BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Tentang Norma dan Asas Hukum Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya (Maria Farida, 2007: 18). Istilah norma berasal dari bahasa latin yaitu nomos yang berarti nilai, yang dalam bahasa arab disebut kaidah atau qo idah yang berarti nilai pengukur (Jimly Asshidiqqie, 2010: 1). Dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai pedoman (Maria Farida, 2007: 18). Jimly (2010: 1) berpendapat norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif dan negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu. Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo (2003: 15) berpendapat, kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi (Jimly Asshidiqqie, 2010: 1-2): (1) Kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, \\mubah; (2) Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah; (3) Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut makruh; (4) Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban; (5) Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut haram. Dalam sistem ajaran Islam, kelima kaidah tersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akan tetapi, jika diklarifikasikan, ketiga sistem norma, 13

2 14 yaitu sistem norma agama (dalam arti sempit), sistem norma hukum, dan sistem norma etika (kesusilaan) dapat dibedakan satu sama lain. Norma etika atau norma kesusilaan dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah, sunah, dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaidah mubah, kewajiban atau suruhan, dan larangan (Jimly Asshidiqqie, 2010: 2). Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi. Disamping itu, ada pula kaidah kesusilaan yang dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagian dalam kehidupan bersama yang biasanya disebut sebagai kaidah sopan santun atau adat istiadat (Jimly Asshidiqqie, 2010: 2-3). Jika ketiga macam kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan (pribadi) bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, dan kaidah kesusilaan antarpribadi atau kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antarpribadi. Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang berasal dari kesadaran pribadi dari dalam diri setiap pendukung kaidah itu sendiri. Berlainan dengan itu, daya laku kaidah hukum justru dipaksakan dari luar diri manusia (Jimly Asshidiqqie, 2010: 3). Fungsi kaidah hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia atau kelompok manusia. Sedangkan tujuan kaidah hukum adalah untuk ketertiban masyarakat. kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuannya tercapai. Dalam arti sempit kaidah hukum adalah nilai yang terdapat dalam peraturan konkrit. Kaidah hukum dalam arti sempit ini pada umumnya berubah mengikuti perkembangan peraturaan yang konkrit (Sudikno Mertokusumo, 2007: 11-12). Lebih lanjut Jimly (2010: 3) berpendapat kaidah atau norma hukum bertujuan kepada cita kedamaian hidup antarpribadi. Keadaan damai yang

3 15 menjadi tujuan akhir norma hukum terletak pada keseimbangan antara dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan antara ketertiban dan ketentraman, antara keamanan dan ketenangan. Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri (Tim Pengajar Ilmu Perundang- Undangan UI, 2000: 19). Tetapi berlakunya norma hukum bersifat menyeluruh bagi semua orang (Waluyadi, 2001: 71-72). Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat kekuasaan negara berdaya upaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma hukum dihormati dan ditaati (Kansil, 2002: 58). Kelsen dalam Muhtadi (2012: 295) menyebutkan meskipun norma tidak lahir secara alamiah, tetapi ia merupakan kemauan dan akal manusia yang melahirkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama dan lainnya, terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Kebiasaankebiasaan yang terjadi, mengenai sesuatu yang baik dan buruk, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum negara yang kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan atau pendapat masyarakat (Maria Farida, 2007: 19). Paul Scholten dalam Bruggink (1996: ) mendefinisikan asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundangundangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-

4 16 ketentuan dan keputusan-keputusan individu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Lebih lanjut Paul Scholten dalam Attamimi (1990: 302) mengemukakan, sebuah asas hukum bukanlah sebuah aturan hukum. Untuk dapat dikatakan sebagai aturan hukum sebuah asas hukum adalah terlalu umum. Penerapan asas hukum secara langsung melalui pengelompokkan sebagai aturan tidaklah mungkin, karena untuk itu terlebih dulu perlu dibentuk isi yang lebih konkret. Dengan kata lain, asas hukum bukanlah hukum, namun hukum tidak akan dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Asas dalam hukum mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentukan undang-undang serta mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak (Sudikno Mertokusumo, 2003: 36). Satjipto Rahardjo (1991: 45) menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena. Pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Kedua, asas hukum merupakan alasan bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan hukum. Melainkan akan tetap saja ada dan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum sebagai suatu sarana yang membuat hukum hidup, tumbuh dan berkembang, dengan adanya asas hukum, menyebabkan hukum tidak sekadar kumpulan peraturan, karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Nieuwenhuis dalam Sudikno Mertokusumo (2007: 6) menjelaskan bahwa asas hukum memiliki dua landasan. Pertama, asas hukum itu berakar dalam kenyataan masyarakat, dan kedua, pada nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh kehidupan bersama. Asas hukum bukan merupakan aturan yang bersifat konkret sebagaimana norma hukum, yang menjadi isi dari setiap undang-undang. Akan tetapi, asas hukum yang memberikan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkret dalam pembuatan undang-undang (Yuliandri, 2010: 22). Pada umumnya asas hukum itu berubah mengikuti

