Di setiap ma sya ra kat penutur ba hasa, selalu ada ung kapan lokal atau prokem lokal yang disebut slank. Makna kata atau ungkapan yang tergolong prokem atau slank sering tidak ditemukan di kamus sehingga orang lain yang bukan penutur asli bahasa itu mengalami kesulitan me ma hami maknanya. Dalam bahasa Jawa, misalnya, terdapat banyak prokem, seperti weleh-weleh, ndasmu, deng kul mu, dan se ba gainya. Bagi bukan pe nutur bahasa Jawa, apalagi orang asing, kata-kata itu sangat sulit di pahami maknanya. Suatu ketika dalam sebuah acara seminar, saya bertemu dengan seorang teman asing, sebut saja Mr. Karen, yang sudah hampir dua tahun tinggal di Yogyakarta. Mr. Karen yang sudah mulai fasih berbahasa Indonesia ini bingung bukan kepalang setiap mendengar kata yang diucapkan orang di sekelilingnya. Di ban ding dengan orang asing (baca: Barat) pada umumnya, Mr. Karen ini memang tergolong agak pemalu, mungkin karena ia tinggal di Yogyakarta, se hingga ia lebih suka berusaha sendiri mencari makna kata yang ia tidak mengerti mak na nya melalui kamus ketimbang ber tanya kepada seorang kawan atau kolega. Mengapa ia lebih suka mencari sendiri makna kata? Sebab, menurutnya, ketika baru saja tiba di Indonesia, ia per nah ditipu oleh seorang kawan kenalan barunya ketika ia bertanya apa makna kata gendheng (gila). Si kawannya yang usil itu, menerangkan bahwa gendheng adalah ungkapan santun yang mesti di ucapkan kepada setiap orang yang lebih tua dan di hor mati. Kata g endheng di go longkan sama maknanya dengan kata baik dan bagus. Apalagi bagi orang asing yang baru saja tiba di Indonesia, kata 1 / 7
gendheng itu wajib di ucap kan kepada setiap orang yang ditemui. Mr. Karen yang polos itu menuruti saja anjuran kawan yang beretnis Jawa itu. Suatu saat, Mr. Karen hampir di tem pe leng oleh seorang pengojek ka rena mengatakan Terima kasih. Kamu gendheng sekali pak. Untung si tukang ojek se gera me nyadari bahwa Mr. Karen bukan orang Jawa. Sejak saat itu, ia tidak pernah ber tanya kepada orang lain makna kata yang ia tidak me nger ti. Pertemuan saya dengan Mr. Karen membuktikan sikapnya yang tidak mau bertanya ke pada orang lain mengenai arti se buah ungkapan atau kata yang baginya asing. Dalam obro lan ringan sambil me nunggu kedatangan seorang pem bicara sebuah seminar, kata muncul bebe rapa kali. Mr. Karen itu pun men catat tidak kurang dari 16 kali kata itu diucapkan oleh peserta obrolan. Merasa semakin penasaran apa makna kata, Mr. Karen minta ijin keluar dari forum obrolan itu dan menuju perpustakaan universitas yang kebetulan hanya berjarak be berapa meter saja dari tempat me ngobrol. Saya bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan Mr. Karen. Ia menuju rak tempat kamus dan ensiklopedi disimpan untuk membuka kamus dan mencari makna kata. Ketika berada di depan rak kamus dan ensiklopedi, se orang petugas terlihat meng ham pirinya. Petugas per pus ta kaan dengan ramah menyapa dan bertanya apa yang dapat ia bantu. Mr. Karen menjawab bahwa ia perlu kamus bahasa Jawa yang letaknya memang agak jauh dari kamus bahasa Indo nesia. Dengan terkejut, Mr. Karen menemukan kata di dalam kamus ter sebut. Tetapi, dia terheran-heran setelah membaca makna kata itu. Gombal diartikan se bagai kain lusuh atau lama yang tidak lagi terpakai dan biasanya untuk alat bersih-bersih. 2 / 7
