BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

POLA PANGAN HARAPAN (PPH)

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu tertentu yang akan dipenuhi dari penghasilannya. Dalam

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh suatu kelompok sosial

METODE PENELITIAN. No Data Sumber Instansi 1 Konsumsi pangan menurut kelompok dan jenis pangan

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAMPAK PROGRAM KRPL (KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI) TERHADAP POLA PANGAN HARAPAN (PPH) ABSTRAK

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Buletin IKATAN Vol. 3 No. 1 Tahun

22/02/2017. Outline SURVEI KONSUMSI PANGAN. Manfaat survei konsumsi pangan. Metode Survei Konsumsi Pangan. Tujuan Survei Konsumsi Pangan

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, dianggapnya strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. strategis dan sering mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis.

POLA PANGAN HARAPAN PADA MASYARAKAT DI KELURAHAN BANMATI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang berperan penting terhadap pemenuhan

DINAMIKA POLA DAN KERAGAMAN KONSUMSI RUMAH TANGGA PERDESAAN PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING BERBASIS PERKEBUNAN

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN PADA DAERAH RAWAN BANJIR DI KABUPATEN BOJONEGORO MENUJU EKONOMI KREATIF BERBASIS KETAHANAN PANGAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. laut ini, salah satunya ialah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

METODE PENELITIAN. Jumlah sampel dalam kecamatan (KK) Nama Desa. KK tidak

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

METODE PENELITIAN Desain, Sumber dan Jenis Data

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam melakukan kegiatan sehingga juga akan mempengaruhi banyaknya

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

Pola Konsumsi Pangan Penyandang Disabilitas di Kota Malang

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Baliwati, dkk,

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI MENDUKUNG PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI

PERBEDAAN POLA PANGAN HARAPAN DI PEDESAAN DAN PERKOTAAN KABUPATEN SUKOHARJO (Studi di Desa Banmati dan Kelurahan Jetis)

I. PENDAHULUAN. cukup. Salah satu komoditas pangan yang dijadikan pangan pokok

AGRIC Vol.22, No. 1, Juli 2010:67-74 PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. merupakan kebutuhan dasar manusia. Ketahanan pangan adalah ketersediaan

BAB I PENDAHULUAN. adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang di olah

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI HUTAN KEMASYARAKATAN DI KABUPATEN LAMPUNG BARAT

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. DINAMIKA PANGSA PENGELUARAN PANGAN DI INDONESIA. pangan dan konsumsi individu di tingkat rumah tangga. Informasi tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perkotaan Dalam Mewujudkan Diversifikasi Konsumsi Pangan (Studi Kasus di Kota Bandar Lampung)

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

ANALISIS KEBUTUHAN PANGAN DI KECAMATAN RUMBAI PESISIR KOTA PEKANBARU. Niken Nurwati, Enny Mutryarny, Mufti 1)

CIRI-CIRI RUMAH TANGGA DEFISIT ENERGI DI PEDESAAN JAWA TENGAH

JIIA, VOLUME 5 No. 2, MEI 2017

PERENCANAAN KEBUTUHAN PANGAN PADA REPELITA VI DI TIGA PROPINSI DI INDONESIA (Penerapan Pedoman Pola Pangan Harapan)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

PERANAN PKK DALAM MENDUKUNG PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN SEBAGAI SUMBER GIZI KELUARGA. Oleh: TP. PKK KABUPATEN KARANGANYAR

LAMPIRAN 1 FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM

ANALISIS DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PETANI MINA MENDONG PENDAHULUAN

Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

TINJAUAN PUSTAKA. Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

ANALISIS NERACA BAHAN MAKANAN (NBM) DAN POLA PANGAN HARAPAN (PPH) KABUPATEN SIDOARJO

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA PEDESAAN DI DESA SUKOLILO KECAMATAN WAJAK KABUPATEN MALANG Oleh : Gema Iftitah Anugerah Y*

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROFIL KEMISKINAN DI BALI MARET 2015

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

PENGENALAN DKBM (TKPI) & UKURAN RUMAH TANGGA (URT) Rizqie Auliana, M.Kes

ANALISIS HUBUNGAN PROPORSI PENGELUARAN DAN KONSUMSI PANGAN DENGAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA PETANI PADI DI KABUPATEN KLATEN

