IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

Penerapan Good Breeding Practice terhadap Produktivitas Ternak... Sundra Dewi P

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ILUSTRASI... DAFTAR LAMPIRAN...

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

PENDAHULUAN. (KPBS) Pangalengan. Jumlah anggota koperasi per januari 2015 sebanyak 3.420

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Peternakan Sapi Potong Skala Rumah Tangga 2.2. Standarisasi Sapi Peranakan Ongole (PO)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Usaha Ternak Sapi Perah

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan manusia. Untuk meningkatkan produktivitas ternak

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Teknik Budidaya Ikan Nila, Bawal, dan Udang Galah

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

HASIL DAN PEMBAHASAN. Bandung Provinsi Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. mengandangkan secara terus-menerus selama periode tertentu yang bertujuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Malabar, Gunung Papandayan, dan Gunung Tilu, dengan ketinggian antara 1000-

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan protein hewani,

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

HASIL DAN PEMBAHASAN. profil Desa Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang tahun 2016.

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

Pengembangan Kelembagaan Pembibitan Ternak Sapi Melalui Pola Integrasi Tanaman-Ternak

PENDAHULUAN. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur yaitu bibit, pakan, dan

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. yang tergabung pada TPK Cibodas yang berada di Desa Cibodas, Kecamatan

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ayam ayam lokal (Marconah, 2012). Ayam ras petelur sangat diminati karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimanfaatkan sebagai produk utama (Sutarto dan Sutarto, 1998). Produktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN Volume 14, Nomor 1, Juni 2016

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Lokasi peternakan penggemukan sapi potong Haji Sony berada di Desa Karang

MANAJEMEN PEMELIHARAAN

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

20.1. Mengembangkan Potensi Peternakan Ruminansia Menerapkan Tingkah laku Ternak Ruminansia Menerapkan Penanganan Ternak ruminansia

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

Transkripsi:

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Desa Sidajaya Desa Sidajaya berada di wilayah Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk sebanyak 6.457 orang. Batasbatas administratif Desa Sidajaya, Utara berbatasan dengan Desa Tumaritis Kecamatan Haurgeulis, Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Sidamulya Kecamatan Cipunagara, Selatan berbatasan dengan Desa Sumur Barang Kecamatan Cibogo dan Timur yang berbatasan dengan Desa Balaraja Kecamatan Gantar. Berdasarkan topografi wilayah, Desa Sidajaya merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Lokasi dengan suhu yang cukup tinggi dengan suhu harian berkisar 28-30 0 C. Total Luas wilayah Desa Sidajaya seluas 1.292.430 Ha. Penggunaan lahan di wilayah ini masih didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dengan luas sekitar 459.000 Ha, lahan perkebunan negara yaitu kebun tebu seluas 280.000 Ha dan luas permukiman sekitar 92.320 Ha. 4.1.2 Profil Kelompok Peternak Jambu Raharja Kelompok Jambu Raharja di bentuk pada tanggal 7 September 2010 yang beralamat di Kp. Jambu Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sesuai dengan SK Kepala Desa Sidajaya No. 148.1/03/IX/2010 bahwa statuskelompok ini merupakan kelas lanjut. Ketua dari kelompok Jambu Raharja adalah Karna Wijaya, Sekretaris oleh Armin, dan Bendahara dipegang oleh Kartini. Adapun bidang seksi lain yaitu seksi Produksi oleh Sarja, seksi pemasaran dipegang oleh Warid seksi kesehatan oleh Juki dengan total anggota berjumlah 25 orang. Secara legalitas kelompok ini sudah diakui dan memiliki struktur organisasi yang jelas hanya saja kelompok ini belum memiliki lahan

46 perkandangan dan sekretariat khusus, sehingga ternak sapi setiap anggota dipelihara di kandang pemiliknya masing-masing. Penghargaan yang pernah diperoleh kelompok ini yaitu Juara III Lomba Kelompok Agribisnis Peternakan Kategori Ternak Sapi Potong Tahun 2015 tingkat Kabupaten Subang. Berikut adalah rincian jumlah populasi ternak sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya; Tabel 8. Populasi Ternak Sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya Kelompok umur Umur Jumlah ternak Jumlah berdasar jenis kelamin (ekor) Betina (ekor) Jantan (ekor) Pedet 0-6 bulan 5 4 1 Lepas sapih 7-12 bulan 4 3 1 Dara/muda 13-24 bulan 29 28 1 Dewasa > 24 bulan 12 12 Total 50 47 3 4.2 Karakteristik Responden 4.2.1 Usia Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara 30-60 tahun. Berikut usia peternak disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia No. Selang Usia (tahun) N % 1 30-39 4 16 2 40-49 7 28 3 50-59 8 32 4 60-69 6 24 Total 25 100 Berdasarkan Tabel 9. terlihat bahwa usia peternak berkisar antara 19-59 tahun dengan usia termuda 30 tahun dan tertua 65 tahun. Persentase terbesar usia peternak kelompok Jambu Raharja berada pada selang usia 50-59 tahun dan urutan terbesar kedua yaitu selang 40-49 tahun.hal ini berarti sebagian besar

47 peternak masih berada dalam usia produktif dan sebagian lainnya sudah tidak termasuk dalam usia produktif. Peternak dengan usia produktif cenderung lebih giat mencari informasi, memiliki fisik yang relatif kuat dan akan berpengaruh positif terhadap pengembangan usaha sapi potongnya. Sedangkan bagi sebagian peternak yang tidak termasuk dalam usia produktif lagi kemampuannya cenderung menurun, hal inilah yang menyebabkan pengembangan usaha akan berjalan lambat dan pemeliharaan yang masih dilakukan secara tradisional. Sehingga faktor usia menjadi suatu indikator yang perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi pola pikir dan kemampuan individu. 4.2.2 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian Pendidikan sangat penting bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian individu.rincian pendidikan formal peternak disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan MataPencaharian No. Identitas Peternak N % 1 Pendidikan Formal Tidak sekolah 12 48 SD 10 40 SMP 1 4 SMA 2 8 S1 - - 2 Pekerjaan Utama Petani 22 88 Peternak 3 12 3 Pekerjaan Sampingan Peternak 21 84 Lain-lain 4 16 Berdasarkan Tabel 10.tingkat pendidikan formal yang dicapai peternak sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Peternak anggota kelompok Jambu Raharja sebagian besar tidak menempuh pendidikan sebanyak 12 orang, peternak

