M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu Desiana 1 ABSTRAK Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga yang bertugas mengawal konstitusi, salah satu kewenangannya yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam pelaksanaan kewenangannya Mahkamah Konstitusi sering mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita yang dalam hukum acara perdata merupakan suatu prinsip larangan bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara melebihi permohonan. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi prinsip tersebut tidak mutlak diterapkan karena karakteristik hukum acara Mahkamah konstitusi berbeda, putusan Mahkamah Konstitusi akibat hukumnya mengikat semua orang dan tidak hanya individu yang mengajukan permohonan, oleh karena itu putusan Mahkamah konstitusi harus benar-benar mencerminkan keadilan dan memberikan kepastian hukum. Kata Kunci: Kewenangan, Mahkamah Konstitusi, Putusan Ultra Petita A. Pendahuluan Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi adalah menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan atau 1 Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fak. Hukum Universitas Jambi.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 46 perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Selain itu keberadaan Mahkamah Konstitusi juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi. 2 Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimabangan konstitusional. Dengan send Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) yang dirumuskan sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi: 1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; 3. Memutus pembubaran Partai Politik; 4. Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya terutama dalam perkara memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), Mahkamah Konstitusi dihadapkan pada suatu kenyataan yang krusial dan kontroversial dalam mengeluarkan putusan-putusan terhadap permohonan yang menjadi tugas dan wewenangnya yaitu putusan ultra petita yaitu di dalam hukum acara, khususnya hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita) ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR dan Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg. 2 A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MAHKAMAH KONSTITUSI RI, 2006, hal.119.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 47 Karena adanya pandangan tersebut, pada saat Mahkamah Konstitusi memutuskan putusan-putusan yang melebihi dari apa yang dimohonkan oleh pemohon maka banyak bermunculan tanggapan bahwa Mahkamah Konstitusi telah melanggar prinsip larangan ultra petita. Dengan adanya kondisi tersebut jelas akan membawa implikasi yuridis dan perdebatan di kalangan para ahli hukum. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap permasalahan hukum yang timbul, dan peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengeluarkan Putusan Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. B. Permasalahan Dari uraian di atas, maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti yaitu mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review). Dengan rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai putusan yang bersifat ultra petita dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi? 2. Bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review)? C. Tinjauan Umum Tentang Mahkamah Konstitusi Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1), Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945. Indonesia merupakan negara ke-78 yang
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 48 membentuk Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20. 3 Menurut pendapat Suripto : Perkembangan Mahkamah Konstitusi yang ada di dunia diawali dari kasus Madison versus Madbury di Amerika Serikat. Pada awalnya manfaat dari Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan keperluan untuk mengadakan pengujian terhadap konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan parlemen. Inti perdebatan dalam kasus tersebut adalah bahwa Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall ditantang untuk melakukan pengujian (review atau toetsting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh Konggres. Keputusan Madbury melawan Madison pada tahun 1803 itu sangat populer dan diyakini sebagai awal kelahiran judicial review di USA. Kepala Kehakiman John Marshall berpendapat bahwa konstitusi tertulis dan pengadilan independen menyiratkan kekuasaan judicial review ada di Mahkamah Agung, hal ini berkaitan karena adanya kenyataan ketidaksesuaian antara konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak mempunyai pilihan lain, harus memberlakukan hukum yang lebih tinggi, dan harus menganulir undangundang yang lebih rendah. Tanggapan mengenai hal ini dapat ditemukan dari komentar R.H.S. Crossman, seorang anggota kabinet Partai Buruh Inggris yang bertanggung jawab terhadap hukum imigrasi pada tahun 1968, yang menolak masuknya lebih kurang 100 ribu warga negara Inggris yang tinggal di Kenya ke Inggris; dia kemudian mengatakan bahwa hukum ini akan dideklarasikan tidak konstitusional di setiap negara dengan konstitusi tertulis oleh Mahkamah Agung. 4 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. namun dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPKI pada tahun 1945. anggota BPUPKI, Muhamamad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Balai Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak 3 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2010, hal.5. 4 Suripto, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang, www.setneg.go.id, Kamis 27 Juni 2007.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 49 menganut paham trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman judicial review. 5 Pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi politik dan dari sisi hukum. Dari sisi politik ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah Konstitusi diperlukan guna mengimbangi kekuasaan pembentukan Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden. Hal itu diperlukan agar Undang-Undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih langsung oleh mayoritas rakyat. Dari sisi hukum, keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Prinsip negara kesatuan, prinsip demokrasi, dan prinsip negara hukum. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Negara kesatuan tidak hanya dimaknai sebagai kesatuan wilayah geografis dan penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam prinsip negara kesatuan menghendaki adanya satu sistem hukum nasional. Kesatuan sistem hukum nasional ditentukan oleh adanya kesatuan dasar pembentukan dan pemberlakuan hukum yaitu UUD 1945. 1. Kedudukan, Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Fungsi Mahkamah Konstitusi dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, megadili, dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimabangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan Mahkamah 5 Ibid
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 50 Konstitusi merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakng ini setidaknya terdapat lima fungsi yang melekat pada keberadaan Mahkamah Konstitusi dan dilaksanakan melalui kewenangannya yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitutio), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human right), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen s constitutional right), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy). Berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang untuk: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Memutus pembubaran partai politik; d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan e. Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi a. Putusan Provisi dan Putusan Akhir Dalam suatu proses peradilan terdapat dua jenis putusan hakim termasuk dalam peradilan mahkamah konstitusi yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim. Putusan sela dapat