POLA KONSUMSI PANGAN DAN PERMINTAAN BERAS OLEH RUMAH TANGGA PENGOLAH GULA MERAH AREN DI KABUPATEN KENDAL

BAB I. PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung maupun dari pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2005, hal. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan Presiden Republik Indonesia pada tahun , yang bertujuan untuk

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan. Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g

METODE. - Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura - Dinas Peternakan dan Perikanan - Dinas Perkebunan b. Data NBM tahun (sekunder)

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Proses pemilihan pangan yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis pangan, tetapi terhadap

12 PESAN DASAR NUTRISI SEIMBANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

TINGKAT KEMISKINAN BALI, SEPTEMBER 2015

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pola Pangan Harapan (PPH) Pola Pangan Harapan atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH adalah komposisi kelompok pangan utama bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali dikenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988 yang kemudian dikembangkan oleh Indonesia melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertaniaan yang bekerja sama dengan FAO. Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan, terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa. Dalam aplikasinya PPH dikenal dengan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman atau dikenal dengan istilah menu B2SA. Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai dengan PPH maka secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga terpenuhi. Oleh karena itu skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi pangan. Sesuai dengan kegunaannya, makanan dikelompokkan dalam tiga kelompok (Tri Guna Makanan) yaitu makanan sebagai sumber zat tenaga, zat pembangunan dan zat pengatur. Oleh karena itu pangan yang dikonsumsi sehari-hari harus dapat 8

9 memenuhi fungsi makanan tersebut. Semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat diperoleh dengan mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam dalam jumlah yang cukup dan seimbang. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu jenis bahan makanan yang dapat menyediakan zat gizi secara lengkap. Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH maka secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga terpenuhi. Untuk tingkat Nasional telah disepakati susunan Pola Pangan Harapan (PPH) berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 sebagai acuan dalam pembagunan pangan dan gizi. Angka Kecukupan Energi (AKE) di tingkat konsumsi sebesar 2.000 Kkal/kap/hari dan 2.200 Kkal/kap/hari di tingkat ketersediaan.sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) di tingkat konsumsi adalah sebesar 52 gram/kap/hari, dan 57 gram/kap/hari di tingkat ketersediaan. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004. Susunan Pola Pangan Harapan adalah sebagai berikut : Tabel 2.1 Susunan Pola Pangan Harapan Nasional No Kelompok Pangan Pola Pangan Harapan Nasional Gram Energi (kkal) % AKG Bobot Skor PPH (1) (2) (4) (5) (6) (7) (8) 1 Padi- padian 275 1000 50.0 0.5 25.0 2 Umbi-umbian 100 120 6.0 0.5 2.5 3 Pangan Hewani 150 240 12.0 2.0 24.0 4 Minyak dan Lemak 20 200 10.0 0.5 5.0 5 Buah/Biji Berminyak 10 60 3.0 0.5 1.0 6 Kacang-kacangan 35 100 5.0 2.0 10.0 7 Gula 30 100 5.0 0.5 2.5 8 Sayur dan Buah 250 120 6.0 5.0 30.0 9 Lain-lain - 60 3.0 0.0 0.0 Jumlah 2000 100-100 Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP BKP dan GMSK IPB, 2002

10 Keterangan: 1. (Kolom 6) % AKG = (kolom 5) 2000 kkal x 100% 2. (Kolom 8) Skor pangan = (kolom 6) x (kolom 7). Hasil perkalian dari masingmasing kelompok pangan dijumlahkan sehingga diperoleh total skor 100. 3. (Kolom 7) Penetapan rating atau bobot. Dalam penghitungan skor PPH adapun beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut : 1. Konversi bentuk, jenis, dan satuan Pangan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai bentuk, jenis dengan satuan yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan konversi ke dalam satuan dan jenis komoditas yang sama (yang disepakati). Contoh : jika rumah tangga mengonsumsi pangan dengan satuan URT (ukuran rumah tangga), misalnya 5 butir telur ayam dan 3 potong tempe, maka berat telur dan tempe dalam satuan gram diperoleh setelah dilakukan konversi satuan. Satu (1) butir telur ayam = 60 gr dan satu (1) potong tempe = 25 gr. 2. Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok (pada tabel 2.2) Makanan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai jenis yang telah dikonversi dengan satuan sama yaitu gram/hari (langkah 1). Berbagai jenis pangan tersebut misalnya dalam satu hari jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga adalah beras 700 gram, beras ketan putih 200 gram, beras ketan hitam 100 gram. Untuk memudahkan maka semua jenis pangan tersebut digabungkan ke dalam satu jenis pangan yang disepakati yang disebut sebagai pangan acuan yaitu beras.

