BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ekonomi di Kawasan Asia sangat diperhitungkan saat ini,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. membuat para pelaku bisnis harus mampu bersaing. Persaingan yang terjadi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis ritel di Indonesia pada saat ini semakin cepat salah

BAB I PENDAHULUAN. tiap tahun naik sekitar 14%-15%, dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya keidupan modern masyarakat khususnya di perkotaan

I. PENDAHULUAN. apa yang dibutuhkan oleh konsumen dan tidak mengetahui bagaimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis ritel di Indonesia terus berkembang dari tahun ke tahun. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. bermunculan perusahaan dagang yang bergerak pada bidang perdagangan barang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Objek Penelitian Profil Perusahaan PT Trans Retail Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin berkembang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya Negara Indonesia yang dapat dilihat dari segi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. Pada bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnisnya menunjukan perkembangan yang cukup pesat, namun tidak

BAB I PENDAHULUAN. berupa pusat-pusat pertokoan, plaza, minimarket baru bermunculan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kebutuhan mereka di pasar. Perusahaan akan mendapat tempat di

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis eceran, yang kini populer disebut bisnis ritel, merupakan bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan industri ritel nasional yang semakin signifikan dilihat dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kotler (2009 ; 215) : Eceran (retailing)

BAB I PENDAHULUAN. lebih cenderung berbelanja ditempat ritel modern. Semua ini tidak lepas dari pengaruh

BAB I PENDAHULUAN. Semakin modern perkembangan zaman menyebabkan timbulnya berbagai. usaha bisnis yang tentu mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta jiwa pada tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. pembelian dan mengkonsumsi. Untuk memenuhi ketiga aktivitas tersebut, terjangkau terutama bagi masyarakat berpenghasilan sedang.

BAB I PENDAHULUAN. munculnya pasar tradisional maupun pasar modern, yang menjual produk dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jumlah penduduk Indonesia dengan pendapatan kelas

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. menghasilkan simpulan sebagai berikut : pemasok relatif tinggi, potensi masuknya pendatang baru relatif tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. dengan banyaknya produk yang ditawarkan oleh pihak pemasar kepada

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era perdagangan bebas di awal abad 21 membuat. perkembangan lingkungan pemasaran semakin global, persaingan di antara

Judul : Pengaruh Retail Marketing Mix

BAB I PENDAHULUAN. para peritel asing. Salah satu faktornya karena penduduk Indonesia adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia saat ini mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat kita berbelanja di supermarket, hypermarket maupun minimarket,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Carrefour, Hero, Superindo, Hypermart, dan lainnya. Dengan adanya berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kini telah bergeser menjadi struktur yang lebih kompetitif (Thanasuta, 2015). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. jumlah ritel di Indonesia tahun sebesar 16% dari toko menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. rumah tangga (Ma ruf, 2006:7). Bisnis ritel saat ini perkembangannya sangat

BAB I PENDAHULUAN. sektor yang memiliki prospektif peluang besar dimasa sekarang maupun

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan Ritel Modern di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perdagangan eceran atau sekarang kerap disebut perdagangan ritel, bahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Buchari Alma, 2005:130

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini tersusun ke dalam enam sub-bab, yang meliputi latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membuat sebagian besar rakyat Indonesia terjun ke bisnis ritel. Bisnis ritel

BAB I PENDAHULUAN. baik daripada pesaingnya. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk memberikan kepuasan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang baik, dan bisa menciptakan kepercayaan pada pembeli.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. meraih konsumen baru. Perusahaan harus dapat menentukan strategi pemasaran

I. PENDAHULUAN. besar dalam perkembangan pasar di Indonesia. Hal ini terlihat dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. mudah, fasilitas, dan pelayanan yang memadai. menjadi ancaman bagi peritel lokal yang sebelumnya sudah menguasai pasar.

