LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2010 INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI DAN USAHATANI PADI

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN TANAH DI SUMATERA BARAT *

DISTRIBUSI PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN PERTANIAN DI SULAWESI SELATAN*

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDG S DAN IMPLIKASINYA PADA SDGs

V. DESKRIPSI RUMAHTANGGA PETANI TANAMAN PANGAN. Pada bagian ini akan disajikan secara singkat deskripsi statistik kondisi

STRUKTUR DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PEDESAAN SUMATERA BARAT

ANALISIS PENYERAPAN TENAGA KERJA PERDESAAN LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

KESEMPATAN KERJA DI PEDESAAN SULAWESI SELATAN*

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

RINGKASAN. sistem kekerabatan dan segala aspek yang berkenaan dengan relasi gender dalam. pemilikan dan penguasaan sumberdaya agraria.

PERUBAHAN HARGA LAHAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PEDESAAN LAMPUNG

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

RELASI GENDER DALAM PEMILIKAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA AGRARIA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 STUDI KEBIJAKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAU JAWA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

PENGARUH URBANISASI TERHADAP SUKSESI SISTEM PENGELOLAAN USAHATANI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBERLANJUTAN SWASEMBADA PANGAN

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS PENGEMBANGAN MULTI USAHA RUMAH TANGGA PERTANIAN PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

Dinamika Sosial Ekonomi Perdesaan dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya pada Berbagai Agroekosistem

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

KAJIAN LAHAN. Oleh: Djoko Trijono

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

POLA DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA BEBERAPA DESA DI JAWA TIMUR

BAB IX KESIMPULAN. bagaimana laki-laki dan perempuan diperlakukan dalam keluarga. Sistem nilai

Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

ANALISIS PERKEMBANGAN SEWA MENYEWA LAHAN DI PEDESAAN LAMPUNG

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DINAMIKA SOSIAL EKONOMI PERDESAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

PANEL PETANI NASIONAL (Patanas): DINAMIKA INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN SAWAH. Saptana

1 Universitas Indonesia

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

VI. ALOKASI WAKTU KERJA, KONTRIBUSI PENDAPATAN, DAN POLA PENGELUARAN RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH

III. KERANGKA PEMIKIRAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) : INDIKATOR PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN

DINAMIKA PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA PERDESAAN: KOMPARASI ANTARAGROEKOSISTEM

ANALISIS PROPORSI PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA PETANI PADI PADA BERBAGAI EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

SINTESIS PENDAPATAN RUMAH TANGGA PERDESAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

LAND AND HOUSEHOLD ECONOMY: ANALYSIS OF NATIONAL PANEL SURVEY

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

POLA PEMILIKAN DAN PENGUSAHAAN LAHAN DI JAWA TIMUR*

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KETERKAITAN JENIS SUMBERDAYA LAHAN DENGAN BESAR DAN JENIS PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN LAMPUNG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identitas Petani Petani Padi Organik Mitra Usaha Tani

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN PADA BERBAGAI TIPE AGROEKOSISTEM

PENDAHULUAN Latar Belakang

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

Dinamika Sosial Ekonomi Pedesaan: Analisis Perbandingan Antar Sensus Pertanian

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PERAN KELOMPOK TANI BAGI KEGIATAN USAHATANI ANGGOTA

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati Sumaryanto A. Rozany nurmanaf Supena Friyatno Rita Nur Suhaeti Herlina Tarigan Chairul Muslim Nur K. Agustin PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2008