Mr. Karen tampak semakin bingung apa relevansi makna kata itu dengan konteks obrolan kawan-kawannya tadi atau yang sering di ucap kan oleh orang Indonesia, teru t a ma orang Jawa. Sebagai orang yang kebetulan suka meng kaji fe nomena kebahasaan dan be r maksud menolong teman asing ini saya menjelaskan arti kata tersebut. Seperti layaknya saya sedang men je laskan salah satu materi atau pokok bahasan dalam ma ta ku liah sosiolinguistik, yakni slank, idiom, dan jargon serta register, saya me ngawali penje lasan dengan mengata kan bahwa di setiap ma sya ra kat penutur bahasa ( speech com munity ) selalu ada ungka pan bernilai lokal kul tural yang mak nanya sering jauh dari makna literal, se ba gaimana yang tertulis di kamus. Dalam masyarakat modern yang berpenutur bahasa Ing gris pun juga terdapat slank, jargon dan sejenisnya. Karena makna kata atau ung ka pan pada hakikatnya adalah hasil kon vensi di antara ang gota masyarakat penuturnya, maka setiap anggota penutur ba hasa juga berhak mencip ta kan istilah, jargon atau ung ka pan ter tentu sesuai kemauan me reka sendiri untuk ke pen tingan komunikasi di antara mereka, termasuk kata gom bal itu. Mr. Karen tampak ter mangu-mangu dengan pen je lasan saya itu dan sepertinya tidak sabar menanti jawaban apa arti kata itu. Dalam masyarakat Jawa, kata dipakai sebagai ung kapan penyeru simpulan atau penilaian atas suatu mutu pembicaraan, barang, kinerja, karya dan sebagainya yang dipandang tidak berkualitas, tidak bermutu atau lembek yang tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, kalau ada orang yang kinerja, prestasi dan karyanya tidak bagus bisa di katakan pula bahwa kinerja, pres tasi dan karyanya gom bal. Kalau kita masuk rumah ma kan yang ke li ha tan nya bagus dan ternyata menu ma ka nannya tidak enak apalagi harganya tinggi, kita juga dapat me nyebutnya se ba gai rumah makan. 3 / 7
Dalam lingkungan kampus, kalau ada mahasiswa yang sikap dan pembicaraannya tidak berkualitas atau tidak ber mutu bisa juga dikatakan se bagai. Kalau ada ma hasiswa yang indeks pres tasinya (IP) nya 0, 67 karena semua matakuliah yang di pro gram tidak lulus kecuali satu ma takuliah dan itupun nilainya C (belakangan disadari oleh dosen nya bahwa nilai C itu pun karena keliru memasukkannya karena sambil mengantuk saat me nuliskan nilai), maka ma ha siswa ini pun juga bisa disebut se bagai kendati se hari-hari berpakaian necis dengan celana jean dan sepatu ber kualitas. Mungkin ma hasiswa demikian lebih gom bal ketimbang se hingga menjadi su wek. Sudah dan ro bek lagi sehingga tidak ada arti nya sama sekali. Tak terkecuali dosen. Kend ati telah berpendidikan tinggi dan beberapa gelar akademik berjejer di depan dan belakang namanya, se orang dosen bisa saja disebut se bagai.(wah saya tidak berani, he he ), jika ia tidak me miliki komitmen dan integritas akademik tinggi yang ditunjukkan dengan karya atau tulisan-tulisan ilmiahnya, atau reputasi, kinerjanya. Wah demikian ya makna kata ya pak kata Mr. Karen sambil memegang kamus yang di dalamnya tidak ada penjelasan yang lengkap atas makna kata itu. Saya jawab 4 / 7
