BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA. Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya Rechts geleerd

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017. surat yang dimaksud adalah akte-akte autentik. Kata kunci: Tindak Pidana, Pemalsuan, Akta Autentik.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

BAB I PENDAHULUAN. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan

PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS DALAM MENJAGA KERAHASIAAN AKTA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014

Jurnal Independent Vol 2 No P a g e. Oleh : Bambang Eko Muljono, SH, S.pN, M.Hum, MMA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

Lex Privatum Vol. V/No. 3/Mei/2017

BAB 2 PERANAN NOTARIS DALAM RUPS YANG BERKAITAN DENGAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS PERSEROAN

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Kemasyarakatan yang dikenal sebagai notariat timbul dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

B A B II ANALISA PASAL 31 UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2009 MENGENAI KEWAJIBAN BERBAHASA INDONESIA TERHADAP AKTA PENGIKATAN JUAL BELI TANAH

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Refika Aditama, 2003), hal Universitas Indonesia Pengaruh komparisi...,tumpal Naibaho, FH UI, 2009.

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa Indonesia. Kasus ini dilatarbelakangi perjanjian pinjam

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB III KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB II KECAKAPAN HUKUM SESEORANG YANG BERADA DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KARYAWAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PERESMIAN AKTA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

Dalam praktek hukum istilah ini acap kali digunakan, tetapi dalam berbagai konteks pengertian, sbb. : mengalami suasana kejiwaan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB IV KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PERJANJIAN BERDASARKAN BUKU III BURGERLIJKE WETBOEK

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015. Tahun Pajak : 2011

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG LAHIR AKIBAT WANPRESTASI HUTANG PIUTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pasal 1 ayat (3) menentukan secara tegas bahwa negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. jaminan akan kepastian hukum terhadap perbuatan dan tindakan sehari-hari,

BAB III KERANGKA TEORI. Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Mempunyai sifat sistem terbuka,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

TANGGUNG GUGAT NOTARIS ATAS PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG DIBUAT BERDASARKAN ATAS KUASA YANG BERMASALAH KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bernegara yang didasarkan kepada aturan hukum untuk menjamin. pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang tergabung dalam komunitas tersebut menanggung amanah. yang berat atas kepercayaan yang diembankan kepadanya.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Transkripsi:

28 BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari : a. Bukti tulisan; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d. Pengakuan; e. Sumpah; Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. 39 Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. 40 Akta otentik tidak saja dapat dibuat oleh Notaris, tapi juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. Tulisan di bawah tangan atau disebut juga akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak 39 Pasal 1867 KUHPerdata. 40 Pasal 1868 KUHPerdata. 28

29 di hadapan pejabat umum yang berwenang. 41 Baik akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika hal seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat bukti lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. 42 Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik, 43 jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada Hakim. Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda). 41 Pasal 1874 KUHPerdata. 42 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 121. 43 Pasal 1875 KUHPerdata.

30 Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Dalam PJN kerangka akta atau anatomi akta terdiri dari : 44 1. Kepala (hoofd) Akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara ; 2. Badan Akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihakpihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan ; 3. Penutup Akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, di hadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu. Perbedaan antara Pasal 38 dengan PJN mengenai kerangka akta terutama dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan b mengenai awal atau kepala akta dan badan akta. Dalam PJN kepala akta hanya memuat keterangan-keterangan atau yang menyebutkan tempat kedudukan Notaris dan nama-nama para pihak yang datang atau menghadap Notaris, dan dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN kepala akta memuat judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. Satu perbedaan yang perlu untuk diperhatikan, yaitu mengenai identitas para pihak atau para penghadap. Dalam PJN identitas para pihak atau para 44 G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit. hal. 214.

31 penghadap merupakan bagian dari kepala akta, sedangkan menurut Pasal 38 ayat (2) UUJN, identitas para pihak atau para penghadap bukan bagian dari kepala akta, tapi merupakan bagian dari badan akta (Pasal 38 ayat (3) huruf a), dan dalam PJN bahwa badan akta memuat isi akta yang sesuai dengan keinginan atau permintaan para pihak atau para penghadap. Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak atau para penghadap yang semula dalam PJN yang merupakan bagian dari kepala atau, kemudian dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b UUJN identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian dari badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta, sehingga muncul penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan isi akta. Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari formalitas akta Notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta. Dalam hal ini Pasal 38 ayat (2) dan (3) telah mencampuradukkan antara komparisi dan isi akta. 45 Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian 45 Habib Adjie, Op Cit, hal. 122-123.

32 itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang. 46 Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, 47 karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Misalnya jika 46 Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata), dikutip dari Ibid. 47 Menurut Peter Mahmud Marzuki bahwa azas kebebasan berkontrak merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat mana saja yang telah menerima budaya industri dan perdagangan, dengan kata lain apabila suatu masyarakat telah memasuki atau paling tidak telah bersentuhan dengan budaya industri dan perdagangan, eksistensi azas kebebasan berkontrak hendaklah diteria di masyarakat tersebut, Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yudika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003, hal. 203, dikutip dari Ibid, hal. 124.