11 3. Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan Pada tahap ini perlu dilakukan : perhitungan kandungan energi setiap jenis pangan yang dikonsumsi dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Kolom energi dalam DKBM menunjukkan kandungan energi (kkal) per 100 gram bagian yang dapat dimakan (BDD). 4. Menghitung total konsumsi energi dengan cara menjumlahkannya dari kelompok pangan 1 sampai dengan 9. 5. Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s.d ke 9 Kolom ini merupakan langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi pangan dengan cara menghitung kontribusi energi menurut AKG (AKE konsumsi untuk rata-rata nasional tahun 2004 adalah 2000 kkal/kap/hari) dari setiap kelompok pangan. dalam bentuk persen (%). Contoh : kontribusi energi dari kelompok padi-padian terhadap AKG adalah 1150/2000 x 100 % = 57.5%. 6. Menghitung skor PPH. a. Tahap I : isi kolom 8 = (kolom 6) x (kolom 7). Contoh skor konsumsi kelompok padi-padian adalah 57.5 x 0.5 = 28.8 b. Tahap II : isi kolom 10 sesuai hasil pada kolom 8 dengan memperhatikan batas skor maksimum (kolom 9). Jika skor AKE lebih tinggi dari skor maksimum maka yang diambil adalah skor maksimum. Jika skor AKE lebih rendah dari skor maksimum maka yang diambil adalah skor AKE. 7. Menghitung total skor mutu konsumsi pangan Total skor mutu konsumsi pangan adalah jumlah dari skor kelompok padipadian sampai dengan skor kelompok lain-lain. Angka ini disebut skor konsumsi pangan aktual, yang menunjukkan tingkat keragaman konsumsi pangan. Ringkasan cara penghitungan PPH dapat dilihat pada Tabel 2.2.

12 Tabel 2.2 Contoh Penghitungan Pola Pangan Harapan No Kelompok Pangan Energi Aktual Keterangan : a. Energi Aktual : Konsumsi aktual (kkal/kap/hari) b. % Aktual : % Terhadap Total (Energi Aktual) c. % AKE : % Terhadap AKE (2000 kkal/kap/hari) d. Skor aktual : % Aktual x bobot e. Skor AKE : % AKE x bobot % Aktual % AKE Bobot Skor Aktual Skor AKE Skor Maksimal Skor PPH (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 1 Padi- padian 1150 52.6 57.5 0.5 26.3 28.8 25.0 25.0 2 Umbi-umbian 75 3.4 3.8 0.5 1.7 1.9 2.5 1.9 3 Pangan Hewani 100 4.6 5.0 2.0 9.2 10.0 24.0 10.0 4 Minyak dan Lemah 600 27.5 30.0 0.5 13.7 15.0 5.0 5.0 5 Buah/Biji Berminyak 50 2.3 2.5 0.5 1.1 1.3 1.0 1.0 6 Kacang-kacangan 65 3 3.3 2.0 6.0 6.5 10.0 6.5 7 Gula 50 2.3 2.5 0.5 1.1 1.3 2.5 1.3 8 Sayur dan Buah 85 3.9 4.3 5.0 19.4 21.3 30.0 21.3 9 Lain-lain 10 0.5 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Jumlah 2185 100 109.3 73.2 132.7 100.0 71.9 f. Sama dengan skor AKE atau gunakan skor Maksimal jika Skor AKE > Skor Maksimal