48 yang berpendidikan hingga tingkat SD sebanyak 10 orang dengan rata-rata usia 41 tahun dan sekolah menengah rata-rata berusia 37 tahun. Tingkat pendidikan peternak ini tergolongmasih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Hoda (2015) bahwa, pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir dan cara mengatasi masalah yang terjadi. Peningkatan pengetahuan peternak dapat dilakukan melalui pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan. Mata pencaharianutama respondensebesar 88% sebagai petani,hal ini karena dengan tingkat pendidikan yang masih rendah masyarakat menyadari di zaman sekarang ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, kurangnya lapangan pekerjaan, lokasi yang sulit dijangkau menuju perkotaan, sehingga masyarakat lebih memilih menjadi petani karena lahan persawahan yang tersedia sangat luas. Sebesar 12% pekerjaan utama respondensebagai peternak, mereka mengandalkan pendapatan dari hasil penjualan ternak, selebihnya mereka melakukan pekerjaan serabutan untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Usaha peternakan mayoritas dijadikan sebagai usaha sampingan responden memiliki persentase sebasar 84%, hal ini karena ternak yang dipelihara hanya dijadikan sebagai tabungan jangka panjang bila sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak. 4.2.3 Pengalaman Beternak dan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong Bagi pelaku usaha peternakan sapi potong skala rumah tangga jumlah kepemilikan ternak cenderung masih sedikit. Peternak di Desa Sidajaya banyak memelihara sapi betina jenis Peranakan Ongole adapula yang memelihara sapi simental dan limousin hasil persilangan dengan PO. Rincian mengenai pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan sapi potong disajikan pada Tabel 11 dan 12.

Tabel 11. Karakteristik Reponden Berdasarkan Pengalaman Beternak Pengalaman Beternak n % < 5 tahun 8 32 5 tahun 17 68 49 Berdasarkan data Tabel 11. Para peternak memiliki pengalaman beternak yang beragam yaitu 8orang memiliki pengalaman berternak dibawah 5 tahun dan 17 peternak lebih dari lima tahun.pengalaman dalam usaha beternak akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternakpeternak secara teknis terutama dalam penanganan ternak, sehingga hal ini menjadi faktor pendukung dalam mengembangkan usahanya.bekal pengetahuan mengenai cara beternak umumnya diperoleh secara turun temurun dan di dukung oleh pengalaman peternak dalam mengikuti pelatihan dan penyuluhan. Tabel 12. Karakteristik Reponden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong Jumlah kepemilikan sapi Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin n (orang ) % Pedet Betina 4 16 Jantan 1 4 1 ekor Muda Betina 5 20 Jantan 2 8 Dewasa Betina 13 52 Jantan - - 2 ekor Pedet Betina - - Jantan - - Muda Betina - - Jantan - - Dewasa Betina 11 44 Jantan - - 3 ekor Pedet Betina - - Jantan - - Muda Betina - - Jantan - - Dewasa Betina 1 4 Jantan - -

50 Jumlah kepemilikan sapi potong pada Tabel 12. menunjukkan mayoritas peternak hanya mempunyai satu ekor sapi dengan persentase tertinggi yaitu 52%. Hal ini disebabkan karena tujuan usaha ternak yang hanya sebagai tabungan masa depan dan ketidakmampuan peternak secara finansial untuk menambah jumlah populasi yang dipelihara. Alasan lainnya adalah tujuan pemeliharaan sebagai penghasil sapi bakalan karena setelah pedet lahir peternak akan menjualnya untuk menutupi kebutuhankeluarga sehinggapeternak hanya mempertahankan induk untuk dipelihara hingga mencapai usia afkir. 4.3 Penerapan Good Breeding Practice Good Breeding Practice(GBP) terdiri dari enam aspek, yaitu sarana dan prasarana, cara pembibitan, kesehatan ternak, pelestarian fungsi lingkungan hidup,sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Penerapan GBP dan prioritas penerapan GBP oleh peternak anggota kelompok Jambu Raharja disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Rata-rata Persentase dan Prioritas Penerapan Aspek Good Breeding Practicedi Kelompok Ternak Jambu Raharja No Aspek Good Breeding Practice Rata-rata Nilai Ranking (%) 1 Sarana dan prasarana 8,66 4 2 Cara pembibitan 12,01 1 3 Kesehatan ternak 11,41 2 4 Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup 7,04 5 5 SDM 6,83 6 6 Pembinaan dan pengawasan 9,06 3 Total 55,00 Berdasarkan Tabel 14, rata-rata persentase penerapan seluruh aspek GBP oleh anggota kelompok Jambu Raharja sebesar 55,00%. Angka tersebut menunjukkan bahwa penerapan tata laksana peternakan yang mengacu pada Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik terbilang rendah, terdapat beberapa aspek yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam pedoman tersebut,

51 kelompok ini masih berada pada tahap pengembangan sehingga berpotensi untuk dapat meningkatkan kualitas dan perbaikan perbaikan secara bertahap. Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan berpasangan terhadap aspekaspek GBP yang menggunakan metode AHP didapatkan urutan prioritas penerapan aspek-aspek GBP oleh peternak diperoleh bahwa aspek cara pembibitanmenempati urutan pertama sebagai prioritas utama dalam penerapan GBP oleh peternak di kelompok Jambu Raharja. Hal ini karena, secara umum di dominasi oleh pengetahuan dan pemahaman peternak yang sudah sangat baik mengenai seleksi, perkawinan dan reproduksi sebagai bagian dalam aspek cara pembibitan. Pengetahuan mengenai poin-poin penting pada aspek cara pembibitan merupakan dasar dalam penerapan tatalaksana pembibitan. Pengetahuan tersebut diperoleh peternak dari pengalaman beternak, penyuluhan, dan peran inseminator. Prioritas kedua adalah aspek kesehatan ternak perbedaan antara nilai eigenvektor aspek cara pembibitan dan kesehatan ternak hanya berbeda sedikit. Hal ini berarti peternak menganggap kedua aspek tersebut memiliki tingkat kepentingan yang sama dan hampir mendapat urutan prioritas yang sama. Sebagai prioritas kedua tingkat pengetahuan peternak tentang kesehatan ternak relatif baik diduga karena secara nalurinya peternak mampu membedakan tanda-tanda ternak sehat dan sakit. Peternak pun secara tidak langsung rutin memeriksa kondisi ternak. Selain itu, adanya peran serta dokter hewan dan paramedis yang selalu melayani dan menangani bila adanya panggilan dari peternak. Prioritas ketiga adalah aspek pembinaan dan pengawasan hal ini ditunjukkan olehperan serta petugas Dinas Peternakan setempat yang sudah cukup aktif dalam hal membina dan mengawasi terkait pengembangan peternakan berkelanjutan di wilayah tersebut. Aspek keempat adalah sarana prasarana,fasilitas yangdimiliki setiap peternak masih sangat terbatas dengan perlengkapan yang sederhana. Aspek kelima adalah pelestarian fungsi lingkungan hidup diduga karena fokus utama peternak adalah meningkatkan produksi dengan hanya memperhatikan aspek-aspek teknis dan masih sedikit kesadaran peternak dalam hal penanganan dan pengolahan limbah agar lebih bermanfaat. Sumber

