BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rajungan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depth

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

SAMBUTAN. Jakarta, Nopember Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

ANALISIS DAERAH PENANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) BERDASARKAN PERBEDAAN KEDALAMAN PERAIRAN DENGAN JARING ARAD (Mini Trawl) DI PERAIRAN DEMAK

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERBEDAAN BOBOT DAN POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PADA BUBU LIPAT DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG RACHMAD CAESARIO

(Jaring Insang) Riza Rahman Hakim, S.Pi

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

3.2.1 Spesifikasi alat tangkap Bagian-bagian dari alat tangkap yaitu: 1) Tali ris atas, tali pelampung, tali selambar

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jaring Angkat

ANALISIS HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) MENGGUNAKAN BUBU LIPAT DI MUARA TEBO NELAYAN 1 KECAMATAN SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

PAPER TEKNIK PENANGKAPAN IKAN ALAT TANGKAP IKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

BAB III BAHAN DAN METODE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

PENILAIAN UNIT USAHA PENANGKAPAN JARING RAJUNGAN DI TELUK BANTEN RIYANTI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

SUMBER DAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN TANGERANG

Bentuk baku konstruksi jaring tiga lapis (trammel net ) induk udang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Pasir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Keong Macan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DENGAN PENDEKATAN EKOSISTEM DI PERAIRAN LAUT JAWA (WPPNRI 712) ARIS BUDIARTO

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai negara kepulauan terletak diantara samudera Pasifik dan

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster (lanjutan)

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak pada lintang LS LS dan BT. Wilayah tersebut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk Kodok Lembu (Rana catesbeiana Shaw) kelas induk pokok (Parent Stock)

Diterima : 2 Maret 2010 Disetujui : 19 Maret 2010 ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

MENGAPA PRODUKSI KEPITING RAJUNGAN MENURUN DAN KEBIJAKAN APA YANG PERLU DILAKUKAN MENGANTISIPASINYA. Oleh. Wayan Kantun

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU

LAMUN. Project Seagrass. projectseagrass.org

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

ANALISIS PERKIRAAN DAMPAK EKONOMI KEBIJAKAN MINIMUM LEGAL SIZE RAJUNGAN (Portunus pelagicus) TERHADAP NELAYAN DESA GEBANG MEKAR KABUPATEN CIREBON

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

3 METODOLOGI PENELITIAN

JURNAL JENIS LOBSTER DI PANTAI BARON GUNUNGKIDUL, YOGYAKARTA. Disusun oleh : Mesi Verianta

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut martasuganda (2004), jaring insang (gillnet) adalah satu dari jenis

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Gebang Mekar Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada garis lintang 06o30 LS 07o00 LS dan garis bujur 108o40 BT. Wilayah tersebut mempunyai kisaran ketinggian 0-130 m di atas permukaan laut. Kedalaman perairan berkisar antara 0-20 m dengan dasar perairan lumpur dan lumpur berpasir. Secara keseluruhan wilayah ini mempunyai luas 981.029 km2 dengan pantai sepanjang ± 54 km (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cirebon, 2006 dalam Gardenia 2006) Kabupaten Cirebon merupakan batas sekaligus pintu gerbang antara Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan batas administratif sebagai berikut: Sebelah Utara : Kota Cirebon dan Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah Sebelah Selatan : Kabupaten Kuningan Sebelah Barat : Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Indramayu Gebang Mekar merupakan salah satu desa pantai yang berada di Kecamatan Babakan dan merupakan bagian wilayah dari Kabupaten Cirebon yang berada di wilayah timur. Secara georgafis Desa Gebang Mekar berada pada posisi 06o49 LS dan 108o43 5 BT. Desa Gebang mekar terletak di wilayah paling utara Kecamatan Babakan dan berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Desa Gebang Mekar menjadi dermaga bagi perahu-perahu nelayan berlabuh. Pangkalan Pendaratan Ikan Gebang Mekar berada di sisi timur Sungai Ciberes dengan luas 2.297 m2. 2.2 Unit Penangkapan Ikan 2.2.1 Kapal Menurut Kepres nomor 51 tahun 2002 kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di 5