RINGKASAN EKSEKUTIF PENDAHULUAN 1. Berbagai kebijakan dan program yang ditujukan untuk mengkondisikan agar besaran dan struktur penguasaan lahan pertanian lebih kondusif dilakukan melalui perluasan lahan pertanian baru, transmigrasi, reforma agraria, dan upaya-upaya yang memungkinkan struktur tenaga kerja pertanian lebih kondusif untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dan perdesaan. Namun tujuan untuk menciptakan besaran dan struktur penguasaan lahan serta tenaga kerja pertanian yang kondusif untuk menunjang pencapaian tujuan pembangunan pertanian belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui bagaimana kondisi terkini struktur penguasaan lahan dan tenaga kerja di tingkat petani dan arah perubahan yang terjadi. 2. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan luas dan struktur penguasaan lahan serta pencurahan tenaga kerja di tingkat petani dan faktor-faktor utama yang mempengaruhi perubahan tersebut. 3. Keluaran penelitian adalah sebagai berikut. (a). Data dan informasi struktur pemilikan lahan dan tenaga kerja pertanian pada berbagai agroekosistem, (b) Data dan informasi arah perubahan struktur pemilikan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi, (c) Data dan informasi perubahan struktur pemilikan lahan kaitannya dengan pola hubungan kerja pertanian dan distribusi pendapatan, (d) Data dan informasi arah perubahan struktur tenaga kerja pertanian dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (e) Data dan informasi fenomena ' aging farmer' dalam struktur tenaga kerja pertanian, (f) Data dan informasi faktor -faktor ekonomi dan sosial budaya yang mempengaruhi migrasi tenaga kerja pertanian ke nonpertanian, (g) Data dan informasi pengaruh perubahan struktur pemilikan lahan dan tenaga kerja pertanian terhadap pendapatan petani, serta (h) Rekomendasi kebijakan pertanian khususnya yang berkenaan dengan masalah pemilikan lahan pertanian dan ketenagakerjaan pertanian. METODE PENELITIAN 4. Pengumpulan data primer ditempuh dengan tiga metode yang terintegrasi, yaitu: (1) focused group discussion (FGD), (2) wawancara kelompok, dan (3) wawancara langsung dengan petani contoh. Instrumen penelitian untuk FGD adalah daftar isu pokok materi diskusi, untuk wawancara kelompok adalah daftar pertanyaan dan panduan wawancara kelompok, dan untuk wawancara langsung adalah kuesioner terstruktur. 5. Data yang dikumpulkan mencakup data kuantitatif maupun kualitatif. Data primer yang diperoleh dari survey digunakan untuk menggali kondisi terkini, sedangkan data panel untuk menganalisis perubahan. Oleh karena itu, data survey tersebut harus dirancang agar dapat dibandingkan dengan data dasar yang telah diperoleh dari survey pada periode sebelumnya. Data dasar yang akan dipergunakan adalah hasil survey PATANAS 1994/1995, dan PATANAS 2007. 6. Lokasi penelitian mencakup 9 (sembilan) provinsi yaitu: Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Di setiap provinsi diambil 4 desa contoh x

sehingga seluruhnya ada 36 desa contoh lokasi penelitian. Di setiap desa contoh diambil 10 rumah tangga (RT) contoh sehingga di dari setiap provinsi terdapat 40 RT contoh dan secara keseluruhan ada 360 contoh. Rumah tangga contoh yang diambil adalah RT contoh pada penelitian PATANAS tahun-tahun sebelumnya agar terbentuk data panel. 7. Desa-desa contoh tersebut diharapkan dapat merepresentasikan tiga tipe agroekosistem, yaitu: (1) agroekosistem pesawahan, (2) agroekosistem lahan kering berbasis usahatani tanaman pangan/hortikultura (lahan kering_1), dan (3) agroekosistem lahan kering berbasis usahatani tanaman perkebunan (lahan kering_2). 8. Alat analisis yang digunakan melalui metode statistik dan ekonometrik. Metode statistik mencakup statistik deskriptif maupun inferensial. Salah satu variabel penting dalam profil RT perdesaan adalah apakah pendapatan masyarakat perdesaan terdistribusi secara merata atau sebaliknya terjadi ketimpangan pendapatan antar- RT tersebut. Untuk mengetahui distribusi pendapatan RT, digunakan suatu indeks sebagai ukuran ketimpangan, yaitu Indeks Gini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan untuk mengkaji migrasi tenaga kerja pertanian ke non-pertanian, khususnya untuk menganalisis peluang RT melakukan migrasi adalah menggunakan Model Peluang Bermigrasi (Occupational Choice Model). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pemilikan Lahan 9. Rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan kering di wilayah Jawa beragroekosistem sawah masing-masing adalah 0,33 ha dan 0,08 ha, sedangkan di wilayah beragroekosistem lahan kering masing-masing 0,04 ha dan 0,13 ha. Luas total lahan pada masing-masing agroekosistem sekitar 0,37 ha untuk lahan sawah dan 0,4 ha untuk lahan kering. Sebaliknya kondisi di Luar Jawa relatif lebih baik/luas dengan rata-rata pemilikan lahan sawah dan lahan kering sekitar 0,6 ha dan 0,4 ha. Pada agroekosistem lahan kering_1, pemilikan luas lahan sawah dan lahan kering masing-masing 0,03 ha dan 0,9 ha. 10. Menurut kelas pemilikan lahan, keragaman kepemilikan luasan sawah di Jawa maupun Luar Jawa terdistribusi dengan baik. Hanya pada luasan kelas lebih dari 2 ha, rata-rata pemilikan lahan petani di Luar Jawa (3,52 ha) lebih luas dibanding di Jawa ( 3,10 ha). Sedangkan untuk strata kelas lahan yang lainnya, baik di Jawa maupun Luar Jawa tidak jauh berbeda. 11. Pada kelompok pemilikan lahan antara 0-1 ha dan 1-2 ha, terlihat bahwa RT yang menguasai lahan sawah di Jawa dan luar Jawa masing-masing sebanyak 70,1 persen dan 67 persen sementara pada wilayah agroekosistem lahan kering_1 masing-masing 4,3 persen dan 71,4 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa RT responden menggantungkan harapan pada lahan yang tidak begitu luas sebagai salah satu sumber utama penghasilan keluarga. 12. Kepemilikan lahan berdasarkan kelas lahan umumnya terkosentrasi pada luasan antara 0,25-0,50 ha, di Jawa dan luar Jawa masing-masing 40,50 persen dan 20,75 persen. rata-rata kepemilikan lahan lebih dari 1 ha dan kurang dari 2 ha khususnya di Jawa kurang dari empat persen. Fenomena tersebut mengindikasikan terjadinya degradasi pemilikan lahan pertanian bagi petani di Jawa. Sebaliknya di Luar Jawa xi

