I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

dokumen-dokumen yang mirip
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mempunyai luas hutan negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakat

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

2011, No c. bahwa dalam rangka menjamin kepastian terhadap calon pemegang izin pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menter

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mendefinisikan hutan sebagai sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Kebijakan Bioenergi, Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

KEJAHATAN KEHUTANAN KONTEMPORER (Studi kasus Riau) 1

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Lampung Barat Panduan cara memproses perijinan dan kiat sukses menghadapi evaluasi

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PADA SEMINAR DAN PAMERAN HASIL PENELITIAN DI MANADO. Manado, Oktober 2012

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SISTEM HAK PENGUSAHAAN HUTAN DAN MANAJEMEN HUTAN. Oleh : Budi Nugroho

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya disekitar hutan dan juga penciptaan model pelestarian hutan yang efektif.

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai bangsa yang percaya dan meyakini kemahakuasaan Tuhan

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2012

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian

HARAPAN RAINFOREST RESTORASI EKOSISTEM DI HARAPAN RAINFOREST SEBUAH MODEL DALAM UPAYA PENGURANGAN LAJU DEFORESTASI DI INDONESIA

Kajian Tinjauan Kritis Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai rangkaian

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2010

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan yang mempunyai tiga fungsi, yaitu: fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta hektar atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia. Menurut fungsinya kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 20,50 juta hektar, hutan lindung seluas 33,52 juta hektar, hutan produksi seluas 58,25 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8,08 juta hektar. (Sumber: www.dephut.net di akses 6 September 2013 pukul 14.00). Seiring dengan meningkatnya laju konversi hutan yang diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahun untuk lahan pertanian, pemukiman, serta pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat disadari telah mengurangi luasan serta fungsi hutan yang pada gilirannya menimbulkan banyak masalah seperti kerusakan sistem ekologi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan bahkan perubahan iklim global.

2 Selain laju konversi hutan, masalah pembalakan liar atau illegal logging, atau penebangan liar, merupakan penyumbang kerusakan hutan terbesar di Indonesia. Illegal logging adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Kegiatan illegal logging berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Laju kerusakan hutan (deforestasi) 2004-2009 yang dirilis Kementerian Kehutanan (Kemhut), mencapai 1,7 juta hektar per tahun. Data dari The UN Food dan Agriculture Organization (FAO), justru menyebut angka kerusakan hutan di Indonesia periode Mei 2010 berkisar 500.000 hektare per tahun. (Sumber: http ://www.merdeka.com diakses 6 September 2013 pukul 14.20). Penyebab masih terjadinya konversi hutan dan pembalakan liar atau illegal logging ialah masih banyaknya masyarakat miskin yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan menjadi salah satu yang perlu terus diupayakan bersama untuk mengurangi angka kemiskinan dan mengurangi terjadinya konversi hutan dan pembalakan liar. Menurut data Dinas Kehutanan Republik Indonesia Tahun 2011, masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan tesebar di 2.805 desa, di sekitar kawasan hutan yang tersebar di 16.605 desa, umumnya tergolong miskin. Seiring dengan adanya reformasi, terjadi perubahan paradigma dan cara berpikir dalam melihat dan mempersepsikan bagaimana mengelola hutan secara lebih baik di Indonesia. Pengelolaan hutan yang lebih menitikberatkan pada fungsi ekonomi komersial dan ekologis yang selama ini diterapkan secara rigid terbukti tidak mampu

3 menjembatani kebutuhan sosial-ekonomi subsistem masyarakat terutama mereka yang hidupnya memiliki ikatan historis saling ketergantungan dengan ekosistem hutan di sekitar mereka. Kaitannya dengan hal ini, Kementrian Kehutanan mulai memberikan perhatian yang semakin besar kepada program-program Hutan Kemasyarakatan. Kebijakan pembangunan kehutanan yang sentralistik diyakini sebagian kalangan tidak begitu efektif menjaga kawasan hutan. Peningkatan partisipasi masyarakat baik dalam kebijakan dan juga dalam pengelolaan sumber daya hutan, dapat mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan. Pengakuan tentang pentingnya masyarakat sebagai basis pembangunan kehutanan di Indonesia dinyatakan dengan tegas pada perubahan paradigma tersebut yang kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk kebijakan. Salah satu kebijakan penting yang dapat menjadi cermin kemauan pemerintah mengembalikan masyarakat lokal sebagai aktor utama pembangunan kehutanan di Indonesia adalah kebijakan Hutan Kemasyarakatan. Melalui program ini, akses masyarakat dalam mengelola hutan kembali dibuka setelah sekian lama tertutup. Kebijakan hutan kemasyarakatan memberikan peluang nyata bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Ini terwujud dari pemberian akses kepada masyarakat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memberikan hak akses kepada masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dan pengelolaan hutan. Sesuai dengan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP Nomor 34 Tahun 2002 Pasal 51 menyebutkan secara tegas bahwa pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan sekitar hutan dilaksanakan dalam rangka penguatan kelembagaan masyarakat

4 dalam memanfaatkan hutan. Di samping itu pengembangan hutan kemasyarakatan merupakan wujud implementasi kebijakan desentralisasi bidang kehutanan, peranan pemerintah daerah terutama pemerintah kabupaten/kota akan sangat penting, karena seluruh aspek teknis pelaksanaan program akan menjadi tanggungjawab bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan Hutan kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya adalah Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan Hutan Kemasyarakatan masih sangat kecil. Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Menteri kehutanan juga merancang pelayanan kredit agar masyarakat yang berminat dapat memulai unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Promosi bentuk Hutan Kemasyarakatan ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Kemudian Keputusan Menteri Kehutanan tersebut dirubah dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Adanya keputusan ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Peraturan ini lagi-lagi tidak membuahkan hasil yang maksimal

