PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

dokumen-dokumen yang mirip
Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

PROBLEMATIKA KEDUDUKAN TAP MPR DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sebelum Amandemen Undang-Undang Dasar 1954, MPR merupakan

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan


Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

Abstract. Monika Suhayati *

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

REEKSISTENSI KETETAPAN MPR DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati*

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM TATA HUKUM INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hirarki Perundang-Undangan di Indonesia

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Supremasi Hukum Volume 12 Nomor 1, Januari 2016

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

EVALUASI HUKUM TERHADAP EKSISTENSI KETETAPAN MPR SECARA NORMATIF KONSTITUSIONAL DALAM RANGKA MENGAWAL TEGAKNYA KONSTITUSI NEGARA ABSTRACT

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. kesimpulan dari permasalah yang penulis teliti, yaitu:

BAB III KONSEKUENSI HUKUM MASUKNYA TAP MPR RI KE DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG P3

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR BERDASARKAN UU NO. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013

ARTIKEL ILMIAH HARMONISASI PENGATURAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MEMAHAMI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. OLEH : SRI HARININGSIH, SH.,MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

Pengujian Peraturan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB III TEORI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN JUDICIAL REVIEW. A. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya Di Masa Mendatang 1 Ali Rido 2

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Reposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Implikasinya terhadap Kedudukan TAP MPR/S Pasca Amandemen UUD 1945.

BAB I PENDAHULUAN. dasarnya konstitusi menurut K.C. Wheare, adalah resultante atau kesepakan. sosial,ekononi, dan budaya ketika dibuat.

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.1 Tahun 2015

PEMBANGUNAN YES GBHN No!

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM. Yuli Indrawati

Tata Urutan Peraturan Perundangan Indonesia / Hukum Undang-Undang Indonesia

DAFTAR PUSTAKA. Amini, Aisyah, Pasang Surut Peran DPR-MPR , Yayasan Pancur Siwah, Jakarta: 2004, Hlm. 36

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Peraturan Perundang-undangan:

EKSISTENSI KETETAPAN MPR/S DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

Transkripsi:

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Malik Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya disebut TAP MPR) merupakan khazanah ketatanegaraan yang sangat kaya dan penting. Meski ada kontroversi menyangkut eksistensinya sampai-sampai ada yang menyebut TAP MPR sebagai barang haram. Sistimatika peraturan perundang-undangan yang diatur UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ternyata masih menyisakan persoalan. Salah satu issu yang muncul adalah keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Karena Berdasarkankan UU No 12 Tahun 2011, TAP MPR mempunyai kedudukan setingkat di bawah UUD 1945. persoalan baru muncul berkenaan dengan lembaga negaramana yang berwenang menguji undang-undang terhadap TAPMPR. Kata Kunci: Pengujian Ketetapan MPR, Peraturan Perundang-undangan PENDAHULUAN Hukum dalam arti yang paling sempit merupakan aturan tertulis yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, hal ini sering juga disebut dengan peraturan perundang-undangan. 1 Sebuah aturan merupakan dasar bagi setiap komponen yang terikat dengan aturan itu dalam bertindak, apa lagi pada sebuah negara yang berdasarkan atas hukum, maka posisi hukum yang dibuat oleh pemerintah menjadi suatu karya tertulis yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh segenap komponen dalam negara tersebut. Apapun bentuk aturan itu haruslah dipatuhi, begitupun dengan lapangan aturan tersebut, akan mengikat setiap orang yang berkecimpung dalam bidang yang diatur oleh aturan tersebut. Agar supaya terciptanya suatu negara hukum maka negara membuat suatu aturan baku tentang UU tata cara dan mekaisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia telah ada 1 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Perundang-undangan dan urisprudensi, cet. IV (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 5. beberapa regulasi mengenai pengaturan pembentukan peraturan perundangundangan, yaitu TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum, TAP MPR No. III/MPR/2000 dan disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Merasa aturan terdahulu belum lengkap, maka pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah menetapkan UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni masuknya kembali TAP MPR dalam hierarki dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, Peraturan pemerintah, Perpres, Paerda Propinsi dan Perda Kabupaten. 2 Dalam penjelasan UU ini disebutkan bahwa TAP MPR yang dimaksud adalah TAP MPRS 2 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentuka Peraturan Perundang-undangan.