5 17 kaidah hukum, sedangkan kaidah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, jadi terpengaruh waktu dan tempat (Sudikno Mertokusumo, 2003: 35). Fungsi asas hukum menurut Kladerman dalam Sudikno Mertokusumo (2007: 6) bersifat mengesahkan dan mempunyai pengaruh yang normatif dan mengikat para pihak. Bersifat mengesahkan karena mendasarkan eksistensinya pada rumusan oleh pembentuk undang-undang dan hakim. Akan tetapi disamping itu fungsi asas hukum adalah melengkapi sistem hukum. b. Tinjauan Tentang Hierarki Norma Hukum Salah satu teori Hans Kelsen yang mendapat perhatian adalah hierarki norma dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (Stufentheorie) (Jimly Asshidiqqie, 2012: 154). Bagi Kelsen, norma hukum merupakan suatu susunan berjenjang yang mana setiap norma hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan hukum dari norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya (Janpatar Simamora, 2013: 222). Menurut Hans Kelsen, hierarki norma hukum terdiri atas: (1) Norma dasar, (2) Norma umum, dan norma konkret. Norma dasar terdapat dalam konstitusi, norma umum terdapat dalam undang-undang, sedangkan norma konkret terdapat dalam putusan pengadilan dan keputusan-keputusan pejabat administrasi negara (Jimly Asshidiqqie, 2010: 26). Kelsen menyatakan kesatuan norma disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Lebih lanjut ia menjelaskan pembuatan yang ditentukan oleh norma lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan (Jimly Asshidiqqie, 2012: 100). Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain dapat digambarkan sebagai hubungan antara superordinasi dan subordinasi yang merupakan kiasan keruangan, ini yang kemudian menyebabkan suatu hierarki norma terbentuk (Hans Kelsen, 1971: 179).

6 18 Teori hierarki norma hukum dari Hans Kelsen diilhami dari pendapat Adof Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum selalu mempunyai dua wajah, yang artinya suatu norma hukum itu ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya. Tetapi ke bawah ia juga menjadi sumber dan dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (Rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum tergantung pada norma hukum yang berada diatasnya (Maria Farida, 2007: 41-42). Keberlakuan suatu norma hukum akan berakhir atau norma hukum menjadi tidak berlaku apabila norma hukum yang menjadi sumber atau dasar keberlakuan norma hukum tersebut dihapus ataupun diganti dengan norma hukum baru (Muhtadi, 2012: 294). Lebih lanjut Kelsen berpendapat suatu norma yang validitasnya tidak dapat diturunkan dari suatu norma yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar (basic norm). Norma dasar ini membentuk, sebagai sumber bersama, suatu ikatan antara semua norma-norma yang berbeda yang menjadi isi dari aturan (Jimly Asshidiqqie, 2012: 86). Gambar 1. Hierarki norma menurut Hans Kelsen G Grundnorm Norm Norm Norm Norm Sumber: Maria Farida, 2007: 68 Teori Stufenbau menunjukkan kaedah hukum memiliki keterikatan yang sangat erat dengan seluruh peraturan tingkat bawahnya. Jenjang hierarkis

7 19 yang dijelaskan dalam teori Hans Kelsen menjadi pengikat dan mengharuskan seluruh norma hukum mulai dari tingkatan yang lebih tinggi sampai ketingkatan yang lebih rendah berada dalam satu susunan yang berjenjang hierarkis (Janpatar Simamora, 2013: 222). Teori ini juga memberikan amanat bahwa dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, yang mana puncak dari piramida teori ini berakhir pada norma dasar (Groundnorm). Norma dasar berperan sebagai sumber utama dalam pembentukan norma hukum serta peraturan-peraturan lain sampai ketingkat bawahnya. Jadi jenjang hierarkis dimaksud bukan hanya sebatas pada susunan belaka, namun juga terkait dengan seluruh subtansi yang hendak diatur dalam setiap jenjang peraturan harus mengacu pada ketentuan yang lebih tinggi. (Janpatar Simamora, 2013: 222). Gagasan Hans Kelsen melalui teori Stufenbau ternyata sedikit banyak sudah memberikan makna yang cukup dalam terkait dengan tertib hukum diberbagai negara. Sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa tatanan hukum itu merupakan sistem norma yang hierarkis atau bertingkat. Hans Kelsen lebih lanjut menjelaskan bahwa diatas konstitusi sebagai hukum dasar, terdapat dasar kaedah hipotesis yang lebih tinggi yang bukan merupakan kaedah positif yang dikenal dengan istilah Groundnorm dari hierarkis tata hukum, maka kaedah-kaedah hukum dari tingkatan yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari kaedah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Dari uraian ini, cukup jelas bagaimana urgensinya hierarki peraturan perundangundangan dalam suatu negara (Janpatar Simamora, 2013: 222). Gagasan Kelsen ini pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun (Khudzaifah Dimyati, 2010: 69). Teori hierarki norma kemudian disempurnakan oleh Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen menjadi empat kelompok besar, yaitu

8 20 (Sirajuddin, 2008: 30) : (1) Staat-fundamentalnorm (Norma Fundamental Negara). (2) Staat-grundgesetz (Aturan dasar/pokok negara). (3) Formell gesetz (Undang-undang formal). (4) Verordnung & autonome satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom). Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dimana kelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun adanya jumlah norma hukum yang berbeda dalam setiap kelompoknya (Maria Farida, 2007: 44-45). Gambar 2. Hierarki norma menurut Hans Nawiasky G Staatfundamentalnorm Staatgrundgesetz Formell gesetz Verordnung & autonome satzung Sumber: Maria Farida, 2007: 68 Alasan Nawiasky memberikan nama Staats-fundamentalnorm bagi norma tertinggi dalam kesatuan tata hukum dalam negara dengan alasan, grundnorm sebagaimana dikemukakan Kelsen, yang merupakan norma tertinggi pada setiap sistem norma dalam masyarakat yang teratur, termasuk didalamnya negara, pada dasarnya tidak berubah-ubah. Tetapi Nawiasky melihat, bahwa norma tertinggi dalam negara mempunyai kemungkinan berubah (Attamimi, 1991: 74-75). Bagi Nawiasky, Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi konstitusi atau undang-undang dasar

