KONDISI UMUM WILAYAH KAJIAN

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 3. Hasil simulasi debit Sumberjaya Lampung. Gambar 4. Hasil simulasi debit di Mae Chaem Thailand

BAB 3 GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM 4.1 Aspek Fisik Wilayah Administrasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan tahun 1990

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

HIDROLOGI DAS CILIWUNG DAN ANDILNYA TERHADAP BANJIR JAKARTA 1

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB IV KONDISI UMUM. Gambar 3 Peta Lokasi Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB V HASIL PENELITIAN

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

DAS Ciliwung Hulu dibagi menjadi tujuh Sub DAS yaitu (I) Sub DAS Tugu, (2)

ANALISIS INDIKATOR KUANTITATIF FUNGSI HIDROLOGI AKIBAT ALIH GUNA LAHAN DAS CILIWUNG HULU APRIAN PURNOTO

METODOLOGI PENELITIAN

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Bulan Basah (BB) : Bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm (jumlah curah hujan bulanan melebihi angka evaporasi).

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Curah Hujan DAS Citarum Hulu Tahun 2003

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB IV DESKRIPSI UMUM WILAYAH

KEADAAN UMUM DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

KONDISI W I L A Y A H

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

Transkripsi:

IV. Tabel 4. Skenario perubahan penggunaan lahan Komposisi *Awal (%) Skenario 1 (%) Skenario 2 (%) Hutan 21.6 35 55.8 Perkebunan 31.6 27.3 13.8 Pemukiman 25.8 25.8 26.8 Tegalan 11.6 2.5 1.5 Sawah 9.4 9.4 2.1 * awal: mengacu pada kondisi tahun 24 KONDISI UMUM WILAYAH KAJIAN 4.1 Kondisi Umum DAS Ciliwung Hulu Secara astronomis Sungai Ciliwung berada pada letak lintang dan bujur 6 5` - 6 5` LS dan 16 4` - 17 ` BT. Sungai ini bermula (hulu) di Gunung Mandalawangi. (Talaga) dan bermuara (hilir) di Teluk Jakarta. Wilayah DAS dengan luas sekitar 322 km 2 ini dibatasi oleh DAS Cisadane di sebelah barat dan DAS Citarum di sebelah Timur. Sungai ini mengalir dari arah Selatan ke Utara dengan bentuk melebar di bagian hulu dan menyempit di bagian hilir. Sungai ini mengalir melalui daerah daerah yang termasuk wilayah administrasi: a) Kabupaten Bogor khususnya kecamatan Cisarua, Ciawi, Kedunghalang, Cibinong dan Cimanggis; b) Kotamadya Bogor; c) Kota Administratif Depok; dan d) wilayah DKI Jakarta. Bagian hulu merupakan pegunungan dan berada pada batas ketinggian 3 m sampai 3 dpl. Dengan luas 146 km2 bagian hulu DAS ini meliputi kecamatan Cisarua, Ciawi, dan Kedunghalang yang dibatasi oleh bendungan Katulampa sebagai outletnya, serta dikelilingi oleh G. Gede, G. Pengrango, G. Hambalang, dan Megamendung. Bagian DAS hulu ini terdiri dari sepuluh anak sungai yaitu: Citamiang, Cimegamendung, Cilember, Ciesek, Cisukabirus, dan Ciseuseupan. 4.2 Iklim Iklim di daerah penelitian tergolong ke dalam iklim tropika. Suhu berkisar antara 23-24 C dengan kelembaban nisbi antara 73-82 %. Radiasi surya minimum terjadi pada bulan Januari (27,36 %) dan maksimum pada bulan September (81,85 %). Rata-rata penguapan minimum sebesar 2,8 mm terjadi pada bulan Januari sedangkan rata-rata penguapan maksimum sebesar 3,56 mm pada bulan Oktober. Menurut Klasifikasi Iklim Schmidt Ferguson dalam Handoko (1994), iklim Sub DAS Ciliwung Hulu adalah termasuk ke dalam Zona Agroklimat A yang berarti daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika. Klasifikasi ini ditentukan berdasar dari jumlah Bulan Basah (hujan bulanan jangka panjang >1 mm) dan Bulan Kering (hujan bulanan jangka panjang <6 mm). Klasifikasi iklim A karena daerah ini mempunyai bulan bulan basah berturut turut sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan kondisi daerah hulu yang selalu tertutup awan 4.3 Tanah Tanah tanah yang terbentuk umumnya berasal dari bahan induk abu volkan dan batuan piroklastik. Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil Tahun 1992 skala 1:5. yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di daerah penelitian meliputi order Andisol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38.9 %, 11 %, 48 %, dan 2,1%. DAS Ciliwung Bagian Hulu dibangun oleh formasi geologi vulkanik yaitu komplek utama Gunung Salak dan komplek Gunung Pangrango. Deskripsi Litologi Kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah tufa glas lhitnik kristal, tufa fumice dan batu pasiran tufa, sedangkan kondisi fisiografi daerah kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan daerah pegunungan dan berbukit. Elevasi umumnya diatas 15 m dpl dan terdiri atas daerah lungur volkan tua dan muda. Bahan induk tanah yang terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa tufa volkanik dan derivatifnya merupakan bahan dasar pembentuk tanah jenis tanah Latosol Coklat Kemerahan adalah jenis tanah yang dominan. Adanya pencampuran bahan vulkanik tua dan yang lebih muda memungkinkan terbentuknya jenis-jenis tanah lain yang berasosiasi dengan Latosol antara lain adalah tanah Andosol dan Regosol

