TINJAUAN PUSTAKA II.

dokumen-dokumen yang mirip
PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR WATER TREATMENT PLANT PT. KRAKATAU TIRTA INDUSTRI SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS SKRIPSI ANDRI BUDI WICAKSONO F

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

PEMBUATAN KOMPOS SECARA AEROB DENGAN BULKING AGENT SEKAM PADI

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

X. BIOREMEDIASI TANAH. Kompetensi: Menjelaskan rekayasa bioproses yang digunakan untuk bioremediasi tanah

BAB I PENDAHULUAN. terpakai dan mengandung bahan yang dapat menimbulkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada saat sekarang ini lahan pertanian semakin berkurang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

Pupuk Organik dari Limbah Organik Sampah Rumah Tangga

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBEKALAN KKN -PENGOLAHAN LIMBAH PIAT UGM- Bidang Energi dan Pengelolaan Limbah Pusat Inovasi Agroteknologi UGM 2017

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Sampah masih merupakan masalah bagi masyarakat karena perbandingan antara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2012 luas perkebunan kakao di

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

TINJAUAN PUSTAKA. diambil bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak

Pengemasan dan Pemasaran Pupuk Organik Cair

BAB 6. BAHAN ORGANIK DAN ORGANISME TANAH

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Kualitas Air. Segmen Inlet Segmen Segmen Segmen

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

Bakteri Untuk Biogas ( Bag.2 ) Proses Biogas

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pengolahan tinja rumah tangga setempat (on site system) yang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Salak Pondoh. Menurut data dari Badan Pusat Stastistik tahun (2004) populasi tanaman

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan komoditas hortikultura

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, populasi ternak

I. PENDAHULUAN. Teknologi revolusi hijau di Indonesia digulirkan sejak tahun 1960 dan

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan

SEWAGE DISPOSAL. AIR BUANGAN:

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Kelembaban dan Suhu. Kelembaban dan suhu sangat mempengaruhi kadar bahan organik

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

Bab II Tinjauan Pustaka

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA Bahan Organik Tanah

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI GULA

P e r u n j u k T e k n i s PENDAHULUAN

Karakteristik Limbah Padat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

PERANGKAT UJI PUPUK ORGANIK (PUPO) (ORGANICFERTILIZER TEST KIT )

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Manajemen Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

Niken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro

PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Karakteristik Limbah Ternak

MODUL 3 DASAR-DASAR BPAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Bahkan limbah kerap memiliki nilai ekonomi yang negatif, hal ini dikarenakan penanganan untuk membuangnya memerlukan biaya yang relatif cukup besar. Berdasarkan sumbernya, limbah terbagi menjadi tiga, yaitu : limbah alami, limbah domestik dan limbah industri (Murtadho dan Said, 1988). Water Treatment Plant (WTP) atau biasa disebut juga sebagai Instalasi Pengolahan Air (IPA), merupakan salah satu teknik manajemen pengolahan air dan suplai air bersih untuk kegiatan domestik maupun kegiatan industri. Proses pengolahan air bersih pada WTP digolongkan atas proses fisik dan proses kimiawi. Proses fisik antara lain: sedimentasi, flokulasi, filtrasi, dan aerasi. Proses kimiawi antara lain: koagulasi, desinfeksi, presipitasi, dan pertukaran ion. Dalam Linsley et al (1991) disebutkan proses-proses pengolahan air bersih. Pada proses intake, terdapat proses penyaringan kotoran/sampah yang terbawa oleh air (screening). Pada proses pra sedimentasi, terdapat proses pengendapan awal yang bertujuan untuk menyisihkan padatan seperti lanau, pasir yang akhirnya menghasilkan endapan berupa lumpur pada dasar bak sedimentasi. Pada proses koagulasi, dilakukan penambahan bahan kimia (koagulan) yang bertujuan untuk menggumpalkan partikel-partikel yang terkandung dalam air. Setelah koagulasi terjadi proses flokulasi dimana pada proses ini gradien kecepatan aliran air dipercepat untuk meningkatkan pengumpulan partikel-partikel. Setelah flokulasi, terjadi proses sedimentasi lagi. Pada proses sedimentasi inilah terdapat endapan limbah berupa lumpur yang mengandung bahan organik. Proses pengolahan air bersih pada WTP bisa dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Proses pengolahan air bersih menurut Kurniawan (2011) 6