6 bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah pindah. Gill netter adalah kapal yang didesain sangat sederhana umumnya berukuran kecil dan memiliki geladak terbuka, hingga berukuran besar yang beroperasi di lautan terbuka. Oleh karena ukuran kapal sangat variatif, dari yang berukuran kecil hingga kapal yang dioperasikan di laut terbuka. Kapal gillnet kecil umumnya memiliki kamar kemudi di bagian belakang yang sekaligus berfungsi sebagai ruang akomodasi, jika menggunakan inboard mesin terletak langsung di bawah ruang kemudi. Perlengkapan penangkapan yang digunakan hanyalah net hauler. 2.2.2 Jaring Insang (Gillnet) Gillnet adalah jaring dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain jumlah mesh depht lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjangnya (Ayodhyoa 1981). Gillnet dioperasikan untuk menangkap ikan demersal atau di pertengahan kolom air (midwater) sampai ke permukaan (surface) untuk menangkap ikan pelagis (Sainsbury 1971). Penamaan gillnet di Indonesia beraneka ragam. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan nelayan setempat. Ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap, cara pengoperasian, fishing ground dan lain-lain (Ayodhyoa 1981) Berdasarkan letak alat dalam perairan, jaring insang dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: (1) Jaring insang permukaan (surface gillnet,) (2)Jaring insang pertengahan (midwater gillnet), dan (3) Jaring insang dasar (bottom gillnet). Berdasarkan jumlah lembaran jaring dibagi kedalam tiga jenis, yaitu: (1) jaring insang satu lembar (single gillnet), (2) jaring insang dua lembar (double gillnet) dan (3) jaring insang tiga lembar (trammel net) (Martasuganda 2005).

7 Pemasangan gillnet biasanya dilakukan di daerah penangkapan yang diperkirakan akan dilewati oleh biota perairan yang menjadi target penangkapan, kemudian dibiarkan beberapa lama supaya biota perairan terjerat atau terpuntal pada mata jaring. Lama pemasangan jaring di daerah penangkapan akan berbeda menurut target penangkapan atau menurut kebiasaan nelayan yang mengoperasikannya. Gillnet yang dioperasikan secara semia aktif atau aktif, biasanya dioperasikan pada siang hari yaitu dengan cara menghanyutkan jaring supaya biota perairan yang menjadi target penangkapan dapat dengan cepat tertangkap. Lama pengoperasian biasanya sekitar 2-3 jam, bahkan ada yang kurang dari 1 jam (Martasuganda 2005). Pada umumnya ikan yang menjadi tujuan penangkapan gillnet adalah jenis ikan yang baik migrasi secara vertical maupun migrasi secara horizontalnya tidak seberapa aktif. Dengan kata lain, migrasi dari ikan tersebut terbatas pada kedalaman tertentu. Lebar jaring dapat ditentukan berdasarkan kedalaman dari swimming layer ikan, jumlah piece atau lembar yang digunakan tergantung kepada situasi operasi penangkapan dan volume kapal (Ayodhyoa 1981). 2.2.3 Selektivitas Jaring Insang Selektivitas adalah sifat alat tangkap yang menangkap ikan dengan ukuran tertentu dan spesies dari sebaran populasi. Sifat ini terutama tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan tapi tergantung juga pada parameter desain dari alat tangkap seperti ukuran mata jaring, bahan dan ukuran benang, hanging rasio dan kecepatan menarik. Ukuran mata jaring sangat besar pengaruhnya terhadap selektivitas (Fridman 1988). Penangkapan ikan yang selektif menurut (FAO 1995 dalam Tabrizi 2003) meliputi, ukuran dan umur ikan yang tertangkap serta selektivitas spesies. 2.2.4 Jaring Kejer Jaring kejer merupakan jaring yang berbentuk empat persegi panjang dan terdiri dari satu lapis jaring dan memiliki bagian-bagian, yaitu tali ris atas, tali