13 Faktor yang Berhubungan dengan Skor PPH Situasi pangan dan gizi di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain dan sangat kompleks. Faktornya yaitu : 2.2.1 Jumlah Anggota Keluarga Keluarga merupakan bagian terkecil dari suatu masyarakat. Dimulai dari keluargalah kebiasan makan seseorang akan muncul. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilaksanakan di Kecamatan Letti Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku mengenai pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga terhadap keanekaragaman konsumsi pangan yaitu adanya hubungan yang erat mengenai besar keluarga terdahap gizi keluarga. Bagi mereka yang berpendapatan rendah akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika anggota rumah tangga yang harus diberi makan jumlahnya sedikit (Jomima&Rajab, 2014). Berdasarkan pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah tangga tahun 1995-1998 menyatakan bahwa anggota rumah tangga yang semakin banyak akan semakin mengalami kecendrungan turunnya rata-rata asupan energi dan protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan preverensi tertinggi pada rumah tangga yang beranggotakan diatas 6 orang (Notoatmojo, 2003). Namun pada penelitian yang lain mengenai analisis konsumsi pangan dan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan skor PPH pada model kawasan rumah pangan lestari di Desa Dayamurni Kecamatan Tumijajur Kabupaten Tulang Bawang Barat menyatakan tidak adanya hubungan yang seginifikan terhadap besar/jumlah keluarga dengan kenaikan skor PPH. Penelitian lain yang menyatakan adanya hubungan yang erat antara jumlah/besar keluaraga, pendapatan dan pendidikan terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Gianyar menurut Erwin&Karmini (2015).

14 Dengan kondisi keluarga miskin dengan banyak anak, menyebabkan anak-anak dapat menderita karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak keluarga terutama di Indonesia anak bungsu yang sering mengalami kekurangan asupa gizi (Notoatmojo, 2007). Seharusnya anak bungsu lebih banyak mendapatkan nutrisi demi tumbuh kembang yang optimal. Dibandingkan dengan anak yang lebih tua walau memang harus tetap mendapatkan nutrisi yang sesuai untuk tubuhnya. Kondisi yang paling rawan dalam masalah gizi adalah anak-anak, wanita hamil dan menyusui. Perhatian yang lebih besar seharusnya diberikan guna mengurangi dalih untuk mempunyai keluarga besar dengan jalan membantu yang miskin memperbaiki keadaan sosial dan ekonominya (Achmad Djaeni S, 2000). Indonesia sampai saat ini memiliki program yang berguna untuk membatasi jumlah anggota keluarga, yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan katahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, sejahtera. Program tersebut adalah KB yait Keluarga Berencana dimana dalam program KB tersebut disarankan untuk memiliki 2 anak lebih baik, jarak antar kelahiran yang tidak berdekatan sekitar tiga tahun. Agar kebutuhan akan konsumsi pangan yang baik dan bergizi dapat terpenuhi oleh anak. 2.2.2 Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Pengetahuan gizi adalah sesuatu yang berhubungan dengan makanan dan kesehatan yang optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan terhadap pemilihan dan konsumsi sehari-hari yang dibutuhkan oleh tubuh. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang apabila mengalami kekurangan satu atau lebih gizi esensial.

15 Sedangakan status gizi lebih apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan tubuh (Almatsier, 2004). Bila seorang ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik maka dapat memberikan pilihan makanan yang optimal kepada keluarga. Dan dapat mencapai skor PPH yang idel serta zat gizi yang tinggi. Bila pengetahuan gizi yang dimiliki ibu rendah maka pemilihan makan hanya pada batas ketertarikan panca indra tanpa memikirkan status gizi yang ada pada makanan (Achmad Djaeni S, 2000). Namun pada penelitian sebelumnya mengenai pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga terhadap keanekaragaman konsumsi pangan di Kecamatan Letti Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku menyatakan tidak adanya hubungan pengetahuan gizi terhadap jenis pangan yang dikonsumsi (Jomima&Rajab, 2014). Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan keluarga, kondisi iklim ekstrim sehingga sering menyebabkan gagal panen dan keterbatasan untuk memperoleh bahan pangan. Tetapi menurut Meitycorfrida Mailoal (2013) terdapat hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan pengetahuan gizi. hal didukung oleh hasil penelitia yaitu responden yang mencapai tingkat pendidikan SMA dan perguruan tinggi sebesar 47%. Dari hasil itu menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin meningkat pengetahuan akan pangan dan gizi. Didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryafal dkk (2014) penelitian yang dilakukan di Kota Pontianak semakin tinggi pendidikan maka semakin baik konsumsi pangan suatu keluarga. 2.2.3 Tingkat pendapatan keluarga Pendapatan merupakan penghasilan riil dari seluruh anggota keluarga yang disumbangkan untuk kebutuhan perorangan atau keluarga.

