BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laryngeal Mask Airway (LMA) didesain oleh Archibald I.J. Brain, MA,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY ( LMA ) PROSEAL PADA UPAYA PERTAMA ANTARA TEKNIK JAW THRUST DAN TEKNIK STANDAR DIGITAL

ABSTRAK AKURASI PEMASANGAN LARYNGEAL MASK AIRWAY DENGAN VIDEO LARYNGOSCOPE DIBANDINGKAN TEKNIK KLASIK

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan nafas.

Journal Reading. Pembimbing : dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An Disusun Oleh : Nio Angelado ( )

ARTIKEL PENELITIAN. Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Propinsi Riau,

PERTOLONGAN GAWAT DARURAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ETT. Ns. Tahan Adrianus Manalu, M.Kep.,Sp.MB. SATU dalam MEDISTRA membentuk tenaga keperawatan yang Profesional dan Kompeten

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).

Lab Ketrampilan Medik/PPD-UNSOED

BTCLS BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

BAB I PENDAHULUAN. pediatrik pada stadium light anestesi. Laringospasme merupakan keaadaan. secara mendadak akibat reflek kontriksi dari otot

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dikenal dengan benda asing endogen (Yunizaf, 2012).

ABSTRAK Perbandingan Efektivitas Penggunaan Bonfils Intubation Fiberscope

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semenjak berkembangnya ilmu anestesiologi telah ada pencarian terhadap

BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) DAN RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)

ARTIKEL PENELITIAN. Abstrak. Abstract. Jurnal Anestesi Perioperatif

Dr. Ade Susanti, SpAn Bagian anestesiologi RSD Raden Mattaher JAMBI

JURNAL KOMPLIKASI ANESTESI VOLUME 3 NOMOR 1, NOVEMBER 2015 PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Data rekam medis RSUD Tugurejo semarang didapatkan penderita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB I PENDAHULUAN. Unit perawatan intensif atau yang sering disebut Intensive Care Unit

Primary Survey a) General Impressions b) Pengkajian Airway

Perbandingan Trapezius Squeezing Test dan Jaw Thrust Sebagai Indikator Kedalaman Anestesia pada Pemasangan Sungkup Laring

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

By Ns. Yoani M.V.B.Aty

BASIC LIFE SUPPORT A. INDIKASI 1. Henti napas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Kanker kolorektal merupakan salah satu penyebab utama

PENGENCERAN prinsipnya bahwa kecepatan = dosis / pengenceran misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

SURAT PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dimulai tahun 1880 Sir William Mac. Ewen ahli bedah Skotlandia untuk

Anestesi Persiapan Pra Bedah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

PENGARUH DURASI TINDAKAN INTUBASI TERHADAP RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cedera kepala merupakan kasus yang sering ditemui. di Instalasi Rawat Darurat. Cedera kepala adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes saat ini menjadi masalah besar di seluruh. dunia dengan insidensi yang diperkirakan akan meningkat

BAB I PENDAHULUAN. letak insisi. Antara lain seksio sesaria servikal (insisi pada segmen bawah), seksio

PEMASANGAN NASO GASTRIC TUBE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian fentanil intravena sebagai Preemptive Analgesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kolonoskopi saat ini merupakan salah satu alat diagnostik dan

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

PEMINDAHAN PASIEN. Halaman. Nomor Dokumen Revisi RS ASTRINI KABUPATEN WONOGIRI 1/1. Ditetapkan, DIREKTUR RS ASTRINI WONOGIRI.