8 pelampung, pelampung, badan jaring, tali ris bawah, pemberat, tali selambar dan perlengkapan tambahan berupa pelampung tanda dan pemberat tambahan. Berdasarkan klasifikasi alat penangkapan ikan, jaring kejer diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang tetap, yaitu jaring dasar. Jaring kejer yang digunakan oleh nelayan desa Gebang Mekar untuk menangkap rajungan termasuk ke dalam golongan jaring puntal (tangled net) karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapannya tertangkap dengan cara terpuntal pada bagian tubuhnya pada bagian jaring (entangled) Penamaan gillnet atau jaring insang di Indonesia beraneka ragam, dipengaruhi oleh kebiasaan nelayan setempat, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap, cara pengoperasian, daerah penangkapan, dan lainlain. Jaring kejer di Kabupaten Cirebon jika dilihat dari posisi perairan termasuk kepada bottom gillnet yang dioperasikan pada dasar perairan. Sedangkan jika dilihat dari pemasangan jaring, jaring kejer termasuk dalam klasifikasi set gillnet dengan tujuan penangkapan rajungan (Solihin 1993) 2.2.5 Mata Jaring (Mesh size) Mata jaring (mesh size) adalah jalinan tali jaring yang terdiri dari 4 point dan 4 bar. Lebar mata jaring (mesh size) ditentukan dengan mengukur jarak antara 2 point yang berjauhan pada sisi dalam mata dalam keadaan strech (gambar 1). Pengertian lain mesh size adalah ukuran lubang pada jaring penangkap ikan. Ukuran mata jaring minimum seringkali ditentukan dengan aturan untuk menghindari penangkapan ikan muda yang bernilai setelah mencapai ukuran optimal untuk ditangkap (Mukhtar 2009). Gambar 1. Mesh size (Sumber: Dokumen Pribadi)

9 2.3 Rajungan Rajungan (Portunidae) merupakan salah satu famili seksi kepiting (Brachyura) yang banyak diperjualbelikan. Suku Portunidae memiliki enam subfamilia yaitu Portuninae, Podophthalminae, Carcinina, Polybiinae, Caphyrinae dan Catoptrinae. Kelima sub famili ini terdapat di perairan Indonesia kecuali Carcinidae (Moosa dan Juwana, 1996). Sistematika rajungan menurut (Stephenson dan Chambel 1959 dalam Gardenia 2006) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Antrhopoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus Spesies : Portunus pelagicus Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat, jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis diantaranya dapat dimakan (edible crab) karena tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla serrata), rajungan bintang (Portunus sanguinolentus), rajungan karang (Charybdis feriatus), dan rajungan angin (Podopthalamus vigil). 2.3.1 Morfologi Rajungan (Portunus pelagicus) mempunyai karapas berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik, kiri kanan dari karapas terdiri atas duri besar, jumlah duri-duri sisi belakang matanya 9 buah. Rajungan dapat dibedakan dengan adanya beberapa tanda-tanda khusus, diantaranya adalahrajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang

10 ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh karena itu rajungan dimasukkan ke dalam golongan kepiting berenang (swimming crab) (Nontji 1986 dalam Jafar 2011). Ukuran rajungan jantan dan betina berbeda pada umur yang sama.. Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capinya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajugan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak putih terang sedangkan rajungan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak putih kusam (Gambar 2). Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa 1986) Beberapa ciri untuk membedakan jenis kelamin rajungan (Portunus pelagicus) adalah apron atau bentuk abdomen. Rajungan jantan mempunyai tutup abdomen berbentuk segitiga memanjang dengan ruas-ruas yang pendek dan terdiri dari 3 ruas. Rajungan betina memiliki abdomen yang berbentuk kubah dengan ruas-ruas yang lebih lebar dan terdiri dari 5 ruas (Sunarto) 2.3.2 Habitat dan Penyebaran Moosa et al. (1980) menyebutkan bahwa marga Portunus hidup pada beranekaragam habitat yaitu: dasar berpasir, pasir-lumpuran, lumpur-pasiran, pasir kasar dengan pecahan karang mati. Rajungan hidup di wilayah yang luas di pinggir pantai dan wilayah continental shelf, termasuk pasir, berlumpur atau berhabitat algae dan padang lamun dari zona intertidal (wilayah pasang surut) sampai perairan dengan kedalaman 50 m (CIESM, 2000 dalam Suadela 2004). Penyebaran rajungan (Portunus pelagicus) sangat luas. Hewan ini dapat hidup di berbagai ragam habitat mulai dari tambak, perairan pantai hingga perairan lepas pantai dengan kedalaman mencapai 60 m. Substrat dasar perairan berlumpur, berpasir, campuran lumpur dan pasir, beralga hingga padang lamun. Biasanya rajungan hidup di dasar perairan, tetapi sesekali dapat juga terlihat berada dekat permukaan atau kolom perairan pada malam hari saat mencari makan ataupun berenang dengan sengaja mengikuti arus (Nontji 1986 dalam Suadela 2004).