16 Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan kata lain pada tingkat pendapatan keluarga tertentu, rumah tangga akan menghabiskan pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan. Namun secara alamih kebutuhan pangan akan mencapai titik jenuh sementara untuk kebutuhan non pangan dan kualitas pangan tidak. Berdasarkan Hukum Engel (Nicholson 1991 exp 2001 dalam Erwin&Karmini, 2015) menyatakan bahwa rumah tangga yang mempunyai upah atau pendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok. Sedangkan rumah tangga yang berpendapatan tinggi akan membelanjakan sebagian kecil dari total pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pokok keluarga. Tingkat pendapatan keluarga dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan yang diperoleh maka akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, apabila tingkat tingkat pendapatan rendah maka diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula (Hattas, 2011). Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan keluarga. Semakin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian tingkat pendapatan keluarga memiliki faktor utama dalam pemilihan bahan makanan yang berkualitas dan kuantitas. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga juga tidak lepas dari pekerjaan dari orangtua serta tingkat pendidikan (Soekirman, 1991). Menurut Ryafal dkk (2014) mengatakan bahwa adanya perbedaan di Kecamatan Pontianak dimana semakin besar pendapatan maka semakin kecil skor

17 PPH, hal ini dikarenakan Kecamatan Pontianak merupakan daerah pertanian sehingga tidak terdapat hubungan antara akses pangan pendapatan, tidak menjadikan faktor utama karena masyarakat dapat mengakses pangan melalui produksi sendiri. Menurut Erwin&Karmini (2015) menyatakan hal yang berbeda pada penelitian yang mereka laksanakan, mengatakan bahwa adanya hubungan pendapatan, jumlah anggota keluarga dan pendidikan terhadap pola konsumsi. Menurut Jomina & Rajab (2014) pendapatan keluarga sebagian besar berasal dari sektor pertanian dan pertenarkanan. Dengan perolehan hasil pendapatan rata-rata keluarga sebesar Rp. 808.177,17. Dari meningkatnya pendapatan maka kecukupan akan makanan terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. 2.2.4 Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan keluarga dalam kemapuannya memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan (Salimar dkk 2009 dalam ). Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan 60% dikategorikan rawan pangan sedangkan rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan. Kemampuan keluarga dalam membeli bahan makanan dilihat dari besar kecilnya pendapatan keluarga, harga makanan dan tingkat pengolahan bahan makan tersebut (Apriadji, 1986). Menurut hukum Working proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bermacan jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan, ukuran keluarga dan tabungan (Pakpahan, 2012). Dikatakan juga bahwa semakin kaya suatu rumah tangga maka semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Pengeluaran pangan merupakan titik masuk (entry point) yang bertujuan untuk melihat akses pemanfataan pangan dalam rumah tangga. Dengan proses

18 transformasi, informasi mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi informasi konsumsi energi. Maka dari itu kecukupan energi akan berkolerasi dnegan tingkat pengeluaran pangan. Berdasarkan data Susenas pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan non makanan selama tahun 2002-2013 menunjukan pergesaran dimana pada awalnya pengeluaran untuk makanan lebih tinggi dari pada non makan, namun pada tahun 2007 menunjukan peresentase pengeluaran non makanan seimbang dengan pengeluaran makanan. Untuk persentase makanan pada tahun 202 sebesar 58,47% dan non makanan sebesar 41,53%. Pada tahun 2013 persentase untuk makanan menjadi 50,66% dan non makanan 49,34%. Dan untuk rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2013 untuk makanan sebesar Rp. 356.435,- dan non makanan sebesar Rp. 347.126,-. Secara rinci persentase penduduk Indonesia tahun 2013 untuk makanan adalah yang paling tinggi pengeluaran makanan dan minuman yaitu sebesar 25,88%, padi-padian 16,26% tembakau dan sirih 12,32%, sayur-sayuran 8,74%, ikan 7,96%, telur dan susu 6,04% dan untuk kelompok makanan yang lainnya kurang dari 5%. Prsentase pengeluaran di Bali, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Total rata-rata per kapita per bulan pengeluaran tahun 2014 sebesar Rp. 1.097.749 Untuk makanan sebesar Rp. 458.723 dan non makanan sebesar Rp. 639.026 (Badan Pusat Statistik, 2014). Secara rinci pengeluaran makan di Provinsi Bali tahun 2014, posisi tertinggi yaitu makanan dan minuman sebesar 36.20%, padi-padian 14,80%, tembakau dan sirih 8,75%, sayur 7,09%, telur dan susu 6,04%, daging 5,75%, buah-buahan 5,32%, ikan 5,08% dan untuk kelompok makanan lain kurang dari 3% (Bali Dalam Angka, 2014).