Gambar 1. Peta lokasi kajian V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pola penggunaan/penutupan lahan di daerah penelitian hasil pengamatan tahun 1994 sampai dengan tahun 25 masingmasing digambarkan pada peta-peta yang disajikan pada Lampiran. Berdasarkan petapeta tersebut, daerah penelitian memiliki luas total 14.617 hektar dengan 8 tipe penggunaan/penutupan lahan, yaitu hutan lebat, hutan semak/belukar, kebun campuran, kebun teh, lahan terbuka, pemukiman, sawah, dan tegalan/ladang. Luas masing-masing tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut disajikan pada Tabel 5 Perubahan penggunaan/penutupan lahan dari tahun 1994 24 dapat diamati melalui proses tumpang susun (overlay) peta pada ArcView. Data lengkap perubahan tipe dan luas penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran 9. Berdasarkan analisis tersebut lahan yang paling banyak terkonversi adalah kebun teh dimana pada tahun 24 kebun teh telah terkonversi menjadi hutan semak belukar, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, sawah, dan tegalan dengan persentase perubahan tertinggi menjadi daerah tegalan. Menyusul lahan sawah yang terkonversi menjadi kebun campuran, kebun teh, daerah pemukiman, sawah, dan tegalan, dengan perubahan tertinggi menjadi daerah tegalan. Luas penggunaan/penutupan lahan lainnya, seperti hutan semak/belukar, kebun campuran, lahan terbuka, dan pemukiman relatif tidak terlalu besar perubahannya. Tabel 5. Luas penggunaan/penutupan lahan DAS Ciliwung Hulu 1994 24 Laju Nama lahan luas (Ha) % Luas (Ha) % landuse (%) perubahan/th (%) hutan lebat 3571.7 21.1 343.43 2.1-1 -.1% hutan semak 576.9 4.4 256.8 1.5-2.9 -.29% kebun campuran 1843.5 1.8 1873.4 11 +.2 +.2% kebun teh 4248.2 25.1 3478.3 2.6-4.5 +.45% lahan terbuka 5.2 14.8.1 -.1 -.1% pemukiman 3315.5 19.6 4379.8 25.8 +6.2 +.62% sawah 2889.4 17.1 1581.2 9.4-7.7 -.77% tegalan 421.6 2.5 1966.6 11.6 +9.1 +.91%

