KEWENANGAN DI BIDANG KEARSIPAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN PEMBINAAN KEARSIPAN DAERAH

PEMBINAAN KEARSIPAN PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PELAKSANAAN TATA KEARSIPAN PEMERINTAH KABUPATEN / KOTA. Burhanudin DR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Singkat Dinas Perhubungan Kota Bandar Lampung

2017, No Indonesia Tahun 2012 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5286); 3. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Ne

LEMBAGA KEARSIPAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN Oleh : Rusidi, Arsiparis Madya BPAD DIY.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

APA ITU DAERAH OTONOM?

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kebijakan Bidang Pendayagunaan Aparatur Negara a. Umum

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2000 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Panduan diskusi kelompok

PERATURAN DAERAH KOTA KOTAMOBAGU NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH KOTA KOTAMOBAGU

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN EVALUASI JABATAN FUNGSIONAL ARSIPARIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG

DINAS PERHUBUNGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN MUSI RAWAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Tatanan kehidupan masyarakat yang semrawut merupakan akibat dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

Modul ke: OTONOMI DAERAH. 12Teknik. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU

LEMBAGA KEARSIPAN DAERAH (PROVINSI) DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI PAPUA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Strategi pemerintah Kabupaten Tanggamus dalam rangka memacu dan mempercepat

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN ATAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PASAR KABUPATEN PELALAWAN

I. PENDAHULUAN. terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang

BAB I. PENDAHULUAN. menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN KEARSIPAN DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PASAMAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam masyarakat saat itu. Pemimpin-pemimpin formal, bahkan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN LEGALISIR

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PELAYANAN PERMOHONAN DATA KEPENDUDUKAN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Membanguan Keterpaduan Program Legislasi Nasional dan Daerah. Oleh : Ketua Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang berdayaguna, berhasil guna, bersih dan. bertanggungjawab, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 29

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

1 of 6 02/09/09 11:44

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 38 TAHUN 2001 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, KEPUTUSAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 100 TAHUN 2004

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG KEARSIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan

KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR NOMOR 11 TAHUN 2009 ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

I. PENDAHULUAN. melalui implementasi desentralisasi dan otonomi daerah sebagai salah satu realita

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Daerah Provinsi merupakan Otonomi yang

BAB I P E N D A H U L U A N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG PENYELENGGARAAN TUGAS PEMBANTUAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

B U P A T I B I M A PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

DAFTAR ISI. Halaman Judul Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

4. Apa saja kendala dalam penyelenggaraan pemerintah? dibutuhkan oleh masyarakat? terhadap masyarakat?

1 of 5 02/09/09 11:50

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. Modul ke: Otonomi Daerah. Fakultas Ilmu Komunikasi. Program Studi Hubungan Masyarakat. Ramdhan Muhaimin, M.Soc.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KECAMATAN UJUNGBERUNG KOTA BANDUNG KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Penyelenggaraan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah

REFORMASI BIROKRASI. Pengantar

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN AGAM NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN KEARSIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI AGAM,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI BALI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. yang berdasar Undang-Undang telah ditetapkan sebagai kewenangan

Transkripsi:

KEWENANGAN DI BIDANG KEARSIPAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH Dra. Monika Nur Lastiyani Kepala Seksi Data TI KAD Prop. DIY A. Latar Belakang Setiap undang-undang dapat dikategorikan sebagai salah satu elemen yang menentukan atau penyebab terjadinya suatu perubahan. Hal ini karena peraturan perundang-undangan hakekatnya merupakan rekayasa social (social engineering) yang bertujuan mengubah masyarakat ke arah yang diinginkan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah lahir merupakan salah satu tuntutan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kondisi yang ada. Salah satu paradigma lahirnya ungang-undang tersebut adalah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah Daerah yang bercorak sentralistik dan seragam ke arah otonomi yang memberi keleluasaan kepada Daerah untuk memberdayakan potensi yang ada di masing-masing daerah. Isyarat otonomi Daerah yang tersurat dalam UUD 1945 merupakan landasan mendasar dari aspek hukum bagi pelaksanaan otonomi Daerah yang diberlakukan 1 Januari 2000. Pelaksanaan otonomi Daerah yang didasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 membawa konsekuensi bagi tatanan pemerintahan. Hal ini bukan sekedar pengalihan sebagian kewenangan, lebih dari itu adalah keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat di Daerah masing-masing. Kewenangan di bidang kearsipan di era otonomi, bukan sekedar respon terhadap pengalihan kewenangan pada Daerah tetapi sekaligus jawaban akan kebutuhan informasi di era reformasi secara cepat, tepat, dan lengkap. Persaingan antar bangsa serta daya kritis masyarakat menuntut ketersediaan informasi secara efisien dan efektif. Untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas ketersediaan informasi melalui tertib Arsip bukan sekedar menjadi tugas lembaga. Demikian pula di Daerah. Paradigma lama yang menempatkan Arsip dalam posisi marginal harus diubah. Membebankan tugas kearsipan pada lembaga kearsipan atau petugas kearsipan semata serta sikap tidak mau tahu terhadap kearsipan harus diubah. Oleh karena itu perlu adanya good will dari berbagai elemen, khususnya eksekutif dan legisatif untuk 1