19 Berdasarakan hasil penelitian lain di Kecamatan Letti tahun 2014 mengenai ratarata pengeluaran rumah tangga untuk pangan pokok sebesar Rp. 338.515 per bulan dengan persentase untuk membeli pangan pokok beras. Hal ini dikarenakan beras memiliki harga yang mahal dibandingkan bahan pangan pokok lainnya seperti jagung dan singkong kayu/ubi kayu. Pengeluran jagung dan singkong kecil disebabkan sebagian besar rumah tangga telah menanam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga secara pribadi. Menurut Rikha D.R (2007) menyatakan bahwa adanya hubungan yang segnifikan antara pengeluran rumah tangga dengan skor PPH. Dapat dilihat dari penelitian yang dilaksanakan pada keluarga petani sawah tadah hujan. Dapat dilihat bahwa rumah tangga dengan pengeluaran pangan kurang memiliki skor PPH kurang sebanyak 25 keluarga dan skor PPH idel tinggi sebanyak 25 keluarga. Namun pada rumah tangga pengeluaran cukup memilik skor PPH yang kurang terdapat 3 keluarga dan yang memiliki skor PPH idea tinggi terdapat 34 keluarga. Menurut Jomina & Rajab (2014) rata- rata pengeluran rumah tangga sebesar Rp. 637.156 per bulan dan untuk pengeluaran rumah tangga konsumsi sebesar Rp. 438.072 per bulan. Hasil ini menunjukan pengeluran rumah tangga sebagian besar lebih dialokasikan untuk konsumsi. Jadi adanya hubunga yang mempengaruhi antara pengeluran rumah tangga dengan tingkat konsumsi. 2.2.5 Pantangan Makanan Dalam pantangan memilih makan ada hal yang paling mendasar yaitu faktor sosial budaya. Pantangan dalam milih makanan dilihat dari kepercayaan yang akan dianggap baik atau buruk yang lambat laun akan menjadi kebiasaan yang turun menurun.

20 Kebudayaan mempunyai pengaruh yang kuat untuk menentukan seseorang dalam memilih makanan dan bagaimana cara mengolahnya, untuk kebutuhan tubuh yang mendasar. Serta kebudayaan juga mempengaruhi kapan makanan tersebut boleh atau tidak dikonsumsi. Hal ini sering terjadi salah satu contohnya adalah di negara Asia memiliki kepercayaan bahwa dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan keracunan pada ASI (Suhardjo, 2003). Hal ini merupakan hal yang merugikan untuk kesehatan. Sesungguhnya protein hewani sangat baik kandungannya dalam ASI karena bagus untuk tumbuh kembang dari bayi yang mengkonsumsi ASI. Sering kali tiga kelompok ini dikaitkan dengan hal-hal yang tabu atau memiliki pantangan makan yaitu balita, ibu hamil dan ibu menyususi. Sesungguhnya hal yang dianggap tabu itu benar tapi sering malah merugikan karena banyak makanan yang dikonsumsi sangat penting dan mempengaruhi kondisi tubuh. Dalam hal agama pantangan yang khususya untuk Agama Islam disebutkan haram dan seseorang yang melanggar hukum berdosa. Konsep halal dan haram sangat mempengaruhi pemilihan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi. Menurut Rikha D.R (2007) tidak adanya hubungan pantangan makan dengan skor PPH pada keluarga petani sawah tadah hujan yang diteliti. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan responden keluraga yang memiliki pantangan makanan dengn skor PPH yang idel dan tinggi 6 keluarga sedangkan keluarga yang tidak memiliki pantangan makan dengan skor PPH yang idel dan tinggi sebanyak 50 keluarga. Berdasarkan hasil wanwancara makan-makanan yang menjadi pantangan dalam penelitian ini adalah gula merah, daging kambing, buah melon, wortel, kangkung, kopi, makanan yang digoreng, bayam, kacang panjang, cumi-cumi, kerang, ketimun, terong, kacang tanah dan jeroan ayam. Dari beberapa makan yang