dan TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, yaitu TAP MPRS dan MPR sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Contoh TAP MPR yang masih berlaku antara lain adalah TAP MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia dan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Sistimatika peraturan perundangundangan yang diatur UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ternyata masih menyisakan persoalan. Padahal, undangundang ini dikeluarkan untuk memperbaiki regulasi sebelumnya. Problematika tersebut muncul terkait dengan Kedudukan Ketetapan MPR dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan serta mekanisme pengujian UU terhadap Ketetapan MPR. Tulisan ini mencoba menawarkan gagasan serta konsep terkait dengan mekanisme pengujian Undang-undang terhadap Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). KEDUDUKAN TAP MPR DALAM TEORI PERUNDANG-UNDANGAN Teori Stufenbau des Rechts (ada juga yang menyebutnya Stufenbautheorie atau teori hierarki norma hukum ) ini merupakan karya besar Kelsen, yang hingga sekarang tetap relevan dalam kerangka untuk melihat hierarki penormaan yang berlaku dalam suatu negara. Menurut Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang-jenjang dan berlapislapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Grundnorm (Norma Dasar). 3 3 Pendapat Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell & Russell, New York, Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl (1836-1896) 4 yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. 5 Lebih lanjut Merkl sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto menjelaskan, 6 dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya. Apabila Norma Dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaklah sistem norma yang berada di bawahnya. Teori Stufenbau des Rechts Kelsen di atas, kemudian dikembangkan lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky dalam teorinya yang disebut die Lehre vom dem Stufenaufbau der Rechtsordnung atau die Stufenordnung der Rechtsnormen. Ada persamaan dan perbedaan pemikiran antara keduanya. Persamaannya, kedua teori ini sama-sama mengkaji masalah jenjang penormaan dalam suatu negara. Perbedaannya, kalau Kelsen membagi jenis norma itu hanya dua jenis ke dalam beberapa jenjang: Pertama, jenjang norma yang paling tinggi dan tidak ada yang melebihi tingginya lagi disebut Grundnorm; Kedua, yaitu jenjang norma-norma yang ada 1973, hlm.123. Kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasardasar dan Pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 25. 4 Bandingkan dengan Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hlm. 116. 5 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan,, hlm. 25-26. 6 Ibid., hlm. 26. 2

