BAB I PENDAHULUAN. menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

PENDAHULUAN. penduduk suatu Negara (Todaro, 1990).

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

BAB I PENDAHULUAN. dilindungi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam nabati maupun sumber daya alam mineral yang tersebar luas di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut membuat mereka jatuh kejurang kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN. politik. Oleh karena itu, ketersediaan beras yang aman menjadi sangat penting. untuk mencapai ketahanan pangan yang stabil.

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma pembangunan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari zaman orde baru

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebijakan Proteksi Impor yang Salah Sasaran Luqmannul Hakim

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Strategis Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang 1

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pantjar Simatupang Profesor Riset pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1. Kita tentu sama-sama memahami bahwa pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia, oleh sebab itu tuntutan pemenuhan pangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance). Untuk

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

BAB I PENDAHULUAN. bagi pengembangan daerah baik pemerintah maupun masyarakat daerah.

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan bahwa kebijakan atau program penanggulangan kemiskinan. itu sendiri sebagai manusia yang memiliki hak-hak dasar.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan

Diterbitkan melalui:

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, dan juga sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. dapat mempertahankan hidupnya tanpa adanya pangan. Karena itu, usaha

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari tingkat perkembangan pembangunan

Pembentukan, Sinkronisasi dan Harmonisasai Peraturan Perundangan Untuk Usaha di Sektor Pangan Oleh Drs. Priyo Budi Santoso Wakil Ketua DPR RI

I. PENDAHULUAN. bukanlah merupakan mereka yang tingkat kesejahteraannya tinggi. Mereka

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal kemerdekaannya Bangsa Indonesia telah bercita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesepakatan internasional, yaitu : Universal Deklaration Of Human Right. (1948), Rome Deklaration on World Food Summit

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, untuk terciptanya

BAB 1. PENDAHULUAN. Krisis pangan telah benar-benar terjadi diberbagai belahan dunia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

INFLASI DAN KENAIKAN HARGA BERAS Selasa, 01 Pebruari 2011

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat

BAB I PENDAHULUAN. agraris beras menjadi komoditas pangan yang paling pokok bagi sebagian besar

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

Gambar 1.1 Persentase konsumsi pangan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Strategi Pembangunan Pertanian di Indonesia. Sistem Ekonomi Indonesia Hubungan Internasional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I PENDAHULUAN. Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat. Sekalipun

BAB I PENDAHULUAN. petani identik dengan kehidupan pedesaan. Sebagian besar petani yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia upaya kepedulian terhadap persoalan kemiskinan sudah. Orde Baru, maupun pada masa pemerintahan di era Reformasi.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Selama lebih dari 30 tahun Bulog telah melaksanakan penugasan dari

I. PENDAHULUAN. bagi setiap manusia untuk tercukupi kebutuhannya. Pangan merupakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Community Development di Wilayah Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

ARAH DAN STRATEGI PERWUJUDAN KETAHANAN PANGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

BAB I PENDAHULUAN. subur, namun kenyataannya Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang cocok digunakan untuk pertanian. Sedangkan berdasarkan letak astronominya,

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

BAB I PENDAHULUAN. pengertiannya seringkali rancu. Sesungguhnya pengertian lahan lebih luas

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. cocok dan mendukung untuk digunakan dalam budidaya tanaman, khususnya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Ketahanan Pangan merupakan isu yang sangat krusial di Indonesia maupun di dunia internasional. Masalah ketahanan pangan telah menjadi ancaman yang menakutkan bagi dunia saat ini. Hal ini disebabkan karena masalah pangan merupakan masalah penentu hidup matinya seseorang. Setiap orang dapat bertahan hidup hanya karena adanya makanan yang di konsumsi. Dan sungguh sangat mengerikan jika kebutuhan akan pangan tidak dapat dipenuhi maka akan mengakibatkan busung lapar dan pada akhirnya menuju pada kematian. Hal inilah yang membuat masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan diselesaikan. Dunia internasional telah menyadari pentingnya masalah ketahanan pangan. Masalah ketahanan pangan telah diperbincangkan oleh dunia internasioanal pada tahun 1974 dengan diadakannya konferensi pangan dunia untuk pertama kalinya. Hal ini tentu didorong oleh kekuatiran dari pemimpin-pemimpin negara di dunia internasional akan ketahanan pangan. Krisis pangan yang melanda beberapa negara di benua Afrika dan Asia memberikan sinyal ancaman bagi dunia internasional. Lebih lagi, produksi pangan yang tidak menunjukkan angka yang signifikan pada waktu itu 12