21 menjadi patangan tersebut seharusnya dikonsumsi karena sangat bagus untuk kebutuhan tubuh. Menurut Wahida Y.M (2006) berdasarkan penelitian yang dilaksanakan menyatakan adanya hubungan pantangan makan yang dilihat dari aspek religi dan tradisi dengan pengaruh terhadap pola konsumsi pangan, yaitu menunjukan bahwa nilai religi 67,3% RT yang menganggap ada jenis makanan pokok bersifat religi dan tradisi. Masyarakat Wamena sangat mengormati dan menjaga ubi jalar, hal ini dilakukan karena masyarakat Wamena menganggap ubi jalar dibawa oleh nenek moyang. Pada suatau upacara ubi jalur dapat digunakan sebagai salah satu (satu bahan) yang digunakan untuk hidangan menu utama. Jadi menu utamanya hanya ubi jalar saja tidak ada yang lain. 2.2.6 Kepemilikan Lahan Petani di Indonesia rata kepemilikan lahan sangat kecil mengingat harga tanah yang semakin mahal sedangakan kemampuan para petani untuk kebutuhan seharihari saja sudah minim bagaimana cara untuk membeli lahan. Maka dari itu para petani yang memungkinkan untuk menggarap lahan milik orang lain nanti hasil panennya akan dibagi dua. Semakin hari semakin banyak ada bangunan semakin sedikit tempat untuk bercocok tanam. Hal ini menyebabkan mengurangi wilayah pertanian. Sedangakn kebutuhan manusia akan bahan pokok makanan semakin meningkat yang tidak diimbangi dengan ketersedian lahan dan pembangunan gedung-gedung yang tidak terencana tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikeu, T&Eka, H (2009) menyatakan bahwa hubungan kepemilikan lahan dengan ketahanan pangan,

22 memiliki hubungan yang saling berpengaruh, karena semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar peluang tercapainya ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Rikha D.R (2007) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan skor PPH dengan kepemilikan lahan. Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan 67 keluarga yang memiliki lahan pertanian sendiri dengan petani memiliki lahan sendiri didapatkan hasil skor PPH idel dan tinggi 45 keluarga dan petani penggarap sebesar 14 keluarga. Petani penggarap mendapatkan hasil yang mereka kerjakan dengan cara bagi hasil dengan pemilik setengah-setengah. Menurut Zahara&Nina, M (2012) menyatakan tidak adanya hubungan kepemilikan lahan dengan skor PPH. Dapat dilihat dari hasil penelitian yang mengatakan nilai koefisian determinan kepemilikan lahan rendah dan negatif yang artinya tidak ada pengaruhnya variabel luas pekarangan terhadap naik turunnya skor PPH. Teori BLUM Menurut Hendrik L. Blum ada empat faktor yang mempengaruhi status dejarat kesehatan masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Lingkungan memiliki pengaruh dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, iklim, perumahan dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antara manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.

23 2. Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada dirinya. 3. Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas pelayanan kesehatan sangat menentukan dalam pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan perawatan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi apakah dapat dijangkau atau tidak, yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan. 4. Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehil.

24 2.3.1 Kerangka Teori BLUM GENETIK LINGKUNGAN (Sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, pekerjaan, dst) Sehat Fisik Mental dan Sosial PELAYANAN KESEHATAN (kuantitas dan kualitas) PERILAKU KESEHATAN Gambar 2.1 Kerangka Teori Hendrik L. Blum Sumber : Notoatmojo (2007)