DAERAH RAWAN LONGSOR (DRL) DI INDONESIA BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA Ir. Gde Suratha, MSc., IPM. I. PENDAHULUAN Hampir setiap tahun terutama pada musim hujan kita selalu mengalami kejadian/fenomena alam berupa tanah/batuan longsor (land slide), yang sering merupakan bencana dan menimbulkan kerugian bagi kepentingan masyarakat berupa antara lain, merusak sarana transportasi umum, lereng jalan raya, jalan TOL, jalur KA, merusak tempat pemukiman, dan kerugian material lain, dan bahkan sampai menimbulkan korban nyawa manusia. Namun, respons terhadap kejadian tersebut umumnya hampir selalu sama sebagaimana biasanya (business as usual), yaitu hanya bersifat kuratif, antara lain, sibuk melakukan evakuasi korban, pertolongan medis bagi yang luka-luka dan mengumpulkan bantuan sosial bagi korban, dinas PU sibuk merehabilitasi kerusakan fisik yang mengganggu prasarana umum, dan lain-lain. Sedangkan upaya yang bersifat konseptual untuk mencegah (preventif) nampaknya belum dilakukan. Padahal secara teoritis, kelongsoran batuan/tanah di alam sebenarnya dapat diantisipasi jauh sebelum terjadi. Kelongsoran lereng itu tidak terjadi secara tiba-tiba, namun dapat dianalisis dan diketahui sebelumnya, apakah akan longsor atau tidak. Jika akan longsor, pasti memberikan tandatanda menjelang kejadiannya, sehingga memungkinkan dapat dilakukan tindakan antisipatif untuk meminimalkan potensi kerugian. Di samping itu, pada prinsipnya, lereng yang berpotensi longsor dapat dibuat menjadi tidak longsor (aman) dengan perlakuan/tindakan tertentu yang terukur. Namun, sampai saat ini nampaknya belum ada lembaga atau instansi yang melakukan upaya untuk mencegah suatu potensi kelongsoran secara sistematis, terutama pada area-area yang dianggap vital untuk diselamatkan atau area yang dianggap sangat berisiko menimbulkan kerugian atau korban besar jika terjadi kelongsoran lereng. Menurut penulis, kelongsoran lereng batuan/tanah dipengaruhi oleh 5(lima) faktor yang bekerja secara bersamaan namun kontribusinya berbeda-beda tergantung kondisi lokalnya, yaitu; a. Geometri permukaan lereng, yaitu tinggi dan kemiringan keseluruhan, b.kekuatan massa batuan keseluruhan yang membentuk lereng, c. Orientasi (arah dan kemiringan) umum dari bidang-bidang diskontinuitas(bidang pecah) di dalam massa batuan lereng terhadap orientasi permukaan lereng, d.kondisi airtanah di dalam massa batuan lereng, dan e. Beban luar dari sistem lereng, yang f. berupa beban statik dan atau beban dinamik terutama getaran karena gempa bumi. Di antara kelima faktor tersebut, faktor air tanah umumnya merupakan faktor pemicu utama terjadinya kelongsoran lereng di Indonesia, oleh karena air tanah mempunyai 3(tiga) efek merugikan yang berkontribusi kuat terhadap terjadinya kelongsoran lereng, yaitu; - air tanah menambah bobot isi massa batuan sehingga menambah gaya yang mendorong terjadinya kelongsoran lereng, - adanya air tanah di dalam massa batuan akan mengurangi kekuatan (kuat geser) massa batuan yang dalam mekanisme kelongsoran berfungsi sebagai kekuatan penahan kelongsoran, dan 1