Berdasarkan gambar 1, sludge atau lumpur merupakan limbah padatan hasil dari pengolahan air yang terendap di kolam pra sedimentasi dan di kolam sedimentasi setelah melewati proses koagulasi dan flokulasi terlebih dahulu. Endapan ini kemudian disalurkan menuju kolam lumpur untuk selanjutnya dibuang dan diolah dengan menggunakan beberapa metode seperti land filling, pembakaran, maupun pengomposan. Limbah lumpur sedimentasi dari WTP merupakan limbah padatan hasil pengolahan air bersih yang mengandung logam-logam sisa koagulan seperti silika dan alumina (tawas). Komposisi dasar sludge salah satunya adalah mikroorganisme. Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa komposisi dasar sel yaitu 90% material organik dan 10% material anorganik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sludge memiliki kandungan material organik yang tinggi yang bisa dijadikan sebagai bahan baku dalam pembuatan kompos. 2.2 Pengomposan Hirarki penanganan limbah padat terdiri dari mengurangi jumlah limbah dan tingkat toksisitasnya, menggunakan bahan kembali, mendaur ulang bahan, pembakaran dengan pemanfaatan energi, pembakaran tanpa pemanfaaatan energi, penimbunan limbah padat, dan mengomposkan limbah padatan tersebut (USEPA dalam Pichtel, 2005). Pengomposan adalah salah satu metode dalam penanganan limbah padatan dimana komponen organik dari limbah padat tersebut terdekomposisi secara biologis oleh mikroorganisme dalam kondisi aerob sehingga sampai pada suatu tahap dimana limbah padat tersebut terkonversi menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya bagi lingkungan berupa pupuk organik yang dapat diaplikasikan sebagai penyuburan lahan. Menurut Metcalf dan Eddy (1991) pengomposan merupakan biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Menurut Murbandono (1983), dalam proses pengomposan terjadi perubahanperubahan antara lain: 1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, dan lemak menjadi CO 2 dan air. 2. Protein, melalui asam-asam amino menjadi amoniak, CO 2 dan air. 3. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N, P, dan K yang terlepas kembali apabila mikroorganisme itu mati. 4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman. Berdasarkan penggunaan oksigen, dalam proses pengomposan terdapat 2 proses, yaitu : proses aerob dan anaerob (Gaur, 1983). Pengomposan dengan sistem aerob maksudnya terdapat oksigen yang terlibat dalam proses dekomposisi oleh bakteri di dalam tumpukan kompos. Reaksi proses aerob adalah sebagai berikut: Bahan organik + O 2 + bakteri CO 2 + NH 3 + Humus + Energi + Air Sedangkan pengomposan dengan sistem anaerob maksudnya tidak terdapat oksigen yang terlibat dalam proses dekomposisi yang menyebabkan bau karena terbentuknya H 2 S dan CH 4. Reaksi proses anaerob adalah sebagai berikut: Bahan organik + bakteri CO 2 + NH 3 + Humus + Energi + Air + H 2 S + CH 4 7

Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari mikroorganisme yang mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan organik ini akan dikonversi menjadi produk seperti CO 2, H 2 O, sebagian humus dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan menjadi panas. Akibatnya tumpukan bahan kompos tersebut menurut (Daizell et al., 1987) melewati tiga tahapan yang berkaitan dengan suhu yang diamati, yaitu tahap penghangatan (mesophilic), suhu puncak (thermophilic), dan pendinginan (cooling). Pada tahap awal, suhu akan naik menjadi 40 C dengan adanya bakteri mesophilic. Selanjutnya suhu akan semakin meningkat hingga tahap suhu puncak yang berkisar antara 40 70 C dimana bakteri pada tahap sebelumnya akan digantikan dengan bakteri thermophilic. Tahap selanjutnya adalah tahap pendinginan ditandai dengan turunnya aktivitas mikroorganisme. Selama tahap pendinginan terjadi stabilisasi ph dan pembentukan humus. Mekanisme proses pengomposan secara umum juga dapat dilihat pada Gambar 2.. Gambar 2. Mekanisme proses pengomposan (Dimodifikasi dari Daizell et al, 1987) Hasil akhir pengomposan yang baik akan menghasilkan produk pupuk yang tidak berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya. Proses pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama. Menurut Murbandono (1983), proses pembuatan kompos minimal memerlukan waktu hingga 2-3 bulan. Kompos memiliki kandungan unsur hara makro N (Nitrogen), K (Kalium) dan P (Fosfor) yang relatif rendah dan unsur hara mikro lainnya yang lebih kaya seperti Fe (Besi), S (Sulfur), Ca (Kapur), Mg (Magnesium), dan lain-lain. Kandungan unsur-unsur hara ini tidak tetap karena dipengaruhi oleh cara pengomposan, jenis bahan yang dikomposkan dan komposisi bahan pengomposannya SNI 19-7030-2004 menunjukan standar mutu kompos dan kandungankandungan kompos yang menjadi acuan dalam kontrol mutu kompos. Tabel SNI 19-7030- 2004 dapat dilihat pada lampiran 1. 8

2.3 Faktor-faktor penting dalam proses pengomposan Setiap mikroorganisme dekomposer membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka proses dekomposisi akan bekerja dengan baik. Apabila kondisinya kurang sesuai, maka dekomposer akan berpindah ke tempat lain (selain tumpukan kompos) atau bahkan mati. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan dan ukuran partikel, aerasi dan kelembaban, suhu, dan nilai ph. Rasio C/N Rasio C/N merupakan salah satu faktor penting karena dalam proses pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan dengan nitrogen yang merupakan unsur penting dalam pembentukan selnya. Menurut Haga (1990), rasio C/N yang cocok untuk proses pengomposan adalah 20-30, Rasio C/N yang rendah akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak karena tingginya kandungan unsur N, sedangkan rasio C/N yang terlalu tinggi dari kondisi ideal tersebut akan menyebabkan proses pengomposan menjadi lebih lambat (Haga, 1990). Hal ini disebabkan karena bahan yang mengandung nitrogen terlalu sedikit tidak mampu menghasilkan panas yang cukup untuk membusukkan bahan baku kompos dengan cepat (Haug, 1989). Ukuran partikel Ukuran partikel bahan berpengaruh pada kegiatan mikroorganisme dan pergerakan udara (aerasi) pada suatu proses pengomposan. Semakin halus partikel bahan tersebut, maka semakin luas permukaan yang terbuka untuk kegiatan mikroorganisme dalam proses dekomposisi aerob. Semakin kecil ukuran partikel, maka jumlah pori-pori pun akan bertambah sehingga aerasinya lancar. Aerasi dan kelembaban Proses pengomposan secara aerobik membutuhkan oksigen yang cukup untuk kegiatan mikroorganismenya. Secara alami, aerasi terjadi akibat meningkatnya suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara dingin masuk ke dalam tumpukan bahan. Aerasi dapat dibantu dengan penentuan bahan yang memiliki ukuran-ukuran partikel kecil, mengaduk dan membalikkan tumpukan kompos, atau memberi celah pada bahan maupun wadah kompos agar aerasi dapat dipaksa masuk (Haga, 1990). Kelembaban atau kadar air juga perlu diperhatikan dalam proses pengomposan. Persentase kadar air yang ideal dapat dilihat pada Tabel 1. Suhu Suhu merupakan faktor penting untuk menentukan kematangan suatu kompos. Biasanya suhu merupakan parameter utama yang diukur dan dianalisa tiap harinya selama proses pengomposan. Suhu juga mempengaruhi konsumsi oksigen oleh mikroorganisme. Semakin tinggi maka konsumsi oksigen meningkat dan proses dekomposisi juga semakin cepat. Apabila suhu tumpukan bahan kompos 9