lahan yang banyak dijumpai umumnya adalah perkebunan milik sendiri dengan lebih dari 2 hektare. 13. Fenomena sebaran pemilikan kelompok kelas lahan untuk rumahtangga petani yang tidak memiliki lahan (tunakisma) tipe agroekosistem lahan sawah cukup besar (11,50 persen).baik di Jawa maupun Luar Jawa, sebagian besar (90%) rumahtangga petani memiliki lahan kurang dari 0,5 ha, dengan pemilikan lahan terbanyak pada kelas lahan 0,25 ha. 14. Pemilikan lahan umumnya tidak luas dan tersebar di beberapa persil. Hal ini terlihat sebanyak 36,19 persen petani contoh hanya menguasai 1 persil dan 31,21 persen menguasai 2 persil. Penggarapan lahan 1 persil tersebut lebih banyak dilakukan oleh RT dengan luas pemilikan kurang dari 0,25 ha. Kepemilikan lahan berdasarkan kelas lebih beragam di Jawa dan pemanfaatannya lebih optimal. Hal ini salah satu bukti bahwa akses terhadap lahan di Jawa lebih baik daripada di luar Jawa. 15. Pemilikan lahan pertanian oleh rumahtangga tani 48,64 persen diperoleh pada periode sebelum hingga tahun 1987, meningkat dari 10,68 hingga 14,83 persen setiap lima tahun dalam kurun waktu 1988 hingga 2007. Ini mengindikasikan dalam 10 tahun terakhir laju perolehan lahan pertanian relatif melambat sebagai akibat keterbatasan ketersediaan lahan. 16. Hampir 50 persen responden di Jawa maupun di Luar Jawa, sudah memiliki lahan sejak tahun 1987. Di Jawa, kepemilikan lahan dalam periode lima tahun (1992, 1997, 2002) rata-rata meningkat antara 10-11 persen. Sementara peningkatan lahan di Luar Jawa justru terjadi pada tahun 1997. 17. Menurut tipe agroekosistem dan wilayah, hingga 1987 degradasi perolehan lahan pertanian yang paling tinggi terjadi pada agroekosistem lahan kering_1 ( 50 persen ) di Jawa dan 54,64 persen di Luar Jawa. Agroekosistem lahan kering_2 periode sebelum 1987 sekitar 60,43 persen. Kemudian pada periode 2003-2007 menurun secara bervariasi mencapai masing-masing 8,75 persen, 8,74 persen dan 7,19 persen. Kestabilan pendapatan rumahtangga tani diduga cukup mempengaruhi perolehan lahan pertanian. 18. Sumber perolehan pemiliksecara agregat 52,67 persen rumahtangga tani memperoleh kepemilikan lahan dari warisan, 39,86 persen dari membeli dan 7,47 persen dari lainnya. Gambaran yang sama terjadi pada semua lokasi di Jawa dan Luar Jawa dan pada berbagai tipe agroekosistem. Perbandingan yang paling ekstrim terjadi di Jawa pada agroekosistem lahan kering_1, yakni 67,5 persen dari warisan, 31,25 persen membeli dan 1,25 persen dari lainnya. 19. Di Jawa, perolehan lahan paling dominan dari warisan. Perolehan lainnya hanya terjadi pada periode tertentu. Pada wilayah agroekosistem sawah 2,4 persen terjadi pada periode sebelum 1987 dan 9,7 persen pada periode 2003 2007. Pada agroekosistem lahan kering_1 sekitar 11,1 persen pada periode 1998 2002. Sedangkan perolehan lahan pertanian di Luar Jawa cenderung variatif antar-waktu pada semua tipe agroekosistem. Perubahan Struktur dan Distribusi Pemilikan Lahan 20. Selama lebih dari 10 tahun terakhir, terjadi perubahan struktur pemilikan lahan pertanian terutama di Jawa. Rata-rata luas pemilikan lahan pertanian pada agroekosistem sawah menurun dari 0,49 ha (1995) menjadi 0,36 ( 2008), sedang untuk agroekosistem lahan kering_1 turun dari 0,40 ha (1995) menja di 0,30 ha xii