- air tanah di dalam massa batuan memberikan efek tidak langsung, yaitu dapat menjadi pelicin pada bidang diskontinuitas batuan yang memudahkan terjadinya pergerakan/ pergesekan, serta dapat mengubah kodisi fisik batuan tertentu yang sensitif terhadap air (misalnya, tanah clay akan mudah menjadi lebih lemah bila kena air). Umumnya struktur geologi batuan di daerah rawan longsor (DRL) adalah kompleks, dan lapisan tanah di permukaan yang lapuk maka lereng-lereng alami maupun lereng yang terbentuk karena konstruksi suatu bangunan, seperti lereng jalan raya, jalan TOL, maupun lereng jalur kereta api di beberapa tempat menjadi mudah longsor terutama dipicu oleh rembesan air tanah pada musim hujan. Kejadian kelongsoran lereng di Indonesia menurut laporan salah satu media massa nasional kita mencatat bahwa, antara tahun 2012 2014 terjadi 705 kasus, paling banyak di Propinsi Jawa Barat, 187 kasus, disusul Jawa Tengah, 172 kasus, Jawa Timur, 66 kasus, Sumatera Barat, 41 kasus, Daerah Istimewa Jogyakarta, 38 kasus, Bali ( 29 kasus), Sumatera Selatan (27 kasus), Kaltim (22 kasus), Sumut (14 kasus), dan di daerah lainnya, termasuk kasus kelongsoran pada lereng-lereng jalan raya atau jalan Tol. Di samping itu, informasi tentang daerah rawan longsor di Indonesia sebenarnya sudah terpetakan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM, dan terdata oleh instansi Pemerintah lainnya, sehingga dapat digunakan sebagai sumber informasi awal bagi pihak atau lembaga yang ingin melakukan suatu tindakan pencegahan/pengamanan di suatu daerah. Contoh : Longsoran lereng di jalur KA daerah Bogor 2
CONTOH ILUSTRASI KELONGSORAN II. KONSEP PENANGGULANGAN DRL PREVENTIF Suatu konsep penaggulangan DRL kami tawarkan pada kesempatan ini, dalam bentuk sistem penanggulangan daerah rawan longsor preventif. Secara konseptual, Sistem Penanggulangan Daerah Rawan Longsor (SPDRL) ini ingin menjelaskan bahwa suatu DRL bisa dibuat untuk menjadi aman (tidak longsor) dengan suatu tindakan tertentu, terutama DRL yang memang sangat urgent untuk diselamatkan. Namun bagi DRL yang tidak terlalu urgent untuk dipertahankan tidak longsor, ya tidak usah dipertahankan. Bagi DRL yang urgent untuk dipertahankan tidak longsor, namun harus dilakukan tindakan pengamanan dengan biaya yang terlalu mahal, maka tidak usah diperthankan, namun yang harus dilakukan adalah menerima risiko terjadi kelongsoran dengan cara melakukan mitigasi untuk meminimalkan kerugian. Secara metodologis, SPDRL dapat diuraikan runut sebagai dalam Gambar 1 dengan penjelasan sebagai berikut. Pertama, dilakukan inventarisasi terhadap DRL potensial di seluruh wilayah, berdasarkan data/informasi sekunder yang tersedia, atau dari laporan hasil kegiatan yang pernah dilakukan, baik oleh Instansi Pemerintah Pusat maupun kantor-kantor dinas di Daerah. Kedua, terhadap DRL yang sudah diinventarisir dilakukan penilaian awal (preassessment) menggunakan Analisis Risiko dan analisis slope stabilitas awal (data hasil penyelidikan awal), untuk menjawab apakah suatu DRL berpotensi longsor dengan asumsi setelah hujan lebat. Kemudian dilakukan penilaian RISIKO jika terjadi kelongsoran. Catatan: untuk penilaian risiko ini, perlu ditentukan suatu kriteria risiko oleh pemangku kepentingan ditentukan bersama dibantu Tim Ahli. Ketiga, dibuat klasifikasi DRL berdasarkan hasil penyelidikan dan analisis stabilitas awal serta penilaian risiko. Suatu DRL yang kemungkinan besar akan mengalami kelongsoran, dan jika longsor akan menimbulkan dampak kerugian sangat besar, diklasifikasikan sebagai DRL-merah. Secara gradual akan ada klas DRL-kuning dan DRL-hijau, sesuai kriteria risiko yang telah ditentukan. Keempat, terhadap DRL-merah dan DRL-kuning, kemudian dilakukan kajian/analisis cermat, yang harus didukung data primer hasil penyelidikan di lapangan dan uji laboratorium. Untuk tahap ini, harus melibatkan atau dikerjakan oleh tim ahli Geoteknik profesional. 3
