BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

BAB 1 PENDAHULUAN. sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

BAB I PENDAHULUAN. Negara-negara berkembang terus berusaha untuk memacu pembangunan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut Todaro dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

V. PEMBAHASAN Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri dan Perdagangan, Hotel dan Restoran di Pulau Jawa

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

BAB I PENDAHULUAN. penting daripada pembangunan nasional, dengan tujuan akhir adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah yang sedang dihadapi (Sandika, 2014). Salah satu usaha untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

INDUSTRIALISASI DAN MIGRASI TENAGA KERJA SEKTOR DI KOTA CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Peran pemerintah dalam perekonomian menurut Adam Smith (1776) dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB IV KEPENTINGAN INDONESIA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN. 95 memang terkait dengan tidak mewajibkan meratifikasi konvensi tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi suatu negara, khususnya di negara berkembang. Semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

DAMPAK PERTUMBUHAN INDUSTRI TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA DI KABUPATEN SIDOARJO

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses perubahan struktural di Indonesia dapat ditandai dengan: (1) menurunnya pangsa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

ANALISA KETERKAITAN SEKTOR EKONOMI DENGAN MENGGUNAKAN TABEL INPUT - OUTPUT

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di

BAB I PENDAHULUAN. lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. tenaga kerja. Biasanya semakain tinggi pertumbuhan ekonomi cenderung

BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakstabilan ekonomi yang juga akan berimbas pada ketidakstabilan dibidang

kesenjangan antara pertumbuhan jumlah angkatan kerja disatu pihak dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akademisi ilmu ekonomi, secara tradisional pembangunan dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kabupaten Ponorogo merupakan daerah di Provinsi Jawa Timur

BAB IV GAMBARAN UMUM. Posisi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak antara

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB.SUBANG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan pendapatan (PDRB). Dalam hal ini faktor-faktor produksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesempatan kerja merupakan salah satu indikator pembangunan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki karakteristik perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. negara. Inflasi itu sendiri yaitu kecenderungan dari harga-harga untuk menaik

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah

INDIKATOR EKONOMI PROVINSI JAMBI TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. of The Republic of Indonesia. Jakarta, 1992, page 18. Universitas Indonesia. Pengaruh upah minimum..., Gianie, FE UI, 2009

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Dengan melihat pembahasan analisis deskriptif pada Bab III, analisis shift share dan analisis ekonometrika diatas dapat disimpulkan bahwa arah transformasi struktural mempengaruhi distribusi tenaga kerja di tiap sektor dari primer, sekunder, ke tersier selama periode 1994-2005. Meski demikian, arah transformasi struktural ini tidak terlalu jelas terlihat dari pergeseran struktur sektor-sektor yang ada. Hal ini disebabkan karena selama periode ini, pertumbuhan ekonomi di tiap sektor masing-masing kota tidak sejalan lagi dengan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja nya. Seharusnya, jika perekonomian mengalami pertumbuhan maka penyerapan atau permintaan tenaga kerja akan meningkat. Namun kondisi menunjukkan sebaliknya, di satu sisi perekonomian mengalami pertumbuhan, tetapi penyerapan tenaga kerja mengalami penurunan. Kecenderungan ke arah munculnya paradoks tersebut mulai tampak dalam sepuluh tahun terakhir di mana pertumbuhan PDRB DKI Jakarta meningkat dari 5.02 persen selama periode 1994-2000 menjadi 29.58 persen selama periode 2000-2005 43. Namun di sisi lain, tingkat penyerapan tenaga kerja justru menurun dari 9,67 persen selama periode 1994-2000 menjadi 1.72 persen selama periode 2000-2005. Kondisi serupa juga dialami Banjarmasin, di mana pertumbuhan PDRB Banjarmasin meningkat dari 10.28 persen selama periode 1994-2000 menjadi 21.53 persen selama periode 2000-2005. Namun di sisi lain, tingkat penyerapan tenaga kerja justru menurun dari 14.77 persen selama periode 1994-2000 menjadi -0.80 persen selama periode 2000-2005. Sedangkan untuk kota-kota 43 Lihat Tabel 3 tentang perbandingan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja di Lampiran. 164