5.2 Analisis Curah Hujan DAS Ciliwung Hulu DAS Ciliwung terletak di Pulau Jawa dengan curah hujan yang dipengaruhi oleh monsun Asia dan Australia. Pola grafik curah hujan bulanan di daerah ini menyerupai huruf V, dengan nilai curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni sampai dengan Septembar, sedangkan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Oktober sapmai dengan April. Faktor iklim lain yang dapat mempengaruhi pola curah hujan di Indonesia adalah siklus Hadley dan siklus Walker, kedua siklus tersebut terjadi karena perubahan tekanan pada belahan bumi utara dan selatan serta pada bagian barat dan timur. Data curah hujan harian yang diamati pada penelitian didapat dari 3 stasiun hujan ynag dianggap dapat mewakili pada tiga ketinggian yang berbeda di DAS Ciliwung Hulu selama periode 1994 25. Data harian tersebut kemudian dirata ratakan menjadi data bulanan untuk mengetahui pola grafik curah hujan dari setiap setasiun. Ketiga stasiun hujan tersebut terletak mulai dari kawasan puncak Cisarua dengan ketinggian 116 m dpl hingga daerah outlet katulampa dengan ketinggian 48 m dpl. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 1 (Lampiran 3) untuk analisis sifat hujan wilayah. Pola grafik curah hujan bulanan tiap stasiun hujan pada daerah hulu DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar11. Tabel 6. Curah hujan bulanan rata rata DAS Ciliwung Hulu (1993 25) Stasiun Elevasi jan feb mar apr mei jun ags sep okt nov des katulampa 48m dpl 49 438 411 369 3 229 22 24 41 437 368 Gn Mas 116m dpl 626 615 354 322 223 18 124 165 265 393 41 Citeko 92m dpl 576 47 312 29 187 121 116 114 211 299 378 7 Curah Hujan (mm) 6 5 4 3 2 1 jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des Bulan Katulampa Gunung Mas Citeko Gambar 11. Grafik curah hujan bulanan tiga stasiun di wilayah Ciliwung Hulu Dari Tabel 6 dan Gambar 9 dapat dilihat bahwa curah hujan daerah Gunung Mas lebih besar daripada daerah Citeko yang berada dibawahnya. Namun demikian daerah Katulampa cenderung memiliki curah hujan yang paling tinggi diantara keduanya. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) bahwa bulan yang memiliki nilai curah hujan bulanan < 15 mm disebut bulan kering, sedangkan bulan dengan curah hujan 15 mm disebut bulan basah. Pada daerah hulu Ciliwung cenderung lebih banyak mengalami bulan basah sepanjang tahun yang disebabkan oleh pengaruh dari lokasi wilayah yang berada pada dataran sedang hingga tinggi. Bulan bulan basah ini berturut turut terjdi mulai September hingga Mei. Hal tersebut terjadi karena selain faktor ketinggian pada bulan bulan tersebut tekanan udara di daratan Asia lebih tinggi dibandingkan di daratan Australia sehingga angin muson barat yang berasal dari benua Asia bergerak menuju benua Australia.

Angin tersebut mengangkut massa udara yang mengandung uap air yang berasal dari proses penguapan di atas Samudera Hindia dan kemudian membentuk awan potensial yang merata dan menutupi sebagian besar pulau Jawa dan Sumatera. Awan tersebut sangat potensial untuk menghasilkan hujan, sehingga pada periode tersebut di Pulau Jawa dan sekitarnya mengalami musim penghujan. Kejadian sebaliknya bulan kering yang lebih banyak terjadi di daerah Citeko dan Gunung Mas. Tekanan udara di daratan Asia pada periode Juni - September mulai melemah sehingga angin muson timur bergerak dari Australia menuju Asia. Massa udara yang dibawa angin tersebut umumnya tidak mengandung uap air bahkan memiliki sifat yang kering sehingga tidak potensial untuk mendatangkan hujan. Hujan yang terjadi pada periode tersebut hanya dipengaruhi oleh sumber sumber lokal dan awan yang dibentuk karena keadaan orografik dan juga proses konveksi. Pada periode tersebut sebagian besar daerah di Pulau Jawa mengalami musim kemarau. Curah Hujan (mm) 6 5 4 3 2 1 jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nov des Bulan Gambar 12. Grafik curah hujan wilayah bulanan rata rata DAS Ciliwung Hulu 5.3 Analisis Evapotranspirasi Hasil perhitungan metode Penman FAO keluaran software Irsis diketahui bahwa nilai evapotranspirasi bulanan dan tahunan untuk ketiga stasiun yang dianalisis tidak nenunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk stasiun Citeko nilai evapotranspirasinya 117 mm/bulan dan 141 mm/tahun, stasiun Gunung Mas 113 mm/bulan dan 1366/tahun, sedangkan stasiun Katulampa 118 mm/bulan dan 1417 mm/tahun. Perbedaan topografi yang relatif rendah untuk daerah Katulampa menyebabkan daerah ini mrempunyai nilai evapotranspirasi yang relatif lebih tinggi karena penerimaan radiasi surya yang lebih banyak dengan jumlah curah hujan yang tinggi pula. Vegetasi di daerah ini pun sudah relatif berkurang sehingga penguapan air dari permukaan tanah akan lebih banyak menyokong dari proses evapotranspirasi. Evapotranspirasi (mm/bulan) 16 14 12 1 8 6 4 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 11 12 Bulan Citeko Gn Mas Katulampa Gambar 13. Grafik nilai evapotranspirasi 5.4 Analisis Debit Sungai Ciliwung Hulu (1993 25) Peningkatan debit sungai Ciliwung hulu terjadi pada musim hujan dengan nilai maksimum 195 m 3 /det. Penurunan debit sungai pada musim kemarau mencapai,2 m 3 /det yang terjadi pada minggu ke-2 Oktober tahun 1997. Penurunan debit minimum yang sangat drastis pada tahun 1997/1998 diduga kuat akibat adanya El Nino pada periode tersebut yang menyebabkan debit sungai menyusut pada musim kering. Selanjutnya analisis debit sungai dibagi menjadi dua periode pengamatan. Periode pertama mulai tahun 1993 sampai dengan 1996 sedangkan periode kedua dari tahun 1997 sampai dengan 25. Pembagian ini didasarkan pada nilai koefisien rejim sungai yang mulai naik signifikan setelah tahun 1996. Untuk melihat kecenderungan grafik kenaikan debit selama periode tersebut maka data debit dipilah menurut kesamaan probabilitas atau kemungkinanan peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu yang dalam analsis ini digunakan peluang terlampaui di atas 75%. Berikut hasil dari analisis data debit sungai di outlet Katulampa.