(2008). Penyebab utamanya adalah alih fungsi lahan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Rata-rata luasan pemilikan lahan pertanian di Luar Jawa tidak banyak berubah, kecuali agroekosistem sawah yang menurun dari 1,49 ha menjadi 1,35 ha. 21. Ada indikasi pemilikan lahan lebih terdistribusi kepada 90 persen RT terbawah di berbagai kelompok kelas lahan dan memperlihatkan terjadinya stratifikasi lahan yang distribusinya cenderung lebih merata. Kecenderungan perbaikan ini disebabkan adanya alih fungsi lahan dari nonpertanian ke pertanian dan alih fungsi antar-lahan pertanian disertai distribusi lahan yang cenderung lebih merata. 22. Di wilayah agroekosistem sawah di Luar Jawa, 90 persen petani menguasai 58,67 persen lahan pertanian (1995), dan meningkat menjadi 63,12 persen (2007). Fakta membaiknya tingkat partisipasi pemilikan lahan oleh RT tercermin dari besaran indeks Gini yang semakin menurun, khususnya untuk lahan beragroekosistem lahan kering_1 di Jawa dan lahan kering_2 di Luar Jawa. 23. Penurunan secara variasi pangsa lahan pertanian yang dimiliki sebagian besar (90%) petani terjadi selama periode 1995-2007 di wilayah beragroekosistem sawah di Jawa dan wilayah agroekosistem lahan kering_1 maupun lahan kering_2 di Luar Jawa. 1995. Penurunan pangsa pemilikan lahan yang paling tinggi terjadi pada agroekosistem lahan kering_1 di Jawa, yakni dari 74,16 persen lahan (1995) menjadi 57,30 persen(2007) Hal ini mengindikasikan terjadinya fragmentasi lahan pertanian serta laju peningkatan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, terutama untuk pemukiman. 24. Pada tahun 1995, kecuali pemilikan lahan pertanian di wilayah lahan kering di Luar Jawa, semua pemilikan lahan menurut agroekosistem memiliki ketimpangan yang relatif tinggi. Selama lebih dari 10 tahun terakhir, kondisi berubah terutama pada agroekosistem lahan kering_1, koefisien gini-nya meningkat dari 0,432 (1995) menjadi 0,608 (2007). Sebaliknya, pada wilayah agroekosistem lahan kering_1 di Luar Jawa terjadi penurunan koefisien gini dari 0,563 (1995) menjadi 0,494 (2007). Perubahan Struktur Pemilikan Lahan dan Pola Hubungan Kerja Pertanian 25. Beberapa kelembagaan yang terkait langsung dengan pola hubungan kerja pertanian di perdesaan yaitu: (1 ) jual beli lahan, (2) sewa menyewa lahan, (3) pinjam pakai lahan, (4) hubungan kerja sistem upah, (5) sistem bagi hasil, (6) sistem pewarisan lahan dan (7) sistem gadai. Kelembagaan ini menunjukkan dominasi yang berbeda antar-daerah dan komunitas. 26. Di tingkat petani, terjadi pergeseran pola hubungan kerja dari berbagai bentuk sosial kebersamaan mengarah pada hubungan yang lebih individual dan komersial. Kelembagaan pinjam pakai lahan yang semula umum terjadi karena RT petani bisa memiliki lebih dari 2-3 persil lahan, belakangan beralih secara pesat pada kelembagaan jual beli maupun sistem sewa lahan. Sementara hubungan kerja gotong royong, kedokan, liliuran bergeser menjadi lembaga sistem bagi hasil dan sistem upah. Hubungan kerja di Luar Jawa menunjukkan gejala yang sama tetapi dengan percepatan yang lebih lambat.. 27. Tekanan terkuat terjadinya ketimpangan penguasaan lahan di Jawa, baik pada agroekosistem sawah maupun lahan kering_1 adalah akibat tekanan ekonomi masyarakat dan munculnya konglomerat pertanian. Proses perubahan ini dapat disorot dari peran lembaga-lembaga hubungan kerja pertanian seperti transaksi jual xiii