52 daya manusia mendapatkan peringkat terakhir, hal ini disebabkan karena rata-rata usia peternak yaitu 50-55 tahun dengan tingkat pendidikan formal terbilang rendah sehingga dalam hal penyerapan inovasi, kemampuan dan keterampilan peternak yang semakin berkurang yang berdampak pada lambatnya pengembangan dan perbaikan usaha ternak. Rincian pembahasan mengenai masing-masing aspek dan sub aspek akan di bahas pada sub bab berikut. 4.3.1. Aspek Sarana Prasarana Sarana dan prasarana menjadi aspek utama yang di bahas dalam Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik, karena menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan sebelum memulai untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong. Berdasarkan data hasil penelitian rata-rata penerapan aspek sarana dan prasarana anggota peternak di kelompok Jambu Raharja sebesar 44,61%nilai ini terbilang rendah, diduga karena pemenuhan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana belum sesuai. Rincian penerapan GBP aspek sarana dan prasarana yang dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSarana Prasarana No Sub Aspek Sarana Prasarana Penerapan kelompok 1 Kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan 37,04 mutu 2 Ketersediaan prasarana dalam mendukung kegiatan pembibitan 69,17 3 Kelengkapan sarana dan alat penunjang lain dalam usaha 46,59 peternakan 4 Ketersediaan sumber pakan, air dan energi dengan jumlah 42,49 cukup 5 Ketersediaan obat hewan sesuai peraturan perundang-undangan 27,78 Rata-rata 44,61 Berdasarkan data Tabel 14. menunjukkan persentase kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu sebesar 37,04 %. Angka yang terbilang rendah ini disebabkan karena ternak yang dihasilkan dari usaha

53 pembibitan yang dijalankan peternak belum berorientasi untuk menghasilkan bibit sesuai standar dan bersertifikasi. Di samping itu, peternak di Desa Sidajaya ini masih banyak yang melakukan persilangan dengan jenis lain, diantaranya disilangkan dengan sapi Limousin dan Simental. Penyediaan indukan sapi lokal di kawasan ini sebenarnya sudah tersebar luas dan berada dalam pengawasan dinas setempat, hanya saja teknis pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak yang terkadang belum sesuai dengan syarat pembibitan sebagaimana mestinya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi budaya, pengetahuan, kemampuan ekonomi dan tujuan pemeliharaan yang diterapkan oleh peternak, karena usaha yang dijalankan peternak skala rumah tanggasecara umum hanya sekedar sebagai usaha sampingan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ketut (2005) yang menyatakan usaha ternak sapi pada umumnya masih dipelihara sebagai usaha sampingan dimana tujuannya sebagai tabungan. Lebih lanjut data Tabel 15menunjukan persentase ketersediaan prasarana dalam mendukung usaha pembibitan di lokasi penelitian sebesar 69,17%. Nilai ini sudah cukup baik diduga karena di dukung oleh kondisi wilayah yang menunjang. Menurut Santosa (2005), dalam hal pemilihan lokasi untuk usaha peternakan sapi potong perlu memperhatikan letak topografi dan geografi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan bahan pakan, sumber air, transpotasi dan ketersediaan pedet bakalan untuk menunjang keberlangsungan usaha ternak. Komponen fisik lingkungan menjadi penting karena dapat memepengaruhi produksi dan performan seekor ternak secara langsung maupun tidak langsungdiantaranya; suhu, kelembaban, curah hujan, tiupan angi dan intensitas cahaya Sutedjo (2011). Reksohadiprojo (1984)menambahkan suhu yang sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-270 C (50-800 F) sedangkan ternak di daerah sub tropik pada temperatur 30-600 F dengan kelembaban rendah. Sapi PO dikenal sebagai sapi pedaging dan pekerja yang mampu bertahan pada suhu tinggi dan cocok dipelihara di daerah dataran rendah. Suhu yang sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-28 0 C atau 50-80 0 F (Reksohadiprojo, 1984). Kondisi lingkungan di lokasi penelitian memiliki suhu

54 rata-rata 28 0 Cdan merupakan daerah dataran rendah. Suhu tersebut berada pada kisaran suhu nyaman untuk berproduksi, namun di saat datangnyamusim kemarau suhu akan meningkat mencapai 30 0 C, hal ini akan memicu terjadinya stres panas dan akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas.daya dukung prasarana lain adalah adanya fasilitas poskeswanas, rumah potong hewan (RPH), ketersediaan lahan dan sumber hijauan yang cukup melimpah. Namun, akses lokasi kelompok Jambu Raharja sulit dijangkau menuju jalan utama karena jarak antar desa yang cukup jauh, fasilitas pendukung berupa poskeswanas yang belum termanfaatkan secara optimal sehingga ketersedian obat ternak pun terbatas. Persentase ketersediaan sumber pakan, air dan energi sebesar 42,49%. Sumber energi yang tersedia seperti listrik untuk penerangan sudah cukup tersedia sesuai kebutuhan namun, sumber air dan hijauan di lokasi ini sering mengalami kekurangan saat musim kemarau datang. Ketersediaan obat hewan sesuai persyaratan hanya sebesar 27,78% hal ini dikarenakan poskeswanas yang tersedia belum memadai, sulit di jangkau dan harga obat yang relatif tinggi, sehingga masih sedikit peternak yang membeli obat ke poskeswanas mereka membeli hanya karena bila terjadi penyakit yang serius. Selain itu, persediaan obat bukanlah bertambah tetapi justru berkurang, karena sedikit orang yang membeli sehingga obat menjadi kadaluarsa. Ketersediaan sarana dan alat penunjang lain pada Tabel 14. sebesar 46,59%. Hal ini terlihat dari sarana produksi berupa kandangdan peralatan yang dimiliki belum lengkap seperti tidak adanya kandang isolasi, tempat minum, dan tempat pengolahan limbah. Kondisi kandang yang dimiliki peternak pada umumnya belum memenuhi standar dan dibangun pada lahan samping atau belakang rumah. Letak kandang dekat dibangun dilahan samping dan belakang rumah. Kondisi tersebut bertentangan dengan pernyataan Siregar (2003) bahwa dalam penentuan lokasi kandang syaratnya tidak berdekatan dengan pemukiman penduduk dan sekurang-kurangnya berjaraj 10 meter dari pemukiman, pembuangan limbah tersalurkan, persediaan air cukup dan jauh dari