9 21 (Staatsverfassung) dari suatu negara. Lebih jelasnya posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Dengan tegas Nawiasky berpendapat Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara (Sirajuddin, 2008: 30). Lapisan tertinggi yang menjadi sumber dan dasar dalam sistem hierarki norma hukum baik pandangan Kelsen atau Nawiasky berakhir pada norma yang tidak dibentuk oleh norma hukum yang lebih tinggi lagi, tetapi bersumber pada cita hukum yang bersifat pre-supposed, yang telah ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat dalam suatu negara, untuk kemudian menjadikannya sebagai tempat bergantungnya setiap norma hukum yang akan dibentuk. Perbedaan keduanya terletak pada pola pemilahan dan pengelompokan norma hukum yang secara tegas dilakukan oleh Nawiasky, tetapi Kelsen sebaliknya, lebih mengkaji dalam karakter norma secara umum (general) yang berlaku pada semua jenjang (Muhtadi, 2012: ). c. Tinjauan Tentang Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, terbentuklah pula sistem norma hukum Indonesia. Dengan menggunakan teori dari Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, dalam sistem norma hukum Indonesia, maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompokkelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tingggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Indonesia yaitu Pancasila (Maria Farida, 2007: 57). Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu, posisi ini mengharuskan

10 22 pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila (Jimly Asshiddiqie, 2008: 15). Notonagoro menegaskan, norma hukum yang pokok dan disebut norma fundamental negara, dalam hukum mempunyai hakekat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk dengan kata lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah (Notonagoro, 1967: 25). Attamimi berpendapat, pernyataan Notonagoro mengenai kedudukan Pancasila sebagai norma fundamental negara adalah sesuai dengan pendapat Hans Nawiasky, namun menurut Attamimi, Notonagoro tidak pernah menyebutkan sumber kutipan dari Hans Nawiasky (Satya Arinanto, 1997: 47). Attamimi menunjukan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut struktur tata hukum Indonesia adalah: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945). (2) Staatsgrundgesetz: Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. (3) Formell gesetz: Undang-Undang. (4) Verordnung en Autonome satzung: secara hierarkis mulai dari peraturan pemerintah hingga keputusan bupati atau walikota. Tata urutan yang digunakan Attamimi berdasarkan ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jimly Asshidiqqie, 2012: 155). Pembahasan mengenai kedudukan Pancasila ini menurut Satya Arinanto (1997: 47-48), berkaitan dengan: (1) Hakekat Pancasila terhadap seluruh sistem pembentukan norma-norma hukum dalam kehidupan kenegaraan Negara Republik Indonesia. (2) Fungsi Pancasila dalam kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam lingkup Negara Republik Indonesia. (3) Permasalahan apakah Pancasila merupakan cita ataukah juga merupakan norma. Pancasila sebagai norma fundamental negara menurut pengertian ilmiah mengandung beberapa unsur mutlak, yaitu pertama dalam hal terjadinya, ditentukan oleh pembentuk negara dan terjelma dalam suatu bentuk pernyataan

11 23 lahir sebagai penjelmaan kehendak pembentukan negara untuk menjadikan halhal tertentu sebagai dasar-dasar negara yang dibentuk. Kedua dalam hal isinya, memuat dasar-dasar negara yang dibentuk, atas dasar cita-cita kerohanian apa (asas kerohanian negara), atas dasar cita-cita negara apa (asas politik negara), dan untuk cita-cita negara apa (tujuan negara) negaranya dibentuk dan diselenggarakan serta pula memuat ketentuan diadakannya undang-undang dasar negara (Notonagoro: 1967: 25). Gambar 3. Hierarki norma Indonesia menurut Attamimi G Pancasila, Pembukaan UUD Batang Tubuh UUD, TAP MPR, Konvensi Undang-Undang Dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Walikota atau Bupati Sumber: Maria Farida, 2007: 68 Menurut Rudolf Stammler ( ), cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi pengarahan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat, dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang berlaku dan dengan cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Lebih lanjut Gustav Radbruch ( ) berpendapat, cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif,

12 24 yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum (Attamimi, 1991: 68). Dengan pemahaman dari Rudolf dan Gustav, kemudian Attamimi (1991: 69-70) menarik sebuah kesimpulan karena Pancasila adalah cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar, dan disamping itu mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif yang berlaku di Indonesia meupakan hukum yang adil atau tidak. Dengan demikian Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm) yang menurut Nawiasky, bagi sesuatu negara sebaiknya disebut norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm), yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma yang dimaksud. Pancasila dalam arti sebagai cita hukum sekaligus merupakan sumber dari segala sumber hukum, sumber tertib hukum, atau sumber dari sistem hukum Indonesia. Adapun Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar negara (Staatsfundamnetalnorm). Pancasila sebagai cita hukum berada diluar sistem norma hukum, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem hukum Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 berada dalam sistem norma hukum dan dengan sendirinya juga merupakan bagian dari sistem hukum Indonesia (Darji Darmodiharjo, ) Dalam kaitannya dengan pembangunan hukum, Pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari sistem hukum Pancasila, sebuah sistem yang khas Indonesia dan berbeda dari sistem hukum yang lain (Moh Mahfud, 2010: 7). Kaelan (1996: 69) menuturkan segala pelaksanaan dan perwujudan tertib hukum Indonesia, termasuk hukum dasar Indonesia baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis harus bersumber pada pokok kaidah negara yang fundamental yang berintikan Pancasila. Senada dengan Kaelan, Mahfud (2010:

13 ) berpendapat sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila menciptakan konstitusi menentukan isi dan bentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun secara hierarkis. Lebih lanjut Dani Pinasang (2012: 8) berpendapat bahwa terkandung beberapa bobot materi dalam Pancasila, yaitu: Pertama, muatan Pancasila merupakan bobot filosofis masyarakat Indonesia yang dipostulasikan oleh founding father. Kedua, identitas tata hukum Indonesia. Ketiga, Pancasila tidak menentukan perintah atau larangan serta sanksi melainkan hanya menentukan asas-asas fundamental bagi pembentukan hukum. Mohammad Hatta (1980: 8) berpendapat bahwa Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu, lapis fundamen politik dan lapis fundamen moral. Dengan meletakkan dasar moral diatas, negara dan pemerintahannya memperoleh dasar yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan keluar dan kedalam. Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Roeslan Saleh, 1979: 41). Anis Ibrahim (2008) menuturkan, Pancasila sebagai norma fundamental negara sekaligus sebagai cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, ini yang menyebabkan dalam tatanan hukum Indonesia, Pancasila memiliki dua dimensi, yaitu: (1) Sebagai norma kritik, yakni menjadi batu uji bagi normanorma dibawahnya. (2) Sebagai bintang pemandu yang menjadi pedoman dalam pembentukan hukum dibawahnya. Hakikat, esensi atau subtansi dari Pancasila merupakan prinsip-prinsip yang sangat mendasar, yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Prinsip-prinsip tersebut juga dapat mencukupi nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyartan dan keadilan. Nilainilai dasar itu perlu dibantu untuk menjabarkan kedalam norma-norma yang

14 26 mengandung nilai-nilai dasar Pancasila, antara lain yang ikut berperan adalah norma kesusilaan, sopan santun, dan norma hukum. Norma hukum dapat dikatakan sebagai wujud norma yang paling konkret karena penerapannya dapat dipaksakan melalui kekuasaan publik. Kendati demikian keberadaan norma hukum tidak boleh mengesampingkan norma agama, kesusilaan dan sopan santun. Bahkan norma-norma itu wajib menjadi sumber bagi pembentukan norma hukum (Darji Darmodiharjo, 2010: 23-24) Maka oleh sebab itu setiap hukum yang lahir di Indonesia harus berdasarkan Pancasila dengan memuat konsistensi isi mulai dari yang paling atas sampai yang paling rendah hierarkinya (Moh Mafhud, 2010: 52). Hal ini menyebabkan di Indonesia tidak boleh ada hukum yang tidak mendasarkan diri pada prinsip kekuasaan Tuhan yang menguasai alam semesta, tidak boleh ada hukum yang menyimpang dari hak-hak asasi manusia, tidak boleh ada hukum yang merobek persatuan dan kesatuan bangsa dengan segala sentimen primodialnya, tidak boleh ada hukum yang elitis karena diproduksi oleh sistem politik yang tidak demokratis, serta tidak boleh ada hukum yang bertentangan dengan keadilan sosial (Moh Mahfud, 2010: 55-56). d. Tinjauan Tentang Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Jimly (2011: 264) berpendapat dalam arti khusus, pengertian peraturan perundang-undangan adalah keseluruhan susunan hierarki peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat besamasama dengan pemerintah ataupun melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam rangka melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing. Peraturan perundang-undangan adalah bagian utama dari hukum tertulis dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan perundang-undangan juga merupakan salah satu instrumen kebijakan yang

15 27 sangat penting untuk menyelesaikan dan/atau mengantisipasi masalah yang timbul atau diprediksi akan timbul di dalam kehidupan masyarakat (Pudja Pramana Kusuma Adi, 2011:89) Secara etimologi perundang-undangan, merupakan terjemahan Wetgeving, Gesetzbung, yang mengandung dua arti. Pertama, berarti proses pembentukan peraturan-peraturan negara yang sejenis, yang tertinggi sampai yang terendah yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi kekuasaan perundang-undangan. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan negara tersebut (Siti Masitah, 2013: 110). Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum (Bagir Manan, 1994: 24). Menurut Attamimi (1990: 314) peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur yaitu: (1) Norma hukum; (2) Berlaku keluar; (3) Bersifat umum dalam arti luas. Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas. Sedangkan Undang-undang (UU) dapat dipahami sebagai naskah hukum dalam arti yang luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu (Jimly Asshiddiqie, 2010: 21-22). Lebih lanjut Sirajuddin (2009: 42-43) berpendapat dalam arti formal, pengertian undang-undang menunjukkan pada suatu bentuk peraturan tertentu, yaitu bentuk peraturan yang dibentuk oleh badan pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menurut tata cara yang telah ditentukan, dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan pula serta diundangkan sebagaimana mestinya. Sedangkan dalam arti material pengertian UU meliputi semua bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang berwenang dan mempunyai kekuatan mengikat dalam kehidupan masyarakat. Sehingga

