BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat meningkatkan perannya secara optimal sebagai lembaga intermediasi didalam momentum recovery setelah berlalunya krisis finansial. Banyak kalangan, khususnya kalangan dunia usaha dan pemerintah mengharapkan kontribusi perbankan yang lebih besar dalam menggerakkan perekonomian. Sepanjang tahun 2009-2010, banyak kalangan menilai perbankan kurang optimal dalam menjalankan fungsi intermediasinya, hal tersebut berdasarkan penilaian dari berbagai pihak bahwa perbankan menerapkan strategi suku bunga yang tinggi untuk dapat mempertahankan tingkat keuntungan. Dunia usaha sangat menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap sektor perbankan, karena dunia usaha melihat peluang adanya perbaikan perekonomian di tahun 2011. Pandangan dunia usaha tersebut cukup beralasan dengan pulihnya ekonomi global yang ditunjukkan oleh mulai membaiknya ekonomi AS dan Jepang. Ini diikuti juga dengan terus menguatnya ekonomi negara-negara emerging market seperti China dan India. Kondisi ini diprediksi akan berdampak pada terus membaiknya perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor impor diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan permintaan global. Konsumsi rumah tangga akan meningkat seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat dan tetap menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Kegiatan investasi akan meningkat terutama di sektor
infrastruktur. Kondisi membaiknya perekonomian global tersebut menjadi tantangan bagi perbankan nasional untuk melakukan efisiensi. Banyak kalangan menilai akibat belum efisiennya perbankan, maka suku bunga kredit belum bisa turun. Sehingga, selain menghadapi resiko globalisasi, bank umum harus memperbaiki sistem perbankan, terutama terkait dengan efisiensi, intermediasi dan kesehatan bank. Hal ini sangat beralasan karena bank umum bersama dengan Bank Indonesia, yang disebut sebagai sistem moneter Indonesia, harus dapat menjaga stabilitas moneter. Lihat Gambar 1.1 : Sistem Keuangan di Indonesia dibawah ini. Oleh karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia secara terkoordinasi telah mengeluarkan langkah-langkah stabilisasi ekonomi sebagai bagian dari upaya meminimalkan dampak gejolak finansial global, yang dapat direspons cukup baik oleh pelaku pasar dan masyarakat sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat pada industri perbankan di Indonesia. Sementara itu, pada level industri perbankan sendiri, dalam rangka mewujudkan sektor keuangan yang sehat, kuat, dan efisien serta meningkatkan intermediasi perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi terutama mendukung pertumbuhan sektor riil, telah disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan program jangka panjang. Sehubungan dengan kondisi eksternal yang tidak menentu, terutama, sejak tahun 2008, telah ditetapkan kebijakan untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan domestik khususnya perbankan.
Sistem Keuangan di Indonesia Sistem Perbankan Lembaga Keuangan Diluar Sistem Perbankan Industri Perbankan Otoritas Moneter Asuransi Sewa Guna Usaha BPR Bank Umum Bank Indonesia Modal Ventura Anjak Piutang Sistem Moneter Pasar Modal Kartu Kredit Pegadaian Dana Pensiun Gambar 1.1 : Sistem Keuangan di Indonesia Beberapa kebijakan penting perbankan yang dikeluarkan oleh pemerintah selama tahun 2008 antara lain, pertama, memberi bantuan perbankan yang mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik serta menimbulkan potensi krisis yang akan dibiayai oleh pemerintah melalui APBN; kedua, mengubah besaran nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan/LPS dari Rp100 juta