I. PENDAHULUAN. Pemasaran pada dasarnya adalah membangun merek di benak konsumen. Merek menjadi semakin penting karena konsumen tidak lagi puas hanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan perkembangan dinamika perekonomian yang terus mengalami

BAB I PENDAHULUAN. telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan dengan masa-masa

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan bisnis retail (perdagangan eceran) di Indonesia pada akhirakhir

BAB I PENDAHULUAN. Pasar ritel di Indonesia merupakan pasar yang memiliki potensi besar

BAB I PENDAHULUAN. minimarket baru dari berbagai perusahaan ritel yang menyelenggarakan programprogram

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini permintaan dan kebutuhan konsumen mengalami perubahan dari waktu

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meramalkan tren yang nantinya akan booming, produsen diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Bisnis Ritel di Indonesia secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua

I. PENDAHULUAN. negara- negara ASEAN yang lain. Hal ini disebabkan pemerintah Indonesia telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat banyak, pembayaran yang praktis dengan sistem kasir, ruangan ber-

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk mengetahui image dari suatu produk dipasar, termasuk preferensi

BAB I PENDAHULUAN. persaingan pasar yang ketat ini sebuah bisnis atau perusahaan dituntut untuk

ANALISIS PEMASARAN PERTEMUAN PERTAMA. 6/11/2013

BAB I PENDAHULUAN. penjual. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tercatat menempati peringkat ketiga pasar retail terbaik di Asia. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari profit orientied kepada satisfied oriented agar mampu

BAB I PENDAHULUAN. akan mendapatkan poin saat berbelanja di ritel tersebut. tahun 1990-an. Perkembangan bisnis Hypermarket merek luar negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. Didalam era globalisasi ekonomi dewasa ini, dunia usaha dituntut untuk bisa lebih

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. cepat. Pasar modern berkonsep toko ritel banyak berdiri di kota-kota besar,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang ingin berbelanja dengan mudah dan nyaman. Meningkatnya retail modern

BAB I PENDAHULUAN. semakin terintegrasi tanpa rintangan dan batas teritorial negara. Hal ini membuat

BAB I PENDAHULUAN Sejarah PT Carrefour di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhannya dan bagaimana kebutuhan tersebut dapat dengan cara yang menguntungkan.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang. Salah satu hal penting yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh. menggarap pelanggan-pelanggan potensial baru.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjadi pasar yang sangat berpotensial bagi perusahaan-perusahaan untuk

BAB I PENDAHULUAN. juga perlu mengkomunikasikan produk kepada para konsumennya.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adanya pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Seiring dengan majunya

BAB I PENDAHULUAN. ini biasanya didapatkan dari berhutang kepada pihak luar seperti bank.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. perkembangannya, namun perekonomian Indonesia mampu tumbuh dalam tingkat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi di Kawasan Asia sangat diperhitungkan saat ini, terutama pertumbuhan negara-negara seperti China, India, Indonesia, Vietnam, dan Korea Selatan yang bisa mempertahankan pertumbuhan lebih dari 5% sepanjang tahun 2010. Prestasi yang didapatkan negara-negara Asia menjadikan destinasi negara-negara maju Eropa dan Amerika Utara untuk menanamkan investasi. Upaya negara-negara Asia dalam mencapai kesuksesan tersebut tidak terlepas dari kerja sama antarnegara, seperti kerja sama perdagangan bebas ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) antara Negara-negara ASEAN dengan China yang terus ditingkatkan (www.bps.go.id). Melalui ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) tersebut memungkinkan setiap anggota negara menurunkan pos bea masuk hingga 0% dan maksimal 5% untuk produk-produk yang diperdagangkan antara negara-negara ASEAN dan China. Indonesia sebagai negara yang berpartisipasi dalam ACFTA (Asean- China Free Trade Agreement), mempersiapkan bahwa bagi perusahaan yang terlibat untuk segera mencari langkah antisipasi, salah satunya dari sisi pemasaran karena ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) terdapat potensi seperti konsumen baru di luar negeri (62,5%), mencari konsumen baru di dalam negeri (50,0%), dan meningkatkan aktivitas pemasaran di dalam negeri melalui iklan, direct selling, menambah gerai baru (50,0%) (www.bps.go.id). 1