16 28 undang-undang dalam arti formal adalah bagian dari undang-undang dalam arti material, yaitu bagian dari peraturan perundang-undangan (Saifudin, 2009: 24). Bagir Manan (2003: 219) berpendapat bahwa undang-undang adalah aturan tingkah laku yang dibentuk oleh DPR dan disahkan oleh Presiden. Lebih lanjut Abdulkadir (1959: 20) menjelaskan fungsi umum dari undang-undang yaitu, untuk melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat, tiap undang-undang itu ada normanya, fungsi yang akan dijalankannya itu yang akan menjadi sebab untuk melahirkan undang-undang dan yang mendorong untuk mengundangkannya. Kemudian Ni matul (2005: 53) berpendapat, peraturan perundang-undangan berisi norma-norma yang bersifat abstrak dan umum dapat menjadi objek judicial review, selanjutnya peraturan umum tidak boleh melanggar prinsip hierarki norma sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan. Norma hukum yang mengatur susunan dan tertib peraturan perundangundangan Indonesia ditemukan dalam empat produk hukum, dua diatur dengan Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat (Sementara) (MPR/S) dan sisanya dengan undang-undang. Bermula dari ditetapkannya memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1996. Menurut TAP MPR No. V/MPR/1973, yang kemudian disebut ulang dengan TAP MPR No. IX/MPR/1978, bahwa TAP MPRS No. XX/MPRS/1996 masih perlu disempurnakan, hingga akhirnya digantikan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000 yang digagas dari gerakan reformasi. (Muhtadi, 2012: 297). Lalu berdasarkan TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Dimana TAP MPR No.III/MPR/2000 masuk kedalam kategori yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, dari logika ini lahirlah Undang-undang (UU) No. 10 Tahun Tetapi dikemudian hari UU No. 10 Tahun 2004 dianggap belum dapat mengikuti

17 29 perkembangan bahkan mendapat sejumlah kekurangan yang bersifat fundamental, karenanya pada 12 Agustus 2011 disahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. (Muhtadi, 2012: ). Dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, disebutkan materi muatan undang-undang harus mengandung beberapa asas sebagai berikut, (1) Asas pengayoman. (2) Asas kemanusian. (3) Asas kebangsaan. (4) Asas kekeluargaan. (5) Asas kenusantaraan. (6) Asas bhineka tunggal ika. (7) Asas keadilan. (8) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. (9) Asas ketertiban dan kepastian hukum. (10) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

18 30 2. Kerangka Pemikiran Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Norma Hukum Asas Hukum Hierarki Norma Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara Implementasi Pancasila sebagai Dasar dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Keterangan: Norma atau kaidah hukum merupakan pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan asas hukum merupakan pedoman dalam merumuskan norma hukum yang konkret dalam pembuatan undang-undang. Teori hierarki norma menyatakan bahwa suatu norma dengan norma yang lainya membentuk suatu susunan hierarki norma dimana norma yang satu bersifat lebih

19 31 tinggi dari norma dibawahnya karena ia yang menjadi alasan dibentuknya norma dibawahnya. Hans Kelsen menuturkan bahwa norma yang mendasari suatu norma lainnya dinamakan Groundnorm atau norma dasar. Hans Nawiasky menggunakan bahasa yang berbeda untuk menyebutkan norma dasar dari suatu negara yaitu Staatfundamentalnorm atau norma fundamental negara dikarenakan bagi Hans Nawiasky norma dasar tidak dapat diubah sedangkan norma dasar dalam suatu negara dapat diubah dengan cara revolusi yang menyebabkan suatu negara itu berubah. Pancasila diposisikan sebagai norma fundamental negara dikarenakan fungsinya dalam pembentukan sistem hukum Indonesia, Pancasila menjadi dasar dari segala peraturan yang ada di Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia, berisi tentang susunan hierarki peraturan perundang-undangan hingga asas-asas yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Asas materi muatan peraturan perundangundangan dibuat dengan maksud agar segala peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam laku hidup bangsa Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Norma Hukum dan Hierarki Norma Hukum dalam Masyarakat 1. Norma Hukum Dalam kehidupan masyarakat ada banyak macam-macam norma baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat

Lebih terperinci

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia

Pokok Bahasan. Sistem Norma Hukum Hierarki Peraturan dalam Sistem Norma Hukum di Indonesia Hierarki Peraturan R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Mata Kuliah: Hukum Perundang-Undangan Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 18 September 2007 Pokok Bahasan Sistem

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA

GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA GAYA PERUMUSAN KALIMAT PERINTAH PEMBENTUKAN PERATURAN YANG MENJALANKAN DELEGASI DARI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA Fitriani Ahlan Sjarif Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jalan Prof. Djoko Soetono, Depok

Lebih terperinci

RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL

RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL RANGKUMAN / KESIMPULAN PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL Melalui perjalanan panjang negara Indonesia sejak merdeka hingga saat ini, Pancasila ikut berproses pada kehidupan bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010.