25 Debit (m3/dt) 2 15 1 5 2 4 6 8 1 12 CH (mm/hari) 14 1 251 51 751 11 1251 151 1751 21 2251 251 2751 31 3251 Hari (Julian date) CH Debit Gambar 14. Grafik time series hubungan curah hujan dan debit harian Debit (m3/dt) 25 2 15 1 5 2 4 6 8 1 12 14 Hujan (mm/hari) per 1997-25 per 1993-1996 Gambar 15. Hubungan antara curah hujan dengan distribusi debit periode 1993-25. Curah hujan dan debit harian telah dipilah berdasarkan kesamaan exeedance probability (peluang kejadian suatu nilai melebihi suatu nilai tertentu). Secara umum peningkatan debit seiring dengan peningkatan curah hujan Terjadi peningkatan debit harian yang cukup signifikan antara periode tahun pertama (1993 1996) dan periode kedua (1997 25). Pada periode tahun kedua rata rata debit hariannya lebih tinggi dibandingkan periode pertama dengan puncaknya mencapai dua kali debit puncak periode tahun pertama. Debit harian rata rata periode pertama sebesar 12,32 m 3 /det sedangkan periode kedua sebesar 18,41 m 3 /det. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh ekosistem bagian hulu yang lahannya terus terkonversi untuk lahan hutan dan kebun sebagai penyangga air hujan pada musim hujan dan penyimpanan air pada saat musim kering. Tercatat untuk klasifikasi hutan baik hutan lebat maupun hutan semak telah berkurang 3,9%, kebun teh telah berkurang 4,5%, sdangkan pemukiman meningkat tajam hingga 6,2%. Sehingga daerah hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan air (catchment area) perlahan lahan berubah fungsi menjadi daerah padat hunian akibat maraknya pembukaan lahan. 5.5 Analisis Indikator Penyangga DAS Analisis lain yang dilakukan dengan data empiris curah hujan dan debit sungai Ciliwung hulu adalah aplikasi perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator. Hasil perhitungan kuantitatif dari beberapa indikator fungsi hidrologi DAS disajikan pada Gambar 16. Indikator penyangga (buffering indicator) cenderung berkorelasi negatif dengan total debit sungai sehingga peningkatan debit akan menurunkan kapasitas menyangga dari sungai. Indikator penyangga menunjukkan tingkat penurunan yang relatif rendah pada kondisi puncak kejadian hujan (buffering peak events). BI.999.9985.998.9975.997 y = -.6534x +.9999 R 2 =.92.9965.1.2.3.4.5 TWY Gambar 16a. Hubungan indikator penyangga terhadap TWY