dan ditambah dengan peningkatan jumlah penduduk yang tak terkendali. Kesadaran dan kekuatiran tersebut pada akhirnya mendorong terselenggaranya konferensi pangan internasional. Atas dasar permasalahan tersebut, kemudian Thomas R. Malthus mencetuskan Revolusi hijau untuk menjawab permasalahan pangan Global. Revolusi hijau pada waktu itu menjadi sebuah gerakan bersama dari setiap Negara di dunia untuk meningkat produktivitas pertanian mereka melalui pengembangan dan penelitian pertanian serta modernisasi pertanian dengan menggunakan teknologi canggih dalam pertanaian. Namun Paradigma ketahanan pangan telah gagal mencapai target dalam menurunkan angka kelaparan dunia. Berdasarkan laporan Organisasi Pangan Dunia (FAO) pada 17 September 2014, angka kelaparan mencapai 805 juta jiwa. Jumlah ini jauh meleset dari target World Food Summit pada tahun 1996, yang saat itu menggadang-gadang konsep ketahanan pangan akan mampu mengurangi setengah angka kelaparan dunia pada tahun 2015, yakni dari 1,0145 milyar juta jiwa menjadi 507,25 juta jiwa. Laporan FAO itu juga menyampaikan bahwa angka kelaparan negara dunia berkembang masih pada angka 790,7 juta jiwa. Dengan kata lain satu dari sembilan orang di dunia atau satu dari delapan orang di Negara-negara berkembang tidak mempunyai pangan cukup untuk aktif dan hidup sehat. Hal ini tentu kembali membuat kekuatiran bagi dunia dan harus menempatkan masalah ketahanan pangan sebagai suatu permasalahan yang harus diselesaikan sebelum semakin menjadi kompleks. Di Indonesia, lahirnya otonomi daerah mendesak terjadinya perubahan pola kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan Indonesia pada 13

masa orde baru yang lebih sentralistik, kini berubah menjadi desentralistik. Hal ini sesuai dengan semangat reformasi dan otonomi daerah yang saat ini kerap di dengungkan. Lahirnya undang-undang no 22 tahun 1999 dan kemudian direvisi dengan undang-undang no 32 tahun 2004 merupakan sebuah landasan hukum adanya penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Penyelenggaraan otonomi daerah yang diharapkan melalui undang-undang no 32 tahun 2004 tidak dapat berjalan dengan baik karena belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan antara pusat dan daerah. Namun pada tahun 2007 lahirlah Peraturan pemerintah no. 38 yang memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam Peraturan pemerintah tersebut menegaskan adanya penyerahan 31 urusan yang di serahkan kepada daerah. Sementara yang termasuk sebagai kategori urusan wajib terdapat 26 urusan yang wajib ditangani oleh pemerintahan daerah dan terdapat 8 urusan sebagai urusan pilihan. Salah satu dari 26 urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah Ketahanan pangan. Inilah yang menjadi dasar hukum perubahan pola sistem kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Kebijakan ketahanan pangan pada masa orde baru yang berpola Top-Down sebenarnya berhasil memacu peningkatan produksi pangan. Sejak tahun 1980-an kondisi ketahanan pangan Indonesia cukup menjanjikan, karena besarnya perhatian pemerintah di sektor pertanian. Dengan melaksanakan revolusi hijau pada masa pemerintahan orde baru sebagaimana yang diterapkan dibannyak negara agraris lainnya di dunia Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Kebijakan proteksi diterapkan dalam sektor pertanian dengan pemberian subsidi bibit, pupuk, pestisida dan insektisida. Serta membentuk Bulog (Badan Urusan Logistik) sebagai 14