lainnya terjadi peningkatan secara beriringan baik pertumbuhan PDRB maupun penyerapan tenaga kerja dari periode 1994-2000 ke periode 2000-2005. Paradoks ini diperkirakan terjadi akibat adanya kendala struktural, seperti perbedaan sektoral yang tajam, di mana sektor sekunder yang diharapkan mampu berkembang dalam hal penyerapan tenaga kerja ternyata justru mengalami kegagalan, sedangkan sektor primer yang tadinya diharapkan mengalami penurunan dalam hal penyerapan tenaga kerja justru memiliki rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar selama periode 1994-2005. Rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor primer selama periode 1994-2005 di DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar adalah masing-masing sebesar 5.17 persen, 7.46 persen, 19.40 persen, 25.10 persen, dan 67.00 persen 44. Sedangkan rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor sekunder selama periode 1994-2005 di DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar justru lebih kecil dibandingkan rata-rata sektor primer dan bahkan ada yang nilai rata-rata nya negatif. Sebenarnya jika dilihat dari pertumbuhan nilai PDRB kota dapat disimpulkan bahwa transformasi struktural sudah berjalan dengan baik, dimana rata-rata pertumbuhan PDRB tersebut paling kecil adalah sektor primer dan paling besar adalah sektor tersier untuk masing-masing kota. Nilai rata-rata pertumbuhan PDRB di sektor primer selama periode 1994-2005 di DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar adalah masing-masing sebesar -3.43 persen, -10,48 persen, 4.31 persen, -1.28 persen, dan 2.67 persen. Sedangkan nilai rata-rata pertumbuhan PDRB di sektor sekunder selama periode 1994-2005 di DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar adalah masingmasing sebesar 2.98 persen, 2.44 persen, 2.27 persen, 0.01 persen, dan 5.39 persen. Kemudian nilai rata-rata pertumbuhan PDRB di sektor tersier selama periode 1994-2005 di 44 Hasil pengolahan data BPS periode 1994-2005. 165

DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar adalah masing-masing sebesar 3.12 persen, 4.37 persen, 4.42 persen, 4.40 persen, dan 6.54 persen 45. Sementara itu sektor-sektor yang pertumbuhan penyerapan tenaga kerja nya lebih kecil, justru kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi jauh lebih besar. Seperti sektor sekunder yang rata-rata pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar adalah masing-masing sebesar 1.10 persen, -2.67 persen, 5.30 persen, 10.29 persen, dan 7.96 persen; justru masing-masing memberikan kontribusi rata-rata pada pertumbuhan PDRB masing-masing sebesar 18.32 persen, 35.27 persen, 18.98 persen, 32.91 persen, dan 27.50 persen 46. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sektor sekunder dan tersier yang bersifat padat modal mengalami pertumbuhan sedangkan sektor primer yang bersifat padat karya mengalami stagnasi. Penciptaan kesempatan kerja merupakan penambahan demand tenaga kerja baru karena adanya kegiatan ekonomi produktif atau pertumbuhan ekonomi meningkat. Hanya saja seberapa besar respon kebutuhan tenaga kerja ketika terjadi pertumbuhan ekonomi? Pertanyaan ini dapat dijawab melalui estimasi nilai elastisitas tenaga kerja baik secara agregat kota maupun level sektoral di masing-masing kota, dengan menggunakan metode ekonometrika. Hasil estimasi data panel menunjukan bahwa dibawah asumsi cateris paribus, kenaikan 1 persen pertumbuhan PDRB kota, mengakibatkan peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,33 persen secara signifikan. Untuk tiap kota, elastisitas yang diperoleh nilai nya juga positif dan bervariasi antar satu kota dengan kota yang lain selama periode 1994-2005. Bila di breakdown lagi hingga didapatkan nilai elastisitas per sektor di tiap kota maka nilai elastisitas menjadi lebih bervariasi dan bahkan ada yang nilainya negatif untuk beberapa sektor di masing-masing kota seperti sektor primer di DKI Jakarta dan Surabaya dan sektor tersier di Banjarmasin. Untuk kasus di DKI Jakarta dan 45 Hasil pengolahan data BPS periode 1994-2005. 46 Hasil pengolahan data BPS periode 1994-2005. 166