menjadi Rp2 miliar; serta ketiga, membentuk landasan hukum bagi Jaring Pengaman Sektor Keuangan. Seiring dengan upaya tersebut, kondisi ketahanan perbankan dalam kurun waktu 2005 2010 dapat dijaga dengan relatif stabil. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi CAR bank umum yang berkisar antara 16,0-20,0 persen, yang berada jauh di atas ketentuan sebesar 8,0 persen (Tabel 1.1). Dan, terdapat potensi penurunan risiko yang tercermin dari penurunan angka NPL hingga mencapai 2,56 persen pada akhir 2010, setelah memiliki trend yang meninggi pada tahun 2005 yang antara lain disebabkan oleh melambatnya aktivitas ekonomi. Kondisi ini perlu dicermati mengingat pada periode-periode sebelumnya angka tersebut sudah cenderung menurun. Fungsi intermediasi perbankan juga mengalami kenaikan yang tercermin dari peningkatan LDR dan sedikit menurun pada 2009 kemudian meningkat kembali di 2010. TABEL 1.1 INDIKATOR PERBANKAN NASIONAL TAHUN 2004-2010 (Persen) Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Capital Adequacy Ratio 19.40 19.30 21.27 19.30 16.76 17.42 17.18 (CAR) Non Performing Loans 1,50 7.56 6.07 4.07 3.20 3.31 2.56 (NPL) Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia (2010)
Semula rasio tersebut cenderung meningkat seiring dengan optimisme akan prospek perekonomian, dari 50,0 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 66,3 persen pada akhir tahun 2007 dan mencapai puncaknya pada 2008 menjadi 74,58 persen yang didorong oleh laju pertumbuhan kredit yang cukup tinggi (Tabel 1.2). Tetapi pada tahun 2009 menurun menjadi 72,88 persen dan pada tahun 2010 meningkat kembali mencapai 75,21 persen. Di sisi pertumbuhan kredit, terlihat mengalami peningkatan yakni sebesar Rp.695,65 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp.1.765,85 triliun pada tahun 2010, sehingga kredit tumbuh sebesar 20,73 persen (y-o-y) dengan nilai rata-rata pertumbuhan sebesar Rp.214,04 triliun. Jika dilihat dari komponennya, pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 30,0 persen pada periode yang sama. Di sisi penghimpunan dana, simpanan masyarakat pada bank tumbuh sebesar 15,72 persen (y-o-y), yaitu dari Rp1.127,94 triliun pada 2005 menjadi Rp.2.338,82 triliun pada 2010. Terjaganya kepercayaan masyarakat menjadi salah satu faktor pertumbuhan simpanan masyarakat yang tetap tinggi. Kebijakan moneter sampai dengan tahun 2010 diarahkan untuk menjaga stabilitas harga dalam negeri dan nilai tukar rupiah serta mendorong kegiatan ekonomi secara seimbang. Dengan terjaganya stabilitas harga dan nilai tukar rupiah, diharapkan suku bunga berada pada tingkat yang kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga sehingga kegiatan dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi lebih kondusif dan berkualitas.
TABEL 1.2 KEGIATAN USAHA BANK UMUM TAHUN 2005-2010 (Miliar Rp.) Indikator 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Penyaluran Dana 1. Kredit 695.648 792.297 1.002.012 1.307.688 1.437.930 1.765.845 2. Antar Bank Aktiva 159.120 156.906 139.777 213.779 261.474 228.549 3. Penempatan di BI 209.578 343.455 418.269 322.333 397.897 581.901 4. Surat Berharga 44.224 55.988 108.007 113.851 134.960 133.454 5. Penyertaan 6.122 5.924 5.620 6.626 6.626 12.356 6. Tagihan lainnya 25.586 25.803 28.835 50.944 39.908 43.807 Sumber Dana 1. DPK 1.127.937 1.287.102 1.510.834 1.753.292 1.973.042 2.338.824 2. Kewajiban pada 11.874 10.807 9.105 11.272 8.028 6.107 BI 3. Antar Bank Pasiva 99.417 119.454 137.790 158.648 134.543 152.746 4. Surat Berharga 13.411 14.942 17.333 14.301 14.918 17.158 5. Pinjaman yang 11.406 12.883 14.319 12.949 21.553 29.323 Diterima 6. Kewajiban lainnya 16.192 19.913 24.893 34.663 22.874 14.646 7. Setoran Jaminan 3.242 3.267 4.691 5.220 5.977 4.757 Loan to Deposit Ratio (LDR) (%) 59,66 61,56 66,32 74,58 72,88 75,21 Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dan Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Bank Indonesia (2010)