2 Kondisi tersebut dapat berdampak positif dan negatif bagi kinerja perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Hal ini memungkinkan persaingan yang semakin tinggi. Fenomena persaingan dalam era ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) mengarahkan sistem perekonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan melakukan penetrasi pasar, harga, serta pengembangan produk. Industri yang memungkinkan untuk berkembang dalam era ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) adalah industri ritel (BPS/109/Januari 2010). Retailing (usaha eceran) selalu berusaha melakukan berbagai macam strategi, misalnya penawaran diskon, produk murah, dan berbagai strategi lainnya, yang tujuannya untuk menarik minat konsumen membeli produknya atau melakukan transaksi di tokonya. Ritel merupakan salah satu industri yang sedang berkembang di Indonesia dan merupakan industri yang paling banyak diminati oleh para pebisnis maupun oleh para investor asing (AC Nielsen, Asosiasi Ritelers Indonesia, Media Data 2010). Salah satu alasan peritel asing untuk mengembangkan bisnis ritelnya di Indonesia adalah jumlah penduduk di Indonesia yang lebih dari 230 juta jiwa yang merupakan pasar potensial dan berdasarkan riset AC Nielsen sekitar 5 triliun penduduk Indonesia menggunakan uangnya untuk belanja dalam satu hari yang tergambar bahwa penduduk Indonesia merupakan penduduk yang konsumtif. Potensi ritel di Indonesia termasuk besar karena secara jumlah gerai masih memungkinkan untuk bertambah. Hal ini menjadi tantangan bagi pelaku bisnis ritel modern di Indonesia untuk melakukan penetrasi pasar, karena dibandingkan negara Asia lainnya Indonesia terbilang kecil jumlah gerai

3 dibandingkan jumlah penduduk, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1. berikut ini: Negara TABEL 1.1. PENETRASI RITEL MODERN Jumlah Gerai (Per satu juta penduduk) Cina 710 Korea Selatan 504 Indonesia 52 Sumber: Retailer Service Director Nielsen Yongky Susilo, 2010 Berdasarkan Tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa penetrasi ritel modern sepanjang 2010 terbilang kecil walaupun ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) terus dikembangkan. Indonesia menempati posisi terakhir di antara negara Asia lainnya yaitu Cina dan Korea Selatan dengan jumlah penetrasi gerai ritel modern terbesar. Permasalahan tersebut disebabkan ketersediaan infrastruktur seperti listrik dan lokasi strategis yang kurang merata di seluruh wilayah Indonesia. Hanya di kawasan Indonesia barat dan tengah yang infrastrukturnya memadai sehingga bisa melakukan penetrasi antara 60-70% sedangkan di kawasan Indonesia Timur seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua masih 20-40% dari penetrasi yang ada (AC Nielsen, Asosiasi Ritelers Indonesia, Media Data 2010). Bisnis ritel ini disegmentasikan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) kelompok hypermarket dan grosir (2) kelompok supermarket atau departement store (3) minimarket. Berikut jumlah gerai ritel modern di Indonesia. Berdasarkan data pada Tabel 1.2 di bawah, dapat dilihat bahwa pertumbuhan gerai ritel modern jenis minimarket yang mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu 39,59% dibandingkan dengan supermarket yaitu 12,17% dan hypermarket yaitu 25% dari tahun ke tahunnya. Pertumbuhan minimarket