FACIAL GUN SHOT WOUND IN CONFLICT AREA

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah ekstubasi merupakan 7% dari semua masalah respirasi

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mangku (2010) general anestesi merupakan tindakan

REKOMENDASI RJP AHA 2015

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberikan obat-obat anestesi intra vena tanpa menggunakan obat-obat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR) SUCTION VIA ETT (ENDOTRACHEAL TUBE)

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

ἓ Devi Retno Sari ἓ Dini Widoretno ἓ Ika Rizky Apriyanti ἓ Mifta Rizka Ifani ἓ Nasril ἓ Nine Sofaria ἓ Sarah Maravega ἓ Wahyu Purwati Kelompok 3

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Propofol adalah obat anestesi intravena yang sangat populer saat ini

PEMASANGAN DAN PERAWATAN PASIEN DENGAN OROPHARYNGEAL TUBE. A. Pengertian Oropharyngeal tube adalah sebuah tabung / pipa yang dipasang antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

D. Patofisiologi Ketika kita hirup masuk dan keluar, udara masuk ke dalam hidung dan mulut, melalui kotak suara (laring) ke dalam tenggorokan

Perbandingan Lingkar Leher Dengan Jarak Tiromental : Prediksi Untuk Kesulitan Intubasi Pada Pasien Obesitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. fungsi psikososial, dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak dilakukan adalah teknik aliran gas segar tinggi atau high-flow anesthesia

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat sensitif terhadap sentuhan dan cenderung mengalami robekan. BAK dan aktivitas seksual ibu pasca melahirkan.

BAB I PENDAHULUAN. visualisasi saluran napas melalui bronkoskop. Bronkoskopi berfungsi sebagai

PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

(PR), serta human epidermal growth factor receptor 2 (HER2) kanker payudara tersebut. (Shenkier, 2004) Keberhasilan dalam penatalaksanaan kanker

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah

Penghisapan Orofaringeal dan Nasofaringeal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. di bawah tiga tahun rata-rata mengalami 3 episode diare setiap tahun (Kosek

BAB I PENDAHULUAN. Propofol adalah obat intravena paling sering digunakan anestesi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatnya angka harapan hidup pada negara negara berkembang, begitu pula

PANDUAN PELAYANAN RESUSITASI RUMAH SAKIT PUSAT PERTAMINA BAB I

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

PENGARUH DURASI TINDAKAN INTUBASI TERHADAP RATE PRESSURE PRODUCT (RPP) JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab kematian nomor 2 di dunia. pada populasi dewasa dan penyebab utama kecacatan (Ikram

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

di bidang Pulmonologi Intervensi Procedural Sedation and Analgesia (PSA)

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Angina pektoris stabil adalah salah satu manifestasi. klinis dari penyakit jantung iskemik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Patent duktus arteriosus (PDA) merupakan salah satu penyakit jantung

BAB I PENDAHULUAN. disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. Usia bersifat irreversibel dan merupakan fenomena fisiologis progressif

BAB 1 PENDAHULUAN. PONV juga menjadi faktor yang menghambat pasien untuk dapat segera

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB 1. PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laryngeal Mask Airway (LMA) didesain oleh Archibald I.J. Brain, MA, LMSSA, FFARCSI pada tahun 1981. LMA pertama kali digunakan pada pasien tahun 1981. Pada tahun 1988, LMA diproduksi di United Kingdom dan dilakukan uji klinis secara mendalam. Tahun 1990, LMA digunakan secara luas pada pembiusan di United Kingdom. LMA diijinkan penggunaannya di United States tahun 1991 dan menjadi semakin populer. Tahun 1993, LMA dimasukkan kedalam Difficult Airway Algorithm oleh American Society of Anesthesiologists (Schwartz AJ, 2005). LMA merupakan alternatif terhadap sungkup muka atau intubasi trakea untuk pemeliharaan jalan nafas selama anestesi. LMA merupakan konsep baru manajemen jalan nafas yang telah diterima secara luas dan digunakan di berbagai situasi. Saat ini diperkirakan lebih dari 200 juta ahli anestesi menggunakan LMA (Cook T & Walton B., 2009; Matta et al., 1995). LMA terus berkembang sejak tahun 1988. Jenis-jenis LMA saat ini meliputi LMA Klasik, LMA Fleksibel, LMA Intubasi dan LMA Proseal. LMA Proseal diperkenalkan pada tahun 2000, merupakan pengembangan dari LMA klasik. Alat ini didesain dengan kemampuan untuk ventilasi kontrol, mengurangi risiko aspirasi isi lambung, dan mengetahui ketidaktepatan pemasangan (Cook T & Walton B., 2009).