Kebijakan moneter yang dikeluarkan sejak tahun 2005 sampai dengan saat ini secara umum konsisten dengan rezim kebijakan moneter yang diterapkan sejak Juli 2005, yaitu kerangka kerja pencapaian sasaran inflasi (Inflation Targeting Framework ITF) dengan menggunakan suku bunga referensi Bank Indonesia (BI rate) sebagai sinyal kebijakan moneter. Adapun sasaran inflasi yang ingin dicapai tersebut ditetapkan oleh pemerintah dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kebijakan-kebijakan pengendalian inflasi dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian besar, yaitu kebijakan moneter, kebijakan pengaturan dan pemantauan transaksi devisa, serta koordinasi kebijakan antara otoritas moneter dan fiskal serta pemangku kepentingan lainnya, baik di pusat maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Koordinasi kebijakan antara pemerintah dan Bank Indonesia sangat diperlukan, terutama di dalam menghadapi berbagai guncangan eksternal, termasuk krisis keuangan global dan menjaga iklim usaha yang kondusif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Inflasi selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2010 secara umum berfluktuasi, tetapi terkendali. Lonjakan dan fluktuasi harga komoditas dunia yang berimbas pada kenaikan BBM dalam negeri telah menyebabkan inflasi meningkat cukup besar pada tahun 2005 dan 2008, yang masing-masing mencapai 17,11 persen dan 11,1 persen. Lonjakan inflasi tahun 2005, terutama, dipicu oleh tingginya harga minyak di pasar dunia yang menyebabkan beban subsidi BBM dalam negeri yang disediakan dalam APBN 2005 tidak mencukupi sehingga telah mengganggu kesinambungan fiskal pemerintah. (Lihat Tabel 1.3)
TABEL 1.3 PERGERAKAN INFLASI, BI RATE DAN NILAI TUKAR TAHUN 2004 2010 (Persen) Periode Laju Inflasi Tahunan BI Rate *) Nilai Tukar Rp./USD *) 2004 6.40 6.4 9,290 2005 17.11 12.75 9,830 2006 6.60 9.75 9,022 2007 6.59 8.00 9,419 2008 11.06 9.25 10,950 2009 Jan 9.17 8.75 11,355 Feb 8.60 8.25 11,980 Mar 7.92 7.75 11,575 Apr 7.14 7.50 10,713 Mei 6.04 7.25 10,340 Jun 3.65 7.00 10,225 Jul 2.71 6.75 9,920 Agt 2.75 6.50 10,060 Sep 2.83 6.50 9,681 Okt 2.57 6.50 9.545 Nov 2.41 6.65 9,480 Des 2.78 6.50 9,400 2010 Jan 3.72 6.50 9,412 Feb 3.81 6.50 9,382 Mar 3.43 6.50 9,161 Apr 3.91 6.50 9,057 Mei 4.16 6.50 9,226 Jun 5.05 6.50 9,128 Jul 6.22 6.50 8,997 Agt 6.44 6.50 9,086 Sep 5.80 6.50 8,969 Okt 5.67 6.50 8,973 Nov 6.33 6.50 9,058 Des 6.96 6.50 9,036 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (2010) Keterangan : *) posisi akhir periode
TABEL 1.4 : POSISI INDIKATOR KEUANGAN PERBANKAN Periode : 2005-2010 No INDIKATOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010 BANK UMUM 1 Kas 20,879 27,918 37,819 54,644 53,022 58,381 2 Giro Pada BI 102,266 125,791 167,566 83,927 101,364 164,833 3 SBI 54,256 179,045 203,863 166,518 212,116 139,316 4 Surat Berharga 44,224 55,988 108,007 113,851 134,860 133,454 5 Kredit 695,648 792,297 1,002,012 1,307,688 1,437,930 1,765,845 6 Dana Pihak Ketiga 1,127,937 1,287,102 1,510,834 1,753,292 1,973,042 2,338,824 Sumber : Statistik Perbankan Indonesia - Vol. 9. No.1, Desember 2010.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM di dalam negeri pada tahun tersebut sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 dengan tingkat kenaikan rata-rata sebesar 29 persen dan pada 1 Oktober 2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 126 persen. Meningkatnya inflasi pada tahun 2005 tersebut dikendalikan melalui langkah-langkah kebijakan pengetatan moneter yang konsisten. Secara bertahap, BI rate dinaikkan dari 8,50 persen pada bulan Juni 2005 menjadi 12,75 persen pada bulan November 2005 dan bertahan sampai dengan bulan April 2006 kemudian diturunkan bertahap sehingga mencapai 9,75 persen pada bulan Desember 2006. Selain melakukan peningkatan BI rate melalui operasi pasar terbuka (OPT), juga dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan likuiditas di pasar uang dan penyempurnaan berbagai instrumen moneter seperti menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) dan menaikkan suku bunga fasilitas simpanan Bank Indonesia (FASBI) 7 hari. Langkah pengetatan moneter tersebut dibarengi dengan upaya-upaya menjaga