keramaian.rincian mengenai kondisi perkandangan dan kelengkapan sarana peternakan disajikan pada Tabel 15. 55 Tabel 15. Kondisi Perkandangan dan Kelengkapan Sarana Peternakan di Kelompok Jambu Raharja No Kelengkapan sarana peternakan Jumlah 1 Sistem perkandangan Trdisional 64% Semi permanen 36% 2 Kandang isolasi Ada 36% Tidak ada 64% 3 Tempat pakan Ada 100% Tidak ada 0% 4 Tempat minum Ada 0% Tidak ada 100% 5 Gudang pakan Ada 80% Tidak ada 20% 6 Gudang peralatan Ada 48% Tidak ada 52% 7 Tempat pengolahan limbah Ada 16% Tidak ada 84% Kontruksi kandang secara umum masih tradisional dengan alas lantai berupa tanah, bambu dan kayu, dinding kandang terbuka, hanya beberapa peternak yang sudah membangun kandang dengan semi tradisional. Ukuran kandang bergantung pada jumlah sapi yang dimiliki. Luas kandangternak yang dimiliki peternak diantaranya 6-10 m2 (10 peternak) dan 10m2 (15peternak). Terdapat pula kandang berbentuk kandang koloni, dimana sapi ditempatkan padasatu kandang secara berkelompok. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan peternak dalam memelihara dan melakukan pengawasan terhadap ternaknya.

56 Adapun yang berbentuk kandang individu hal ini sependapat dengan Rasyid dan Hartati (2007) yaitu untuk mempermudah pengamatan terhadap aktivitas reproduksinya terutama saat birahi untuk keberhasilan perkawinannya. Berdasarkan data pada tabel 16, hanya sekitar 36% yang memiliki kandang isolasi, 48% mempunyai gudang peralatan dan 16% yang mempunyai tempat pengolahan limbah. Peternak tidak memiliki kandang isolasi maka dari itu sapi yang sakit disatu kandangkan dengan sapi yang sehat. Hal ini terjadi akibat terbatasnya lahan dan miniminya pengetahuan mengenai tindakan isolasi. Seluruh peternak menyediakan tempat pakan namun tidak dengan tempat minum bagi ternak, minum diberikan hanya menggunakan ember.peternak hanya memberikan air minum dalam sehari hanya 2-3 kali dalam ember kecil, jumlah ini dirasa sangat kurang karena sebaiknya air minum disediakan secara ad libitum (Ditjenak, 2014). Gudang pakan yang dimiliki responden sebesar 80%, sebagian besar peternak menyimpan persedian pakan di area dekat kandang, peternak tidak memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan. Area penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga dapat mencegah pertumbuhan jamur. Lain halnya dengan tempat untuk menyimpan peralatan, peternak yang memiliki gudang khusus menyimpan peralatan hanya sebesar 48%, selebihnya peternak tidak memperhatikan hal tersebut karena peralatan yang dimiliki adalah peralatan sederhana yang sering digunakan sehari-hari dalam mengelola kandang.hal ini belum sesuaidengan Direktorat Jenderal Peternakan (2014) yang menyebutkan bahwa peralatan penunjang lain yang perlu disediakan diantaranya tempat pakan, tempat minum, alat kebersihan, pemotong rumput, pita dan tongkat ukur, eartag dan buku pencatatan ternak. 4.3.2. Aspek Cara Pembibitan Keberhasilan menjalankan usaha pembibitan sangat ditunjang oleh kemampuan pengelolaan aspek cara pembibitan secara teknis yang bersifat praktis. Keahlian dan keterampilan peternak merupakan perangkat lunak yang

57 sangat diperlukan untuk dikuasai. Serangkaian kegiatan dalam cara pembibitan merupakan kesatuan teknis yang saling berkaitan untuk dapat menghasilkan ternak yang sesuai dengan harapan.penerapan GBP aspek cara pembibitan yang dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Cara Pembibitan No. Sub Aspek Cara Pembibitan Penerapan Kelompok 1 Cara pemilihan bibit (seleksi) 75,52 2 Cara pemberian pakan dan menjamin kebutuhan pakan dan air 77,01 3 Manajemen pemeliharaan terhadap ternak berdasarkan 65,76 kelompok umur 4 Teknis pembibitan (perkawinan dan manajemen reproduksi) 81,94 Rata-rata 75,06 Berdasarkan Tabel 16. menunjukan bahwa peternak mengetahui cara pemilihan bibit dengan baik dengan persenatse sebesar 75,52%. Pengetahuan tersebut didapatkan peternak berdasarkan pengalaman secara turun temurun dan di dukung dengan sumber informasi dari beberapa pelatihan dan penyuluhan kepada peternak. Seluruh peternak memperoleh rumput dengan cara menyabit sendiri. Pada musim kemarau kerap kali peternak mengalami kekurangan hijauan dan mensubstitusinya dengan limbah pertanian seperti daun jagung dan daun tebu. Sebesar 77,01 % peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara kuantitas ataupun kualitas. Air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari sumber yang bersih sehinggaair tidak berbau, berasa, dan berwarna. Peternak memberikan pakan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore dengan total pemberian rata-rata 50-60 kg per hari. Jenis pakan yang diberikan mayoritas adalah jerami padi secara langsung tanpa dipotong-potong dahulu ataupun melakukan pengawetan hijauan. Jenis pakan lain yang diberikan adalah daun tebu, jerami jagung, rumput lapangan. Seluruh peternak dalam penelitian ini tidak memberikan konsentrat pada pakan ternak karena masih sulit didapatkan.

58 Pakan tambahan yang sering diberikan peternak antara lain adalah dedak padi. Dedak padi merupakan hasil ikutanpengolahan padi (Oriza sativa) menjadi berasyang sebagian besar terdiri dari lapisan kulit ari. Hasil analisa di Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong (2003) menunjukan kandungan nutrisi di dalam dedak padi adalah proteinkasar (PK) sebesar 7,85%; lemak kasar (LK)sebesar 9,10% dan serat kasar (SK) sebesar 16,75%. Hal ini cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sapi dan terjangkau oleh peternak untuk membelinya. Dedak diberikan rata-rata 1-4 kg per hari yang dicampurkan dalam pakan untuk seluruh populasi yang ada.pemberian minum pada ternak dirasa sangat kurang karena hanya diberikan dua ember (± 50 liter) dalam satu hari.kualitas dan kuantitas pakan masih perlu diperbaiki karena bila manajemen dan pemenuhan kebutuhan pakan masih belum sesuai hal ini akan mempengaruhi aktivitas reproduksi ternak. Hal ini sependapat dengan Toelihere (1983) bahwa aktivitas reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh fator non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak menerapkan sistem pemeliharaan secara intensif, peternak yang mencari sendiri pakan untuk ternak sambil melakukan pekerjaan utamanya sebagai petani. Teknis pemeliharaan ternak berdasarkan kelompok umur sebesar 65,76%. Angka menunjukkan bahwa penerapan berdasarkan pedoman termasuk dalam kategori sedang disebabkan karena pedet yang dipelihara disatukan dengan induk hingga umur lebih dari satu tahun, hal ini belum sesuai dengan Pedoman Pembibitan Sapi Potong (Ditjenak, 2014) bahwa sebaiknya pedet dibiarkan bersama dengan induk hingga usia lepas sapih yaitu 205 hari. Selain itu, karena mayoritas peternak tidak memiliki kandang isolasi sehingga penanganan terhadap ternak sakit dan melahirkan masih dilakukan dengan cara sederhana di dalam kandang tersebut. Proses kawin pada ternak yang dilakuakan peternak menggunakan sistem Inseminasi Buatan dengan bantuan inseminator. Inseminator atau paramedis lainnya tidak melakukan kontrol secara rutin, tetapi berdasarkan laporan dari