Sinkronisasi horizontal..., Irfan Huzairin, FH UI, 2010. rendah) ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi untuk selanjutnya pembentukan norma hukum ini berakhir pada suatu norma dasar yang paling tinggi sehingga menjadi nomr dasar tertinggi dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK A. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundang-undangan sebagai produk hukum, bukan merupakan produk politik semestinya ditempatkan sebagai norma yang digali bersumber

Lebih terperinci

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014

R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 R. Herlambang P. Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2014 Memahami kedudukan TAP MPR pasca pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2011 Memahami implikasi pemberlakuan kembali

Lebih terperinci

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DISIPLIN ITU INDAH Makna Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Apa informasi yang kalian peroleh

Lebih terperinci

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag 3.2 Uraian Materi 3.2.1 Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara, staatsidee. Dalam hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB VI PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB VI PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA BAB VI PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. PENGANTAR Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas kerohanian dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1 UNDANG-UNDANG DASAR menurut sifat dan fungsinya adalah : Suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tuga pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN

ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN ILMU PERUNDANG- UNDANGAN DALAM HAN Depok, 16 Mei 2014 TIM PENGAJAR ILMU PERUNDANG-UNDANGAN Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH., MH Sony Maulana Sikumbang, SH., MH. Fitriani Achlan Sjarif, SH., MH. Muhammad

Lebih terperinci

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan SEPINTAS KAJIAN TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PENDELEGASIAN WEWENANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Totok Soeprijanto Widyaiswara Utama

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1

PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 PERKEMBANGAN PENGATURAN SUMBER HUKUM DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Oleh: RETNO SARASWATI 1 I.PENDAHULUAN Sejak Indonesia merdeka sampai tahun 2004, Indonesia sebagai Negara

Lebih terperinci

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Widiarso NIM: S BAB I PENDAHULUAN Validitas peraturan daerah berkaitan dengan adanya perubahan undangundang yang menjadi landasan pembentukannya dan implikasinya terhadap kebijakan penegakan hukum Oleh : Widiarso NIM: S. 310907026 BAB

Lebih terperinci

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma

Kata Kunci: Perundang-Undangan Dan Norma 1 KEDUDUKAN DAN RUANG LINGKUP PERGUB DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Indra Lorenly Nainggolan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya lorenly.nainggolan@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan

BAB I PENDAHULUAN. Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Norma hukum yang berlaku di Indonesia berada dalam sistem berlapis dan berjenjang sekaligus berkelompok-kelompok dimana suatu norma berlaku, bersumber pada norma yang

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak

PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Abstrak PROBLEMATIKA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG ATAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (TAP MPR) Malik Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri Malang Abstrak KETETAPAN MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM. perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004,

BAB II GAMBARAN UMUM. perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, BAB II GAMBARAN UMUM A. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia Melihat sejarah pembentukan Undang-Undang di Indonesia, khususnya sebelum perubahan UUD 1945, serta sebelum di tetapkannya Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV KEDUDUKAN DAN SIFAT PANCASILA

BAB IV KEDUDUKAN DAN SIFAT PANCASILA BAB IV KEDUDUKAN DAN SIFAT PANCASILA A. Kedudukan Pancasila 1. Sebagai Dasar Negara/Tertib Hukum Tertinggi (Grund Norm /Hukum Dasar), karena a. Memberikan faktor-faktor mutlak bagi terwujudnya tertib hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada hakekatnya adalah, suatu proses pembalikan paradigma politik, di mana proses demokratisasi yang selama Orde

Lebih terperinci

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D

EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1, Volume 3, Tahun 2015 EKSISTENSI PERATURAN DAERAH DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP OTONOMI DAERAH ARIFIN / D 101 10 362 ABSTRAK Tujuan penulis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengujian Peraturan Perundang- Undangan Hak konstitusional adalah

Lebih terperinci

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU

BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU 61 BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN KAWASAN TANPA ROKOK DALAM KOTA BENGKULU A. Materi Muatan Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa 16 BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undangan Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5234 ADMINISTRASI. Peraturan Perundang-undangan. Pembentukan. Teknik Penyusunan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH

DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH 1 DELEGASI REGULASI DAN SIMPLIFIKASI REGULASI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA DAERAH Abstract Oleh : Petrus Kadek Suherman, S.H., M.Hum Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Kantor Wilayah

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah selesainya Perubahan Keempat Undang-Undang dasar 1945 dan ditetapkannya Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan merupakan pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang-

BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA. A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- 92 BAB III KEDUDUKAN HUKUM DAN PENGAWASAN PERATURAN DESA DI INDONESIA A. Kedudukan Hukum Peraturan Desa Setelah Diberlakukannya Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pemerintahan desa yang menjadi

Lebih terperinci

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan...

Riki Yuniagara: Jenis dan Hirarki Peraturan... Buku Saku: Studi Perundang-Undangan, Edisi Ke-3 1 Buku Saku: Studi Perundang-undangan Edisi Ke-3 JENIS DAN HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DALAM LINTAS SEJARAH (TAP MPR dari Masa ke Masa)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1 Rumusan Pembukaan UUD 1945 merupakan hasil karya para founding fathers yang telah mengerahkan segenap pikiran dan tenaga untuk menyumbangkan karya terbaik bagi bakal

Lebih terperinci

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan

Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Kewenangan Pembentukan Peraturan Menteri Sebagai Jenis Peraturan Perandung-undangan Nindya Chairunnisa Zahra, Sony Maulana Sikumbang Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1

Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang disingkat TAP MPR 2, merupakan salah satu wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan

Lebih terperinci

MATERI UUD NRI TAHUN 1945

MATERI UUD NRI TAHUN 1945 B A B VIII MATERI UUD NRI TAHUN 1945 A. Pengertian dan Pembagian UUD 1945 Hukum dasar ialah peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya seluruh peraturan perundangan dalam suatu Negara. Hukum dasar merupakan

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Widayati, Absori, & Aidul Fitriciada Azhari Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta. Email: widayati.winanto@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM. Yuli Indrawati

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM. Yuli Indrawati 492 Hukum dan Pembangunan TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETET APAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NO. IVIMPR/1983 TENTANG REFERENDUM Yuli Indrawati Pasol37 Undong Undong Dasar 1945 memberikan kewenangan kepado

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan

SUMBER HUKUM A. Pendahuluan SUMBER HUKUM A. Pendahuluan Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum? Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law. Perkataan sumber hukum itu sebenarnya berbeda dari perkataan dasar hukum,

Lebih terperinci

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: 05 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Sebagai Dasar Negara Modul ini membahas mengenai Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Merupakan Ideologi Terbuka, Batasan keterbukaan Pancasila sebagai

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH HARMONISASI PENGATURAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

ARTIKEL ILMIAH HARMONISASI PENGATURAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA ARTIKEL ILMIAH HARMONISASI PENGATURAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh: SUTIKNO NIM. 0910113193 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM

HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM 1 HUBUNGAN ANTARA NORMA HUKUM DENGAN ASAS HUKUM Dedy Triyanto Ari Rahmad I Gusti Ngurah Wairocana Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Abstrak Hubungan antara norma hukum dengan

Lebih terperinci

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN PROGRAM LEGISLASI NASIONAL TAHUN 2010 2014 A. PENDAHULUAN Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak

KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA. Oleh : Irwandi,SH.MH. 1. Abstrak Kedududukan TAP MPR, Implikasi, Hirarki Peraturan Perundang-undangan. 90 KEDUDUKAN TAP MPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DI INDONESIA Oleh : Irwandi,SH.MH. 1 Abstrak Terjadinya

Lebih terperinci

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati*

KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Meirina Fajarwati* Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 70-89 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) KONSTITUSIONALITAS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000) Perubahan kedua terhadap pasal-pasal UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan tahap kedua ini ini dilakukan terhadap beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Soekarno (1964: 16) dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menyatakan sebuah negara membutuhkan sebuah dasar untuk berdiri, contohnya

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : H. ENDANG SUPRIATNA, S.H., M.Si. dan EVI NOVIAWATI, S.H.,

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

* Dasar negara merupakan suatu norma dasar bagi negara / menjadi sumber bagi perundangan suatu negara

* Dasar negara merupakan suatu norma dasar bagi negara / menjadi sumber bagi perundangan suatu negara Negara hrs mendasarkan/berpedoman pd dasar negara Karena dlm dasar negara terkandung nilai-nilai yang bersumber dari tata kehidupan masyarakat negara dan budayanya * Dasar negara merupakan suatu norma

Lebih terperinci

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 2, April-Juni 2014 ISSN 1978-5186 DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fakultas Hukum, Universitas Lampung Email: Martha.rianand@fh.unila.ac.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN, DAN MPR

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN, DAN MPR BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM, HIERARKI PERUNDANG-UNDANGAN, DAN MPR A. Negara Hukum Indonesia merupakan negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental atau sistem hukum civil law. Sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi Republik Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) berdampak pada perubahan perundang-undangan

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI BONDOWOSO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i

Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i Undang-Undang Dasar atau K o n s t i t u s i R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Hukum Perundang-Undangan (HPU) Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Rabu, 16 April 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sebagai hukum dasar yang digunakan untuk penmbentukan dan penyelenggaraan Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar, yang pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi

Lebih terperinci

Nama : Yogi Alfayed. Kelas : X ips 1. Tugas : Kaidah yang fundamental (PPKn) JAWABAN :

Nama : Yogi Alfayed. Kelas : X ips 1. Tugas : Kaidah yang fundamental (PPKn) JAWABAN : Nama : Yogi Alfayed Kelas : X ips 1 Tugas : Kaidah yang fundamental (PPKn) JAWABAN : 1. Pengertian pokok kaidah fundamental negara Nilai-nilai pancasila sebagai dasar filsafat negara bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Pancasila Material ; Filsafat hidup bangsa, Jiwa bangsa, Kepribadian bangsa, Sarana tujuan hidup bangsa, Pandangan

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan

Lebih terperinci

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA

PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA PENERAPAN HIERARKI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM KETATANEGARAN INDONESIA Bambang Antariksa Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien Email: bambangantariksa.sh.mh@gmail.com Abstract: Based

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota,

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, BAB III TINJAUAN TEORITIS 1.1. Peraturan Daerah Di Indonesia Dalam hal tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota, Marsdiasmo, menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar,

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA PANCASILA DALAM KONTEKS KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA 1 ALINEA KE IV PEMBUKAAN UUD 1945 MEMUAT : TUJUAN NEGARA, KETENTUAN UUD NEGARA, BENTUK NEGARA, DASAR FILSAFAT NEGARA. OLEH KARENA ITU MAKA SELURUH

Lebih terperinci

Pancasila Sebagai Dasar Negara (dalam hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945)