Kelima, terhadap hasil kajian/analisis cermat tersebut di atas disimpulkan sementara, apakah DRL objek kajian masih dapat ditanggulangi secara teknis dan dengan biaya yang masih wajar (reasonable)? Jawabannya, adalah ya atau tidak. Jika, ya, kemudian ditentukan opsi-opsi cara penanggulangan yang dapat dilakukan, dan pilih opsi penanggulangan terbaik. Kemudian, buat rencana Implementasi, dan laksanakan. Jika tidak, baik karena secara teknis tidak memungkinkan maupun karena biaya untuk penanggulangan terlalu besar, maka pilih opsi untuk menerima risiko kelongsoran. Kemudian, ditentukan langkah-langkah untuk meminimalkan risiko, misalnya, dengan merelokasi objek atau merelokasi penduduk yang tinggal di DRL tersebut. INVENTARISASI DRL Sumber : Dit.GTL/ESDM, Dinas terkait /Instansi lain. KAJIAN AWAL & IDENTIFIKASI RISIKO (Jenisbatuan/tanah, strength, strukturgeologi, kondisiairtanah).apakahlerengdrl akanlongsor? ANALISIS RISIKO DRL : Tentukan Likelihood Tentukan Consequences Tentukan Level Risiko (risk level) = likelihood x consequence NILAI RISIKO (based on criteria) KLASIFIKASIKAN DRL DRL - MERAH DRL - KUNING DRL - HIJAU STUDI/KAJIAN GEOTEKNIK CERMAT Penyelidikan geoteknik lapangan & uji Lab. Pemodelan dan Analisis Slope Stability Bisa ditanggulangi M O N I T O 4 R
YA TENTUKAN OPSI PENANGGULANGAN YANG MUNGKIN, DAN PILIH OPSI TERBAIK TIDAK SIAPKAN UNTUK MENERIMA RISIKO KELONGSORAN minimalkan risk BUAT RENCANA IMPLEMENTASI LAKSANAKAN stop Gambar 1. Bagan alir konsep penanggulangan DRL Tabel 1. Kemungkinan risiko (risk likelihood) Level Deskripsi Kriteria 5 Almost Kelongsoran sangat rawan (hampir pasti) akan terjadi 4 Likely Kelongsoran diperkirakan kuat akan terjadi 3 Possible Kelongsoran mungkin akan terjadi (terjadi tahunan) 2 Unlikely Kelongsoran bisa terjadi pada suatu waktu (~10 th) 1 Improbable Tidak mungkin (kecil sekali kemungkinan) terjadi Tabel 2. Ilustrasi contoh Kriteria dampak risiko (Risk consequences) Level Rating Keselamatan Kerugian Infra struktur Biaya untuk perbaikan/ rehabilitasi yang dibutuhkan orang & masyarakat 1 Insignifikan Tdk ada yang luka < Rp 10.juta Rp 25 juta 2 Minor Ada korban orang luka-luka 3 Moderate Banyak korban luka serius Banyak korban luka-luka, dan ada 4 Major yang meninggal 5 Chatastrophic Banyak korban jiwa, dan lukaluka Rp (50 250) juta Rp (250-1000) juta Rp (1 5 ) milyar Rp (5 10) milyar Rp (25-500 ) juta Rp (1000 5000) juta Rp (5 20) milyar Di atas Rp 20 milyar III. HASIL YANG DIHARAPKAN DARI IMPLEMENTASI - SPDRL Hasil yang diharapkan dari implementasi sistem penanggulangan daerah rawan longsor (SPDRL) ini, adalah antara lain sebagai berikut. 5
1. Daerah rawan longsor DRL di suatu wilayah serta kondisi dan klasifikasinya dapat dipetakan dengan baik. 2. Prioritas DRL di suatu daerah penyelidikan untuk mendapakan penanggulangan dapat ditentukan. 3. Penanggulangan DRL sesuai dengan SPDRL yang disarankan dapat diimplementasikan secara efektif, dan 4. Risiko timbulnya korban/kerugian akibat kelongsoran di suatu wilayah dapat dikurangi dan bahkan diminimalisir. 6