4 terjadi karena permintaaan konsumen yang cenderung lebih mengutamakan pembelian barang ritel yang mudah didapat. TABEL 1.2 JUMLAH GERAI RITEL MODERN 2006 2007 2008 2009 2010 Ritel Modern Gerai (unit) Gerai (unit) Gerai (unit) Gerai (unit) Gerai (unit) Minimarket Indomaret 1.401 1.857 2.425 3.093 3.405 Alfamart 1.263 1.753 2.266 2.750 3.000 Supermarket Super Indo 46 50 56 63 68 Foodmart (Matahari) - 32 29 27 25 Carrefour Express - - - 30 30 Hypermarket Carrefour 19 29 37 58 61 Hypermart 16 26 36 43 44 Giant 12 17 17 26 38 Makro 17 19 19 19 19 Sumber: Nielsen Media Research, Retail Asia Magazine, dan berbagai sumber lainnya Pertumbuhan minimarket dapat dibuktikan dengan pangsa pasar ritel di indonesia yang meningkat setiap tahunnya, seperti pada Tabel 1.3 tentang pertumbuhan pangsa pasar ritel di Indonesia. TABEL 1.3 PERTUMBUHAN PANGSA PASAR RITEL DI INDONESIA Ritel 2008 2009 2010 Hypermarket 42,4% 43,0% 41,7% Supermarket 32,6% 30,9% 26,2% Minimarket 25,0% 26,1% 32,1% Sumber: Nielsen Media Research, Retail Asia Magazine, dan berbagai sumber lainnya Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 Hypermarket merupakan ritel yang mempunyai pangsa pasar yang paling tinggi yaitu 41,7% dibandingkan dengan pesaing yaitu supermarket yang hanya mempunyai pangsa pasar 26,2% dan minimarket hanya sekitar 32,1%. Akan tetapi minimarket mempunyai potensi besar dalam mengembangkan usahanya dan akan memperoleh keuntungan yang

5 lebih besar serta omzet penjualan meningkat. Adapun minimarket yang sampai saat ini bersaing dalam menguasai pangsa pasar seperti pada Tabel 1.4 berikut ini. TABEL 1.4 MARKET SHARE MINIMARKET DI INDONESIA TAHUN 2010 Minimarket Persentase (%) Indomaret 49,18 Alfamart 43,51 Circle K 3,33 Yomart (Yogya Group) 2,57 Starmart (DFI) 1,38 Sumber: Nielsen Media Research, Retail Asia Magazine, dan berbagai sumber lainnya Berdasarkan Tabel 1.4 menunjukkan market share minimarket Indomaret merupakan mimimarket yang memiliki share yang paling tinggi dibandingkan pesaingnya. Sedangkan minimarket yang paling sedikit adalah Startmart (DFI). Berdasarkan data menunjukan persaingan antara Alfamart dan Indomaret terus terjadi, walaupun Alfamart masih belum bisa mengambil alih dominasi minimarket yang masih dipegang oleh Indomaret. Alfamart merupakan minimarket yang dimiliki oleh PT. Sumber Alfaria Trijaya (SAT). Segala upaya dilakukan Alfamart untuk menyaingi Indomaret dan menguasai pasar diantaranya usaha untuk menetapkan harga dengan strategi sedemikian rupa sehingga menarik member, misalnya dengan memberikan potongan harga, memberikan kupon untuk produk-produk tertentu, menetapkan harga yang tinggi, dan lain-lain. Hal tersebut menimbulkan berbagai persepsi harga di benak konsumen. Para pelaku ritel harus mengetahui bagaimana persepsi harga yang ada dalam benak konsumennya karena hal itu akan mempengaruhi perilaku belanja konsumen terhadap ritel yang bersangkutan. Akan tetapi hal ini belum cukup