menciptakan iklim kondusif bagi pelaksanaan kearsipan di Daerah. Sebagai pemegang otoritas kebijakan di Daerah, pemeritah Daerah lewat perangkatnya, menjadi faktor penting bagi pelaksanaan kearsipan di Daerah. B. Kewenangan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 9 ditegaskan mengenai kewengan propinsi sebagai Daerah Propinsi dan sebagai wilayah administrasi. Beberapa kewenangan propinsi yang diamanatkan undang-undang tersebut antara lain : a. Kewenangan propinsi sebagai Daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. b. Kewenangan propinsi sebagai Daerah otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah kabupaten/kota. c. Kewenangan propinsi sebagai wilayah administrasi mencakup bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah. Pengaturan kewenangan tersebut akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Sedangkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut diperlukan perangkat Daerah sesuai kebutuhan. Adapun wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah kepada Gubernur selaku wakil pemerintah dalam dekonsentrasi sebagaimana di maksud pasal a ayat (3) dilaksanakan oleh dinas propinsi. Dalam hal ini pemerintah propinsi akan dibentuk dinas untuk melaksanakan fungsi otonom dan fungsi dekonsentrasi. Selain itu juga dibentuk lembaga teknis sesuai kebutuhan, salah satunya adalah lembaga kearsipan. Sesuai dengan ruh otonomi Daerah, kabupaten / kota memiliki kewenangan yang luas sedangkan otonomi saerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas walaupun demikian otonomi Daerah kabupaten dan Daerah kota disesuaikan dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM. Salah satu unsur dalam organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Salah satu UPTD adalah lembaga kerarsipan. Untuk membentuk lembaga kearsipan Kabupaten/Kota selain disesuaikan dengan kebutuhan Daerah juga dipertimbangkan span of control dan beban kerja serta volume kegiatan. 2

C. Kebijakan Pembinaan Kearsipan di Daerah Berdasarkan ketentuan hukum yang ada serta estimasi perubahan sistem kenegaraan yang berlangsung, dapat dikatakan Arsip sebagai informasi yang terekam (recorded information) dalam kegiatan penyelenggaraan Negara dan kehidupan kebangsaan. Sebagai sipul pemersatu bangsa serta sebagai memori kolektif bangsa Arsip memiliki fungsi strategis di era otonomi ini. Mengelola Arsip secara professional membuka kemungkinan mewujudkan misi menjadikan Arsip sebagai memori kolektif bangsa dalam rangka meningkatkan kualitas akuntabilitas dan memanfaatkan sebagai sumber informasi untuk kemaslahatan bangsa. Secara konseptual pengelolaan Arsip di kabupaten/kota harus diarahkan untuk memberdayakan Arsip sebagai tulang punggung manajemen modern dan pendayagunaan aparatur Daerah. Dalam artian ini pengelolaan Arsip di instandi pemerintah kabupaten dan kota diarahkan agar Arsip menjadi informasi bagi manajemen atau decision maker. Kebijakan kearsipan diarahkan agar Arsip dinamis dapat diberdayakan di instansi pencipta (dinas, badan, kantor dan bagian) sesuai sistem yang digariskan secara makro, serta pengelolaan Arsip statis yang didesentralisasikan ke Daerah dapat dimanfaatkan untuk kepantingan hidup berkebangsaan. Dalam hal ini Arsip statis diarahkan agar dapat diakses secara luas dengan standar teknis yang dikembangkan secara nasional. Secara operasional kebijakan kearsipan di kabupaten/kota diatur selaras dan terpadu dengan kebijakan makro. Hubungan antar lembaga kearsipan di tingkat kabupaten/kota, propinsi dan ANRI dilakukan secara teknis koordinatif. Untuk itu diperlukan rumusan visi, misi, dan strategi di bidang kearsipan pemerintah kabupaten/kota yang mempu mengantisipasi perkembangan jaman secara komprehensif. Berdasarkan uraian tersebu kebijakan kearsipan di kabupaten/kota diarahkan untuk memberi perhatian pada masalah pengelolaan Arsip yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah : 1. Memberikan dorongan agar setiap instansi di lingkungan pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan tata kearsipan secara benar sehingga berdaya guna dan berhasil guna. 2. Mengembangkan kerja sama dan koordinasi, baik internal maupun dengan lembaga lain untuk peningkatan profesionalitas bagi praktisi di bidang kearsipan. 3. Mengembangkan situasi kondisi untuk pelaksanaan manajemen kearsipan melalui penyelenggaraan apresiasi kearsipan, penyuluhan, pendidikan dan latihan, pameran, seminar, dan sebagainya. 3