stabilitas nilai tukar dan mengarahkan ekspektasi masyarakat. Pada tahun 2007, stabilitas ekonomi dan moneter cukup terjaga stabil. Kebijakan moneter melonggar, penyaluran kredit dan kegiatan ekonomi meningkat. BI rate pada bulan Desember 2006 sebesar 9,75 persen diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 8,0 persen pada akhir tahun 2007. Inflasi yang pada bulan Desember 2006 sebesar 6,60 persen, menurun tipis menjadi 6,59 persen pada akhir 2007. Dalam memasuki tahun 2009 pergerakan inflasi menurun menjadi 9,17 persen, bila dibanding tahun 2008 yang berada pada tingkat 11.06 persen, seiring dengan berkurangnya tekanan inflasi sebagai dampak dari penurunan harga BBM dalam
negeri dan cukup terjaganya pasokan bahan pangan pokok domestik serta membaiknya ekspektasi inflasi dari para pelaku ekonomi. Hal tersebut pada akhirnya mendorong ekspektasi inflasi yang terus menurun sehingga pada tahun 2009, dengan tingkat inflasi terendah pada bulan November 2009 sebesar 2,41 persen. Meskipun pada bulan September 2009 inflasi sempat meningkat tipis menjadi 2,83 persen, akibat tekanan kenaikan harga karena berlangsungnya puasa dan lebaran, inflasi kembali melemah sehingga pada akhir tahun 2009 menjadi 2,78 persen (y-o-y), jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat inflasi pada akhir tahun 2008. Dan kembali meningkat menjadi 6,96 pada akhir 2010. Seiring dengan penurunan laju inflasi dan untuk mendorong kegiatan sektor riil, BI rate diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 6,5 persen sejak bulan Agustus 2009 dan dipertahankan stabil sampai dengan saat ini. Pada waktu yang sama nilai tukar rupiah juga menguat, yang semula mencapai Rp.11.980/USD pada January 2009 menguat hingga mencapai Rp.9.400/USD pada akhir Desember 2009, dan kembali menguat menjadi Rp.9.036/USD pada akhir tahun 2010. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut, antara lain, didukung oleh neraca pembayaran yang surplus; imbal hasil rupiah yang menarik; premi risiko yang menurun; melemahnya mata uang dolar AS terhadap beberapa mata uang utama dunia serta meningkatnya keyakinan investor global kepada kinerja perekonomian Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya peringkat Indonesia dari stable ke positive. ) 1). Lembaga Pemeringkat Kredit Internasional Standards & Poor s, bulan Oktober 2009.
Dalam penulisan ini peneliti mengemukakan suatu fenomena tentang peran sektor perbankan sebagai lembaga yang membantu Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas moneter. Sektor perbankan, dalam hal ini melalui kemampuan aspek finansialnya telah membantu Bank Indonesia dengan menjadi pembeli Sertifikat Bank Indonesia. Sektor perbankan merupakan lembaga yang paling mudah untuk dikendalikan dan diawasi oleh Bank Indonesia dalam hal pemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sertifikat Bank Indonesia merupakan salah satu alat/instrumen moneter, dimana melalui SBI ini Bank Indonesia dapat mengendalikan tingkat inflasi. Namun dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/11/PBI/2010 tanggal 2 Juli 2010 tentang Operasi Moneter dan peraturan pelaksanaannya, maka secara otomatis ketentuan-ketentuan yang lama seperti ketentuan OPT, FASBI, Repo dengan BI, Lelang SBI, Finance Tune Operation, Reserve Repo, dan jual beli SBN dengan BI tidak berlaku lagi. Selain itu, salah satu prinsip dasar yang dipegang oleh Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga dan pemelihara stabilitas nilai tukar rupiah adalah mengupayakan meminimalkan transaksi valuta asing yang bersifat spekulatif, sehingga Bank Indonesia memberlakukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/28/PBI/2008 tentang pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, dan PBI No.10/37/PBI/2008 tentang transaksi valuta asing terhadap rupiah, yang mewajibkan bank untuk melakukan transaksi valuta asing terhadap rupiah harus disertai dengan pergerakan pokok secara penuh.
Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah lanjutan dengan mengelola arus modal asing yang tengah membanjiri pasar keuangan Tanah Air. Namun, menurut Direktur Kebijakan Riset Ekonomi dan Kebijakan BI Perry Warjiyo, langkah otoritas moneter itu perlu disertai kebijakan pendukung di ranah pemerintah atau otoritas fiskal agar lebih efektif. Langkah Bank Indonesia tersebut adalah mengurangi jumlah SBI milik Asing yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Dengan demikian dapat mengurangi ancaman pembalikan modal keluar Indonesia secara tibatiba (sudden reversal). Sementara disisi lain, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal di saat likuiditas perbankan meningkat, namun tidak produktif. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia yang hampir mencapai Rp.269 triliun. Ditambah lagi seretnya pertumbuhan kredit, diikuti pembiayaan obligasi rekap yang mencekik APBN. Karena itu, sudah seharusnya dana-dana di SBI dan GWM segera dialihkan menjadi Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini, diungkapkan oleh ekonom dari The Indonesia Economic Inteligence, Djoko Retnadi, di Bogor (Harian Neraca, 11 Oktober 2010). Dan menurut Djoko, hasil dana di SBN bisa dimanfaatkan sebagai pembiayaan APBN dan tidak akan menjadi beban yang membahayakan perekonomian di masa mendatang. Sebaliknya, jika diendapkan dalam SBI, dana tersebut tidak bisa dimanfaatkan kepada sektor riil secara langsung. Apabila tidak segera dilakukan hal ini bisa membuat bubble ekonomi dan akan membahayakan perekonomian, walaupun SBN tidak fleksibel karena harus melalui persetujuan DPR, namun instrument tersebut akan membantu bergeraknya sektor riil.
Dari fenomena terhadap keadaan diatas maka Peneliti mencoba untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana pengaruh pengelolaan keuangan industri perbankan terhadap stabilitas moneter. Sehingga Peneliti mengambil judul Analisis Pengelolaan Keuangan Industri Perbankan dan Pengaruhnya terhadap Stabilitas Moneter di Indonesia. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh PDB, suku bunga Deposito, dan tingkat Inflasi terhadap Deposito industri perbankan Indonesia. 2. Bagaimana pengaruh PDB, suku bunga Kredit, dan tingkat Inflasi terhadap Kredit industri perbankan Indonesia. 3. Bagaimana pengaruh SBI, suku bunga SBPU, dan Total Deposito terhadap suku bunga Deposito industri perbankan Indonesia. 4. Bagaimana pengaruh SBI, suku bunga SBPU, dan Total Kredit terhadap suku bunga Kredit industri perbankan Indonesia. 5. Bagaimana pengaruh GWM, suku bunga SBI dan Total Kredit industri perbankan terhadap suku bunga SBPU di Indonesia. 6. Bagaimana pengaruh tingkat Inflasi dan Jumlah Uang Beredar terhadap Kurs USD di Indonesia. 7. Bagaimana pengaruh Kurs USD dan suku bunga SBPU terhadap tingkat Inflasi di Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk : 1. Menganalisis pengaruh PDB, suku bunga Deposito, dan tingkat Inflasi terhadap Total Deposito industri perbankan Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh PDB, suku bunga Kredit, dan tingkat Inflasi terhadap Total Kredit industri perbankan Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh SBI, suku bunga SBPU dan Total Deposito terhadap suku bunga Deposito industri perbankan Indonesia. 4. Menganalisis pengaruh SBI, suku bunga SBPU dan Total Kredit terhadap suku bunga Kredit industri perbankan Indonesia. 5. Menganalisis pengaruh GWM, suku bunga SBI dan Total Kredit industri perbankan terhadap suku bunga SBPU di Indonesia. 6. Menganalisis pengaruh tingkat Inflasi, dan Jumlah Uang Beredar, terhadap Kurs USD di Indonesia. 7. Menganalisis pengaruh Kurs USD dan suku bunga SBPU terhadap tingkat Inflasi di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan penelitian yang dilakukan ini diharapkan akan membuahkan hasil yang dapat memberikan manfaat, antara lain : 1. Menambah khasanah dan wawasan ilmu pengetahuan bagi diri Peneliti sendiri terutama yang berkaitan dengan pengelolaan aspek keuangan pada industri perbankan dan pengaruhnya terhadap stabilitas moneter. 2. Sebagai referensi bagi peneliti lainnya yang berminat untuk mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan aspek keuangan pada industri perbankan dan pengaruhnya terhadap stabilitas moneter. 3. Sebagai bahan masukan bagi pihak perbankan yang terkait dengan pengelolaan aspek keuangan pada industri perbankan untuk dapat mengambil kebijakan dalam menjaga stabilitas moneter. 4. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah atau badan yang terkait untuk memperhatikan pengelolaan aspek keuangan pada industri perbankan untuk dapat mengambil kebijakan dalam menjaga stabilitas moneter.