Pancasila Sebagai Dasar Negara (dalam hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945) Mata Kuliah Pancasila Modul ke: Pancasila Sebagai Dasar Negara (dalam hubungannya dengan Pembukaan UUD 1945) Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Panti Rahayu, SH, MH Program Studi MANAJEMEN Pancasila Sebagai Dasar2

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PERDA

KEKUATAN HUKUM PERDA SUBSTANSI PENGERTIAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH KEPENTINGAN UMUM PRINSIP PENETAPAN RAPERDA MENJADI PERDA KEKUATAN HUKUM PERDA DASAR PERTIMBANGAN PERDA TAHAP RAPERDA DAN PENETAPANNYA PERSIAPAN

Lebih terperinci

SUMBER HUKUM TATA NEGARA

SUMBER HUKUM TATA NEGARA SUMBER HUKUM TATA NEGARA 1. Pengertian Sumber Hukum 2. Sumber Hukum Materiil dan formil 3. Sumber Hukum Formiil Hukum Tata Negera 4. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia PENGERTIAN SUMBER HUKUM 1. Tempat

Lebih terperinci

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat

HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat HUKUM TERTULIS Adalah hukum yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk mengatur kehidupan bersama manusia dalam masyarakat agar dapat berjalan tertib dan teratur PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Adalah peraturan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : Agung Setiawan E

SKRIPSI. Oleh : Agung Setiawan E Bentuk dan susunan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ditinjau dari teknik penyusunan peraturan perundang -undangan SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

Lebih terperinci

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016

MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 MENYOAL ORGANISASI KEMASYARAKATAN (ORMAS) ANTI-PANCASILA Oleh: Imas Sholihah * Naskah diterima: 30 Mei 2016; disetujui: 21 Juni 2016 Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat, berkumpul, bahkan

Lebih terperinci

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati

IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati 118 IDEOLOGI PANCASILA DALAM PENYUSUNAN GBHN Oleh : Made Emy Andayani Citra, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Abstract The direction of the state is a guideline for state officials to

Lebih terperinci

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Setelah mempelajari, menelaah, dan mempertimbangkan

Lebih terperinci

Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia. Selly Rahmawati, M.Pd.

Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia. Selly Rahmawati, M.Pd. Pancasila dalam Konteks Ketatanegaraan Indonesia Selly Rahmawati, M.Pd. 1 Pancasila dalam konteks ketatanegaraan Indonesia Pancasila sebagai dasar Negara merupakan asas kerokhanian atau dasar filsafat

Lebih terperinci

FALSAFAH PANCASILA SEBAGAI NORMA DASAR (GRUNDNORM) DALAM RANGKA PENGEMBANAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Dani Pinasang 1

FALSAFAH PANCASILA SEBAGAI NORMA DASAR (GRUNDNORM) DALAM RANGKA PENGEMBANAN SISTEM HUKUM NASIONAL. Oleh : Dani Pinasang 1 Vol.XX/No.3/April-Juni/2012 Pinasang D: Falsafah Pancasila. FALSAFAH PANCASILA SEBAGAI NORMA DASAR (GRUNDNORM) DALAM RANGKA PENGEMBANAN SISTEM HUKUM NASIONAL Oleh : Dani Pinasang 1 A. PENDAHULUAN Bangsa

Lebih terperinci

Kedudukan Konstitusi. a. Cara Pembentukan

Kedudukan Konstitusi. a. Cara Pembentukan Kedudukan Konstitusi Kedudukan Konstitusi (Undang-Undang Dasar) Meskipun Undang-Undang Dasar bukanlah merupakan salah satu syarat untuk berdirinya suatu negara beserta dengan penyelenggarannya yang baik,

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA Oleh : DJOKO PURWANTO Abstrak Wewenang Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold I. PEMOHON Partai Nasional Indonesia (PNI) KUASA HUKUM Bambang Suroso, S.H.,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU: Asshiddiqe, Jimly, Bagir Manan (2006). Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) merumuskan bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perbuatan dan Sifat melawan Hukum I. Pengertian perbuatan Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap gerak otot yang dikehendaki,

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945 DAN HUBUNGAN ANTARA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DENGAN PEMBUKAAN UUD 1945 A. A. Hubungan Pancasila Dengan Uud 1945

HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945 DAN HUBUNGAN ANTARA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DENGAN PEMBUKAAN UUD 1945 A. A. Hubungan Pancasila Dengan Uud 1945 HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945 DAN HUBUNGAN ANTARA PROKLAMASI KEMERDEKAAN DENGAN PEMBUKAAN UUD 1945 A. A. Hubungan Pancasila Dengan Uud 1945 Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, DAFTAR PUSTAKA Buku : Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. Armen Yasir, Hukum Perundang-Undangan, Cetakan Pertama, Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pembentukan Norma Hukum Daerah 1. Landasan Teori Indonesia sebagai negara hukum memberlakukan berbagai macam norma dalam kehidupan masyarakatnya. Norma menurut Kamus Besar

Lebih terperinci

Muchamad Ali Safa at

Muchamad Ali Safa at Muchamad Ali Safa at DASAR HUKUM Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi dalam negara didasarkan kepada hukum. 1 Maka dari itu semua aspek kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, yang bukan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DALAM PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DALAM PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DALAM PEMBENTUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OKSEP ADHAYANTO Dosen Fakultas Hukum Universitas Raja Ali Haji Abstrak Sebagai dasar Negara (ground

Lebih terperinci

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945. Disampaikan dalam acara Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Lebih terperinci