6 untuk menambah omzet penjualan terlihat dari perbandingan omzet antara pesaingnya Indomaret pada Tabel 1.5. TABEL 1.5 PERBANDINGAN OMZET MINIMARKET ANTARA ALFAMART DAN INDOMARET (TRILYUN) Sumber: Nielsen Media Research, Retail Asia Magazine, dan berbagai sumber lainnya Tabel 1.5 menunjukan bahwa omzet Alfamart masih rendah, oleh karena itu diperlukan berbagai strategi dalam memenangkan persaingan di industri minimarket. Kompetitor utama Alfamart adalah Indomaret dan masih memungkinkan untuk mengambil alih pangsa pasar Indonesia yang potensial. Dengan rendahnya omzet Alfamart bisa menunjukkan adanya gejala yang timbul dimana konsumen Alfamart yang kurang loyal terhadap merek. Parameter untuk bisa melihat tingkatan merek dapat dilihat melalui Top Brand Index (TBI) yaitu penghargaan tertinggi di bidang merek, yang hanya diberikan kepada merek-merek yang berhasil meraih posisi puncak dalam tiga kategori, yaitu mind share atau posisi merek di dalam benak konsumen, market share atau posisi merek berdasarkan pemakaian oleh konsumen, dan commitment share yaitu posisi merek berdasarkan pada keinginan konsumen untuk menggunakannya lagi di masa mendatang. Logo Top Brand Award yang banyak muncul di kemasan dan iklan membuat Top Brand menjadi logo penghargaan yang paling banyak dikomunikasikan oleh merek, seperti pada Tabel 1.6 berikut ini. Minimarket 2008 2009 2010 Omzet Omzet Omzet Indomaret 3,1 3,9 9 Alfamart 3,1 5 8

7 TABEL 1.6 TOP BRAND INDEKS MINIMARKET No Merek 2008 2009 2010 1 Alfamart 50.9% 35.2% 33.3% 2 Indomaret 29.8% 33.9% 34,7% 3 Circle K 3.5% 4.5% 4,1% 4 Starmart (DFI) 2.4% 3.5% 3.1% 5 Yomart (Yogya Group) 1.1% 2.9% 2,4% Sumber: www.top-brand.com, Frontier Consulting group Berdasarkan Tabel 1.6 menunjukan Top Brand index minimarket Alfamart dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang drastis, pada tahun 2008 Alfamart memiliki nilai 50.9%, pada tahun berikutnya yaitu tahun 2009 memiliki nilai 35.2% dan puncaknya pada tahun 2010 Alfamart berada pada posisi kedua dengan nilai 33.3% yang berhasil disusul oleh Indomaret yang memiliki nilai 34.7%. Hal ini memperlihatkan bahwa konsumen minimarket mulai memandang bahwa Alfamart tidak lagi menjadi pilihan utama, hal ini bisa membahayakan loyalitas merek karena konsumen bisa jadi menjadi tidak loyal kepada Alfamart. Sukses Alfamart pada tahun 2008 dan 2009, ternyata tidak sejalan dengan posisi merek Alfamart saat ini di pasar Indonesia. Begitu ironisnya jika melihat keberhasilan masa lalu yang terus mengalami penurunan prestasi. Hal ini dapat berdampak terhadap loyalitas merek Alfamart yang dapat dilihat dalam Tabel 1.7. Merek TABEL 1.7 LOYALITAS MEREK MINIMARKET TAHUN 2009-2010 Loyalitas Merek Loyalitas 2010 2009 Indomaret 33.7% Indomaret 36.9% Alfamart 31.3% Alfamart 28.1% Circle K 17.5% Circle K 18.4% Starmart (DFI) 10.3% Starmart (DFI) 9.2% Yomart (Yogya Group) 7.2% Yomart (Yogya Group) 7.4% Sumber: Nielsen Media Research, Retail Asia Magazine, 2010