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 51 berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan. b. Putusan Ultra Petita Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (Ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Dalam prakteknya MK pernah mengeluarkan putusan ultra petita yaitu pada saat MK memutuskan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pada saat itu banyak muncul tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip larangan ultra petita. Berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, prinsip larangan ultra petita mungkin tidaklah dapat diterapkan untuk peradilan di MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang yang dimiliki oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian undangundang perkara yang diajukan menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak suatu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat pada individu tersebut, tidak mengikat individu yang lain atau semua orang. 6 6 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta,2010, hal.53.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 52 D. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Untuk menganalisis mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan ultra Petita maka yang harus dijadikan sebagai instrumen dalam menganalisis adalah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang tertuang di dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Di dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, adapun pasalpasal tersebut sebagai berikut: Pasal 51: 1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. Perorangan warga negara Indonesia; b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan hukum publik atau privat; d. Lembaga negara 2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonan tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 3. Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 56 menyatakan: 1. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syatar sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 dan pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. 2. Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. 3. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. 4. Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 53 5. Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Pasal 57 menyatakan: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. Pasal 58 menyatakan: Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 60 menyatakan: Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Berdasarkan uraian mengenai dasar hukum yang menjadi pedoman pelaksanaan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi memang tidak secara jelas diatur apakah putusan yang memuat unsur ultra petita dilarang dalam proses pengujian undang-undang atau tidak. Bahkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar juga tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai putusan ultra petita.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 54 D. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Mengeluarkan Putusan Ultra Petita dalam permohonan judicial review Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (Ultra Petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. Dalam prakteknya MK pernah mengeluarkan putusan ultra petita yaitu pada saat MK memutuskan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan membatalkan seluruh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pada saat itu banyak muncul tanggapan bahwa MK telah melanggar prinsip larangan ultra petita. Berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, prinsip larangan ultra petita mungkin tidaklah dapat diterapkan untuk peradilan di MK. Kewenangan pengujian Undang-Undang yang dimiliki oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian undangundang perkara yang diajukan menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak suatu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau pertimbangan individu itu sendiri dan akibat hukumnya hanya mengikat pada individu tersebut, tidak mengikat individu yang lain atau semua orang. Perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan telah menyebabkan larangan tersebut tidak lagi diberlakukan secara mutlak dalam pertimbangan hukum putusan tentang Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), MK menyebutkan adanya putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2)
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 55 dan ayat (3) RBg tentang larangan ultra petita tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap aktif dan harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan atau permohonan biasanya selalu dicantumkan permohonan hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum asalkan kewenangan itu tidak disalahgunakan yang malah akan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian dalam penegakkan hukum. E. Kesimpulan 1. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memang tidak diatur secara jelas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita namun dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi sering kali mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita khusunya dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review) hal tersebut sudah merupakan kewajiban hakim yang harus melakukan penemuan hukum untuk memberikan kepastian hukum dengan syarat putusan ultra petita tersebut tidak boleh melampaui kewenangan dan melenceng jauh dari pokok permohonan. dan putusan tersebut harus sudah melalui pertimbangan-pertimbangan hukum yang tetap mengedepankan nilai-nilai keadilan. Berdasarkan rumusan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang memberikan batasan Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengeluarkan putusan melebihi dari permohonan kecuali dalam hal-hal tertentu terkait dengan pokok permohonan kata kecuali tersebut dapat ditafsirkan bahwa Mahkamah Konstitusi tetap berwenang mengeluarkan putusan ultra petita terutama terhadap hal-hal yang terkait dengan pokok permohonan dan Pasal tersebut telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan membatalkan larangan bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita. 2. Dasar pertimbangan hukum bagi Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 56 putusan yang bersifat ulta petita khusunya dalam permohonan pengujian undang-undang (judicial review) adalah untuk memberikan kepastian hukum karena apabila pasal-pasal yang dibatalkan merupakan jantung dari undang-undang tersebut maka terhadap pasal-pasal yang terkait dengan pasal-pasal yang dibatalkan tersebut juga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga karena ketentuan pasal-pasal tersebut juga tidak dapat dilaksanakan lagi karena pasal yang menjadi jantung atau pedoman dalam pelaksanaan undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. F. Saran 1. Diharapkan Mahkamah Konstitusi menegaskan dalam Peraturan mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman dalam Beracara Pengujian Undang-Undang tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan yang bersifat ultra petita terkait dalam hal pengujian undang-undang agar lebih menjamin legitimasi terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan ultra petita sebagai bentuk penemuan hukum untuk menegakkan supremasi konstitusi. 2. Diharapkan agar Mahkamah Konstitusi dalam memberikan pertimbanganpertimbangan hukum dalam memutus perkara-perkara konstitusional tidak melakukan tindakan-tindakan yang melampaui kewenangan dan tetap mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 57 Daftar Pustaka A. Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MAHKAMAH KONSTITUSI RI, 2006. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2010. Suripto, Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang, www.setneg.go.id, Kamis 27 Juni 2007. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Jakarta,2010.