meliputi analisis kestabilan dan simulasi numerik untuk melihat dinamika populasinya.

15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Titik Tetap Pada sub-bab ini dicari titik tetap sistem (17) pada daerah yang memiliki makna secara biologi, disebut Ω, dengan Ω =,,,, R + + 1, + 1. Titik tetap ini diperoleh dengan menyelesaikan sistem (17) tersebut. Solusinya merupakan suatu solusi yang diperoleh pada saat = = 0, sehingga sistem tersebut dapat ditulis = = = + = 0 + = 0 + + = 0 1 + = 0 = 0 (19) Sistem (19) di atas memiliki dua jenis titik tetap, yaitu titik tetap tanpa penyakit (disease-free equilibrium/dfe) dan titik tetap endemik. Titik tetap tanpa penyakit merupakan titik yang memuat nilai = 0 dan = 0, sedangkan titik tetap endemik merupakan titik yang memuat nilai 0 atau 0. penyakit Dengan menggunakan software Mathematica, diperoleh titik tetap tanpa dan titik tetap endemik dengan,,,, =, 0, 0, 0, 0 (20),,,, (21) = + + + + + / + + = + + + + + + + + + + / + + +

16 = + + + + + / + + = + + + + + + + / + + + + +, = 1/ / + + + / + + + + +. Penentuan titik-titik tetap di atas dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2 Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar Dengan menentukan the next generation matrix untuk sistem (17) pada titik tetap tanpa penyakit, 0 = + + + + + diperoleh bilangan reproduksi dasar R = Selanjutnya, dari hasil (22) di atas diperoleh juga + 0 0 + + 0 0 0 0 0 0 0 0 0 = R = Penentuan R dan dapat dilihat pada Lampiran 2.. (22). (23) 4.3 Analisis Kestabilan Titik Tetap 4.3.1 Kestabilan Titik Tetap Tanpa Penyakit Misalkan sistem (22) ditulis sebagai,,,, = +,,,, = +,,,, = + +,,,, = 1 +,,,, =. (24)

17 Untuk menentukan kestabilan titik tetap tanpa penyakit,,,, = /, 0, 0, 0, 0, digunakan pelinearan pada sistem (24) di sekitar, diperoleh matriks Jacobi 0 0 0 / 0 0 0 / = 0 0 0. 0 0 0 0 0 0 Dari matriks di atas diperoleh lima nilai eigen. Nilai eigen yang pertama adalah dan empat nilai eigen lainnya merupakan akar-akar persamaan karakteristik dengan = + 2 + 2 + + + + + + + = 0 = + + 2 + + + + 2 + + + 2 + + + 4 + + 2 + = 2 + + 2 + + + + + + 2 + + + 2 + + + 2 + + + 2 + + = + + + + 1 ; ada pada persamaan (23). Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz untuk persamaan karakteristik berderajat 4, kondisi kestabilan sistem (17) pada titik tetap adalah > 0, > 0, > 0 dan > +. (26) Karena semua parameter bernilai positif, maka, dan pada (25) bernilai positif. Koefisien dan akan bernilai positif, nol atau negatif bergantung pada nilai. Jika < 1 maka > 0 dan > 0. Jika = 1 maka = 0 dan = 0. Jika > 1 maka < 0 dan < 0. Jadi, kondisi (26) terpenuhi ketika < 1. (25) Dengan demikian, karena nilai eigen yang pertama < 0 dan kriteria Routh-Hurwitz telah ditunjukkan terpenuhi, maka stabil ketika < 1. Dari

18 persamaan (23), didapat hubungan R =, maka nilai dibatasi pada interval 0, 1 sehingga, jika R = < 1 untuk 0 < 1 maka titik tetap tanpa penyakit adalah stabil. Sebaliknya, jika R = > 1 maka titik tetap tanpa penyakit menjadi tidak stabil. Dalam model ini, R = adalah bilangan reproduksi dasar sebagaimana yang diperlihatkan pada persamaan (22). Pelinearan, penentuan nilai eigen dan persamaan karakteristik serta bukti di atas dapat diperhatikan pada Lampiran 3. 4.3.2 Kestabilan Titik Tetap Endemik Untuk menentukan kestabilan titik tetap endemik,,,,, digunakan pelinearan pada sistem (24) di sekitar, diperoleh matriks = dengan,,, dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai eigen matriks merupakan akar-akar persamaan karakteristik + + + + + = 0 dengan,,,, dan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz untuk persamaan karakteristik berderajat 5, kondisi kestabilan sistem (17) pada titik tetap adalah > 0, > 0, > 0, > 0, > 0, > +, dan > +. (27) Karena semua parameter bernilai positif, maka bernilai positif. Koefisien,,,, dan akan bernilai positif, nol atau negatif bergantung pada nilai. Jika < 1 maka < 0, < 0, < 0, < 0 dan + + 2 < 0. Jika = 1 maka = 0, = 0,