di bawahnya yang tersusun secara berlapis sampai jenjang norma yang paling rendah, kesemua jenjang norma pada jenis kedua ini disebut norm. Sedangkan, Nawiasky membagi jenjang dan jenis norma tersebut berada dalam tata susunan dari atas ke bawah sebagai berikut: 7 1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm). 2. Aturan dasar negara/aturan pokok negara (Staatsgrundgesetz). 3. Undang-undang (formal) (formell Gesetz). 4. Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (Verordnung & autonome Satzung). Perbedaan yang lain ialah, kata norm dalam Grundnorm yang dimaksudkan Kelsen adalah norma dalam arti yang masih umum (norma hukum, norma sopan santun, norma kesusilaan, norma sosial, dan norma agama). Sedangkan kata norm dalam Staatsfundamentalnorm yang dimaksudkan Nawiasky adalah norma yang bersifat khusus, yaitu norma hukum dalam pengertian hukum positif atau hierarki peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hierarki norma hukum negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) Hans Nawiasky, TAP MPR merupakan staatgrundgesetz atau aturan pokok negara yang setingkat dengan Batang Tubuh UUD/Konstitusi yang merupakan staatsverfassung atau aturan dasar negara. Akan tetapi, perlu diingat pula teori Pengikatan Diri (Selbtsbindungtheorie) dari George Jellinek. Secara teori MPR memiliki kualitas utama sebagai Konstituante (menetapkan UUD), setelah itu MPR mengikatkan diri pada UUD yang ia bentuk tersebut, dan selanjutnya berdasarkan UUD tersebut, MPR menciptakan TAP MPR. Oleh karenanya, TAP MPR ini diletakkan satu tingkat dari UUD/Konstitusi. Akan tetapi pilihan yang paling bijak, UUD 7 Lihat Hans Nawiasky, Elgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grunbegriffe, Verlagsanstalt Benziger & Co. AG., Einsiedeln/Zurich/Kuln, 1984, hlm. 31. yang kemudian dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden., hlm. 287. dan TAP MPR sebagai aturan dasar negara/aturan pokok negara tidaklah dimasukkan dalam hierarki karena dengan dimasukkannya aturan dasar negara/aturan pokok negara dalam suatu tata susunan/hierarki peraturan perundangundangan (wetgeving) tersebut membawa dampak mengartikecilkan aturan dasar negara/aturan pokok negara yang dimiliki oleh Indonesia. EKSISTENSI TAP MPR KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya disebut TAP MPR) merupakan khazanah ketatanegaraan yang sangat kaya dan penting. Meski ada kontroversi menyangkut eksistensinya sampai ada Guru Besar Hukum Tata Negara yang menyebutnya sebagai barang haram, TAP MPR selama lebih dari lima dasawarsa menjadi pedoman yang memandu perjalanan bangsa dan negara Republik Indonesia. Betapa tidak, TAP MPR yang berjumlah 139 Ketetapan itu, menjadi garis-garis besar daripada haluan negara yang sangat sakti. Saking saktinya maka penyimpangan dan pelanggaran terhadap TAP MPR dapat mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada pemakzulan (impeachment) Presiden. Tetapi setelah Perubahan UUD 1945, atau biasanya disebut pasca-amandemen, masa-masa kesaktian TAP MPR berlalulah sudah. Pasalnya, masa supremasi MPR juga sudah berlalu. Kini pasca-amandemen kita memasuki era supremasi konstitusi UUD 1945. Lembaga-lembaga Negara tidak lagi dibedakan secara posisional tinggi atau tertinggi, melainkan hanya bisa dibedakan secara fungsional. MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi Negara yang merupakan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat seperti dulu. MPR kini tidak lagi berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling) diluar UUD. MPR hanya bisa membuat Ketetapan yang bersifat beshickking. Dalam perspektif ini ada sementara orang, bahkan pakar, mengatakan bahwa era dualisme hukum dasar, yaitu UUD dan TAP MPR, telah berakhir. Pasalnya, hukum dasar telah 3

menjadi singular alias tunggal, yaitu UUD 1945. Setelah terbitnya TAP MPR No I/MPR/2003tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR RI Tahun 1960-2002, Ketetapan MPR berada di simpang jalan. Di satu pihak dinyatakan bahwa masih ada 3 (tiga) Ketetapan yang masih berlaku dengan ketentuan, yaitu TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI; TAP MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; dan TAP MPR RI No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur (lihat TAP MPR No I/MPR/2003 Pasal 2); dan 11 (sebelas) Ketetapan yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (lihat TAP MPR No I/MPR/2003 Pasal 4). Jadi keempat belas ketetapan itu masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy). Tetapi pada sisi yang lain UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7 UU ini dinyatakan bahwa Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Aat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas! Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR. TAP MPR yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui, bahkan juga oleh pemerintah dan DPR sendiri. Jangankan ketetapan tersebut dipergunakan sebagai rujukan oleh lembagalembaga negara, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Pemerintah dan DPR malah cenderung mengabaikan TAP MPR yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun dalam perumusan kebijakan negara. UU No 10 Tahun 2004 saya rasa telah mengandung kesalahan yang sangat fatal. Akibat kesalahan ini maka TAP MPR RI No I/MPR/2003 menjadi muspro. Pasalnya, tidak ada lagi konsekuensi hukum dan politiknya jika terjadi pelanggaran terhadap TAP MPR yang masih berlaku tersebut. Dulu pelanggaran terhadap TAP MPR bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada impeachment, tetapi pasca-amandemen UUD 1945 langkah politik semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam ketentuan itu tidak lagi ada faktor pelanggaran terhadap TAP MPR (S) yang masih berlaku. Akibatnya bisa diduga, TAP MPR menjadi macan ompong, atau sekedar menjadi dokumen kearifan semata! Tidak lebih dari itu! Tap MPR No I/MPR/2003 yang menentukan keberlakuan 14 TAP MPRS dan TAP MPR menjadi muspro, tanpa ada manfaat hukum dan politiknya sama sekali. Padahal di sana ada 11 (sebelas) TAP MPR yang sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pe,amfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi 4