59 peternak apabila ada sapi birahi ataupun ambruk. Secara umum pengetahuan dan pemahaman peternak mengenai ciri-ciri birahi pada sapi sudah sangat baik yang akan menunjang keberhasilan IB. Menurut Santosa (2006) bahwa apabila peternak maupun petugas IB terlambat dalam mendeteksi birahi serta waktu yang tidak tepat untuk di IB maka akan menyebabkan kegagalan kebuntingan. Hasil penelitian menunjukan,teknis pembibitan terkait perkawinan dan manajemen reproduksi sudah sangat baik yaitu sebesar 81,94%. Peternak mulai mengawinkan sapi dara pada umur 18 24 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (2006) bahwa sapi mulai dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18-24 bulan. Dari segi reproduksi pada umumnya peternak telah paham mengenai tanda-tanda birahi sebagai dasar perkawinan IB, meskipun menurut pengakuan peternak perkawinan menggunakan IB sering gagal namun seluruh peternak (100%) mengaku puas dengan layanan petugas IB. Sapi yang dimiliki oleh peternak secara umum melakukan proses kelahiran sendiri dan mengaku tidak pernah mengalami kesulitan. Bila terjadi gejala kesulitan peternak akan segera menghubungi petugas medis untuk membantu proses kelahiran. 4.3.3. Aspek Kesehatan Ternak Beberapa tindakan seperti pemeliharaan kesehatan ternak danpencegahan penyakit merupakan bagian penting dalam pengelolaan suatu usahapeternakan. Aspek kesehatan ternak di dalam GDFP menekankan pada pencegahan dari pada pengobatan. Pencegahan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi, sedangkan pengobatan dipandang sebagai bentuk penyelamatan ternak dari suatu penyakit yang menurunkan produksi. Rata-rata persentase penerapan GBP aspek kesehatan ternak disajikan pada Tabel 17.

60 Tabel 17. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Kesehatan Ternak No. Sub Aspek Kesehatan Ternak Penerapan Kelompok 1 Pembentukan ternak yang resistan terhadap penyakit 100 2 Pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan 48,73 3 Penerapan manajemen peternakan yang efektif 60,88 4 Penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk 71,41 Rata-rata 70,26 Berdasarkan Tabel 17. rata-rata penerapan GBP aspek kesehatan ternak adalah sebesar 70,26%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 100% peternak menjamin bahwa sapi potong yang dipelihara resisten terhadap penyakit. Salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan daya tahan ternak adalah vaksinasi. Peternak secara rutin memberikan vaksin kepada sapi potong atas saran dan rekomendasi dokter hewan dan paramedis. Selain pemberian vaksin, pemberian obat cacing (deworming) juga dilakukan oleh paramedis secara berkala. Pemberian obat cacing dilakukan sejak sapi berumur 1-2 bulan kemudian berulang 6 bulan kemudian dan sekaligus diberi vitamin. Pemberian vitamin juga dilakukan oleh paramedis antara lain Vitamin A, D, E dan B complex (B12). Hasil wawancara menunjukan masalah penyakit yang hinggakini masih menyerang ternak adalah timpani (kembung), gangguan ektoparasit seperti caplak yang menimbulkan iritasi kulit dan infeksi cacing internal. Berdasarkan hasil penelitian Susanti dan Prabowo (2013), penyakit umum yang sering menyerang ternak sapi diantaranya pink eye, cacingan dan penyakit yang berhubungan dengan gangguan reproduksi antara lain, kesulitan beranak pada kelahiran pertama, sapi keguguran dan retensi plasenta. Seperti yang terjadi di lokasi penelitian, gejala penyakit yang sering terjadi adalah cacingan, peternak dapat menduga bahwa sapi mereka menderita cacingan berdasarkan ciri fisik yaitu; bulu kusam, nafsu makan kurang atau nafsu makan

61 banyak tetapi sapi tetap kurus dan sering dijumpai sapi mencret. Menurut subronto dan Tjahajati (2001) gejala umum hewan terinfeksi cacing internal antara lain badan lemah, bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Kehadiran parasitcacing dapat diketahui dari pemeriksaan feses untuk mengetahui telur cacing. Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing adalah dengan memberi bobat cacing (antelmintik), pemberian obat cacing sebaiknya dilakukan berulang kali (Larsen, 2000). Pengetahuan peternak secara medis cukup untuk memberikan informasi hewan sakit atau sehat. Informasi ini didapat melalui penyuluhan yang diberikan oleh Dinas Peternakan. Berdasarkan hasil pengamatan, tindakan pencegahan dan pengobatan sudah dilakukan dengan baik. Hasil wawancara diperoleh bahwa seluruh peternak melaporkan apabila ada ternaknya yang sakit kepada petugas kesehatan atau paramedis veteriner setempat, namun tidak jarang dari mereka yang masih menggunakan obat herbal alami atas dasar pengalamannya karena keberadaan puskeswanas dan ketersediaan obat hewan yang masih terbatas. Pelaksanaan program kesehatan masih terbilang rendah. Pencegahan penyakit yang rutin dilakukan peternak seperti membersihkan kandang setiap hari atau setidaknya dua hari sekali. Sesuai dengan pernyataan Sugeng (2002) bahwa kandang harus dibersihkan setiap hari dan sapi-sapi harus dimandikan setiap hari atau minimal satu minggu sekali. Pembersihan kandang dan dilanjutkan dengan pemandian sapi ini bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang dan menjaga kesehatan sapi agar sapi tidak mudah terjangkit penyakit. Pengaturan lalu lintas berupa penyediaan desinfektan dan pakaian khusus untuk masuk ke area peternakan tidak tersedia. Hal ini menunjukkan pengetahuan peternak mengenai bosekuriti masih kurang. Terlihat bahwa, pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan hanya sebesar 48,73% nilai ini paling rendah bila dibandingkan dengan sub aspek kesehatan ternak lainnya. Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak ratarata hanya sebesar 60,88%. Hal ini disebabkan peternak mengesampingkan hal yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan. Kegiatan pencatatan dapat