beli lahan, sistem sewa-menyewa lahan, sistem bagi hasil, dan peran lembaga tenaga kerja sistem upah. 28. Transaksi jual beli lahan di seluruh lokasi penelitian memiliki ciri yang hampir sama. Lahan dikelompokkan ke dalam beberapa kelas yang dilihat dari dari ketersediaan air dan jarak dari saluran irigasi (sawah), akses terhadap jalan raya, kemudahan dijangkau kendaraan roda dua maupun roda empat, topografi lahan dan tingkat kesuburan. Lahan sawah relatif lebih mahal dari pada lahan kering dan kebun. 29. Sistem pemilikan lahan yang cenderung menyempit dan timpang disebabkan juga oleh lembaga pewarisan lahan yang sangat kuat baik di Jawa maupun di Luar Jawa. Pewarisan lahan terjadi baik pada sawah, lahan kering maupun perkebunan. Sistem pewarisan lahan di Jawa umumnya mengikuti hukum nasional yaitu semua anak, laki-laki maupun perempuan mendapat bagian lahan yang sama. Sedangkan di Luar Jawa, terutama di Sumatera Utara, Lombok dan sebagian Sulawesi mengikuti Hukum Islam, dimana anak laki-laki memperoleh bagian lebih besar dari anak perempuan. 30. Pemilikan lahan yang menyempit dan distribusi yang kian timpang menyebabkan berkembangnya lembaga sistem bagi hasil. Sistem ini banyak berkembang pada agroekosistem sawah, baik di Jawa maupun di Luar Jawa, kecuali di Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Pada agroekosistem lahan kering_2, sistem ini terbatas pada proses panen. 31. Perubahan struktur penguasaan lahan yang berkembang di semua agroekosistem, terutama di Jawa, telah meningkatkan sistem sewa lahan pertanian. Harga sewa lahan ditentukan berdasarkan kelas lahan. Kelembagaan sewa lahan ini berkembang terutama pada agroekosistem persawahan dan lahan kering_1, baik di Jawa maupun Luar Jawa, kecuali kasus lahan kering_1 di Lombok, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara. Banyak lahan yang tidak diusahakan sehingga berkembang sistem pinjam pakai. 32. Agroekosistem lahan kering_2 yang seluruhnya terdapat di Luar Jawa merupakan kelompok lahan yang paling stabil. Petani kebun pada lokasi penelitian jarang sekali menjual lahan perkebunan yang masih produktif, kecuali ada desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Pewarisan lahan perkebunan pun sudah mulai tidak diikuti oleh fragmentasi lahan melainkan penerapan sistem pergiliran pengelolaan. Struktur Pemilikan Lahan Dan Pendapatan Rumah Tangga 33. Pada tahun 2007 secara agregat struktur pendapatan RT menunjukkan bahwa total pendapatan RT (dari usahatani maupun non usahatani) semakin besar dengan semakin luasnya pemilikan lahan. Sedangkan pendapatan yang berasal dari non usahatani tidak berhubungan dengan luas pemilikian lahan. Kontribusi pendapatan usahatani bagi RT di perdesaan (kecuali untuk golongan RT tunakisma dan petani gurem) secara agregat masih cukup tinggi. 34. Kontribusi pendapatan RT yang berasal dari pertanian lebih tinggi pada agroekosistem lahan kering (terutama lahan kering _2) dibandingkan dengan agroekosistem sawah. Perbedaan pendapatan menurut kelas lahan antaragroekosistem tersebut diduga terkait dengan komoditas yang diusahakan, perkembangan harga komoditas di pasaran, dan asal pemilikan lahan. Selain kontribusi pendapatan dari pertanian yang lebih tinggi, besaran pendapatan yang bersumber dari nonpertanian bagi wilayah beragroekosistem lahan kering_2 juga xiv

lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah beragroekosistem sawah. Harga komoditas perkebunan yang membaik berdampak pada perkembangan aktivitas non-ekonomi sehingga secara total menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi. 35. Total pendapatan RT di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan Luar Jawa. Namun untuk RT dengan pemilikan lahan lebih dari 1,75 ha terjadi hal yang sebaliknya. Pada kelompok luas ini, terjadi kesenjangan total pendapatan yang cukup tinggi antara RT di Jawa dan Luar Jawa dimana total pendapatan RT di Luar Jawa jauh lebih besar dibandingkan RT di Jawa. 36. Analisis dekomposisi pendapatan menurut perbedaan agroekosistem di Jawa mengindikasikan bahwa sampai dengan kelas luas lahan lebih kecil dari 1,5 ha, total pendapatan RT di agroekosistem lahan kering_1 lebih tinggi dari total pendapatan RT di agroekosistem sawah. Kontribusi pendapatan dari pertanian secara umum lebih tinggi dari pendapatan non-pertanian baik untuk agroekosistem sawah maupun lahan kering. Fenomena yang berbeda untuk wilayah Luar Jawa bahwa pada RT tunakisma dan RT petani gurem ( < 0,25 hektar) total pendapatan RT di agroekosistem lahan kering_1 adalah tertinggi. 37. Pendapatan RT terdistribusi relatif lebih merata antar-kelompok, terutama untuk RT yang berada di agroekosistem lahan kering_2. Sekitar 70 persen total pendapatan RT contoh pada agroekosistem lahan kering_2 dimiliki oleh 90 persen RT dan sisanya dimiliki oleh 10 persen RT golongan teratas. Kontribusi pendapatan dari pertanian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan pada agroekosistem lainnya. Secara agregat distribusi pendapatan RT contoh berada pada kategori ketimpangan yang sedang. 38. Jika dibedakan menurut agroekosistem ketimpangan distribusi pendapatan RT yang berada di agroekosistem lahan kering di Jawa termasuk sedang mengarah ke berat sedangkan RT yang berada pada agroekosistem sawah maupun lahan kering_2 baik di Jawa maupun Luar Jawa berada pada ketimpangan yang sedang. Struktur penguasaan lahan yang relatif stabil dan merata pada agroekosistem lahan kering_2 menyebabkan distribusi pendapatan yang relatif lebih merata pula. Secara keseluruhan, ketiga agroekosistem di semua wilayah berada pada tingkat ketimpangan sedang. 39. Perubahan struktur pemilikan lahan sawah di Jawa yang cenderung menyempit dan timpang tetapi tidak menyebabkan ketimpangan pendapatan yang berat. Demikian pula rata-rata pendapatan yang relatif rendah tidak disertai ketimpangan pendapatan yang berat (ditunjukkan dengan angka Gini Index 0,45). Artinya, usahatani padi meskipun menghasilkan pendapatan RT yang tidak sebaik pendapatan yang berasal dari agrekosistem lahan kering_2, namun cenderung menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih merata. Struktur Tenaga Kerja Dan Partisipasi Kerja Rumah Tangga 40. Proporsi pekerja di Jawa, terutama pada agroekosistem lahan sawah, relatif terdistribusi lebih merata antar-kelompok umur, dibandingkan dengan di Luar Jawa yang lebih banyak dilakukan pekerja muda. 41. Di Jawa, jumlah rata-rata anggota RT relatif lebih sedikit, terutama pada agroekosistem lahan sawah.. Akan tetapi di Luar Jawa, persentase RT dengan anggota yang lebih banyak terdapat lebih besar, khususnya di wilayah dengan agroekosistem lahan kering. Sedangkan jika dibandingkan antar-agroekosistem, xv