8 Berdasarkan Tabel 1.7 di atas menunjukan tingkat loyalitas merek Alfamart mengalami penurunan pada tahun 2010. Dimana pada tahun 2009 mendapatkan 31.3% pada tahun 2010 menurun menjadi 28.1%. Ini menunjukkan bahwa loyalitas terhadap suatu merek minimarket sangatlah rendah. Loyalitas dikalahkan oleh hadiah atau harga murah yang ditawarkan. Rendah atau tingginya loyalitas dapat diukur dengan memperhitungkan pola-pola pembelian yang aktual seperti: laju pembelian ulang, persentase pembelian, dan jumlah merek yang dibeli pada sebuah toko. Termasuk industri minimarket di Kota Bandung salah satunya di Kecamatan Sukajadi yang dapat dilihat pada Tabel 1.8. TABEL 1.8 JUMLAH GERAI MINIMARKET DI KECAMATAN SUKAJADI Minimarket Gerai Indomaret 7 Alfamart 7 Circle K 6 Starmart (DFI) 1 Yomart (Yogya Group) 3 Sumber: hasil survei 2011, diolah. Berdasarkan data pada Tabel 1.8 di atas dapat dilihat bahwa banyaknya minimarket di Kecamatan Sukajadi memungkinkan persaingan antara minimarket terus terjadi, setaip retailer minimarket akan berusaha melakukan strategi dengan tujuan memiliki konsumen yang loyal. Loyalitas pelanggan merupakan tujuan inti yang diupayakan pemasar. Hal ini dikarenakan dengan loyalitas yang sesuai harapan, dapat dipastikan perusahaan akan meraih keuntungan. Istilah loyalitas pelanggan sebetulnya berasal dari loyalitas merek yang mencerminkan loyalitas pelanggan pada merek tertentu.

9 Loyalitas merek merupakan cerminan bagaimana seorang member mungkin beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut membuat suatu perubahan, baik dalam harga maupun unsur-unsur produk. Bila loyalitas merek meningkat, kerentanan kelompok member dari serangan kompetitif bisa dikurangi. Ini merupakan satu indikator dari ekuitas merek yang nyata-nyata terkait dengan laba masa depan, karena loyalitas merek secara langsung ditafsirkan sebagai penjualan masa depan. Loyalitas merek secara kualitatif berbeda dengan dimensi-dimensi utama yang lain, karena loyalitas merek terkait lebih erat kepada pengalaman menggunakan. Loyalitas merek tidak bisa terjadi tanpa lebih dulu melakukan pembelian tanpa mempunyai pengalaman menggunakan. Fungsi loyalitas merek yang diungkapkan oleh Darmadi Durianto (2007:127) adalah sebagai berikut : 1. Reduced marketing cost (mengurangi biaya pemasaran) 2. Trade leverage (meningkatkan perdagangan) 3. Attracting new customer (menarik minat pelanggan baru) 4. Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing) Loyalitas merek seperti yang diungkapkan diatas, yaitu dapat mengurangi biaya pemasaran. Jadi biaya pemasaran dapat mengecil jika ekuitas merek meningkat, biaya pemasaran akan lebih murah dalam mempertahankan member dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan member baru. Cirinya adalah member yang membeli suatu produk dikarenakan harganya murah. Minimarket yang terus berkembang menjadikan tantangan, terutama Alfamart yang masih di bawah bayang-bayang Indomaret. Alfamart memungkinkan untuk pelanggannya

10 berkomitmen kuat melakukan pembelian secara terus menerus dalam mempertahankan kepuasannya. Salah satu strategi yang dikembangkan serta diterapkan oleh Alfamart saat ini dalam mempertahankan atau membangun loyalitas pelanggannya terhadap merek toko Alfamart adalah melakukan pengembangan atau peluncuran produk Private Label Brands (PLBs). Private Label Brands (PLBs) merupakan merek yang diciptakan dan dimiliki pengecer produk atau jasa. Selain itu Private Label Brands (PLBs) merupakan produk yang dimiliki dan diberi merek sendiri oleh organisasi yang aktivitas utamanya sebagai distributor daripada sebagai produsen. Produk Private Label Brands (PLBs) merupakan produk yang sedang dipromosikan secara intensif oleh Alfamart, yaitu dengan menawarkan produkproduk yang lengkap yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang mampu bersaing dengan merek nasional. Adanya produk Private Label Brands (PLBs) yang ditawarkan Alfamart ini adalah untuk untuk mengelola konsumen kecil, karena dengan produk Private Label Brands (PLBs) ini merupakan jawaban bagi konsumen dan dapat mendorong konsumen membeli barang yang harganya relatif murah dan memiliki kualitas yang hampir sama. Ada beberapa alasan Alfamart mulai mengelola produk Private Label Brands (PLBs). Pertama, untuk memperkuat citra merek. Kedua, produk Private Label Brands (PLBs) mempunyai penggunaan masal, sehingga tidak tergantung pada satu produk saja. Ketiga, pabrik produsen masih mempunyai kapasitas produksi yang besar dan produsen menawarkan kerjasama untuk memproduksi Private Label Brands (PLBs). Keempat, mempunyai channel distribution yang baik dengan kualitas yang baik.