19 = 0, = 0 dan + + 2 = 0. Jika > 1 maka > 0, > 0, > 0, > 0 dan + +2 > 0. Jadi, kondisi (27) terpenuhi ketika > 1. Dengan demikian, karena kriteria Routh-Hurwitz telah ditunjukkan terpenuhi, maka stabil ketika R = > 1. Sebaliknya, jika R = < 1 untuk 0 < 1 maka titik tetap endemik menjadi tidak stabil. Pelinearan, penentuan persamaan karakteristik dan bukti di atas dapat diperhatikan pada Lampiran 4. Berikut ini adalah tabel kondisi kestabilan kedua titik tetap yang diperoleh. Tabel 1 Kondisi Kestabilan Titik Tetap Kondisi Titik Tetap Tanpa Penyakit Titik Tetap Endemik R < 1 Stabil Tidak Stabil R > 1 Tidak Stabil Stabil Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kondisi kestabilan dari titik tetap yang diperoleh saling bertentangan. Ketika titik tetap pertama stabil, titik tetap kedua tidak stabil dan ketika titik tetap pertama tidak stabil, titik tetap kedua stabil. 4.4 Simulasi Dinamika Populasi Penularan Virus Dengue 4.4.1 Nilai Parameter Dinamika populasi yang dianalisis adalah untuk kondisi R < 1 dan R > 1. Dalam hal ini, R adalah bilangan reproduksi dasar (persamaan 22). Untuk menganalisis dinamika populasi, dilakukan perubahan laju kematian nyamuk ( ) dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ). Dua parameter ini dipilih karena dianggap berpengaruh dalam penanggulangan wabah. Nilai yang diambil berada pada [0.01, 0.09] dengan langkah 0.01, sedangkan nilai yang diambil pada [0.25, 0.60] dengan langkah 0.01 (Hawley 1988; Vazeille et al. 2003 dan Richards et al. 2006). Nilai-nilai parameter lain dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

20 Tabel 2 Definisi dan Nilai Parameter Model SEIR dalam Simulasi Numerik Parameter Notasi Nilai Laju kelahiran manusia per hari 2,244 10 5 Peluang transmisi virus dari nyamuk terinfeksi ke manusia per hari 0,4 Laju kematian manusia karena DBD per hari 0,003 Laju kematian manusia secara alami per hari 1/28 000 Proporsi perpindahan manusia terpapar ke manusia terinfeksi per hari 1/10 Proporsi perpindahan nyamuk terpapar ke nyamuk terinfeksi per hari 1/9 Proporsi perpindahan manusia terinfeksi ke manusia sembuh per hari 1/4 Sumber: Erickson et al. (2010) dan Derouich et al. (2003) Nilai awal total populasi manusia yang seluruhnya rentan adalah 1. Nilai awal total populasi nyamuk adalah 1 dengan jumlah nyamuk terinfeksi adalah 20%. Berikut adalah simulasi untuk melihat dinamika populasi manusia dan nyamuk yang dilakukan dengan mengubah nilai laju kematian nyamuk ( ) dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ) pada kondisi R < 1 dan kondisi R > 1. 4.4.2 Dinamika Populasi untuk Kondisi < 1 Gambar 3 berikut menunjukkan kestabilan tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, untuk kondisi R < 1. Berdasarkan nilai-nilai parameter yang ada pada Tabel 2 dan dengan mengambil nilai dan pada interval yang sudah ditetapkan, diperoleh gambar dinamika populasi di bawah ini untuk nilai = 0,07 dan = 0,3 dengan nilai R = 0,56. 1.0 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 S h HtL E h HtL I h HtL R h HtL 0.8 0.6 0.4 0.2 S v HtL E v HtL I v HtL 0.0 Hari t 0 50 100 150 200 250 300 350 (a) 0.0 Hari t 0 50 100 150 200 250 300 350 Gambar 3 Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap waktu untuk kondisi R < 1. (b)