33 suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak 48 dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta 48 Pasal 1337 KUHPerdata.

34 yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada. 49 Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, 50 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu : 51 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum. Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum, 49 Habib Adjie, Op Cit, hal. 125. 50 Pasal 1 angka 7 UUJN. 51 Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3, dikutip dari Op Cit, hal. 126.

35 b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Menurut C.A.Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. c. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut). d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. e. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.

36 Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. 52 Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan 52 G.H.S.Lumban Tobing, Op Cit, hal. 51.

37 saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris. 53 Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka : 1. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. 2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum. Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris. 53 Habib Adjie, Op Cit, hal. 128.

38 b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb. 1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet Op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. 54 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. 55 c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu : 1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang 54 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, hal. 362. 55 Habib Adjie, Op Cit, hal. 54.

39 umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. 56 Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut. 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. 56 Kewenangan Notaris yang lainnya yaitu : (2) Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang; (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

40 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan : a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta. c. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terusmenerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN). 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas

41 jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN). Karakter yuridis akta Notaris, yaitu : 1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undangundang (UUJN). 2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris. 3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta. 4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut. 5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.

42 B. Nilai Pembuktian Akta Notaris Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian : 1. Lahiriah Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris. 57 57 Habib Adjie, Op Cit, hal. 72.

43 2. Formal Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak / penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat / berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak / penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan / disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk

44 menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. 58 3. Materil Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan / dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan / disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan / dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian / keterangannya dituangkan / dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan / keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk / di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan 58 Ibid, hal. 73.

45 Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. 59 Dalam praktik pembuatan akta Notaris, ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Namun aspek-aspek tersebut harus dilihat secara keseluruhan sebagai bentuk penilaian pembuktian atas keotentikan akta Notaris. Nilai pembuktian tersebut dapat dikaji dari beberapa putusan perkara pidana dan perkara perdata yang sesuai dengan ketiga aspek tersebut. Perkara pidana dan perdata akta Notaris senantiasa dipermasalahkan dari aspek formal, terutama mengenai : a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap. b. Pihak (siapa) yang menghadap Notaris. c. Tanda tangan yang menghadap. d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta. f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan. Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris, pihak Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum : 1. Membuat surat palsu / yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu / yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP). 2. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP). 59 Ibid.

46 3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP). 4. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP). 5. Membantu membuat surat palsu / atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu / yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP). Dalam pembuatan akta pihak ataupun akta relaas harus sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan. Akta pihak Notaris hanya mencatat, dan membuatkan akta atas kehendak, keterangan atau pernyataan para pihak yang kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, dan dalam akta relaas, berisi pernyataan atau keterangan Notaris sendiri atas apa yang dilihat atau didengarnya, dengan tetap berlandaskan bahwa pembuatan akat relaaspun harus ada permintaan dari para pihak. Pemeriksaan terhadap Notaris selaku tersangka atau terdakwa harus didasarkan kepada tatacara pembuatan akta Notaris, yaitu : 1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada Notaris. 2. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab). 3. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

47 4. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut. 5. Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan untuk minuta. 6. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Memidanakan Notaris dengan alasan-alasan aspek formal akta tidak akan membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek perkara pidana tersebut dan akta yang bersangkutan tetap mengikat para pihak. Dalam perkara perdata, pelanggaran terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar hukum dan hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap Notaris tersebut. Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh penghadap sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya. Aspek materil dari akta Notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan atau keterangan Notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai pernyataan atau keterangan para pihak dalam akta partij (pihak). Hal apa saja yang harus ada secara materil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat dan didengar oleh Notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan Notaris. Dengan demikian, secara materil akta Notaris tidak mempunyai kekuatan eksekusi dan batal demi hukum dengan putusan pengadilan, jika dalam akta Notaris :

48 1. Memuat lebih dari 1 (satu) perbuatan atau tindakan hukum. 2. Materi akta bertentangan dengan hukum yang mengatur perbuatan atau tindakan hukum tersebut. Dalam Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu : 1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan dan akta Notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda. Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari : 1. Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.

49 Pasal 1869 BW menentukan batasan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena : 1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau 2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau 3. Cacat dalam bentuknya. Ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, yaitu : 1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris. 2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu jika Notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta. 3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan : a. Pasal 39 bahwa : 1. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum.

50 2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 4. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, yaitu objeknya tidak tertentu dan kausa yang terlarang, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Mengenai perjanjian harus mempunyai objek tertentu ditegaskan dalam Pasal 1333 BW, yaitu suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari jumlah (barang) tersebut dapat

51 ditentukan atau dihitung. Pasal 1335 BW menegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan, ini membuktikan bahwa setiap perjanjian harus mempunyai kausa yang halal, tetapi menurut Pasal 1336 BW, jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab lain daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 BW). Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika : 1. Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan. 2. Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, maka selain itu termasuk ke dalam akta Notaris yang batal demi hukum, yaitu : a. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I, yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk memberitahukan bilamana nihil).