11 Private Label Brands (PLBs) ini muncul sebagai jawaban dari tuntutan masyarakat saat ini yaitu dengan kondisi perekonomian yang melemah terutama bagi ibu rumah tangga yang mencari produk dengan merek yang lebih murah, bahkan beralih ke produk generik atau melakukan pembelian secara coba-coba. Tingginya harga produk yang dirasakan oleh konsumen, bukan hanya disebabkan oleh kenaikan biaya produksi dan distribusi saja akan tetapi adanya biaya promosi yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengeluarkan produk tersebut. Untuk menutupi penurunan penjualan, produsen bekerjasama dengan jaringan ritel mengeluarkan produk-produk fast moving customer goods yang diberi nama Private Label Brands (PLBs). Dalam penerapannya Alfamart menggunakan strategi Private Label Brands (PLBs) pada beberapa barang yang dijual diantaranya 1) gula pasir, 2) gula tebu, 3) beras, 4) makanan ringan, 5) tisu, 6) kapas, 7) roti tawar, 8) kaos kaki, 9) cotton buds, 10) pelembut pakaian. Selama beberapa tahun ini, penjualan Private Label Brands (PLBs) yang juga sering disebut store brands mengalami peningkatan yang tajam, terutama di negara maju. Store brands merupakan merek utama pada suatu toko sebagai identitas perusahaan dan kualitas, serta dilihat sebagai sumber penting dari profitabilitas perusahaan. Perkembangan penjualan Private Label Brands (PLBs) disebabkan oleh dua hal. Pertama, retailer mempromosikan national brands untuk menarik konsumen berbelanja di tokonya dan menjual produk penjualan Private Label Brands (PLBs) (yang mempunyai variable cost yang lebih rendah dan secara potensial mempunyai marjin yang lebih tinggi) kepada segmen konsumen yang lebih sensitif terhadap harga.

12 Alfamart menggunakan Private Label Brands (PLBs) untuk bersaing mendapatkan kentungan pada segmen konsumen yang sensitif terhadap harga. Produk Private Label Brands (PLBs) memungkinkan retailer mendapatkan harga yang lebih rendah dari perusahaan manufaktur. Konsumen selama ini akan membeli produk Private Label Brands (PLBs) karena lebih mempertimbangkan faktor harga, dan biasanya menganggap kualitas dari produk Private Label Brands (PLBs) masih dibawah produk konvensional. Hal ini yang mengakibatkan loyalitas terhadap produk Private Label Brands (PLBs) rendah, karena kualitas produk akan berpengaruh terhadap tingkat resiko yang dirasakan (perceived risk) oleh konsumen. Konsumen biasanya menganggap produk dengan harga yang lebih murah akan menimbulkan resiko kualitas produk yang diterimanya atas produk tersebut. Berdasarkan pembahasan yang diuraikan sebelumnya maka diprediksikan terdapat hubungan antara Private Label Brands (PLBs) dan loyalitas. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa, Private Label Brands (PLBs) dapat membantu peritel dalam mengendalikan alur konsumen dan membentuk loyalitas terhadap toko dengan menawarkan lini produk (Corstjens, Lal, R., 2000:281 291). Hal ini yang menjadikan alasan penelitian dilakukan pada semua minimarket Alfamart yang ada di Kecamatan Sukajadi. Berdasarkan semua konsep dan fenomena yang terjadi maka diperlukan penelitian yang lebih lanjut mengenai Pengaruh Private Label Brands (PLBs) Terhadap Loyalitas Merek Alfamart (Survei Pada Member Ritel Minimarket Alfamart di Kecamatan Sukajadi Bandung).