dan konsekuensi apapun secara hukum manakala dilanggar. Kini UU No 10 tahun 2004 telah direvisi menjadi UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan perundangan Indonesia. Secara hierarkis tata urut yang baru menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut: (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan MPR; (3) Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU atau Perpu; (4) Peraturan Pemerintah (PP); (5) Peraturan Presiden; (6) Perda Provinsi; dan (7) Perda Kabupaten/Kota ini berarti Ketetapan MPR kembali didudukan dalam posisinya yang benar dalam sistem hukum di Indonesia. Implikasinya sungguh sangat besar dan signifikan: Tap MPR kembali menjadi sumber hukum formal dan material. Tap MPR harus kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di negeri ini, melainkan juga dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus memperhatikan tap-tap MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasalnya Indonesia menganut sistem hierarkis, yaitu bahwa peraturan perundangundangan yang berada lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan yang berada di atasnya. Demikian juga dengan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Perda- Perda mutlak harus mendasarkan secara formal dan material kepada Tap MPR. Demikian juga halnya Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai lembaga negara yang berfungsi menguji undang-undang terhadap UUD, maka MK juga harus memperbarui peraturan interen MK yang mengakomodasi Tap MPR. Sebab Tap MPR termasuk bagian integral dari hukum dasar yang posisinya di atas undang-undang. Maka secara hierarkis dan menurut prinsip berjenjang itu MK harus juga menguji undang-undang terhadap Tap MPR. Artinya, di negeri ini tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan Tap MPR. Ini sesuatu yang baru yang harus mendapatkan perhatian MK dalam melaksanakan fungsinya menguji nundang-undang. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP KETETAPAN MPR Secara teoritis hierarki perundangundangan Indonesia berdasarkan UU No. 12 tahun 2011 terdiri atas Staat fundamentalnorm Pancasila, verfassungnorm UUD 1945, Grundgesetznorm TAP MPRS dan MPR dan Gesetznorm Undang-undang. 8 UUD 1945 setelah amandemen hanya memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, secara otomatis konstitusi tidak lagi memberikan kewenangan menentukan GBHN kepada MPR dan dengan begitu maka MPR menjadi lembaga tinggi negara yang setingkat dengan Presiden, DPR, DPR, MA, MK dan KY dalam UUD 1945. Sebelum menganalisis lebih jauh mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR, akan lebih bagus kalau dilihat terlebih dahulu posisi TAP MPR bila dipandang dari lembaga yag membuatnya. Secara konstitusional MPR, yang meruapakan lembaga pembuat TAP MPR, bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang di atas lembaga lainnya, melainkan sudah setingkat dengan DPR yang juga lembaga legislatif. Berdasarkan asas bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula, maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di atas UU. Persoalan tidak berhenti sampai di situ, oleh karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan produk MPR yang pada waktu itu merupakan lembaga tertinggi negara, jelas secara otomatis aturan yang dikeluarkannya lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh 8 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, loc.cit. hlm. 44-45 5