BPE 1..999.998.997.996.995.994.993.992 y = -1.1931x + 1.9 R 2 =.4478.991.1.2.3.4.5 Gambar 16b. Hubungan indikator penyangga puncak kejadian hujan terhadap TWY RBI.6.5.4.3.2 TWY.1 y = 16.36x +.2553 R 2 =.543.1.2.3.4.5 Gambar 16c. Hubungan indikator penyangga relative terhadap total debit terhadap TWY Dari Gambar 16 terlihat bahwa indikator penyangga DAS berkorelasi negatif dan cenderung menurun terhadap nilai transmisi air pada saat bulan bulan hujan. Berbeda pada indikator penyangga relatif terhadap total debit yang tidak memperhitungkan luasan area cenderung tidak terpengaruh terhadap perubahan nilai transmisi air (TWY) yang ditunjukkan dengan pola grafik yang tidak teratur. Hal ini sesuai dengan penelitian Van Noordwidjk et al., (24) di DAS Sumber Jaya Lampung yang menunjukkan indikator penyangga DAS semakin menurun apabila korelasinya negatif terhadap transmisi air. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan menyangga DAS semakin berkurang terhadap produksi limpasan pada musim hujan setiap tahunnya. Penurunan kemampuan menyangga ini dapat disebabkan oleh menurunnya daya dukung daerah disekitar aliran sungai yang telah berubah menjadi daerah pertanian dan pemukiman pada kurun waktu 1993 25. Kemampuan suatu penggunaan lahan dalam menahan curah hujan dan mengurangi terjadinya debit sungai serta menyerapkan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh kondisi permukaan tanah terutama vegetasi (Asdak 1995, Chapman et al., 23) dan sifat tanah (Purwowidodo, 1999) dari lahan tersebut. Asdak (1995) menyatakan bahwa pengaruh vegetasi dan cara bercocok TWY tanam terhadap debit sungai terjadi karena vegetasi dapat menghalangi jalannya limpasan langsung permukaan dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah sehingga akan menurunkan laju debit sungai. 5.6 Koefisien Rejim Sungai (KRS) Kriteria lain yang digunakan untuk menilai fungsi hidrologi suatu DAS adalah dengan melihat nilai koefisien rejim sungai tiap tahunnya. Koefisien rejim sungai merupakan perbandingan antara debit harian rata rata maksimum dan debit harian rata rata minimum. Kecendrungan kenaikan nilai KRS menunjukkan bahwa fungsi hidrologi DAS semakin menurun demikian sebaliknya. semakin kecil koefisien ini berarti kondisi hidrologi dari suatu wilayah DAS semakin baik Batasan yang diberikan untuk menilai indikator ini adalah sebagai berikut (Asdak, 1995): KRS < 5 baik; 5 KRS < 12 sedang; KRS 12 buruk. KRS 25 2 15 1 5 y = 25.53x.8151 R 2 =.1267 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2 21 22 23 24 25 Tahun Gambar 17. Grafik nilai KRS tahun 1993 25 Dari analisis data didapatkan bahwa KRS mulai mengalami kenaikan yang cukup signifkan mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 1999 dengan niai KRS tertinggi dicapai pada tahun 1998 sebesar 24 hasil perbandingan dari debit maksimum 61,2 m 3 /det dan debit minimumnya,3 m 3 /det. Selisih yang sangat besar antara debit maksimum dan debit mimimum pada saat musim hujan dan musim kering mengindikasikan bahwa pada saat musim hujan debit sungai dapat mendatangkan banjir tetpai pada saat musim kemarau debit sungai sangat kecil hingga menyebabkan kekeringan disekitar daerah aliran sungai. Sepanjang rentang data pengamatan nilai KRS menunjukkan tahun 1993-1995 koefisien baik karena nilai berkisar kurang dari 5, tahun 1996 21 menunjukkan nilai KRS yang sangat buruk dengan kisaran 182 hingga 353,7, dan pada tahun 22 25

menunjukkan nilai KRS baik hingga sedang dengan nilai 36,6 sampai dengan 13,3. Simulasi Model GenRiver untuk Evaluasi dan Prediksi Debit Untuk mempelajari hubungan curah hujan, debit sungai dan alih guna lahan dilakukan simulasi model GenRiver menggunakan data-data daerah Ciliwung hulu. Untuk itu dilakukan simulasi model dengan komposisi 25,5% hutan pada awal simulasi dengan penurunan hingga 21,6% pada akhir simulasi selama periode 13 tahun. Peningkatan luasan pemukiman dari 19,6% hingga 25,8% dengan penurunan luas areal pertanian dari 17,1% hingga 9,4%. Perbandingan debit dari data empiris (data pengukuran) dengan hasil simulasi model GenRiver untuk tahun ke -1(1994) dan ke- 11(24) disajikan pada Gambar 18. Tahun ke 1 mewakili kondisi awal simulasi (25,5% areal hutan) dan tahun ke-11 mewakili kondisi akhir simulasi dengan 21,6% areal hutan 35 3 Debit Aktual Debit Prediksi Debit (mm/hari) 25 2 15 1 5 1 18 35 52 69 86 13 12 137 154 171 188 25 222 239 256 273 29 37 324 341 358 Hari Gambar 18a. Hasil simulasi GenRiver pada tahun 1994 Debit (mm/hari) 6 55 5 45 4 35 3 25 2 15 1 5 Debit Aktual Debit Prediksi 1 18 35 52 69 86 13 12 137 154 171 188 25 222 239 256 273 29 37 324 341 358 Hari Gambar 18b. Hasil simulasi GenRiver pada tahun 24 Perbandingan hasil simulasi dengan data pengukuran tidak dapat dilakukan dengan melihat kedekatan setiap titik hasil simulasi dengan data pengukuran. Hasil tersebut secara umum berarti simulasi model dapat menghasilkan pola debit yang sama dengan data pengukuran walaupun masih belum bisa mendekati beberapa titik puncak dan aliran dasar. Dari uji keabsahan model simulasi pertama, dilihat dari kesesuaian pola bahwa debit prediksi mendekati pola debit pengukuran dengan nilai koefisien determinasi model sebesar,55 yang berarti peluang data terwakili sebesar 55% sedangkan nilai rmsenya 1,7. Hal ini karena ragam (iance) dari debit prediksi yang lebih besar dari data pengukuran. Sedangkan untuk simulasi kedua, pola debit prediksi juga mendekati pola debit aktualnya dengan koefisien determinasi model (R 2 ) mencapai,71 yang berarti peluang data terwakili sebesar 71% dan nilai rmsenya sebesar 2,7. Debit sungai pada tahun