2 LMA merupakan alat penatalaksanaan jalan nafas supraglotis yang dirancang dengan seal mengelilingi pintu masuk laring. Brain merekomendasikan insersi LMA dengan cuff yang tidak dikembangkan. Posisi pasien dengan leher fleksi dan kepala ekstensi, kemudian LMA didorong menyusuri palatum seperti memegang pena. Setelah LMA pada tempatnya cuff dikembangkan dan posisinya dikonfirmasi secara klinis dengan mengobservasi tanda-tanda obstruksi jalan nafas (Jiwon et al., 2013). Dilaporkan bahwa keberhasilan pemasangan LMA klasik pada usaha pertama dengan teknik standar berkisar antara 76 samapai 96%. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan insersi dengan memodifikasi teknik standar Brain. Teknik insersi LMA yang berbeda memiliki angka keberhasilan yang berbeda (Jiwon et al., 2013; Monem A & Khan FA, 2007). Dari beberapa kelebihan yang dimiliki LMA Proseal terdapat kekurangan dalam hal kesulitan pemasangannya. Angka keberhasilan insersi LMA Proseal pada usaha pertama masih rendah. Pada penelitian Brimacombe et al (2002) didapatkan LMA klasik lebih mudah dan cepat diinsersikan dibandingkan LMA Proseal. Tingkat keberhasilan insersi LMA klasik pada usaha pertama sebesar 91% dibandingkan LMA Proseal sebesar 82%. Waktu yang dibutuhkan untuk insersi lebih cepat untuk LMA klasik yaitu 31±30 detik dibandingkan LMA Proseal 41±49 detik. Tingkat kesulitan insersi LMA Proseal disebabkan cuff yang besar dan tidak adanya backplate menyebabkan cuff lebih mudah tertekuk di dalam mulut.

3 Brimacombe et al (2004) membandingkan keberhasilan insersi LMA Proseal pada usaha pertama antara teknik digital, teknik menggunakan introducer tool (seperti intubating LMA) dan teknik menggunakan gum elastic boogie yaitu 88%, 84% dan 100%. Waktu yang dibutuhkan untuk keberhasilan insersi pada usaha pertama untuk teknik digital 27±2 detik, teknik menggunakan introducer tool 28±1 detik dan teknik menggunakan gum elastic boogie 25±14 detik. Dari data tersebut, angka keberhasilan insersi LMA Proseal dengan gum elastic boogie tinggi yaitu 100%, namun teknik ini memiliki kekurangan yaitu potensial terjadi trauma faringoesofageal karena goom elastic boogie bersifat kaku, dan memerlukan asisten serta laringoskop untuk teknik insersinya. Kekurangan penelitian ini adalah tidak ada data perubahan hemodinamik sebagai respon terhadap stress. Pada penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding insersi LMA Proseal dengan laringoskop tanpa gum elastic boogie (Brimacombe et al., 2004). Suatu modifikasi teknik dengan jaw thrust yang dilakukan I Gede Pastika (2011) di RSUP Sardjito, didapatkan angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha pertama (92,5%) lebih besar dibandingkan teknik standar digital (75%). Waktu yang dibutuhkan pada teknik jaw thrust (6,15 ± 1,33) lebih cepat dibandingkan teknik standar digital (17,25 ± 4,99). Namun, teknik ini, memerlukan asisten yang mampu melakukan manuver jaw thrust dengan tepat. Pada penelitian dengan teknik modifikasi menggunakan rigid stylet yang dilakukan Bowo Adiyanto (2013) di RSUP Sardjito, angka keberhasilan pemasangan