masyarakat di wilayah agroekosistem lahan kering rata-rata jumlah anggota RT relatif lebih banyak dibandingkan dengan di agroekosistem lahan sawah. 42. Tingkat pendidikan kepala rumahtangga (KRT) di wilayah dengan agroekosistem lahan sawah rata-rata lebih tinggi daripada di wilayah dengan agroekosistem lahan kering yang dominan komoditas pangan, baik di Jawa maupun di Luar Jawa. KRT dengan tingkat pendidikan terendah kedua (3-6 tahun) terdapat dalam proporsi paling besar di semua agroekosistem. 43. Tingkat partisipasi kerja rumah tangga yang dominan terjadi pada usahatani dan buruh tani. Tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan jenis pekerjaan. Di Jawa, tingkat partisispasi kerja rumah tangga lebih menyebar di sektor pertanian maupun nonpertanian. 44. Petani yang memiliki lahan sampai 0,5 ha dominan bekerja di sektor pertanian dan nonpertanian, baik di wilayah agroekosistem lahan sawah maupun lahan kering. Sementara RT yang memiliki lahan sekitar 0,75-1,00 ha dan 1,0-1,5 ha untuk semua agro ekosistem, dominan bekerja di sektor pertanian saja. 45. Berdasarkan perhitungan regresi multinomial logistic, disimpulkan adanya fenomena aging dan degradasi kualitas tenaga kerja di perdesaan. Tenaga kerja muda cenderung lebih memilih bekerja campuran antara di pertanian dan di nonpertanian, atau bahkan hanya di luar pertanian, terutama para pekerja dengan tingkat pendidikan yang lebih baik. Kecenderungan serupa juga terlihat pada anggota RT yang menguasai lahan lebih sempit. 46. Bermigrasi sebagai buruh tani dilakukan oleh para pekerja dalam porsi yang hampir sama di semua agroekosistem. Akan tetapi, terlihat jauh lebih banyak pekerja yang bermigrasi sebagai buruh di nonpertanian terutama di Jawa baik di wilayah dengan agroekosistem lahan sawah maupun agroekosistem lahan kering. Sementara di Luar Jawa migran dari kelompok ini banyak dilakukan oleh pekerja di wilayah dengan agroekosistem lahan kering yang dominan komoditas perkebunan. Perubahan Struktur Partisipasi Kerja Rumah Tangga 47. Di wilayah dengan agroekosistem lahan sawah, khususnya petani berlahan relative luas, jenis kegiatan yang dilakukan lebih terkonsentrasi pada kategori kegiatan di luar pertanian. Kegiatan di luar pertanian terutama usaha di luar pertanian banyak dilakukan oleh anggota RT yang menguasai lahan baik sempit maupun luas, tapi dengan tipe usaha yang berbeda. 48. Ada kesamaan antar tingkat pendidikan bagi rumah tangga yang bekerja hanya pada usahatani, walaupun proporsinya cenderung semakin menurun selama periode 1995, 1999 dan 2007. Buruh tani sekaligus berusahatani, banyak dilakukan oleh RT dengan tingkat pendidikan rendah maupun tinggi, bedanya pada jenis alat dan permodalan. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Migrasi 49. Migran yang bekerja sebagai buruh non-pertanian (diperdesaan) dipengaruhi oleh total luas pemilikan lahan dan tingkat pendidikan. Variabel umur, jenis kelamin, pangsa pendapatan pertanian terhadap total pendapatan dan persepsi petani lebih menyukai pekerjaan pertanian. Migrasi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh indeks fragmentasi lahan dan perbedaan agroekosistem. Sedangkan migran buruh xvi