semakin turun dan mendekati angka yang stabil, maka proses pengomposan dapat dianggap selesai atau matang. Nilai ph Nilai ph yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6-9. Menurut Hadiwiyoto (1983), pengontrolan ph dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk nitrogen untuk menurunkan ph dan pemberian kapur untuk menaikkan ph. Tabel 1. Faktor penting dalam proses pengomposan secara aerobik Faktor Jenis sludge Amendments dan bulking agents Rasio C/N Volatile solids Kandungan udara Kadar air ph Suhu Mixing dan turning Logam berat dan trace organics Kondisi lokasi Keterangan Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi dalam menghasilkan bau, terutama pada aplikasi windrow. Untreated sludge lebih mempunyai ketersediaan energi dan kebutuhan oksigen yang tinggi. Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas produk akhir. Bahan-bahan tersebut: serpih kayu, serbuk gergaji, jerami, sekam, dan lain-lain Rasio awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Dari campuran kompos harus >50%. Setidaknya masih ada 50% oksigen yang berada dalam kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5-15 % di semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum. Dari campuran kompos antara 40-60 %. Berkurangnya kadar air akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan Harus antara 6-9. Kondisi ph yang relatif tinggi akan meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak. Suhu optimum untuk stabilisasi 45-55 o C. Pada kondisi terbaik suhu akan mencapai 50-55 o C, pada kondisi awal akan meningkat ke 55-65 o C selama periode pengomposan berlangsung. Suhu yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas kerja mikroorganisme pengurai. Untuk mencegah kekeringan, pengerasan dan penggumpalan dan aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan harus diaduk secara terjadwal sesuai kebutuhan dan tergantung sistem pengomposan. Kandungan dalam sludge dan kompos harus dipantau secara teratur untuk menjamin kualitas produk akhir. Beberapa faktor harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi, termasuk ketersediaan lahan, akses, penggunaan lahan sekitar, jarak terhadap sumber sludge dan bulking agent, ketersediaan zona penyangga, tenaga kerja, kondisi iklim. Sumber: Metcalf dan Eddy (1991) 10

2.4 Pengomposan dengan metode Natural Static Pile Static pile composting adalah suatu metode pengomposan yang mendegradasi bahan organik tanpa manipulasi secara fisik selama proses pengomposan. Dalam hal ini, pengomposan dengan metode ini berbeda dengan metode pengomposan yang harus dilakukan pembalikan tumpukan kompos yang merupakan manipulasi fisik untuk tumpukan kompos tersebut. Static pile composting berdasarkan proses aerasinya dibagi mejadi dua yaitu Natural Static Pile dan Aerated Static Pile (United States Environment Protection Agency, 2012). Perbedaan dari kedua jenis Static Pile Composting ini adalah pada proses aerasinya, Aerated Static Pile Composting dilakukan proses aerasi buatan dengan pengontrolan suplai udara ke dalam tumpukan kompos dengan menggunakan alat tertentu, sedangkan pada Natural Static Pile composting, aerasi berlangsung secara alami. Dalam Kurniasih (2012) disebutkan bahwa pengomposan dengan metode Natural Static Pile berlangsung dalam beberapa tahap kerja, yaitu pengomposan dengan lumpur dan jerami, analisis kualitas bahan baku dan kualitas kompos, serta analisis potensi kompos yang dihasilkan sebagai pupuk organik. Proses pengomposan dengan metode mendegradasi bahan organik secara alami dan struktur aerasi dibawah udara terbuka. Gambar 3 menunjukkan proses Natural Static Pile Composting menurut Kurniasih (2012). Gambar 3. Prosedur Pengomposan (Kurniasih, 2012) Pengomposan dimulai dengan dengan melakukan pengeringan lumpur sampai kadar air tertentu (± 35%). Sebelum dilakukan penumpukan dan pencampuran dengan bahan lainnya, dilakukan analisis laboratorium dengan parameter yang telah ditentukan. Jerami disiapkan tanpa dicacah. Lumpur yang sudah kering kemudian dicampur dengan bahan lainnya yaitu jerami dan kotoran kambing/pupuk kandang dan ditumpuk ke dalam wadah kompos dengan rasio 1:1:1. Pengukuran suhu tumpukan kompos dilakukan setiap hari pada enam titik berbeda dan diambil rata-rata suhu-nya. Setelah proses pengomposan berlangsung dua bulan, dilakukan analisis mutu kompos di laboratorium. 11