4 LMA klasik pada usaha pertama (93%) dibandingkan dengan teknik standar (83,7%). Waktu pemasangan pada kelompok rigid stylet lebih cepat (7,12 ± 3,53 detik) dibandingkan kelompok standar (15,52 ± 4,94 detik). Tetapi teknik ini memerlukan alat bantu berupa rigid stylet yang merupakan alat yang terbuat dari logam dengan diameter 3 mm dan panjang 30 cm serta LMA dibengkokkan dengan sudut 90. Kekurangan teknik ini adalah rigid stylet bersifat kaku sehingga traumatis pada orofaring. Komplikasi yang ditemukan berupa bercak darah (14%) dan nyeri tenggorok (16,3%). O neil B et al (1994) dan Matta BF et al (1995) melaporkan angka keberhasilan insersi LMA pada usaha pertama meningkat menjadi 96,7% dan 97,7% dengan cuff yang dikembangkan sebagian. Wakeling HC et al (1997) melaporkan metode mengembangkan cuff mengurangi perdarahan mukosa faring sehingga mengurangi insidensi nyeri tenggorokan post operasi. Peneliti berkesimpulan bahwa teknik mengembangkan cuff sebagian dapat meningkatkan keberhasilan pemasangan LMA Proseal dibandingkan teknik jaw thrust dan teknik menggunakan rigid stylet. Kelebihan lain dari teknik ini adalah praktis, mudah dikerjakan, tidak memerlukan asisten dan tidak perlu alat tambahan. B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha

5 pertama masih rendah. Modifikasi teknik dengan mengembangkan cuff sebagian diharapkan dapat meningkatkan angka keberhasilan pemasangannya. C. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitiannya adalah: Apakah angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha pertama dengan teknik cuff yang dikembangkan sebagian, lebih tinggi dibandingkan dengan cuff yang tidak dikembangkan? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha pertama dengan teknik cuff yang dikembangkan sebagian dibandingkan dengan cuff yang tidak dikembangkan. E. Manfaat Penelitian Manfaat untuk klinisi Mengetahui angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha pertama antara teknik cuff dikembangkan sebagian dan cuff tidak dikembangkan. Manfaat untuk pasien Setelah mengetahui angka keberhasilan pemasangan LMA Proseal pada usaha pertama antara teknik cuff dikembangkan sebagian dan cuff tidak dikembangkan dapat dipilih teknik yang sesuai untuk pasien.

6 Manfaat ilmiah Hasil penelitian dapat menjadi pedoman klinisi dalam pemilihan teknik pemasangan LMA Proseal yang mudah, praktis dan cepat. F. Keaslian Penelitian Penulis menemukan tiga penelitian yang serupa yaitu penelitian yang dilakukan oleh Matta BF. et al (1995), O neil B.et al (1994) dan Jiwon An et al (2013), pada penelitian tersebut membandingkan keberhasilan pemasangan LMA antara teknik cuff dikembangkan sebagian dengan cuff yang tidak dikembangkan. Penelitian dengan teknik cuff yang dikembangkan sebagian pada pemasangan LMA Proseal sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di RSUP dr Sardjito.

7 Tabel 1. Penelitian kemudahan insersi LMA antara cuff yang dikembangkan sebagian dengan cuff yang tidak dikembangkan Peneliti Tahun Jenis Outcome yang Cuff dikembangkan Penelitian Sampel diukur sebagian Vs cuff tidak dikembangkan Matta BF.et al 1995 Prospectif, Randomized Study 350 Tingkat keberhasilan Derajat 1 (insersi mudah, posisi tepat pada usaha pertama) 97,7% Vs 92% 155 Vs 132 Derajat 2 (insersi 10 Vs 15 sulit, posisi tepat pada usaha ke dua) Derajat 3 (insersi 6 Vs 14 sulit, usaha lebih dari 2 kali) Derajat 4 (insersi 4 Vs 14 tidak dapat dilakukan setelah 3

8 kali usaha, prosedur dihentikan) O Neill B.et al 1994 RCT 122 Waktu 16 Vs 23 detik Jumlah usaha untuk keberhasilan insersi LMA 1 2 3 96,7% Vs 85,5% 3,3% Vs 12,9% 0 Vs 1,6%