13 1.2 Identifikasi Masalah Semua permasalahan penelitian diuraikan dari fenomena-fenomena yang terjadi melalui hegemoni pertumbuhan industri ritel yang ada di Indonesia. Persaingan yang terjadi pada industri ritel khususnya minimarket yang terus berkembang memiliki potensi besar untuk merebut pasar potensial di Indonesia. Hal ini terlihat dengan semakin banyaknya gerai yang didirikan retailer, Alfamart sebagai minimarket memiliki keinginan yang kuat untuk memimpin pada segmen minimarket yang diprediksikan akan terus berkembang di tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan penelitian yang diidentifikasikan adalah ke dalam tema sentral sebagai berikut. Industri ritel perlu memperhatikan kecenderungan member dalam melihat produk dipasaran. member saat ini peka terhadap harga akan tetapi sangat mementingkan jaminan kualitas. Segala upaya dilakukan Alfamart sebagai salah satu minimarket yang berkembang dalam menjaga loyalitas pelanggannya terhadap merek dagang Alfamart. Loyalitas dianggap hal yang penting dalam menjaga perpektif konsumen terhadap merek. Loyalitas yang dimaksud dan diharapkan adalah member setia terhadap merek Alfamart dan memiliki niat untuk membeli ulang dimasa yang akan datang. Salah satu strategi yang dilakukan Alfamart dalam menjaga loyalitas merek melalui produk Private Label Brands (PLBs). Strategi tersebut dianggap sangat cocok diterapkan sebagai cara mempertahankan member, menekan harga serta memiliki impect terhadap loyalitas merek Alfamart. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa masalah diantaranya: 1. Bagaimana gambaran Private Label Brands (PLBs) Alfamart 2. Bagaimana gambaran Loyalitas merek Alfamart

14 3. Seberapa besar pengaruh Private Label Brands (PLBs) Terhadap Loyalitas Merek Alfamart 1.4 Tujuan Penelitian Pada penelitian ini diharapkan memperoleh data ataupun informasi yang berhubungan dengan Private Label Brands (PLBs) dan tingkat loyalitas merek Alfamart. Sedangkan tujuan dari penelitian ini ialah: 1. Memperoleh temuan mengenai Private Label Brands (PLBs) Alfamart 2. Memperoleh temuan mengenai Loyalitas Merek Alfamart 3. Memperoleh temuan mengenai seberapa besar pengaruh Private Label Brands (PLBs) Terhadap Loyalitas Merek Alfamart 1.5 Kegunaan Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Private Label Brands (PLBs) Terhadap Loyalitas Merek Alfamart (Survei Pada Member Ritel Minimarket Alfamart di Kecamatan Sukajadi Bandung), diharapkan memberikan sumbangan tentang keilmuan khususnya pemasaran, baik secara teoritis maupun empiris, diantaranya: a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam aspek teoritis (keilmuan) yaitu bagi perkembangan ilmu Ekonomi dan Manajemen, khususnya pada bidang Manajemen Pemasaran. Penelitian dilakukan melalui pendekatan serta metode-metode terutama dalam upaya menggali pendekatan-pendekatan baru dalam aspek pemasaran dan customer behavior. Penelitian dilakukan melalui pendekatan brand

15 dan loyalitas. Sehingga diharapkan dalam penelitian ini memberikan sumbangan bagi ilmu manajemen pemasaran. b. Kegunaan Empiris 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam aspek praktis yaitu untuk memberikan sumbangan pemikiran mengenai pengelolaan brand bagi Minimarket Alfamart. 2) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai informasi ataupun acuan, pada perkembangan industri ritel modern di Indonesia. 3) Temuan-temuan dalam penelitian ini diharapkan juga bermanfaat untuk perkembangan pemerintah Indonesia. Penelitian ini dapat memberikan masukan terutama untuk pertumbuhan dari segi ekonomi.