4. Mengembangkan pengawasan dan monitoring tata kearsipan di lingkungannnya. Berkaitan dengan teknis pelaksanaan tata kearsipan kabupaten/kota diperlukan perangkat pengaturan perundang-undangan sebagai pedoman. Hal ini sebagai salah satu indikator untuk menentukan standar kualitas dalam pelaksanaan tata kearsipan. D. Permasalahan Pada dasarnya pelaksanaan otonomi Daerah terjadi benturan pada sisi yang berbeda, yaitu pemberdayaan dan ketidakberdayaan. Pemberdayaan potensi Daerah merupakan jiwa dari otonomi Daerah melalui pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat kepada Daerah, disertai perubahan paradigma dari top down ke bottom up. Sisi lain Daerah dihadapkanpada ketidakberdayaan. Demikian halnya dalam pelaksanaan kearsipan di Daerah, berbagai permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan kearsipan dihadapkan pada dua pertanyaan, bagaimana caranya dan bagaimana membiayai? Secara rinci permasalahan tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : 1. Dasar hokum dan perundang-undangan Mestinya pelaksanaan otonomi Daerah tidak sekedar bertumpu pada UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tetapi harus diikuti peraturan perundangan lain sehingga tercipta kejelasan tentang kewenangan antara pusat dan Daerah. Di bidang kearsipan mestinya segera dilakukan perubahan UU Nomor 7 Tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan serta perundangan lainnya agar sejiwa dengan semangat otonomi. Si sisi lain, masih terbatasnya profuk peraturan kabupaten/kota yang secara teknis mengatur pelaksanaan kearsipan. 2. Sumber daya manusia Keterbatasn SDM di bidang kearsipan, baik secara kualititif maupun kuantitatif merupakan permasalahan pokok. Secara kuantitatif adalah masih terbatasnya tenaga professional dan praktisi yang cukup memadai. Termasuk dalam hal ini terbatasnya jumlah arsiparis. Secara kuantitatif, arsiparis yang ada belum memiliki standar profesi yang ideal. Demikian juga praktisi di luar arsiparis, secara teknis masih jau dari standar kemampuan yang ideal. Di sisi lain mutasi pegawai juga menjadi problema bagai para tenaga kearsipan. Hal yang lelbih mendasar adalah rendahnya apresiasi pimpinan terhdap bidang kearsipan yang menjadikan Arsip tidak mendapat perhatian secara proporsional. 4

3. Biaya Biaya merupakan persoalan klasik. Sebagai bidang yang tidak secara langsung memberikan keuntungan secara material dan cenderung memerlukan biaya tinggi menyebabkan kearsipan tidak mendapatkan perhatian yang proporsional. Ketidaktahuan arti penting arsip, baik dari unsur ekskutif dan legislatif, akibat rendahnya apresiasi merupakan hambatan ketersediaan biaya. 4. Sarana dan prasarana Sebenarnya pengelolaan Arsip memerlukan sarana dan prasarana yang spesifik dan standar. Akan tetapi terkait dengan image yang tidak benar menjadikan tidak terpenuhinya hal tersebut. Apalagi adanya anggapan Arsip hanya tumpukan kertas yang cukup disimpan di gudang. 5. Sistem Tidak adanya pembakuan system pengelolaan Arsip atau adanya system yang rumit menyebabkan tidak dapat dilaksanakan tata kearsipan secara optimal. E. Kesimpulan Tanpa mengesampingkan potensi dan keberagaman Daerah, standar baku kebijakan kearsipan secara nasional tetap diperlukan untuk pelaksanaan kearsipan di Daerah. Apalagi meletakkan Arsip sebagai simpul pemersatu dan memori kolektif bangsa. Secara teknis kabupaten/kota perlu membentuk lembaga kearsipan, yang menjadi motor dan lembaga yang secara khusus bertanggung jawab di bidang kearsipan. Selain itu diperlukan juga perangkat peraturan di bidang kearsipan yang bersifat teknis. 5