21 Gambar 3a menunjukkan bahwa jumlah subpopulasi manusia rentan ( ) setelah tertular virus, dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke = 0,63. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi manusia terpapar ( ) dan terinfeksi ( ), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke = 0 dan = 0. Pada subpopulasi manusia sembuh ( ), dari awal simulasi mengalami peningkatan hingga stabil ke = 1 + + = 0,37. Pada Gambar 3b, jumlah subpopulasi nyamuk terpapar ( ), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke = 0. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi nyamuk terinfeksi ( ), dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke = 0. Pada subpopulasi nyamuk rentan ( ), mengalami peningkatan hingga stabil ke = 1 + = 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah tiap subpopulasi stabil ke titik tetap tanpa penyakit,,,, = /, 0, 0, 0, 0 dengan / = 0,63. Ini menunjukkan bahwa sub-subpopulasi manusia terpapar dan terinfeksi serta nyamuk terpapar dan terinfeksi menuju nol. Selanjutnya dilakukan simulasi pada populasi manusia dan nyamuk dengan mengubah nilai parameter dan. Pengambilan nilai kedua parameter ini memenuhi kondisi R < 1, sehingga dapat disimulasikan untuk beberapa kondisi berbeda sebagaimana yang tertera pada Tabel 3 serta Gambar 4 dan 5 berikut. Tabel 3 Simulasi untuk Kondisi R < 1 Parameter Model Bilangan Reproduksi Dasar ( ) = 0,03 = 0,30 0,97 = 0,05 = 0,30 0,70 = 0,07 = 0,30 0,56 = 0,09 = 0,30 0,47 = 0,05 = 0,25 0,59 = 0,05 = 0,30 0,70 = 0,05 = 0,35 0,82 = 0,05 = 0,40 0,94

22 Gambar 4 di bawah ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai laju kematian nyamuk ( ) diubah. S h HtL 1.0 0.9 0.14 0.12 E h HtL 0.8 m v = 0.03 0.10 m v = 0.03 0.7 0.6 0.5 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.08 0.06 0.04 0.02 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.4 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (a) (b) I h HtL 0.05 R h HtL 0.5 0.04 0.4 0.03 0.02 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.3 0.2 0.1 m v = 0.03 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.00 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0 10 20 30 40 Hari t (c) (d) S v HtL 1.00 E v HtL 0.04 0.95 0.90 0.85 0.80 m v = 0.03 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.03 0.02 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 m v = 0.07 m v = 0.09 0.75 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (e) (f) I v HtL 0.20 0.15 m v = 0.03 0.10 m v = 0.05 m v = 0.07 0.05 m v = 0.09 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (g) Gambar 4 Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R < 1 dan nilai parameter diubah.

23 Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4a 4d, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi manusia lainnya semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin berkurang sehingga jumlah manusia rentan semakin bertambah. Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 4e 4g, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin berkurang. Peningkatan laju kematian nyamuk ini menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk terinfeksi sehingga jumlah manusia terinfeksi pun semakin berkurang. Akibatnya, proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin berkurang sehingga jumlah nyamuk rentan semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan laju kematian nyamuk, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-15 dengan proporsi 12% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,03. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-21 dengan proporsi 5% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,03. Gambar 5 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ) diubah.

24 S h HtL 1.0 0.9 0.14 0.12 E h HtL 0.8 b i = 0.25 0.10 b i = 0.25 0.7 0.6 0.5 b i = 0.30 b i = 0.35 b i = 0.40 0.08 0.06 0.04 0.02 b i = 0.30 b i = 0.35 b i = 0.40 0.4 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (a) (b) I h HtL 0.06 R h HtL 0.4 0.05 0.04 b i = 0.25 0.3 b i = 0.25 0.03 0.02 0.01 b i = 0.30 b i = 0.35 b i = 0.40 0.2 0.1 b i = 0.30 b i = 0.35 b i = 0.40 0.00 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0 10 20 30 40 Hari t (c) (d) S v HtL 1.00 E v HtL 0.05 0.95 0.04 0.90 b i = 0.25 b i = 0.30 0.03 b i = 0.25 b i = 0.30 0.85 b i = 0.35 0.02 b i = 0.35 0.80 b i = 0.40 0.01 b i = 0.40 0.75 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (e) (f) I v HtL 0.20 0.15 b i = 0.25 b i = 0.30 0.10 b i = 0.35 b i = 0.40 Gambar 5 0.05 10 20 30 40 Hari t (g) Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R < 1 dan nilai parameter diubah. Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5a 5d, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin berkurang sedangkan jumlah