instansi yang memiliki tugas strategis untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, bergerak dengan menyediakan pasar bagi produk-produk pertanian dan menetapkan harga bagi para petani. Kemudian Bulog mendistribusikan kewenangannya melalui KUD Koperasi Unit Desa) yang ditempatkan di level pedesaan. KUD merupakan lumbung bagi stok cadangan yang digunakan ketika stok pangan nasional menipis. Pemerintah berusaha menjaga tingkat harga pangan tetap dapat dibeli oleh rakyat banyak. Kebijakan ini jelas merupakan kebijakan yang sangat sentralistik. Sistem kebijakan ketahanan pangan yang begitu sentaralistik nyatanya dapat berhasil pada masa orde baru. Namun adanya semangat otonomi daerah dengan lahirnya UU pemerintah daerah yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Semangat inilah yang pada akhirnya mengkritik kebijakan ketahanan pangan masa orde baru yang dianggap gagal. Peran aktif pemerintah pusat pada masa orde baru dianggap telah mengubah perilaku masyarakat hingga selalu tergantung pada program pemerintah serta mengurangi kreatifitas dan kemandiriannya. Tidak hanya itu, kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down ini juga diklaim sebagai penyebab terjadinya penyeragaman pembangunan hingga tak mampu merespon masalah dan kebutuhan masyarakat yang bergam antar daerah. Atas alasan-alasan tersebut maka kebijakan ketahanan pangan yang sentralistik dan berpola Top-Down di ubah sesuai dengan kebijakan desentralis yang berpola Bottom-Up sesuai dengan UU pemerintahan daerah. Adanya penyerahan tugas dan kewenangan kepada daerah untuk mengurusi persoalan pangan daerahnya sendiri diatur dengan PP No.38 tahun 2007. Di dalam 15

peraturan pemerintah ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk badan ketahanan pangan daerah yang mempunyai tugas untuk menyediakan pangan bagi setiap rumah tangga. Melalui pembentukan badan ketahanan pangan daerah ini maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengetahui potensi pangan di daerahnya serta mampu mengelolanya agar mampu menyediakan pangan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mempergunakan sumber dayanya untuk menciptakan ketahanan pangan di daerahnya. Sebagai mana kritik yang di lontarkan pada masa orde baru yang terkesan sangat sentralistik dan pemerintah pusat dianggap tidak mengerti persoalaan dan potensi daerah. Maka pada kebijakan Desentralisasi pangan ini seharusnya mampu membuktikan kebenaran dari kritik yang pernah dilontarkan tersebut. Kebijakan desentralisasi hampir 16 tahun berjalannya sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 dan lebih jelas lagi sudah 8 tahun sejak dikeluarkannya PP No.38 tahun 2007 tidak menunjukkan tanda-tanda yang membaik dari kebijakan desentralisasi pangan. Walaupun demikian pemerintah republik Indonesia dapat mencukupi kebutuhan pangan Indonesia dengan kebijakan impor pangan. Kecukupan pangan dalam negeri melalui kebijakan impor tentunya telah dilakukan dengan perhitungan yang matang antara produksi dalam negeri dan kebutuhan konsumsi pangan nasional. Namun pada kenyataannya pemenuhan kebutuhan tersebut dengan menekankan pada ketersediaan pangan nasional tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur sebuah ketahanan pangan nasional. Terbukti dengan masih adanya kasus-kasus kelaparan di beberapa daerah di Indonesia yang bisa menjadi indikasi kuat bahwa masalah pangan bukan hanya masalah ketersediaan pangan. 16