11 (a) (b) Gambar 2. Rajungan (Portunus pelagicus) (a) Jantan, (b) Betina (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

12 Rajungan jantan menyenangi perairan dengan salinitas rendah sehingga penyebarannya di sekitar perairan pantai yang dangkal. Sedangkan rajungan betina menyenangi perairan dengan salinitas lebih tinggi terutama untuk melakukan pemijahan, sehingga menyebar ke perairan yang lebih dalam dibanding jantan (Rudiana 1989 dalam Saedi 1997). Hal ini diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah. Perubahan salinitas dan suhu di suatu perairan mempengaruhi aktivitas dan keberadaan suatu biota (Gunarso, 1985). 2.3.3 Tingkah laku Rajungan (Portunus pelagicus) Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Beberapa faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, feeding habit, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan yang mempengaruhi tingkah laku rajungan salah satunya adalah pengunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab pots. Salah satu tingkah laku (behaviour) penting dari rajungan adalah perkembangan siklus hidupnya yang terjadi di beberapa tempat. Pada fase larva dan fase pemijahan, rajungan berada di laut terbuka (off-shore) dan fase juvenile sampai dewasa berada di perairan pantai (in-shore) yaitu muara dan estuaria (Kangas, 2000). Rajungan (Portunus pelagicus) adalah aktif tetapi saat tidak aktif, mereka mengubur diri dalam sedimen menyisakan mata, antena di permukaan dasar laut dan ruang insang terbuka (FishSA, 2000; Sea-ex, 2001 dalam Gardenia 2006). Rajungan akan melakukan pergerakan atau migrasi ke perairan yang lebih dalam sesuai umur, rajungan tersebut menyesuaikan diri pada suhu dan salinitas perairan (Nontji 1993 dalam Salamah 2007). mengungkapkan bahwa Pada umumnya udang dan kepiting berkeliaran pada waktu malam untuk mencari makan (Anonim,1973 dalam Muslim 2000). Susilo (1993) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Pada fase bulan gelap,

13 cahaya bulan yang masuk ke dalam air relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap..hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan aktifitas ruaya, dan berkurangnya aktifitas pemangsaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dengan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat fase bulan terang, sedangkan pada fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap binatang tersebut ialah malam hari saat fase bulan terang. Menurut Thomson (1974 dalam Gardenia 2006), dari hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa larva rajungan betina menghabiskan waktu sepanjang malam terkubur didalam pasir. Sedangkan larva jantan aktif berenang pada malam hari. Larva rajungan sama seperti udang bersifat planktonik dan berenang bebas mengikuti arus. 2.3.4 Siklus Hidup Rajungan (Portunus pelagicus) Secara umum siklus hidup rajungan memalui beberapa fase yaitu telur, zoea, megalopa, rajungan muda, dan rajungan dewasa. Larva rajungan yang baru menetas disebut zoea dan memiliki bentuk berbeda dari rajungan dewasa. Zoea memiliki ukuran mikroskopik dan bergerak di dalam air sesuai dengan pergerakan arus air. Setelah 6 atau 7 kali moulting, zoea berubah menjadi post larva yang dikenal sebagai megalopa yang memiliki bentuk mirip rajungan dewasa. Sebagian besar megalopa bersifat planktonis dan dipengaruhi oleh sirkulasi arus di dasar perairan hingga akhirnya menetap (settle) dan bermetamorfosis menjadi rajungan muda (Sunarto 2011). 2.3.5 Ukuran Kedewasaan Rajungan (Portunus pelagicus) Rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Ukuran saat kematangan terjadi dapat berubah terhadap derajat garis lintang atau lokasi dan antar individu di lokasi manapun. Betina terkecil Portunus pelagicus yang cukup umur dan telah mengalami pergantian kulit telah diobservasi di Peel-Harvey Estuary adalah 89