25 subpopulasi manusia lainnya semakin bertambah. Peningkatan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi dapat meningkatkan nilai peluang kontak antara nyamuk terinfeksi dengan manusia rentan. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin bertambah. Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5e 5g, jika rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin berkurang sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin bertambah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya nilai peluang kontak antara nyamuk rentan dengan manusia terinfeksi sehingga proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-13 dengan proporsi 14% dan rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi sebesar 0,4. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-18 dengan proporsi 5% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,4. 4.4.3 Dinamika Populasi untuk Kondisi > 1 Gambar 6 berikut menunjukkan kestabilan tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, untuk kondisi R > 1. Berdasarkan nilai-nilai parameter yang ada pada Tabel 2 dan dengan mengambil nilai dan pada interval yang sudah ditetapkan, diperoleh gambar dinamika populasi berikut ini untuk nilai = 0,01 dan = 0,41 dengan R = 2,47. 1.0 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 S h HtL E h HtL I h HtL R h HtL 0.8 0.6 0.4 0.2 S v HtL E v HtL I v HtL 0.0 Hari t 0 50 100 150 200 250 300 350 (a) 0.0 Hari t 0 50 100 150 200 250 300 350 Gambar 6 Dinamika populasi manusia (a) dan populasi nyamuk (b) terhadap waktu untuk kondisi R > 1. (b)

26 Gambar 6a menunjukkan bahwa jumlah subpopulasi manusia rentan ( ) setelah tertular virus, dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke = 0,00248. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi manusia terpapar ( ) dan terinfeksi ( ), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke = 0,00010 dan = 0,00004. Pada subpopulasi manusia sembuh ( ), di awal simulasi mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke = 1 + + = 0,99738. Pada Gambar 6b, jumlah subpopulasi nyamuk terpapar ( ), awalnya mengalami peningkatan kemudian menurun hingga stabil ke = 0,00006. Lain halnya yang terjadi pada subpopulasi nyamuk terinfeksi ( ), dari awal simulasi mengalami penurunan hingga stabil ke = 0,02357. Pada subpopulasi nyamuk rentan ( ), mengalami peningkatan hingga stabil ke = 1 + = 0,97637. Jadi, dapat dikatakan bahwa jumlah tiap subpopulasi stabil ke titik tetap endemik,,,,. Ini menunjukkan bahwa sub-subpopulasi manusia terpapar dan terinfeksi serta nyamuk terpapar dan terinfeksi menuju ke nilai yang tidak nol. Selanjutnya dilakukan simulasi pada tiap subpopulasi manusia dan nyamuk terhadap waktu dengan mengubah nilai parameter dan. Pengambilan nilai kedua parameter ini disesuaikan dengan nilai R yang memenuhi kondisi R > 1, sehingga dapat disimulasikan untuk tiga kondisi berbeda sebagaimana yang tertera pada Tabel 4 serta Gambar 7 dan 8 berikut. Tabel 4 Simulasi untuk Kondisi R > 1 Parameter Model Bilangan Reproduksi Dasar ( ) = 0,01 = 0,60 3,62 = 0,03 = 0,60 1,94 = 0,05 = 0,60 1,40 = 0,07 = 0,60 1,12 = 0,03 = 0,40 1,29 = 0,03 = 0,45 1,45 = 0,03 = 0,50 1,61 = 0,03 = 0,55 1,78

27 S h HtL 1.0 E h HtL 0.20 0.8 0.15 0.6 0.4 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.10 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.2 m v = 0.07 0.05 m v = 0.07 0.0 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (a) (b) I h HtL 0.08 R h HtL 0.7 0.6 0.06 0.04 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.5 0.4 0.3 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.02 m v = 0.07 0.2 m v = 0.07 0.1 0.00 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0 10 20 30 40 Hari t (c) (d) S v HtL 1.0 E v HtL 0.07 0.06 0.9 0.8 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.05 0.04 0.03 m v = 0.01 m v = 0.03 m v = 0.05 0.7 m v = 0.07 0.02 m v = 0.07 0.01 0.6 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (e) (f) I v HtL 0.35 0.30 0.25 0.20 m v = 0.01 m v = 0.03 0.15 m v = 0.05 0.10 m v = 0.07 0.05 0.00 0 10 20 30 40 (g) Hari t Gambar 7 Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R > 1 dan nilai parameter diubah Perubahan (bertambah atau berkurang) jumlah tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, karena naiknya laju kematian nyamuk sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 7 di atas memiliki pola