Lebih lagi di Kabupaten Serdang Bedagai, kabupaten ini telah berhasil mencapai Swasembada beras dan menjadi lumbung pangan Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu akan menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi perangkat daerah di Kabupaten ini. Namun ada hal yang perlu untuk diwaspadai, angka kemiskinan yang ada di Serdang Bedagai jika melihat data dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai dengan menggunakan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) Sangat tinggi. Tercatat sebanyak 10.61% tahun 2008, 9.51% tahun 2009 dan 10.59% tahun 2010 jumlah pernduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang masih hidup dalam kemiskinan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian pemerintah. Di dalam kondisi kelimpahan pangan tetapi masih ada warga masyarakatnya yang masih hidup dalam kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan yang ditetapkan oleh BPS kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu berdasarkan hasil data dari badan pelasksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten serdang bedagai terdapat 3 kecamatan yang digolongkan sebagai daerah rawan pangan. Badan Pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan kabupaten Serdang Bedagai menetapkan indikator penetapan daerah rawan pangan dengan melihat potensi pertanian dan jumlah penduduk di kecamatan tersebut. Apabila suatu kecamatan tersebut memiliki potensi pertanian dan dibandingkan dengan jumlah penduduknya, kecamatan tersebut surplus pangan maka ditetapkan sebagai kecamatan yang aman akan pangan, dan sebaliknya. Namun yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana jika kecamatan tersebut merupakan 17

daerah yang tidak memiliki potensi pertanian, tetapi lebih mengedepankan perkebunan, jasa ataupun sektor usaha lainnya selain pertanian. Sebagaimana dengan yang di tetapkan oleh badan pelaksana penyuluhan dan ketahanan pangan sebagai daerah rawan pangan, tentu bagaimana peranan pemerintah utamanya badan penyuluhan dan ketahanan pangan untuk meningkatkan akses pangan bagi daerah tersebut. Hal inilah akan di ungkap oleh peneliti melalui penelitian yang berjudul bagaimana Peran koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam peningkatan Aksesibilitas pangan di daerah rawan pangan kabupaten Serdang bedagai. I.2. Fokus Permasalahan Penelitian ini memiliki fokus masalah yang menjadi batasan peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti melakukan fokus masalah yang akan diteliti karena begitu banyak teori dalam ilmu sosial dengan persepsi yang berbeda-beda sehingga perlu dilakukan fokus masalah agar menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai? I.3. Rumusan Permasalahan Untuk dapat memudahkan penelitian ini selanjutnya dan supaya peneliti dapat terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data dalam pembahasannya. Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penlitian dimana penulis mengajukan 18

pertanyaan terhadap dirinya tentang hal hal yang akan dicari jawabnya melalui kegiatan penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah: bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai. I.4. Tujuan Penelitian Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang digunakan (deskriptif eksplanasi, studi kasus, survei eksperimen), juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak dihasilkan. Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni untuk mengetahui bagaimana Peran Koordinasi Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan dalam Peningkatan Aksesibilitas Pangan di daerah rawan pangan Kabupaten Serdang Bedagai? I.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini ialah: 1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta mengembangkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dibidang ilmu Administrasi Negara serta Kebijakan Publik. 2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaaat dapat memberikan masukan bagi instansi terkait demi peningkatan Ketahanan Pangan Daerah. 19

3. Manfaat secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara. I.6. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini memuat kerangka teori, defenisi konsep dan sisitematika penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat lokasi penelitian dan gambaran umum mengenai instansi tempat penelitian. BAB V : PENYAJIAN DAN ANALISIS TEMUAN 20

Bab ini berisikan hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan di analisis serta berisikan tentang uraian data- data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian BAB VI : PENUTUP Bab ini memuat kesimpulan dan saran- saran yang diperoleh dari hasil peneliti BAB II 21