14 mm CW, sedangkan di Leschenault Estuary ukuran terkecil adalah 94 mm CW (Smith 1982, Campbell & Fielder 1986, Sukumaran & Neelakantan 1996 dan Potter et al. 1998 diacu dalam Kangas 2000). Karapas rajungan yang dapat berkembang hingga 21 cm dengan berat 1 kg (Abyss, 2001). Di Peel-Harvey Estuary, 50% rajungan betina menjadi dewasa pada 98 mm CW, dan di Leschenault Estuarypada 97 mm CW. Ukuran yang sama untuk jantan adalah 84 mm CW di Peel-Harvey Estuary dan 88 mm CW di Leschenault Estuary/ di India, jantan dapat dikatakan cukup umur pada CW berkisar antara 8590 mm, dan betina pada 80-90 mm CW (Kangas 2000) Rajungan di perairan Australia Selatan dikatakan dibawah ukuran panjang minimum legal jika panjangnya kurang dari 11 cm yang diukur dari sisi ke sisi pada dasar tulang punggung atau dasar duri. Batas ukuran sekarang digunakan di semua perairan. Selama musim pemijahan, kemungkinan besar banyak telur yang menempel di bagian abdomen rajungan sehingga untuk menjaga kelestariannya, rajungan yang masih ada telurnya dilindungi spenenuhnya di perairan Australia Selatan. Umumnya ukuran tersebut berumur 14 hingga 18 bulan. Rajungan pada ukuran tersebut telah matang gonad dan telah berreproduksi setidaknya 2 kali untuk sdatu musim (Kangas 2000) Rajungan mencapai tahap dewasa pada panjang karapas sekitar 37 mm. Dengan demikian rajungan-rajungan tersebut telah mampu bereproduksi. Adapun yang mempunyai nilai ekonomi setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm (Rounsenfell (1975) diacu dalam Solihin (1993)). Moosa dan Juwana (1996) menyebutkan di Queensland berdasarkan penelitian Williams dan Lee (1980), rajungan yang ditangkap dari perairan tersebut telah ditentukan memiliki ukuran tubuh minimum yaitu panjang karapas (CL) 3,7 cm. Batasan ukuran rajungan yang dianggap telah mencapai dewasa ada beberapa pendapat antara lain 9 cm CW dan 3,7 cm CL (Kumar et al. (2000) diacu dalam Suadela (2004) 2.3.6 Musim Pemijahan Rajungan Romimohtarto 2005 dalam Jafar 2011 menyatakan bahwa musim pemijahan rajungan lebih mudah diamati dari pada ikan, hal ini dapat ditandai

15 dengan terdapatnya telur-telur yang sudah dibuahi yang masih terbawa induknya yang melekat pada lipatan abdomen bersama pleopodanya. Musim pemijahan rajungan terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya terjadi pada musim barat di bulan Desember, musim peralihan pertama di bulan Maret, musim Timur di bulan Juli, dan musim peralihan kedua di bulan September. Untuk mengetahui kemampuan individu dalam menghasilkan keturunan (larva/anak) dapat dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan oleh individu betina dalam suatu pemijahan. Nakamura 1990 dalam Jafar 2011 menyatakan bahwa perhitungan fekunditas umumnya dilakukan dengan mengestimasi jumlah telur yang ada di dalam ovarium pada organisme matang gonad. Jumlah telur yang dihasilkan oleh kepiting rajungan bervariasi tergantung besarnya individu. Untuk kepiting yang panjang karapasnya 140 mm dapat menghasilkan 800.000 butir, sedangkan yang panjang karapaksnya 160 mm dapat menghasilkan 2.000.000 dan individu dengan panjang karapaks 220 mm menghasilkan 4.000.000 butir. Menurut Nontji 1986 dalam Jafar 2011, seekor rajungan dapat menetaskan telurnya menjadi larva mencapai lebih sejuta ekor. Selanjutnya massa telur kepiting rajungan yang berwarna kuning atau jingga berisi antara 1.750.000 hingga 2.000.000 butir telur.