28 yang sama dengan perubahan jumlah tiap subpopulasi untuk kondisi R < 1 sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan kedua gambar hanya pada jumlah maksimum atau minimum tiap subpopulasi, tetapi dalam simulasi ini lebih difokuskan pada jumlah maksimum subpopulasi manusia terpapar dan manusia terinfeksi. Pada populasi manusia sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7a 7d, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi manusia rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi manusia lainnya semakin berkurang. Hal ini dikarenakan peningkatan laju kematian nyamuk menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk termasuk nyamuk terinfeksi. Akibatnya, proporsi perpindahan manusia rentan ke manusia terpapar semakin berkurang. Pada populasi nyamuk sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7e 7g, jika laju kematian nyamuk naik dan nilai parameter lainnya tetap, maka jumlah subpopulasi nyamuk rentan semakin bertambah sedangkan jumlah subpopulasi nyamuk lainnya semakin berkurang. Peningkatan laju kematian nyamuk ini menyebabkan penurunan pada jumlah nyamuk terinfeksi sehingga jumlah manusia terinfeksi pun semakin berkurang. Berkurangnya manusia terinfeksi menyebabkan proporsi perpindahan nyamuk rentan ke nyamuk terpapar semakin berkurang sehingga jumlah nyamuk rentan semakin bertambah. Bertambah atau berkurangnya jumlah tiap subpopulasi cenderung tidak sama untuk setiap kenaikan laju kematian nyamuk, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk. Maksimum jumlah subpopulasi manusia terpapar terjadi pada hari ke-19 dengan proporsi 18% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,01. Pada subpopulasi manusia terinfeksi, maksimum terjadi pada hari ke-24 dengan proporsi 7% dan laju kematian nyamuk sebesar 0,01. Gambar 8 berikut ini menunjukkan perubahan jumlah tiap subpopulasi ketika nilai rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi ( ) diubah.

29 S h HtL 1.0 E h HtL 0.25 0.8 0.20 0.6 b i = 0.40 b i = 0.45 0.15 b i = 0.40 b i = 0.45 0.4 b i = 0.50 0.10 b i = 0.50 0.2 b i = 0.55 0.05 b i = 0.55 0.0 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (a) (b) I h HtL 0.08 R h HtL 0.7 0.6 0.06 0.04 b i = 0.40 b i = 0.45 b i = 0.50 0.5 0.4 0.3 b i = 0.40 b i = 0.45 b i = 0.50 0.02 b i = 0.55 0.2 b i = 0.55 0.1 0.00 0 10 20 30 40 Hari t 0.0 0 10 20 30 40 Hari t (c) (d) S v HtL 0.85 E v HtL 0.08 0.80 0.75 0.70 b i = 0.40 b i = 0.45 b i = 0.50 0.06 0.04 b i = 0.40 b i = 0.45 b i = 0.50 0.65 b i = 0.55 0.02 b i = 0.55 0.60 0 10 20 30 40 Hari t 0.00 0 10 20 30 40 Hari t (e) (f) I v HtL 0.30 0.25 b i = 0.40 0.20 b i = 0.45 b i = 0.50 0.15 b i = 0.55 0.10 0 10 20 30 40 (g) Hari t Gambar 8 Dinamika populasi manusia (a) rentan, (b) terpapar, (c) terinfeksi, dan (d) sembuh, serta populasi nyamuk (e) rentan, (f) terpapar dan (g) terinfeksi terhadap waktu pada kondisi R > 1 dan nilai parameter diubah Seperti uraian pada Gambar 7 sebelumnya, perubahan (bertambah atau berkurang) jumlah tiap subpopulasi, baik pada populasi manusia maupun populasi nyamuk, karena naiknya rata-rata gigitan nyamuk terinfeksi (Gambar 8), memiliki