ke-11 relatif lebih tinggi dibandingkan debit pada tahun ke-1(gambar 18). Namun demikian peningkatan debit maksimum pada tahun ke-11 cukup signifikan dari tahun ke-1. Debit sungai tahun ke-11 lebih berfluktuasi jika dibandingkan dengan tahun ke-1 yang cenderung stabil setelah memasuki musim kering yaitu hari ke-21 hingga akhir tahun 1994. Pada simulasi tahun pertama debit maksimum tercapai pada besaran 44,4 m 3 /dt untuk data aktual sedangkan untuk debit prediksi mencapai 49,16 m 3 /dt. Debit minimum aktual 1.93 m 3 /dt dan prediksinya 1,13 m 3 /dt Perbedaan ini tidak terlalu jauh yang disebabkan oleh parameterisasi yang masih harus diuji lebih lanjut karena secara grafik untuk pola debit harian model mendekati pola debit harian aktualnya. Debit maksimum ini tercapai pada saat memasuki puncak musim hujan atau pada bulan Februari. Selanjutnya untuk simulasi tahun ke-11, debit maksimum aktual tercapai pada besaran 82,46 m 3 /dt sedangkan untuk debit prediksinya 99,36 m 3 /dt. Debit minimum aktual 1,2 dan prediksinya 2,35. Pada simulasi tahun ke-11 ini penyimpangan data aktual dan prediksinya juga tidak terlalu besar karena parameternya mendekati ketelitian meskipun waktu terjadinya hampir dapat bersamaan. Debit maksimum aktual dan prediksi tercapai pada tengah bulan Januari. 5.8 Analisis Sensitivitas Parameter Tutupan Lahan. Analisis sensitivitas dilakukan baik terhadap parameter tipe penggunaan lahan maupun terhadap peubah curah hujan. Parameter tipe penggunaan lahan yang dipilih adalah perubahan tipe tutupan lahan yaitu hutan, perkebunan, pemukiman, dan sawah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sensitivitas model terhadap perubahan tutupan lahan di suatu DAS akibat dari perubahan penggunaan lahan yang taerhadap nilai nilai luarannya. Langkah yang dilakukan dalam analisis sensitivitas parameter penggunaan lahan adalah menambah 5 1% dan mengurangi 5 1% dari masing masing parameter. Penambahan dan pengurangan lahan 5% akan mengurangi dan menambah 1,25% pada setiap penggunaan lahan lainnya sedangkan penambahan dan pengurangan lahan 1% akan mengurangi dan menambah 2,5% pada setiap penggunaan lahan lainnya. Model dijalankan dengan data parameter penggunaan lahan yang telah diubah. Tabel 7. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai paramater penggunaan lahan dengan luaran model dan nilai awal. luaran model pada perubahan hutan (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 1349-83 -5.8 1249-183 - 12.8 1529 97 6.8 168 176 12.3 luaran model pada perubahan pemukiman (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 1494 62 4.3 1572 14 9.8 1375-57 -4 1321-111 -7.8 luaran model pada perubahan perkebunan (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 138-8 -5.6 1274-158 -11 154 72 5 1585 153 1.7