52 b. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k, yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukannya. c. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan, penandatanganan akta di hadapan penghadap, Notaris dan penterjemah resmi. d. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan Notaris, atas pengubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian atau pencoretan. e. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal. f. Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum

53 semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan. g. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta. Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditegaskan akta yang dikualifikasikan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan dan akta yang batal demi hukum dapat diminta ganti kerugian kepada Notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Hal ini dapat ditafsirkan akta Notaris yang terdegradasi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris yang batal demi hukum keduanya dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, hanya ada satu pasal, yaitu Pasal 52 ayat (3) UUJN yang menegaskan, bahwa akibat akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, Notaris wajib membayar biaya, ganti rugi dan bunga. Sanksi akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta menjadi batal demi hukum merupakan sanksi eksternal, yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak melakukan serangkaian tindakan yang wajib dilakukan terhadap (atau untuk kepentingan) para pihak yang

54 menghadap Notaris dan pihak lainnya yang mengakibatkan kepentingan para pihak tidak terlindungi. C. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Suatu Akta Menjadi Batal Demi Hukum Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu : 1. Adanya kata sepakat di antara dua pihak atau lebih; 2. Cakap dalam bertindak; 3. Adanya suatu hal tertentu; 4. Adanya suatu sebab yang halal. Apabila perjanjian tersebut melanggar syarat objektif yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan apabila perjanjian tersebut melanggar syarat subjektif yaitu kata sepakat dan cakap dalam bertindak maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau dapat dibatalkan adalah sebagai berikut : 1. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak. Secara umum dibedakan antara kewenangan bertindak dan kecakapan bertindak. Sejak seorang anak lahir, malahan anak dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan berkedudukan sebagai subjek hukum dan sebab itu pula memiliki kewenangan hukum (Pasal 1 ayat (2) KUHPerdata). Kewenangan bertindak dari subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum dapat dibatasi oleh atau melalui

55 hukum. Setiap orang dianggap cakap melakukan tindakan hukum, tetapi kebebasan ini dibatasi pula oleh daya kerja hukum objektif. Dikatakan mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di bawah umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia. Sebagai penghadap untuk pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). 60 Mereka yang tidak mempunyai kewenangan bertindak atau tidak berwenang adalah orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Notaris (termasuk para saksi) yang dengan perantaraannya telah dibuat akta wasiat dari pewaris tidak boleh menikmati sedikit pun dari apa yang pada mereka dengan wasiat itu telah dihibahkannya (Pasal 907 KUHPerdata). Ini berarti bahwa Notaris tersebut boleh saja mendapat hibah wasiat dari orang lain asal bukan dari klien yang membuat wasiat di hadapannya tersebut. 61 2. Cacat Dalam Kehendak KUHPerdata (Pasal 1322 Pasal 1328 KUHPerdata) menetapkan secara limitatif adanya cacat kehendak, yakni kekhilafan/kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang). 62 a. Kekeliruan dan Penipuan 60 Herlien Budiono, Op Cit, hal. 368. 61 Ibid, hal. 370. 62 Ibid, hal. 372-374.

56 Dikatakan penipuan apabila seseorang dengan sengaja dengan kehendak dan pengetahuan memunculkan kesesatan pada orang lain. Penipuan dikatakan terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain. Di dalam praktik penipuan dan kekhilafan menunjukkan perkaitan yang erat, tetapi ada pula sejumlah perbedaan. b. Ancaman Ancaman terjadi bilamana seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan melawan hukum, mengancam, dan menimbulkan kerugian pada diri orang tersebut atau kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga. Ancaman tersebut sedemikian menimbulkan ketakutan sehingga kehendak seseorang terbentuk secara cacat. Kehendak betul telah dinyatakan, tetapi kehendak tersebut muncul sebagai akibat adanya ancaman. c. Penyalahgunaan Keadaan Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan tergeraknya seseorang karena suatu keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini. Keadaan khusus ini terjadi karena keadaan memaksa/darurat, keadaan kejiwaan tidak normal, atau kurang pengalaman. 3. Bertentangan dengan Undang-Undang Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian akan berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum yang dimaksud, yakni : a) Pelaksanaan dari tindakan hukum.

57 b) Substansi dari tindakan hukum. c) Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut. Suatu perjanjian yang dibuat pada saat tidak adanya larangan mengenai perbuatan hukum tersebut, tetapi ternyata di kemudian hari ada ketentuan undangundang yang melarangnya, maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum, tetapi menjadi dapat dibatalkan atau mungkin masih dapat dilaksanakan setelah adanya izin tertentu. Penentuan apakah suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang adalah pada waktu perjanjian tersebut dibuat. 4. Bertentangan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan Baik Pada umumnya perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan ketertiban umum jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat, sedangkan perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan kesusilaan baik jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan norma kesusilaan dari suatu masyarakat.