62 memberikan keterangan tentang individu sapi terutama produktivitasnya sehingga dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sapi yang menguntungkan dan pengafkiran. Catatan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dan pengontrolan tatalaksana.peternak menggunakan obat sesuai rekomendasi dokter hewan dan sesuai petunjuk penerapannya. Terlihat bahwa persentase penerapan mengenai penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk rata-rata sebesar 71,41%. Setidaknya peternak sudah memahami cara pengobatan ternak berdasarkan pengalaman dan informasi dari petugas kesehatan. 4.3.4. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Upaya pelestarian lingkungan perlu dilakukan bagi pelaku usaha peternakan untuk mengurangi dampak lingkungan seperti emisi GRK, perubahan iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Pada umumnya peternak tidak memahami dampak lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari pelaksanaan teknis, seperti kotoran ternak yang dibiarkan menumpuk di sekitar kandang, penggunaan air berlebih ketika membersihkan kandang dan penggunaan pupuk kimia untuk kebun rumput.rincian penerapan GBP aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekPelestarian Fungsi Lingkungan Hidup No. Sub Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Penerapan kelompok 1 Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan 44,44 2 Manajemen penanganan limbah 75 3 Menjamin peternakan tidak menimbulkan efek pada lingkungan 56,48 rata-rata 58,64 Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek lingkungan sebesar 58,64%. Lebih lanjut data menunjukan implementasi sistem peternakan ramah lingkungan

63 sebesar 44,44% hal ini disebabkan rendahnya kesadaran peternak dalam mengolah limbah dan belum menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Pengetahuan yang telah didapatkan dalam sebuah penyuluhan dan pelatihan belum mampu diterapkan oleh peternak. Bantuan dari pemerintah yang telah diterima oleh kelompok berupa tempat dan alat pembuatan biogas belum termanfaatkan secara maksimal oleh seluruh anggota. Lebih lanjut data pada Tabel 18 menunjukan, penerapan manajemen penanganan limbah sebesar 75,00%. Angka yangsudah cukup baik namun peternak belum menerapkan proses pengolahan limbah secara maksimal. Pada umumnya peternak tidak melakukan pengolahan limbah, peternak menjadikan pupuk dari tumpukan kotoran ternak yang sudah mengering, adapun yang membakarnya terlebih dahulu kemudian ditebar ke sawah. Sebagian lainnya, kotoran ternak dibiarkan menumpuk disekitar kandang bila sudah mengering mereka hanya membuangnya ke tempat yang jauh dari lingkungan. Kesadaran akan perlunya pembuangan limbah ternak ke tempat khusus perlu disosialisasikan berkenaan dengan adanya global warming dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut (Herawati, 2012). Kegiatan sanitasi dan higien masih sangat rendah, dalam hal kebersihan peternak hanya melakukan pembersihan kandang minimal sehari sekali dari kotoran yang menumpuk. Peternak memisahkan feses terlebih dahulu sebelum membersihkan lantai dengan air, cara seperti ini sudah baik dilakukan karena akan lebih menghemat air. Peternak hanya menggunakan ember tanpa selang air atau sprai controller untuk mengalirkan air saat membersihkan lantai kandang. Pembersihan kandang dilakukan dengan alasan hanya untuk menghindari bau. Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya kesadaran peternak akan kebersihan lingkungan serta tidak adanya penyuluhan mengenai dampak lingkungan dari peternakan sapi potong sekaligus pencegahannya dari petugas atau penyuluh dari dinas setempat. Hal ini akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan, sesuai dengan pendapat Herawati (2012), bahwa aspek yang mempengaruhi besar

kecilnya emisi gas adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian pakan, sanitasi dan pemanfaatan kotoran. 64 4.3.5. Sumber Daya Manusia Peran dari pelaku usaha peternakan sangat menentukan keberlangsungan usaha yang dijalankan. Kemampuan dan keterampilan dari sumber daya manusia sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha. Rincian mengenai ratarata penerapan sub aspek sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel 19berikut: Tabel 19. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSumber Daya Manusia No. Sub Aspek Sumber Daya Manusia Penerapan kelompok 1 Memperhatikan kesehatan pekerja serta pencegahan penularan penyakit 2 Penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan di bidang peternakan 66,67 58,22 3 Menjamin keamanan dan keselamatan pekerja 73,61 Rata-rata 65,92 Berdasarkan Tabel 19. persentase penerapan GDFP aspek sumber daya manusia sebesar 65,92%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan dalam bidang peternakan memiliki nilai yang sangat rendah dibanding sub aspek lain yaitu sebesar 68,22%. Sedangkan modal utama dalam menjalankan usaha peternakan adalah kemampuan pengelolaan atau manajemen dari pelaku usahanya. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan peternak. Menurut Hoda (2002), pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir. Standar prosedur yang

65 diterapkan oleh peternak dalam skala usaha rumah tangga biasanya dilakukan berdasarkan kebiasaan sehari-hari dan pemahaman yang mereka miliki, mereka tidak mempunyai standar prosedur secara tertulis namun telah ada secara tersirat. Hal ini lah yang perlu diperbaiki secara bertahap terkait manajemen sosial ekonomi masyarakat peternak. Mayoritas peternak tidak memiliki pekerja atau staf dari luar, pekerjaan di kandang dibantu oleh keluarga (family worker) dengan itu peternak beranggapan tidak perlu menerapkan social responsible karena pekerja merupakan anggota keluarga sendiri. Mereka yang bekerja dan bertanggungjawab atas pekerjaan di kandang setidaknya mampu memahami bahwa kesehatan pekerja sangat penting agar tidak menganggu aktivitas dikandang dan mencegah penularan penyakit pada ternak. Data menunjukan sebesar 66,67% peternak selaku pengelola kandang memperhatikan kesehatan untuk mencegah penularan penyakit dari manusia ke hewan, tidak jarang sebagian peternak mengabaikan kondisi kesehatan mereka dan tetap melakukan aktivitas di kandang. Dalam hal menjamin keamanan dan keselamatan pekerja didapatkan hasil sebesar 73,61%, hal ini ditunjukan dengan peternak tidak memperkerjakan pekerja/anggota keluarga dibawah usia 18 tahun, menggunakan sepatu boot saat melakukan aktivitas di kandang hanya saja belum dilengkapi dengan pakaian khusus, hal ini disebabkan karena peternak beranggapan bahwa kegiatan peternakan ini sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari dirumahnya sehingga dirasa tidak memerlukan pakaian pelindung khusus. 4.3.6. Pembinaan dan Pengawasan Peran pembinaan dari pihak dinas serta pengawasan dari pihak pengawas bibit ternak perlu dilakukan secara rutin di kawasan peternakan rakyat, karena sebagian besar potensi penghasil daging sapi justru berada di tangan peternak skala rumah tangga walaupun keemilikannya cenderung hanya sedikit. Lebih jelasnya data penerapan GBP aspek pembinaan dan pengawasan disajikan pada Tabel 20 berikut:

66 Tabel 20. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Pembinaan dan Pengawasan No. Sub Aspek Pembinaan dan Pengawasan Penerapan kelompok 1 Pelaksanaan pembinaan kepada peternak 85,8 2 Pembinaan mengenai sertifikasi layak bibit 59,26 3 Pengawasan secara langsung maupun tidak langsung dari pihak dinas dan peternak 81,48 Rata-rata 75,51 Berdasarkan hasil perhitungan penerapan sub aspek pembinaan dan pengawasan sebesar 75,51%. Hal ini menunjukkan peran serta dari pihak dinas peternakan setempat sudah cukup aktif. Dibuktikan dengan adanya bentuk pembinaan kepada peternak berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai bidang peternakan, adanya program-program pemerintah yang mulai disalurkan kepada kelompok-kelompok peternak di wilayah sekitar. Salah satunya dengan ditetapkannya wilayah kecamatan ini sebagai kawasan sentra peternakan rakyat. Adanya petugas penyuluh, inseminator, petugas medis dan kelembagaan memiliki peranan penting untuk menunjang pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Selain itu, peranan dari akademisi, lembaga peneliti serta dukungan dari pemerintah sangat diperlukan oleh peternak skala rakyat. Peternak mengaku sangat membutuhkan binaan dan pendampingan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Kelompok Jambu Raharja ini sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi usaha peternakan berkelanjutan yang berorientasi pada perbaikan mutu bibit yang berkualifikasi. 4.4. Produktivitas Sapi Potong 4.4.1. Karakteristik Produksi Berdasarkan data hasil pengukuran di lokasi penelitian nilai rata-rata ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan pada sapi PO lepas sapih

secara berturut-turut adalah 109,50 cm, 97,50 cm, dan 85,75 cm. Ukuran tubuh sapi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Ferdianto dkk (2013) yaitu ukuran rata-rata lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan secara berturut-turut adalah 110,37 cm, 98,27 cm, dan 87,67 cm. Aryogi, Prihandini dan Wijono (2006) menyatakan bahwa perbedaan ukuran statistik vital pedet lepas sapih dapat diduga karena pengaruh nutrisi induknya selama menyusui pedet. Hartati dan Dicky (2008) menambahkan bahwa, pertumbuhan pedet prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan). Warwick dkk.,(1983) menambahkan pascasapih merupakan masa transisi antara ketergantungan kepada induk beralih kepada kemampuan beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tumbuh. Faktor lingkungan pakan dapat mencapai > 50 sehingga konsumsi dan nilai gizi pakan akan mempengaruhi pertumbuhan atau pertambahan bobot hidup. Berikut adalah data hasil pengukuran terhadap ukuran tubuh ternak berdasarkan kelompok umur : Tabel 21. Rata-Rata Ukuran Tubuh Sapi PO Berdasarkan Kelompok Umur Umur Rata-rata ukuran tubuh (cm) LD TP PB 7-12 bulan 109,67 98 86 18-24 bulan 142,50 119,86 126,75 >24 bulan 157,67 127,67 130,17 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan 67 Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa usia 18-24 bulan berdasarkan Tabel 22. secara berturut-turut 142,50 cm, 119,86 cm, dan 126,75 cm. Hasil angka ini sudah memenuhi kriteriadengan standar ukuran kuantitatif sapi PO (SNI 7651.5:2015) termasuk dalam kategori kelas I yaitu dengan ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan sesuai SNI secara berturut-turut adalah 138 cm, 119 cm, dan 120 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sapi dara yang dipelihara sudah cukup baik sebagai indikator awal dalam berproduksi.

68 Pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal Hardjosubroto (1994) menyebutkan bahwa karakteristik eksterior merupakan sifat kualitatif dari individu yang dikendalikan satu atau beberapa pasang gen. Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa dengan usia >24 bulan berdasarkan tabel 21. ukuran lingkar adalah 157,67 cm, tinggi pundak sebesar 127,67 cm, dan panjang badan sebesar 130,17 cm. Hasil ini bila dibandingkan dengan standar SNI persyaratan kuantitatif bibit sapi PO betina termasuk dalam kategori kelas II. Namun ukuran sapi di kelompok ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Natasasmita dan Mudikdjo (1985) yaitu panjang badan pada sapi Jantan 133 cm dan Betina 132 cm, lingkar dada pada sapi Jantan 172 cm dan Betina 163 cm. Hal ini disebabkan karena induk dengan usia yang semakin tua terlihat lebih kurus, pertumbuhan melambat dan kebutuhan nutrisi yang didapat belum memenuhi kebutuhan karena pakan yang diberikan mayoritas hanya jerami padi kering. Sapi induk yang dipelihara sebenarnya berpotensi untuk ditingkatkan kembali produktivitasnya sebagai indikator awal dalam menghasilkan bakalan yang bermutu baik, terutama bila induk betina disilangkan dengan pejantan PO atau semen dari pejantan PO yang berkualitas baik. Hal ini dinyatakan oleh Warwick dkk.,(1990), bahwa sifat yang secara genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh pejantannya. Hasil pengukuranselanjutnya terhadap ukuran tubuh dan pendugaan bobot badan induk sapi POdengan menggunakan rumus winter di sajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Rata-rata Ukuran Tubuh dan Pendugaan Bobot Badan IndukBetina Menggunakan RumusWinter Umur (bulan) Rata-rata ukuran tubuh (cm) Rata-rata (inch) Rumus Winter LD TP PB LD PB BB BB (kg) (Lbs) 18-24 142,50 119,86 126,75 48,92 51,73 586,49 266,03 24 157,67 127,67 130,17 64,35 53,13 736,36 334,01 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan, BB= Bobot Badan