iya. Dan, karena itu mesti hati-hati mengartikan arti kata. Terus, bagaimana awal mula kata itu di pa kai da siapa yang mengawali menggunakannya pak? tanya Mr. Karen. Nah, kali ini saya sangat bingung menjawabnya. Sebab, pertanyaaan kapan dan di mana sebuah kata atau ung ka pan mulai digunakan dan siapa penggunanya meru pa kan sa lah satu pertanyaan sulit da lam ilmu kebahasaan atau li ngu istik. Ini memerlukan pe ne li tian filologis yang lumayan sulit. Namun demikian, agar tidak me nge cewakannya, saya jawab begini. Seingat saya, sejak kecil saya sudah sering men dengar kata baik di lingkungan keluarga, ma sya rakat atau bahkan sekolah. Di keluarga, nenek saya, mak lum saya memang diasuh nenek sejak delapan bulan karena ke buru punya adik lagi, yang da lam masyarakat Jawa di sebut kesundulan, nenek saya sering mengatakan saya ini ketika saya me rumput (Jawa: ngarit) setengah hari hanya memperoleh se te ngah keranjang karena saya selalu kalah main balangan (me lempar sabit ke batas sawah atau galengan) karena me lesat terlalu jauh sehingga rumput saya diambil yang me nang. Maklum, saya memang paling kecil di antara teman-teman sepermainan, sehingga saya sering menjadi bahan gun ji ngan dan permainan mereka. Di sekolah saya juga pernah di katakan oleh guru olahraga karena tim kasti saya kalah telak dengan tim kasti se kolah desa tetangga. Yang mengherankan waktu itu kekalahan akibat hasil kerja tim yang tidak kompak dan lawan memang tangguh, yang dimarahi dan dikatakan hanya saya. Padahal, saya bukan ketua tim. Kepada ketua tim, guru saya justru memberi semangat dengan mengatakan Gak apa-apa sekarang kalah, tetapi lain kali tidak boleh ya. Karena itu, 5 / 7
dalam hati saya mengatakan guru saya ini guru, karena pilih kasih. Tetapi, Mr. Karen, lanjut saya, di Indonesia ini memang ba nyak. Dalam dunia pendi dikan, ada orang mempe roleh gelar doktor dan bahkan pro fesor hanya dalam waktu be be rapa bulan dengan mem bayar beberapa juta rupiah. Aneh nya peminat praktik gom bal ini bukan dari golongan ma sya rakat awam, tapi anggota masyarakat terdidik dan bahkan para pejabat penting di negeri ini. Tanpa merasa malu apalagi salah, usai diwisuda di hotel dan tempat-tempat rekreasi, peserta langsung memasang gelar di depan atau belakang namanya. Be berapa di antaranya meng gu na kannya untuk kepentingan politik. Mr. Karen juga me ngang guk-angguk dengan pen jelasan saya ini. Mr. Karen bahkan menam bah kan Iya ya, saya membaca koran lokal. Ada orang korupi milyaran dan bahkan trilyunan rupiah dengan enaknya berpesiar di luar negeri dan bahkan dapat menemui presiden di Istana Negara. Tetapi seorang pencuri se ekor ayam untuk membayar SPP anaknya dan tertangkap ba sah pemiliknya dihajar sampai ba bak belur dan dibawa ke kan tor polisi. Kasihan ya pak lanjut Mr. Karen lagi. Sambil tersipu malu, saya men jawab Ya memang prak tik hukum di negeri ini masih pak. Ada perbaikan dari periode pemerintahan se be lumnya, tetapi belum signi fi kan. Berbeda dengan di ne geri anda yang sudah mapan jawab saya sambil menghibur diri. Setelah itu obrolan dengan Mr. Karen berhenti karena pem bicara seminar yang di tunggu telah datang dan Mr. Karen belum sempat meres pons pernyataan saya. 6 / 7
Sambil bergegas masuk ruang se minar, dalam batin saya berpikir obro lan dengan Mr. Karen akan saya tulis dalam kolom GEMA, tabloid UIN Malang. Sebe lum masuk ke redaksi GEMA, se orang kawan sempat membaca ko lom ini dan berujar, tentang gom bal saja kok ditulis seperti ini pak,! Saya sambil tersenyum dan berlalu. 7 / 7