non-pertanian (di perkotaan), dipengaruhi oleh total luas pemilikan lahan, tingkat pendidikan dan umur migran. 50. Rata-rata pendapatan migran buruh non-pertanian jauh lebih besar dibandingkan pendapatan migran yang berusaha di non-pertanian dan buruh di pertanian. Diduga ada korelasi antara tingkat pendidikan migran dengan peluang bermigrasi. 51. Faktor lahan berpengaruh negatif dan nyata bagi peluang bermigrasi. Implikasinya pangsa pendapatan rumah tangga dari pertanian relative kecil. Dengan demikian, peubah pangsa pendapatan pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga tidak berpengaruh nyata bagi migran yang berstatus buruh non-pertanian. Hal yang sama dengan peubah persepsi petani bahwa pekerjaan pertanian lebih disukai daripada pekerjaan lainnya. Begitu juga dengan hipotesis bahwa indeks fragmentasi lahan, semakin terfragmentasi lahan (indeks semakin besar) maka peluang migrasi semakin kecil. Perbedaan agroekosistem juga tidak berpengaruh nyata terhadap peluang bermigrasi baik bagi migran yang berlokasi di wilayah perdesaan maupun perkotaan. Secara umum faktor-faktor yang lebih berperan dalam menentukan peluang petani bermigrasi sebagai buruh non-pertanian adalah ciri-ciri individu (umur, pendidikan). 52. Peluang petani bermigrasi yang bekerja sebagai pengusaha non-pertanian di wilayah perdesaan maupun perkotaan lebih dipengaruhi secara nyata oleh faktorfaktor yang melekat pada rumah tangga, yaitu pangsa pendapatan pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga, persepsi petani serta indeks fragmentasi lahan. 53. Peubah persepsi petani untuk lebih menyukai pekerjaan pertanian dibanding pekerjaan lainnya mempunyai pengaruh positif dan nyata bagi migran yang berlokasi di wilayah perkotaan. Meskipun petani bermigrasi ke kota, namun pendapatan dari migrasi justru dialokasikan untuk biaya usahatani dan investasi menambah luas lahan usahatani. Sedangkan pengelolaan lahan justru diupahkan atau digarap orang lain. Fenomena ini terkait dengan persepsi petani bahwa lahan tetap merupakan aset kebanggaan keluarga. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 54. Rata-rata pemilikan lahan pertanian rumah tangga di lahan sawah dan lahan kering tanaman pangan dan hortikultur kurang dari 0.25 hektar. Namun secara agregat rata-rata luas lahan masih sekitar 0.5 hektar di Jawa dan satu hektar di luar Jawa. Perkembangan luas lahan selama periode 1995-2007 cenderung semakin mengecil terutama di Jawa. Menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti oleh meningkatnya ketimpangan distribusi pemilikan lahan khususnya untuk agroekosistem persawahan di Jawa sebaliknya untuk agroekosistem lahan kering, justru cenderung makin merata. Namun demikian, meningkatnya ketimpangan pemilikan lahan tidak diikuti dengan meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan. 55. Kontribusi pendapatan nonpertanian terhadap total pendapatan rumah tangga relatif dominan bukan hanya bagi petani kecil dan tunakisma tapi juga petani luas. Tidak ada korelasi yang nyata antara meningkatnya luas pemilikan lahan dengan kontribusi pendapatan pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga. Tingkat xvii

pendapatan rumah tangga petani di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan secara umum lebih tinggi dibanding agroekosistem lain, khususnya untuk klas luas pemilikan lahan di atas1.5 hektar. 56. Bekerja campuran (pertanian dan nonpertanian) dan spesialisasi di sektor nonpertanian menjadi pilihan bagi pekerja muda dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan pemilikan lahan yang sempit. Partisipasi kerja rumah tangga cenderung berubah dari kegiatan usahatani ke kegiatan nonpertanian dan terdapat fenomena aging dan degradasi kualitas tenaga kerja di perdesaan. Kegiatan pertanian dilakukan baik oleh petani sempit sempit maupun luas Migrasi merupakan pilihan bagi tenaga kerja dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga. Migran dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang baik dan bekerja di sektor nonpertanian umumnya memperoleh pendapatan yang relatif tinggi. Peluang petani bermigrasi untuk buruh migran terutama dipengaruhi oleh faktor yang melekat pada individu sedangkan bagi pengusaha migran lebih banyak dipengaruhi oleh faktor penciri rumah tangga. Implikasi Kebijakan 57. Kecenderungan makin menyempitnya rata-rata luas garapan petani perlu diatasi dengan mensinkronkan dengan program reforma agrarian dengan sasaran perbaikan distribusi lahan. Selain itu kecenderungan fragmentasi lahan dapat disiasati dengan menentukan batas penguasaan minimal oleh rumah tangga yang didahului dengan penciptaan peluang usaha yang lebih beragam di desa sebagai alternatif usaha di luar pertanian. Alih fungsi lahan pertanian perlu segera mendapat penanganan secara lebih serius dalam perspektif untuk mendukung ketahanan dan swasembada pangan. 58. Untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perdesaan dan mengatasi fenomena aging farmer, diperlukan prioritas pengembangan sumber daya manusia perdesaan agar tenaga kerja pertanian memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan, dan teknologi, serta kapasitas manajemen yang lebih tinggi, disamping secara paralel dilakukan pula pengembangan infrastruktur pertanian dan perdesaan. xviii