luaran model pada perubahan sawah (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 1462 3 2.1 1472 42 2.9 143-29 -2 1383-49 -3.4 luaran model pada perubahan tegalan (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 1458 26 1.8 1469 37 2.6 148-24 - 1.7 1392-4 -2.8 Hasil analisis sensitivitas pada Tabel 7 terlihat bahwa iasi perubahan penggunaan/tutupan lahan selalu diikuti dengan perubahan luaran model yang berupa total debit selama setahun. Dari lima parameter yang dirubah untuk menganalisa sensitivitas model GenRiver perubahan hutan dan perkebunan yang paling sesuai dengan persentase perubahan parameter. Hal ini karena hutan dan perkebunan mempunyai kemampuan untuk menahan laju air hujan ketika jatuh ke permukaan tanah melalui kanopi pada bagian atas dan serasah pada bagian bawah. Dengan demikian air hujan tidak seluruhnya secara langsung akan membentuk limpasan akan tetapi sebagian tertahan oleh tajuk untuk kemudian diuapkan dan sebagian lagi terserap oleh akar akar pohon besar dan terinfiltrasi pada saat curah hujan menurun. Kemampuan masing masing lahan di sub DAS Ciliwung Hulu dalam menghasilkan debit terutama terkait dengan kemampuan masing masing lahan tersebut dalam menghasilkan runoff. Ini disebabkan runoff merupakan komponen pembentuk debit yang memberikan sumbangan aliran air paling besar dibandingkan dengan sumbangan air dari komponen pembentuk debit lainnya yaitu interflow dan baseflow. 5.9 Analisis Sensitivitas Model terhadap Curah hujan Pertimbangan ini dilakukan karena parameter curah hujan sangat berperan dalam proses kesetimbangan air. Curah hujan akan langsung berpengaruh pada besarnya aliran. Analisis sensitivitas dilakukan dengan melihat pengaruh perubahan luaran model apabila peubah ini diiasikan. Langkah yang dilakukan adalah dengan menambah 5 1%, dan mengurangi 5 1% dari peubah curah hujan sementara peubah yang lainya tetap. Model dijalankan dengan data yang telah dirubah. Luaran yang dibandingkan adalah total debit selama setahun. Data masukan yang akan digunakan adalah data simulasi tahun 24 dengan parameter tanah dan penggunaan lahan yang telah dikalibrasi. Data curah hujan rata rata normal digunakan untuk menjalankan model luarannya merupakan nilai awal. Tabel 8. Perbandingan luaran model pada beberapa nilai peubah curah hujan dan nilai awal. luaran model pada perubahan hujan (%) +5 +1-5 -1 debit 1432 1528 96 6.7 1618 186 13 1332-1 - 7 1246-186 - 13 Berdasarkan hasil skenario di atas, kontribusi curah hujan terhadap perubahan luaran model cukup nyata. Kenaikan 5% hujan menyebabkan perubahan total debit sebesar 6,7%, kenaikan hujan 1% menaikkan 13% total debit. Sedangkan untuk penurunan hujan 5% telah menurunkan total debit hingga 4,9% dan penurunan hujan 1%