DPR bersama Presiden yang merupakan lembaga di bawah DPR. Karena TAP MPR yang masih berlaku merupakan prodeuk dari lembaga yang pada masa penetapannya merupakan lebih tinggi dari lembaga yang menetapkan UU maka TAP MPR tersebut lebih tinggi dari UU dan juga mempunyai sifat regeling karena masih diberikan wewenang oleh konstitusi. Akan tetapi berbeda untuk TAP MPR yang ditetapkan oleh MPR yang dibentuk setelah amandemen UUD 1945, maka Ketetapannya setingkat dengan UU dan hanya berbentuk beshicking untuk administrasi internal MPR saja. 9 Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR/S dan secara otomatis pula maka UU harus sesuai dengan TAP MPR, jika tidak sesuai maka harus dilakukan pengujian, sayangnya mekanisme pengujian ini tidak diatur dalam UUD 1945, UU No. 12 tahun 2011 maupun UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. Sebenarnya ada celah dalam melakukan pengujian tersebut, yakni jika kita tarik dari lembaga yang membuatnya. Berdasarkan pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD. Berdasarkan pasal tersebut, maka TAP MPR/S kalau dilihat dari lembaga yang membuatnya adalah peraturan yang setingkat dengan UUD 1945, namun karena mengubah dan menetapkan UUD merupakan fungsi MPR yang utama (fungsi konstituante) maka secara hierarki UUD 1945 lebih tinggi dari TAP MPR/S. Dilihat dari lembaga yang membuatnya inilah, maka saya lebih sepakat kalau terjadi pertentangan UU terhadap TAP MPR/S maka yang mengujinya adalah Mahkamah Konstitusi. Pengujian UU terhadap TAP MPR/S oleh Mahkamah Konstitusi karena mahkamah konstitusi merupakan lembaga tempat pengujian UU terhadap UUD 1945, karena TAP MPR dan UUD 1945 bisa dianggap setingkat karena dibuat oleh lembaga yang sama maka pengujian UU terhadap TAP MPR/S juga melalui 9 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. Mahkamah Konstitusi. Selain itu, karena dibuat oleh lembaga yang sama, TAP MPR/S dan UUD 1945 adalah Aturan Dasar Negara, yang membedakan keduanya adalah prosedur perubahannya. UUD 1945 lebih rumit kalau ingin merubahnya, sedangkan TAP MPR tidak begitu sulit. Perdebatan pasti akan muncul jika pengujian UU terhadap TAP MPR/S dilakukan di Mahkamah Konstitusi, karena tidak adanya aturan yang tertulis mengenai hal ini. Secara normatif kepastian hukum memang benar, tapi kalau dilihat dari substansinya maka itu dapat dibenarkan, sebab dalam permasalahan ini terjadi kekosongan hukum, maka sebuah kebijaksanaan dapat diambil agar tercipta keadilan. Pendapat ini bisa beralasan dari pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang tidak lagi memakai kata rechtstaat, berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang dengan jelas mencantumkan kata ini, yang berarti prosedur hukum atau UU (rechstaat) dilaksanakan demi keadilan hukum (rule of law). Mahfud MD mengatakan, bahwa ketentuan tertulis yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan, 10 karena hanya merupakan cara untuk mencapai keadilan. Misalkan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap beberapa kalangan tidak sesuai dengan ekonomi kerakyatan, berarti UU tersebut bertentangan dengan TAP MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Andaikan ada yang keberatan dengan UU ini maka pengujian bisa dilakukan karena bertentanngan dengan TAP MPR tersebut, tapi mekanisme pengujiannya belum ada, berarti negara dalam hal ini menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan karena merasa tidak mendapatkan keadilan akibat berlakunya UU tersebut. 11 Bukankah undang-undang 10 Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010 11 Pasal 3 ayat (1) huruf d dan pasal 12 UUPM dianggap banyak kalangan tidak sesuai dengan semangat Ekonomi Kerakyatan yang dimaksud dalam pasal 33 UUD 1945, yakni lebih kepada bentuk pasar bebas dan lebih menguntungkan investor asing 6

berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persoalan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat. 12 Jika UU No. 25 Tahun 2007 tidak diterima oleh masyarakat, atau pihak yang merasa haknya dilanggar, maka akan kemana dilakukan pengujian, sedangkan Uud 1945, UU No. 12 Tahun 2012 maupn UU MK sendiri tidak mengaturnya. Secara kepastian hukum persoalan ini belum ada solusinya, tetapi demi menciptakan keadilan maka MK yang paling berwenang mengujinya terhadap TAP MPR No. XVI/MPR/1998. PENUTUP Secara normatif UU berada di bawah TAP MPR dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun secara teoritis masih diperdebatkan. Jika dilihat posisi MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yang mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara, maka TAP MPR posisinya memang lebih tinggi dari UU. akan tetapi bila dilihat posisi MPR setelah amandemen UUD 1945, posisi MPR setingkat dan sederajat dengan DPR dan Presiden, yang membuat UU, maka TAP MPR bisa dikatakan setingkat dengan UU. TAP MPR yang dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR yang ditetapkan pada saat MPR masih menjadi lembaga tertinggi negara, maka hierarkinya tentu lebih tinggi dari UU yang dibuat oleh DPR bersama Presiden yang hanya lembaga tinggi negara. TAP MPR/S sebelum amandemen UUD 1945 merupakan aturan hukum dasar di samping UUD 1945 yang memuat norma dasar dan bersifat regeling, posisinya jelas berada diatas UU yang lebih teknis. Setelah amandemen UUD 1945 posisi TAP MPR tidak lagi menjadi aturan hukum dasar, dan dibandingkan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah. Lihat: Salman, Analisi Atas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal : Berdasarkan Asas Lex Superior Derogat Legi Apriori, Paper Tugas Mata Kuliah Teori Perundangundangan, (tidak diterbitkan) Yogyakarta: MH UII, 2011. 12 Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundang-undangan, (Yogyakarta : FH UII Press, 2009), hlm. 47-50 UUD 1945 adalah aturan hukum dasa tunggal, serta bersifat beshicking bagi administrasi internal MPR saja. Berdasarkan lembaga yang membuatnya, TAP MPR secara teoritis setingkat dengan UUD 1945, karena dibuat oleh MPR, yang membedakannya adalah pertama, MPR mengubah dan menetapkan UUD 1945 karena fungsinya sebagai konstituante, sedangkan dalam menetapkan TAP MPR fungsinya hanya sebatas legislasi biasa. Kedua, prosedur amandeman UUD 1945 begitu rumit, sedangkan perubahan TAP MPR tidak begitu sulit, yakni sama seperti UU. oleh karena itulah TAP MPR secara hierarki berada di bawah UUD 1945. Karena sama-sama ditetapkan oleh MPR, maka dalam judicial review UU terhadap TAP MPR diberikan kewenangan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini selain karena alasan UUD 1945 dan TAP MPR sama-sama ditetapkan oleh MPR, tapi juga untuk mengisi kekosongan hukum mengenai pengujian UU terhadap TAP MPR. Dalam hal ini keadilan substantif lebih diutamakan dibandingkan dengan kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Prsiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Fakultas Pascasarjana UI, 1990. Hans Kelsen General Theory of Law and State, Terjemah oleh Anderes Wedberg, Russell & Russell, New York, 1973. Hans Nawiasky, Elgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grunbegriffe, Verlagsanstalt Benziger & Co. AG., Einsiedeln/Zurich/Kuln, 1984. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undangundang, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010. Mahfud MD, Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010. 7

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisiun Yogyakarta, 1998. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto, Perundang-undangan dan urisprudensi, cet. IV Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. Saifudin, Partisifasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Parundangundangan, Yogyakarta : FH UII Press, 2009. Peraturan Perundang-undangan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003; Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966; Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 8