Surabaya, nilai elastisitas yang negatif ini mungkin disebabkan karena tidak tersedianya lahan pertanian di kota-kota tersebut, disamping kedua kota ini juga telah mengalami transformasi struktural yang cepat. Fenomena suburbanisasi yang sudah terbukti terjadi di kedua kota ini, juga dapat menjadi faktor yang signifikan dalam mempengaruhi kondisi tersebut. Sedangkan untuk kasus di Banjarmasin, nilai elastisitas yang negatif menjadi kontradiksi jika melihat analisis deskriptif nya, dimana sektor ini merupakan sektor yang paling dominan baik dalam pertumbuhan PDRB maupun penyerapan tenaga kerja, meskipun nilainya fluktuatif untuk penyerapan tenaga kerja. Namun jika melihat analisis shift share, nilai elastisitas yang negatif ini sesuai dengan nilai differential shift yang negatif, yang menandakan bahwa sektor tersier di Banjarmasin merupakan sektor yang non unggul. Nilai elastisitas dapat menjadi pedoman dalam menentukan jumlah tenaga kerja yang dapat diserap setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi bervariasi di tiap kota mengikuti variasi nilai elastisitas. Tabel 5-19 Jumlah Tenaga kerja yang Diserap Setiap 1 Persen Pertumbuhan PDRB Kota Sektor Elastisitas Peny TK per 1% Primer -0.105522-1.591 DKI Jakarta Sekunder 0.391341 315.379 Tersier 0.382319 1.309.865 Total 0.025534 90.031 Primer -0.098489-975 Surabaya Sekunder 0.873454 328.800 167

Tersier 0.643114 847.177 Total 0.253984 342.216 Primer 0.310716 16.044 Medan Sekunder 0.780717 125.336 Tersier 0.296295 197.249 Total 0.419159 375.945 Primer 1.731219 32.458 Banjarmasin Sekunder 0.749448 46.096 Tersier -0.164768-32.481 Total 0.377465 105.324 Primer 1.084675 40.142 Makassar Sekunder 0.896496 41.660 Tersier 0.163068 61.813 Total 0.441012 220.801 Sumber: BPS (diolah) Dari Tabel 5-18 dapat dilihat bahwa di DKI Jakarta, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan rata-rata penyerapan tenaga kerja baru sebanyak 90.031 orang selama periode 1994-2005. Selanjutnya, jumlah rata-rata tenaga kerja yang mampu diserap selama periode 1994-2005 di Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar, berturut-turut adalah sebanyak 342.216 orang, 375.945 orang, 105.324 orang, dan 220.801 orang. Surabaya merupakan kota dengan elastisitas tenaga kerja yang paling besar, sehingga jumlah tenaga kerja yang mampu diserap setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi nya adalah yang paling tinggi dibandingkan kota-kota lain. Sedangkan DKI Jakarta adalah kota dengan elastisitas tenaga kerja yang paling kecil, sehingga jumlah tenaga kerja yang 168

mampu diserap setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi nya adalah yang paling rendah dibandingkan kota-kota lain. Hasil estimasi dan hasil analisis dalam Bab V telah membuktikan bahwa transformasi struktural muncul di 5 kota besar di Indonesia yaitu DKI Jakarta, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar pada periode 1994-2005. Meski demikian arah pengaruh transformasi struktural di sektor-sektor tiap kota tidak terlalu jelas terlihat. Karakterisitik dan pola distribusi masing-masing sektor di tiap kota lebih memiliki peranan dalam mempengaruhi sruktur pertumbuhan dan pergeseran sektor-sektor yang ada. Kondisi ini diperkuat dengan munculnya fakta tidak selalu terjadi korelasi positif antara dominasi sektor ekonomi dengan tenaga kerjanya, dimana hal ini terjadi karena tingginya nilai tambah dari sektor bersangkutan namun daya serap tenaga kerjanya relatif kecil. Analisis deskriptif dalam Bab III secara sederhana juga turut memperkuat pembuktian tersebut. Perbandingan antara pertumbuhan kontribusi PDRB sektoral dengan pertumbuhan proporsi tenaga kerja sektoral dapat melihat pola transformasi sruktural yang terjadi di lima kota besar selama periode 1994-2005. VI.2 Saran Menyadari pentingnya peranan transformasi struktural dalam mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di tiap sektor yang ada di kota maka diperlukan adanya kebijakan pemerintah untuk merealisasikan terjadinya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menjadi pokok permasalahan dalam penyerapan tenaga kerja baik di level kota maupun level sektoral di masing-masing kota. Dalam jangka pendek pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara-cara yang diperlukan untuk meningkatkan elastisitas tenaga kerja terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini diperlukan untuk meminimalisasi 169

jumlah pengangguran yang terus meningkat di kelima kota yang diteliti. Beberapa poin yang perlu dicermati antara lain: 1. Dalam hal penyerapan tenaga kerja sektoral di masing-masing kota perlu diaplikasikan pendekatan baru yaitu manpower utilization approach. Reorientasi pendekatan perencanaan tenaga kerja dari pendekatan rekruitmen menjadi manpower utilization approach diperlukan jika ingin terjadi utilisasi tenaga kerja domestik secara optimal sekaligus menjembatani masalah pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor yang bias modal untuk kota-kota tertentu. Artinya, tenaga kerja ditempatkan sebagai variabel independen bukan sebagai variabel dependen serta pertumbuhan ekonomi dirancang berbasis pada optimalisasi SDA dan SDM, demi menghindari skill mismatch yang muncul akibat masalah struktural sektor-sektor ekonomi yang tumbuh. Melalui manpower utilization approach, perencanaan pertumbuhan ekonomi berbasis SDA dan SDM lokal diperlukan arah yang jelas dalam memanfaatkan kedua sumber daya sesuai potensi dan kapasitasnya. Sebagai gambaran, mayoritas tenaga kerja di DKI Jakarta yang memiliki kualifikasi pendidikan lebih tinggi dan keahlian manufaktur serta jasa, pola pemanfaatannya akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang berbasis knowledge sehingga membentuk knowledge-based economy. 2. Kebijakan program padat karya tetap merupakan solusi yang paling realisitis dan populis saat ini mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sulit terealisasi tanpa adanya peningkatan investasi dan ekspor. Selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia ditunjang oleh konsumsi yang tinggi tanpa ditopang pertumbuhan sektor riil sehingga muncul paradoks pertumbuhan ekonomi seperti yang telah dipaparkan pada bab pembahasan. 170

VI.3 Keterbatasan Studi Penelitian ini masih jauh dari sempurna karena terkendala oleh berbagai keterbatasan dan kelemahan yang sangat sentral. Beberapa kelemahan dan keterbatasan disadari dengan rasional dan diharapkan untuk dapat disempurnakan di kemudian waktu. Beberapa keterbatasan dan kelemahan yang digaris bawahi antara lain ialah: 1. Periode waktu yang pendek dan dimulai dari pertengahan dasawarsa 1990 disadari betul sebagai permasalahan pokok mengapa transformasi struktural yang menjadi isu sentral di dalam penelitian ini tidak terlalu terlihat polanya. Hal ini yang menyebabkan mengapa transformasi struktural tidak dapat digambarkan secara jelas di dalam penelitian ini. 2. Model yang dipakai di dalam penelitian kurang dapat menjelaskan variabel dependen dengan baik mengingat kurangnya variabel kontrol yang digunakan di dalam model penelitian ini. Variabel kontrol tingkat partisipasi angkatan kerja hanya digunakan di dalam model pertama penelitian ini untuk estimasi elastisitas di tingkat kota. Sedangkan model kedua yang dipakai untuk estimasi elastisitas di tingkat sektoral masing-masing kota tidak memsukkan variabel tingkat partisipasi angkatan kerja, mengingat tidak tersedianya data unutk level sektoral. Oleh karena itu, penggunaan variabel kontrol seperti populasi penduduk, upah minimum regional (UMR), tingkat pendidikan tenaga kerja sektoral, maupun karakterisitik daerah (misal: struktur sektor-sektor di kota), dapat dimasukkan ke dalam analisis selanjutnya sehingga diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dalam menjelaskan model. 3. Terakhir, penelitian ini tidak memasukkan karakterisitik tingkat pendidikan baik di tingkat kota maupun sektoral yang menjadi concern di dalam penelitian ini. Hal ini disadari penting, mengingat adanya keterkaitan yang erat antara tingkat pendidikan 171

tenaga kerja dengan penyerapan tenaga kerja di tingkat kota maupun level yang lebih kecil yaitu sektor-sektor. 172