menurunkan total debit hingga 1%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan model GenRiver lebih sensitive terhadap perubahan curah hujan apabila dibandingkan dengan perubahan penggunaan/tutupan lahan. Pengaruh curah hujan yang secara langsung terhadap kesetimbangan air di permukaan tanah menyebabkan peubah ini sangat sensitive mempengaruhi fluktuasi debit. Hasil Prediksi Debit menggunakan Model GenRiver Untuk melihat pengaruh alih guna lahan dan iasi curah hujan terhadap debit harian di DAS Ciliwung hulu dilakukan simulasi GenRiver. Penggunaan model dilakukan dengan menerapkan beberapa kemungkinan skenario untuk mengetahui penggunaan lahan yang paling optimal dalam menekan fluktuasi debit, skenario yang akan digunakan adalah perubahan luas penggunaan lahan seperti yang tercantum pada Tabel 4 dengan skenario iasi curah hujan rata rata normal, + 25%, dan -25%. Skenario pertama menggunakan perubahan lahan tegalan dan perkebunan masing masing 9,1% dan 4,3% menjadi lahan hutan, sementara penggunaan lahan lainnya tetap. Dengan penambahan ini maka lahan hutan menjadi 35%. Sedangkan skenario kedua mengalihgunakan 8,6% lahan perkebunan, 12,2% pemukiman, 9,1% tegalan, dan 4,3% sawah menjadi lahan hutan. Dengan pengalihugunaan ini lahan hutan menjadi 55,8% dari area DAS. Secara konsep penambahan lahan hutan dapat menurunkan debit maksimum dan debit harian karena intersepsi oleh tajuk dan penyerapan oleh akar pohon pohon besar. Berikut hasil skenario selengkapnya pada Tabel 9 sedangkan untuk gambar grafiknya ada di Lampiran 4. Tabel 9. Debit hasil luaran model pada berbagai skenario lahan dan hujan (satuan dalam m 3 /dt) Var. Luaran Skenario 1 Skenario 2 CH rata-rata CH + 25% CH -25% CH rata-rata CH +25% CH -25% Debit rata2 13.25 16.48 9.73 8.89 11.1 7.13 Debit max 92.43 113.84 69.32 61.44 76.73 49.31 Debit min 2.37 2.96.56 2.9 3.63 2.17 KRS 39 38.46 123.79 21.19 21.14 22.72 Dari hasil simulasi debit model GenRiver skenario 1 maka dapat diketahui besaran volume debit maksimum selama satu hari sebesar 7.985.952 m 3 pada kondisi curah hujan normal dengan debit minimum 24.768 m 3, 9.835.776 m 3 dan debit minimum 255.744 m 3 dengan penambahan hujan 25%, dan 5.989.248 m 3 dan debit minimum 48.384 m 3 dengan pengurangan hujan 25%. Sedangkan pada skenario 2 diperoleh volume debit maksimum pada kondisi hujan normal turun menjadi 6.447.168 m 3 dan debit minimumnya 217.728, 7.285.248 m 3 dan debit minimum 243.648 pada penambahan hujan 25%, dan 4.923.72 m 3 dan debit minimumnya 185.76 m 3 pada pengurangan hujan 25%. Penggunaan berbagai skenario memberikan perubahan yang nyata terhadap KRS dan debit maksimum. Namun perubahan tersebut kurang nyata terhadap debit minimum, sehingga nilai KRS lebih banyak dipengaruhi oleh debit maksimum. Berikut grafik yang menggambarkan kecenderungan pada berbagai skenario yang telah dilakukan. Discharge skenario (mm/day) 4 35 3 25 2 15 1 5 5 1 15 2 25 Discharge aktual rata-rata (mm/day) rata-rata aktual SK1CHrata-rata SK1CH-25% SK1CH+25% SK2CHrata-rata SK2CH-25% SK2CH+25% Gambar 19. Plot hubungan debit model skenario terhadap debit model kondisi ratarata aktual. Skenario 1 dengan penambahan hujan 25% ternyata nilainya melebihi pada kondisi aktual normal. Sedangkan skenario lainnya mempunyai kecenderungan nilai

debit berada di bawah debit pada kondisi normal aktualnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa skenario 1 dengan hujan naik 25% akan meningkatkan rata rata debit normal aktualnya. Perubahan debit sebagai hasil perubahan luasan lahan serta penambahan dan pengurangan curah hujan pada masing masing skenario dipengaruhi oleh kemampuan masing masing lahan dalam menghasilkan debit. Tipe penggunaan lahan dan kondisinya mempengaruhi besarnya runoff melalui pengaruhnya terhadap laju infiltrasi tanah. Dedaunan dan serasah menjaga infiltrasi potensial tanah dengan mencegah penutupan permukaan tanah akibat tetesan air hujan. Sebagian tetesan air hujan tertahan pada permukaan daun, meningkatkan kemungkinan air hujan tersebut terevaporasi kembali ke atmosfer. Sebagian kelembaban yang diintersepsi akan sudah mengering selama mengalir dari tanaman ke bawah menuju tanah sehingga tidak memberikan kontribusi pada masa awal terjadinya runoff. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Perubahan lahan dari tahun 1994 24 didominasi oleh tegalan yang meningkat luasannya hingga 9,1%, kedua areal sawah yang menurun hingga 7,7%, dan ketiga pemukiman yang meningkat hingga 6,2% dari total luas lahan. 2. Hasil perhitungan dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan penurunan indikator penyangga (buffering indicator). Penurunan indikator penyangga dari tahun 1993 25 menurun dari,998883 sampai,99675 cenderung diikuti dengan peningkatan nilai transmisi air dari,1538 sampai dengan,478. 3. Nilai koefisien rejim sungai (KRS) memiliki kecenderungsn naik selama periode tahun 1993 25 yang mengindikasikan DAS Ciliwung Hulu semakin kritis. 4. Model GenRiver cukup peka terhadap iasi perubahan penggunaan lahan khususnya hutan dan perkebunan dan iasi hujan. 6.2 Saran 1. Hasil simulasi model GenRiver untuk tahun pertama (1994) masih harus dilakukan parameterisasi lebih lanjut sehingga didapatkan tidak hanya model yang mendekati pola aktual tetapi secara statistik juga memiliki nilai korelasi yang tinggi. 2. Nilai debit hasil simulasi untuk setiap periode cenderung selalu di atas nilai aktualnya (over estimate) sehingga untuk nilai debit skenario dapat juga tidak tepat.