5 karena tidak terakomodasikannya hak-hak masyarakat setempat. Keputusankeputusan terhadap kehutanan masyarakat di atas juga pada intinya digunakan oleh pemerintah untuk melindungi kawasan hutan khususnya hutan produksi yang tidak tercakup dalam kawasan Hak Pengusaha Hutan (HPH) skala besar. Kebijakan itu kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannyanya (Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2009, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut- II/2011). Peraturan tersebut menjelaskan petunjuk teknis berkaitan dengan prosedur untuk memperoleh hak-hak kelola HKm, termasuk rincian proses perijinan dan pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Peraturan tersebutkan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Kemasyarakatan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat sehingga mereka mendapatkan manfaat sumberdaya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P52 / Menhut II / 2011 Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Tujuan Hutan kemasyarakatan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan memberi

6 akses lebih besar pada masyarakat sekitar hutan untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan guna peningkatan pendapatan dan kualitas hidup mereka. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011) Hutan kemasyarakatan hanya diberlakukan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Ketentuannya, hutannya tidak dibebani hak atau ijin dalam pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Hutan kemasyarakatan diperuntukkan bagi masyarakat miskin setempat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan serta menggantungkan penghidupannya dari memanfaatkan sumberdaya hutan. Kebijakan Hutan kemasyarakatan mengizinkan masyarakat untuk dapat mengelola sebagian dari sumberdaya hutan dengan rambu-rambu yang telah ditentukan. Masyarakat yang dipercaya membangun hutan dengan sistem berkelompok ini, akan mendapat imbalan oleh pemerintah dalam bentuk kepastian penguasaan lahan dengan jenis Izin Hak Kelola (bukan hak kepemilikan). Saat ini, di beberapa tempat di Indonesia, telah banyak kelompok-kelompok yang berkegiatan dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan, termasuk beberapa diantaranya di Provinsi Lampung, untuk mengimplemetasikan kebijakan Hutan kemasyarakatan pihak kehutanan di Provinsi Lampung menetapkan pencadangan areal Hutan kemasyarakatan seluas ± 291.727 hektar yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 hektar, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 hektar dan Hutan Produksi seluas 33.630 hektar yang tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan pada umumnya wilayah kawasan hutan

7 tersebut telah rusak atau telah diusahakan oleh masyarakat sehingga secara teknis menunjukkan bahwa fungsi hutan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. (Sumber: www.dephut.net diakses 6 September 2013 pukul 14.30). Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang menjalankan kebijakan program Hutan Kemasyarakatan, yaitu berada di Kecamatan Sumber Jaya daerah hutan Rigis Jaya II yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31 Tahun 2001 seluas 251,65 hektar. Kemudian dengan keluarnya Peraturan Mentri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) selama 35 tahun. Diinisiasi dan difasilitasi oleh LSM Lingkungan Hidup WATALA dengan dukungan berbagai pihak. Areal Hutan kemasyarakatan Rigis Jaya II ini juga dipilih oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) sebagai Laboratorium Kehutanan Masyarakat (KM) dan Perubahan Iklim. Kawasan Rigis Jaya II sangat penting dalam penyeimbang ekosistem mikro, sumber penghasilan, listrik mikrohidro, dan jasa lingkungan. Program Hutan kemasyarakatan ini telah memberi dampak langsung bagi masyarakat kawasan Rigis Jaya II secara ekonomi, dan dampak tidak langsung bagi masyarakat Lampung Barat dan masyarakat global (iklim). Pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya daerah hutan Rigis Jaya II, ternyata masih terdapat masalah-masalah dalam pelaksanaan kebijakan Hutan Kemasyaraakatan. Permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan adalah masalah tata batas area hutan kemasyarakatan dan masih rendahnya pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) menyerahkan Rencana Umum dan Rencana Operasional Hutan

8 Kemasyarakatan. Ada 22 kelompok Hutan Kemasyarakatan pemegang IUPHKm, dan baru 7 yang telah selesai menyusun Rencana Umum dan Rencana Operasional. Padahal, Rencana Umum dan Rencana Operasional merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan pemegang izin sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.P52/Menhut-II/2011 tentang Hutan Kemasyarakatan. Rencana Umum dan Rencana Operasional cukup rumit dilaksanakan tanpa dukungan dan fasilitasi pihak lain. Ada hal-hal teknis yang cukup berat untuk dilaksanakan, seperti keharusan membuat peta andil, peta batas, berbasis GIS/GPS, pendataan tanam tumbuh, dan lainnya. (Sumber: Lampung.antaranews.com diakses 8 September 2013 pukul 20.00.) Memperhatikan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Hutan Kemasyarakatan (Studi di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana evaluasi pelaksanaan kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013? 2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat dan pendorong proses implementasi kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat?

9 C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran (deskripsi) dan menganalisis tentang evaluasi pelaksanaan kebijakan hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat Tahun 2013. 2. Menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambat proses implementasi kebijakan program hutan kemasyarakatan di Kecamatan Sumber Jaya Kabupaten Lampung Barat. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Secara akademis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi studi Ilmu Administrasi Negara, khususnya mengenai implementasi dan evaluasi kebijakan publik. 2. Secara praktis diharapkan penelitian ini mampu memberikan masukan yang bermanfaat bagi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Lampung Barat khususnya Dinas Kehutanan.