BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

xvii Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

MAKALAH MASALAH KECACINGAN DAN INTERVENSI

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang dan beriklim tropis, termasuk Indonesia. Hal ini. iklim, suhu, kelembaban dan hal-hal yang berhubungan langsung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

I. PENDAHULUAN. Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air adalah merupakan bagian yang terbesar dari sel, mencapai lebih kurang

HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI ROWOSARI 01 KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk fillum Nematohelminthes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis soil transmitted

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. nematoda yang hidup di usus dan ditularkan melalui tanah. Spesies cacing

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang kurang bersih. Infeksi yang sering berkaitan dengan lingkungan yang kurang

II. TINJAUAN PUSTAKA. (Rusmartini, 2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat sehingga perlu dipersiapkan kualitasnya dengan baik. Gizi dibutuhkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH (Soil Transmitted Helminth) adalah cacing golongan nematoda

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Timur. Terdapat bukti berupa lukisan pada kuburan Mesir kuno yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian kecacingan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Lebih

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Helminthes (STH) merupakan masalah kesehatan di dunia. Menurut World Health

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tanah untuk proses pematangan sehingga terjadi perubahan dari bentuk non-infektif

BAB I PENDAHULUAN. (cacing) ke dalam tubuh manusia. Salah satu penyakit kecacingan yang paling

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia nematode usus sering disebut cacing perut, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Transmitted Helminths. Jenis cacing yang sering ditemukan adalah Ascaris

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan sumber kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

SKRIPSI Untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat Pada Universitas Negeri Semarang. Oleh. Novita Yuliani NIM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

I. PENDAHULUAN. tropis dan subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. infeksi parasit usus merupakan salah satu masalah. kesehatan masyarakat yang diperhatikan dunia global,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah spesies yang hidup sebagai parasit pada manusia,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UJI DAYA ANTHELMINTIK INFUSA BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP CACING GELANG BABI (Ascaris suum) SECARA IN VITRO SKRIPSI

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk, termasuk golongan nematoda yang

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Helminthiasis atau kecacingan menurut World Health Organization (WHO)

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Efektifitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol500 mg Terhadap Trikuriasis pada Anak-Anak Sekolah Dasar Cigadung dan Cicadas, Bandung Timur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit infeksi cacing usus terutama yang. umum di seluruh dunia. Mereka ditularkan melalui telur

HUBUNGAN HYGIENE PERORANGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI KECACINGAN PADA PEMULUNG ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI TPA ANTANG MAKASSAR

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG. Oleh Ma rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA LALAPAN DAUN SELADA (Lactuca sativa L.) YANG DIJUAL DI KELURAHAN MADYOPURO KOTA MALANG TAHUN 2015

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN CACINGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) PENYAKIT CACINGAN

I. PENDAHULUAN. dengan sekitar 4,5 juta kasus di klinik. Secara epidemiologi, infeksi tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lumbricoides) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000). 2.1.1 Ascaris lumbricoides 2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).

Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides. 2.1.1.2 Patofisiologi Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).

Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler. 2.1.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006). 2.1.1.4 Epidemiologi Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006). 2.1.1.5 Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006). 2.1.2 Ancylostoma (cacing tambang)

2.1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan, 2006).

Gambar 2. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Menteri Kesehatan, 2006). 2.1.2.2 Patofisiologi Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahanlahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat

cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006) 2.1.2.3 Gejala Klinik dan Diagnosis Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006) 2.1.2.4 Epidemiologi Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah. 2.1.3. Trichuris trichiura 2.1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningkuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000). Gambar 3. Daur Hidup Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006) 2.1.3.2 Patofisiologi Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006) 2.1.3.3 Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000). 2.1.3.4 Epidemiologi Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000). 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH. Menurut Hotes (2003) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain : 2.2.1. Lingkungan

Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan. 2.2.2. Tanah Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara25ºc-30ºc sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000). 2.2.3. Iklim Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Onggowaluyo, 2002). 2.2.4. Perilaku Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003:21). Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991).

2.2.5. Sosial Ekonomi Sosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip Hotes (2003) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah. 2.2.6. Status Gizi Cacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehinggamudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006).