69 Data Tabel 22. menunjukkan bahwa ukuran tubuh rata-rata sapi PO dengan rentan usia 18-24 bulan dan >24 bulan sudah memenuhi kriteria sesuai standar yang ditetapkan dalam SNI 7651.5:2158 tentang bibit induk sapi PO, dengan adanya ukuran-ukuran tubuh tersebut berguna untuk mendeteksi pendugaan bobot badan ternak. Dalam usaha peternakan rakyat pengukuran dan penimbangan masih jarang dilakukan, sehingga peternak tidak pernah mengetahui berapa bobot tubuh ternaknya. Dimensi LD dan PB (cm) sangat sederhana dan mudah diukur untuk keperluan estimasi bobot badan hidup (kg), walaupun hal ini tidak menjamin lebih akurat dibanding penimbangan secara langsung disebabkan error yang tidak terkontrol dititik referensi lokasi. Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan mengenai bobot badan sapi dengan menggunakan rumus winter pada umur 18-24 bulan sebesar 266,03 kg. Sedangkan untuk sapi dewasa dengan umur > 24 bulan berdasarkan pendugaan bobot badan dengan rumus winter adalah sebesar 334,01 kg. Hasil ini sudah cukup baik diduga karena saat ini sedang memasuki musim panen sehingga ketersediaan hijauan cukup banyak dan jumlah konsumsi pakan yang telah memenuhi kebetuhan 10% dari bobot badan. Natasasmita dan Mudikdjo (1985), menambahkan bahwa bobot badan sapi Jantan dewasa dapat mencapai 350-450 kg, sedangkan sapi Betina dewasa dapat mencapai 300-400 kg. 4.4.2. Karakteristik Reproduksi Secara keseluruhan produktivitas induk apabila di lihat dari segi karakteristik reproduksi sudah cukup baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak mengawinkan sapi dara pada umur 18-24 bulan dengan rata-rata sekitar umur 20 bulan, sehingga pada umur 26-33 bulan dengan rata-rata umur 30 bulan atau 2,5 tahun sapi dara sudah beranak untuk pertama kalinya. Angka ini cukup baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hardjosoebroto, (1980) yang menunjukan bahwa umur beranak pertama sapi PO rata-rata terjadi pada umur 3,4 tahun. Di lain pihak, AAK (1991) menjelaskan bahwa untuk sapi tropis di

70 Indonesia perkawinan pertama kali yang paling baik adalah pada umur 2-2,5 tahun pada saat itulah kedewasaan tubuh sudah diperoleh. Perkawinan yang dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian terhitung lebih cepat bila dibandingkan dengan penjelasan tersebut, hal ini karena didorong oleh kebutuhan ekonomi peternak agar segera mendapat keuntungan, namun tanpa disadari sebenarnya akan menimbulkan dampak negatif kepada induk dan anak yang dilahirkannya bila terus dibiarkan seperti itu. Akan tetapi menunda perkawinan terlalu lama juga sangat merugikan, oleh karena itu, peternak harus mengetahui batas-batas umur sapi yang baik untuk dikawinkan. Namun pastikan agar sapi tidak mengalami perlambatan usia berahi karena kekurangan nutrisi. Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang rendah (kualitas dan kuantitas) akan menghambat umur berahi pertama dan pubertas akan tertunda. Berikut adalah rincian hasil rata-rata penampilan reproduksi sapi Peranakan Ongole di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Karakteristik Reproduksi Sapi Peranakan Ongole No Uraian Rata-rata 1 Umur kawin pertama (bulan) 20 2 Service per Conception (S/C) 1,7 3 Umur pertama beranak (tahun) 2,46 4 Lama bunting (bulan) 9 bulan 12 hari 5 Calving Interval (bulan) 13,50 6 Selang waktu kawin kembali setelah beranak(hari) 85 Berdasarkan data pada Tabel 23. rata-rata nilai S/C sapi PO di lokasi penelitian adalah 1,7 atau sekitar 1-2 kali injeksi IB. Hasil ini sesuai dengan pendapat Toelihere, (1979), bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-2,0. Nilai S/C dalam penelitian ini masih jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil laporangunawan, (1983) bahwa nilai S/C sapi PO adalah sebesar 1,3. Menurut Santosa, (2006), tingginya nilai S/C disebabkan karena keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta serta

71 faktor kesuburan ternak yang sangat berpengaruh. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Selang waktu sapi untuk dapat dikawinkan kembali setelah beranak di lokasi penelitian rata-rata adalah 85 hari. Hasil ini sudah cukup baik dan sesuai dengan pendapat AAK (1991) bahwa, sapi-sapi induk sehabis melahirkan dapat dikawinkan kembali setelah 60-90 hari. Hal ini dikarenakan sapi memerlukan waktu untuk memulihkan alat reproduksinya atau dapat disebut dengan istilah involusi uteri. Involusi uteri adalah proses pemulihan fertilitas pada hewan pasca melahirkan, pada kondisi ini akan terjadi penyusutan kembali alat reproduksi ke ukuran normal setelah mengalami pembesaran selama fase kebuntingan. Maka, sekitar 2 3 bulan setelah melahirkan alat reproduksi sudah sembuh kembali. Toelihere (1993) juga menambahkan dengan Interval kawin pertama setelah beranak yaitu rata-rata 90 hari atau pada birahi ke tiga, tetapi menurut Santosa, dkk. (2006) sapi dapat dikawinkan kembali setelah 40-60 hari (birahi kedua) setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan karena pada birahi kesatu dan kedua sapi mengalami silent heat sehingga peternak tidak dapat mendeteksi gejela estrus atau memang atas keterlambatan peternak dalam mendeteksi birahi dan melakukan perkawinan pada ternak. Lamanya interval kawin pertama setelah beranak dapat mengakibatkan panjangnya masa kosong, dampak lebih lanjut menurunkan produksi susu total dan pendapatan peternak. Data pada Tabel 23, menunjukan periode kebuntingan sapi rata-rata 9 bulan 12 hari atau sekitar 282 hari. Hal ini sudah termasuk dalam kategori ideal menurut Toelihere (1981), periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan 285 hari.calving Interval (CI) adalah interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Calving interval di lokasi penelitian berada pada kisaran 13 bulan, hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere, (1979) bahwa selang beranak sapi adalah 12-13 bulan. Selang beranak yang lama akan menyebabkan waktu untuk memproduksi susu (umur produktif) sapi tersebut

72 berkurang sehingga menurunkan produktivitas. Selain itu, Toelihere (1983) menyatakan bahwa aktivitas reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan. 4.5. Analisis Pendapatan berdasarkan Income Over Feed Cost Bagi pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang pembibitan sapi potong tujuan akhir yang ingin dicapai adalah memperoleh hasil produksi yang maksimal dan keuntungan dari jenis usaha yang dijalankannya. Untuk menghasilkan suatu produksi,hal yang perlu diperhatikan adalah aspek berproduksi secara teknis dan ekonomis yang keduanya akan saling mempengaruhi. Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas berproduksi adalah dengan menggunakan perhitungan pendapatan berdasarkan Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC adalah selisih antara pendapatan usaha peternakan terhadap total biaya pakan. Pendapatan ini merupakan perkalian antara nilai produksi peternakan dengan harga jual, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan ternak tersebut (Prawirokusumo, 1990). Biaya produksi yang dikeluarkan diantaranya seperti pengadaan pakan konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dan lain-lain juga menentukan tingkat pendapatan peternak namun dalam hal ini, hal-hal tersebut tidak di perhitungkan dalam analisis Income Over Feed Cost (IOFC). Income Over Feed Cost merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari hasil penjualan produksi yang hanya dikurangi dengan biaya pakan saja. Berikut adalah kisaran harga jual ternak di lokasi penelitian sebagai tolak ukur penerimaan peternak dapat dilihat pada Tabel 24: