STUDI DAN PERENCANAAN PENAMBAHAN RUNWAY DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA

dokumen-dokumen yang mirip
SIMULASI PENENTUAN JUMLAH DAN KOMPOSISI PESAWAT MAKSIMUM PADA DUA PARALEL RUNWAY SATRIO REKSO W

BAB III METODE PENELITIAN

MODEL KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) E-12

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

OPTIMASI KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara.

Dosen Pembimbing. Mahasiswa. Ir. Hera Widyastuti, MT. PhD. Sheellfia Juni Permana TUGAS AKHIR ( RC )

PERENCANAAN ULANG LAYOUT RUNWAY BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN YANG DIDASARKAN PADA HASIL ANALISIS AIRPORTS GIS FAA

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

ICAO (International Civil Aviation Organization)

TUGAS AKHIR AHMAD SAIFULLAH. Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program Strata Satu (S-1) Teknik Sipil.

Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):

TUGAS AKHIR RC

STUDI OPTIMASI KAPASITAS LANDASAN PACU (RUNWAY) PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA TUGAS AKHIR

ANALISIS KINERJA GATE PADA TERMINAL KEBERANGKATAN DOMESTIK DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN

TUGAS AKHIR ANALISA KAPASITAS APRON DAN OPTIMALISASI PARKING STAND DI TERMINAL KARGO BANDAR UDARA SOEKARNO - HATTA

PA U PESAW PESA AT A T TER

BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan runway baru yang lokasinya paralel runway eksisting

ANALISIS KAPASITAS AIR SIDE RENCANA PENGEMBANGAN BANDAR UDARA INTERNASIONAL AHMAD YANI SEMARANG ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 19,45 km dari kota Jakarta yang memiliki koordinat 06 o Lintang

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang

ANALISA PENGEMBANGAN GEOMETRI LANDASAN (STUDI KASUS BANDARA HUSEIN SASTRANEGARA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI TAHAPAN PENGEMBANGAN FASILITAS SISI UDARA BANDARA TEBELIAN SINTANG

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) E-1

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA (STUDI KASUS: BANDAR UDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN)

Dosen Konsultasi : Ir. Hera Widiastuti, MT. Ayu Aprilischa ( )

Evaluasi Kinerja Gate Assignment pada Terminal 1 Keberangkatan Domestik Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

EVALUASI POTENSI TERJADINYA DELAY PADA SISI UDARA BANDARA INTERNASIONAL JUANDA UNTUK 5 DAN 10 TAHUN MENDATANG

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-4 1

BAB I PENDAHULUAN. Tahun Berangkat Transit Total % Pertumbuhan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. dan jasa penunjang bandara di kawasan Barat Indonesia sejak tahun 1984.

TUGAS AKHIR OPTIMALISASI KAPASITAS APRON TERMINAL 2 BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA AKIBAT PERPINDAHAN PESAWAT INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD

EVALUASI KINERJA TERMINAL PENUMPANG 1A BANDAR UDARA INTERNASIONAL SOEKARNO-HATTA

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

OPTIMASI PERGERAKAN PESAWAT PADA BANDARA HUSEIN SASTRANEGARA ABSTRAK

Perencanaan Pengembangan Apron Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

PERENCANAAN ULANG LAYOUT RUNWAY BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN YANG DIDASARKAN PADA HASIL ANALISIS AIRPORT GIS FAA

ANALISIS KAPASITAS BANDARA HALIM PERDANAKUSUMA SEBAGAI BANDARA KOMERSIL

BAB I PENDAHULUAN. strategis sehingga memiliki pengaruh positif dalam berbagai bidang. Moda

PERENCANAAN SISTEM PENANGANAN BAGASI PADA TERMINAL 1B DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

PRAKIRAAN ARUS LALU LINTAS UDARA UNTUK PENGEMBANGAN BANDAR UDARA SUPADIO PONTIANAK

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

PENGARUH LINGKUNGAN LAPANGAN TERBANG PADA PERENCANAAN PANJANG LANDASAN DENGAN STANDAR A.R.F.L. Oleh : Dwi Sri Wiyanti. Abstract

Variabel-variabel Pesawat

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance

STUDI EVALUASI RUANG TUNGGU KEBERANGKATAN DAN KEDATANGAN DOMESTIK BANDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA TUGAS AKHIR PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini telah menjadikan peranan transportasi menjadi sangat

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bandara Internasional Minangkabau yang terletak 23 km dari pusat Kota

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu

BAB III METODOLOGI 3.1. TINJAUAN UMUM

BAB III PERFORMANSI PUBLIC ADDRESS SYSTEM

TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY DAN TAXIWAY BANDARA KUALA NAMU, DELI SERDANG SUMATRA UTARA. DISUSUN OLEH : Aditya Imam Dwi Prastyo ( )

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tingkat pelayanan (level of service) terminal dan apron Bandara. Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

[[PERANCANGAN INTERIOR BANDARA INTERNASIONAL KERTAJATI MAJALENGKA]] BAB I PENDAHULUAN

EVALUASI ON TIME PERFORMANCE PESAWAT UDARA DI BANDAR UDARA HUSEIN SASTRANEGARA MENGGUNAKAN APLIKASI FLIGHTRADAR24

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI

BAB I PENDAHULUAN. LU dan antara 133,5-133,5 BT dengan luas wilayah 6,269 km 2 yang terbagi. dalam dua kelurahan 117 Desa dan 7 Kecamatan.

DESAIN KEBERANGKATAN AREAL CURBSIDE PADA BANDAR UDARA SULTAN HASANUDDIN

Perencanaan Tahapan Pembangunan Fasilitas Terminal 3 Juanda Berdasarkan Pertumbuhan Penumpang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor:

Analisis Perpindahan Moda dari Taksi dan Mobil Pribadi ke Bus Damri di Bandar Udara Juanda Surabaya

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA

1.1. Latar Belakang Masalah 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Aditya Putrantono Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB 1 PENDAHULUAN. laut, maupun udara perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjangkau, menggali,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

Physical Characteristics of Aerodromes

ABSTRAK. Kata kunci : runway, taxiway dan apron I. PENDAHULUAN

DAILY MAPPING AIRCRAFT NOISE LEVEL IN UNIT APRON AHMAD YANI AIRPORT, SEMARANG, CENTRAL JAVA, USING CONTOUR NOISE METHOD

MODEL SIMULASI DISKRIT UNTUK MENGUKUR EFEK KETERLAMBATAN JADWAL PENERBANGAN TERHADAP ANTRIAN PRA TINGGAL LANDAS DAN PASCA PENDARATAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk kemudian diolah

ANALISIS KELAYAKAN TERMINAL PENUMPANG 1A BANDAR UDARA INTERNASIONAL SOEKARNO HATTA

1. Pertimbangan penentuan lokasi Bandar udara. IZIN PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA Perizinan Direktorat Bandar Udara Dasar Hukum :

ANALISA PENGEMBANGAN RUNWAY END SAFETY AREA (RESA) PADA RUNWAY BANDARA INTERNASIONAL ADISUTJIPTO YOGYAKARTA

Transkripsi:

TUGAS AKHIR RC 138 STUDI DAN PERENCANAAN PENAMBAHAN RUNWAY DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA STUDY AND PLANNING OF ADDING RUNWAY IN JUANDA INTERNATIONAL AIRPORT SURABAYA ARIEF SUSETYO NRP 317 1 132 Dosen Pembimbing : Ir. HERA WIDIYASTUTI, MT JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 212

ABSTRAK STUDI DAN PERENCANAAN PENAMBAHAN RUNWAY DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA Nama Mahasiswa : Arief Susetyo NRP : 3171132 Jurusan : Teknik Sipil FTSP ITS Dosen Pembimbing : Ir. Hera Widiyastuti Runway merupakan komponen utama dalam sistem bandar udara, tempat dimana pesawat melakukan aktifitas baik lepas landas maupun mendarat. Runway terhubung dengan landasan hubung seperti Exit taxiway dan Taxiway. Ketiga komponen ini menjadi suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pelayanan suatu bandara erat kaitannya dengan tiga komponen tersebut, jika ketiga komponen tersebut tidak maksimal maka sangat memperburuk kualitas pelayanan dari suatu bandara. Dalam tugas akhir ini mencoba untuk mengevaluasi apakah Runway di Bandar Udara Internasional Juanda saat ini dan 5 tahun kedepan masih dapat memenuhi kebutuhan lalu lintas udara dengan baik. Seperti kita ketahui, saat ini semakin besar frekuensi penerbangan tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara yang lain. Membuat kualitas pelayanan bandara harus terus ditingkatkan, seperti memperbesar kapasitas bandara itu sendiri. Jika dalam tugas akhir ini diketahui bahwa Runway yang ada sekarang sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan, maka diharapkan ada peningkatan kapasitas Runway dengan menambahkan Runway baru di Bandara Internasional Juanda Surabaya Kata kunci : Runway, Exit taxiway, Taxiway 1

STUDY AND PLANNING OF ADDING RUNWAY IN JUANDA INTERNATIONAL AIRPORT SURABAYA Name of Student : Arief Susetyo Registration No : 3171132 Department : Teknik Sipil FTSP ITS Supervisor : Ir. Hera Widiyastuti, MT ABSTRACT Runway is the main component in the system of airports, where planes do activities takeoff and landing. Runway connect with runway circuit such as Exit Taxiway and Taxiway. All three of these components into a unity that can not be separated. An airport services closely related to three parts, if all three components are not optimal, it is worsening the quality of service from an airport. This final project to evaluate whether the runway at Juanda International Airport at this time and next 5 years are still can fulfill the needs of air traffic well. As we know, at this time the greater frequency of flights not only in Indonesia but also in other countries. Make the quality of airport serivices should be improved, such as enlarging the capacity of the airport itself. If in this final project is known that the existing runway can not adequality meet needs, it is expected that there is an increase runway capacity by adding a new runway at Juanda International Airport Surabaya. Keywords : Runway, Exit taxiway, Taxiway 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan propinsi dengan perekonomian terbesar kedua di Indonesia. Dari tahun ke tahun pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selalu lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat ini membuat permintaan terhadap transportasi terutama transportasi udara semakin meningkat. Surabaya sebagai pusat perekonomian dan juga sebagai gerbang dari propinsi Jawa Timur dalam hal ini harus mempunyai infrastruktur yang memadai. Untuk transportasi udara dapat ditunjang dengan bandar udara. Surabaya memiliki Bandar Udara Internasional Juanda yang berada di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Bandar udara ini sebagai pintu masuk dari Jawa Timur yang melayani rute baik domestik maupun Internasional. Dari tahun ke tahun permintaan terhadap transportasi udara di Bandar Udara Internasional Juanda selalu meningkat kecuali pada tahun 27 dimana pada saat itu terjadi krisis ekonomi dunia dan meningkatnya harga minyak dunia. Tetapi setelah itu permintaan terhadap transportasi udara kembali meningkat hingga pada tahun 21 mencapai 98.884 pergerakan pesawat. Selengkapanya dapat dilihat pada Gambar 1.1. Gambar 1.1 Grafik pergerakan pesawat Tahun 26-21 Maka dari itu Bandara Juanda harus membenahi infrastruktur supaya dapat melayani permintaan yang ada. Salah satu yang perlu ditingkatkan adalah kelancaran lalu lintas pesawat. Kelancaran lalu lintas ini sangat dipengaruhi oleh runway sebagai tempat mendarat sekaligus lepas landas pesawat. Kondisi eksisting Bandara Juanda saat ini hanya memiliki satu runway dengan panjang 3 meter dan lebar 45 meter yang sudah digunakan sejak terminal Juanda lama masih digunakan. Kondisi ini tidak layak mengingat lalu lintas pesawat yang keluar masuk Bandara Juanda sangat ramai bahkan tiap tahun maskapai-maskapai penerbangan membuka rute baru dari dan ke Bandara Juanda. Kondisi seperti ini membuat antrian pesawat baik di darat maupun di udara semakin lama semakin panjang. Hali ini menjadi salah satu penyebab jadwal penerbangan sering tertunda dan tidak sesuai jadwal. Untuk menguraikan kepadatan lalu lintas pesawat, direncanakan penambahan kapasitas runway dengan cara menambahkan runway baru di Bandara Juanda. 1.2 Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang dikemukakan dalam tugas akhir ini adalah : 1. Bagaimana kinerja runway Bandara Internasional Juanda Surabaya saat ini? 2. Bagaimana kinerja runway Bandara Internasional Juanda Surabaya 5 tahun mendatang? 3. Bagaimana menentukan dimensi runway, exit taxiway dan taxiway baru di Bandara Internasional Juanda? 4. Bagaimana kinerja runway eksisting dan runway rencana Bandara Internasional Juanda Surabaya setelah ada penambahan runway? 1.3 Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam studi penambahan runway ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan evaluasi terhadap kinerja runway Bandara Internasional Juanda Surabaya saat ini. 2. Melakukan evaluasi terhadap kinerja runway Bandara Internasional Juanda Surabaya 5 tahun mendatang berdasarkan peramalan peningkatan volume lalu lintas udara. 3. Menentukan dimensi runway, exit taxiway, dan taxiway baru di Bandara Internasional Juanda Surabaya. 4. Melakukan evaluasi terhadap kinerja kedua runway. 1.4 Batasan Masalah Agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan masalah nantinya, maka perlu dibuat batasan sebagai berikut : 1. Tidak membahas lokasi runway baru. 2. Pada studi ini tidak membahas masalah perkerasan. 3. Pada studi ini tidak merencanakan drainase. 1.5 Manfaat Penelitian Penyusunan tugas akhir ini diharapkan mampu mendapatkan beberapa manfaat sebagai berikut: 1. Mahasiswa mampu menghitung kapasitas runway Bandara Juanda sekarang dan 5 tahun yang akan datang. 3

2. Mahasiswa mampu menghitung dan merencanakan dimensi runway, exit taxiway, dan taxiway. 3. Dapat menjadi referensi untuk rencana pengembangan Bandara Juanda kedepan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Runway Jumlah runway sangat tergantung pada volume lalu lintas, dan orientasi runway yang tergantung pada arah angin dominan. Runway juga sangat dipengaruhi oleh penghubungnya, yaitu exit taxiway dan taxiway. Oleh karena itu, dalam bukunya, Horonjeff dan McKelvey (1994) menyatakan sistem yang terbentuk dari runway dan exit taxiway diatur sedemikian rupa sehingga : 1. Memberikan keterlambatan dan gangguan sekecil mungkin dalam operasi pendaratan dan lepas landas. 2. Memberikan jarak Taxiway yang sependek mungkin dari daerah terminal menuju ujung Runway. 3. Memberikan jumlah Exit Taxiway yang cukup sehingga pesawat yang mendarat dapat meninggalkan Runway secepat mungkin. 2.1.1 Sistem Runway Terdapat beberapa konfigurasi runway, hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : Perbedaan kapasitas maksimum Perbedaan arah dan kecepatan angin Kompleksitas pengendalian lalu-lintas udara Kelengkapan alat bantu navigasi Terdapat banyak macam konfigurasi yang dipakai bandara-bandara di dunia, tetapi semua itu pada umumnya mengacu pada beberapa bentuk dasar yaitu : 1. Runway Tunggal 2. Runway Pararel 3. Runway Berpotongan 4. Runway V terbuka 2.1.2 Lingkungan Lapangan Terbang Lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang landasan adalah temperatur, angin permukaan, kemiringan landasan, ketinggian lapangan terbang. Dalam perhitungan landasan pacu dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL). 2.1.2.1 Temperatur Pada temperatur yang lebih tinggi, dibutuhkan landasan yang lebih panjang, sebab tinggi density udara rendah, menghasilkan output daya dorong yang rendah. Sebagai standar temperatur di atas muka laut sebesar 59 F = 15 C. Menurut Internasional Civil Aviation 4 Organisation (ICAO) panjang landasan harus terkoreksi terhadap temperatur sebesar 1%. Ft = 1+.1 ( T - (15 -.65h)) 1. dimana: Ft = Faktor terkoreksi temperatur. T = Temperatur di lapangan terbang. h = Elevasi lapangan terbang. 2.1.2.2 Ketinggian lapangan terbang Menurut ICAO, bahwa ARFL bertambah 7% setiap kenaikan 3 m (1 ft) dari ketinggian muka laut. Maka rumus dari Fe (faktor koreksi elevasi). Fe = 1 +.7 Fe = Faktor terkoreksi elevasi. h = Elevasi lapangan terbang. 2.1.2.3 Kemiringan landasan (Runway Gradient) Perencanaan lapangan terbang, FAA memperkenalkan Efektive Gradient yaitu beda tinggi antara titik terendah dari penampang memanjang landasan dibagi dengan panjang landasan yang ada. Faktor koreksi kemiringan (Fs) sebesar 1% setiap kemiringan 1%. Fs = 1 +.1 S Fs = Faktor terkoreksi kemiringan. S = Gradien efektif. 2.1.3 Analisa Angin Analisa angin sangat penting dalam merencakan arah runway. Sebuah analisa angin adalah dasar bagi perencanaan lapangan terbang. Untuk landasan pada lapangan terbang arahnya harus sedemikian rupa sehingga searah dengan arah angin dominan. Ketika melakukan pendaratan dan lepas landas, pesawat dapat mengadakan manuver sejauh komponen angin samping atau cross wind tidak berlebihan. Maksimum cross wind yang diizinkan tergantung bukan saja pada ukuran pesawat, tetapi juga kepada konfigurasi sayap dan kondisi perkerasan landasan. 2.2 Taxiway dan Exit Taxiway Fungsi dasar dari taxiway adalah untuk menyediakan akses antar runway dan daerah terminal juga service hangar. Taxiway harus dirancang dengan baik sehingga pesawat yang baru saja mendarat tidak terganggu oleh pesawat yang bergerak untuk takeoff. Rute taxiway harus diseleksi sehingga menghasilkan jarak terpendek yang masih mungkin dari daerah terminal ke ujung runway yang digunakan untuk takeoff. Selain itu, pada bandara yang cukup sibuk, exit taxiway harus ditempatkan pada titik penting sepanjang runway. Hal ini dimaksudkan agar pesawat landing dapat meninggalkan runway secepat mungkin sehingga runway dapat digunakan pesawat lain. Kemungkinan mempercepat pesawat meninggalkan runway tergantung pada exit taxiway.

Terdapat 3 tipe sudut exit taxiway, yaitu 9, 45, 3. Exit taxiway dengan sudut 3 disebut rapid exit taxiway atau high speed exit taxiway. Jarak dari touchdown ke lokasi exit taxiway ideal dapat diperkirakan dengan formula berikut ini (Ashford dan Wright, 1984) dimana : S = Jarak dari ujung runwayke exit taxiway (m) D 1 = Jarak dari ujung runway ke titik touchdown (m) D 2 = Jarak exit taxiway dari titik touchdown (m) V ul = Kecepatan pendaratan peswat(m/dt) V td = Kecepatan touchdowndi runway (m/dt) V e = Kecepatan awal keluar runway(m/dt) a 1 = Perlambatan di udara (m/dt 2 ) a 2 = Perlambatan di darat (m/dt 2 ) 2.3 Metode Perhitungan Jam Puncak Perhitungan volume jam puncak dalam Tugas Akhir ini diperlukan : 1. Sebagai dasar acuan kondisi paling maksimum pemakaian runway 2. Untuk mengetahui tingkat pergerakan maksimum pada kondisi peak hour Berdasarkan data existing jumlah rata-rata pergerakan harian di runway dalam 1 tahun dan jumlah pergerakan pesawat di runway pada bulan puncak dalam 1 tahun. Dapat diketahui ratio jumlah pergerakan pesawat total 1 tahun. Dapat dilihat pada perumusan (Pignataro, 1973) R month = (2.9.) 2. dimana : R month = Peak month ratio N month = Jumlah pergerakan total pesawat di runway saat bulan puncak N year = Jumlah pergerakan total pesawat di runway dalam 1 tahun. Ratio jumlah pergerakan pesawat pada hari puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat bulan puncak adalah R day = (2.1.) 3. dimana : R D 2 = day = Peak day ratio N day = Jumlah pergerakan total pesawat di runway dalam 1 hari Dimana : N D 2 = Jarak exit taxiway dari titik touchdown month = Jumlah pergerakan total pesawat di runway saat bulan puncak V ul = Kecepatan touchdown di runway (m/dt) V e = Kecepatan awal keluar runway(m/dt) Ratio jumlah pergerakan pesawat pada jam A = Perlambatan (m/dt 2 ) Jarak dari ujung runway hingga pesawat puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat total 1 hari adalah : mencapai kecepatan keluar di exit taxiway (S) adalah sebagai berikut : R hour = (2.11.) S = D 1 + D 2 4. dimana : S = + (2.5) R hour = Peak hour ratio N hour = Jumlah pergerakan total pesawat di runway saat jam puncak N day = Jumlah pergerakan total pesawat di runway dalam 1 hari Untuk memperkirakan jumlah pergerakan pesawat tahun rencana untuk kondisi peak hour adalah dengan langsung mengalihkan R dengan peramalan jumlah pergerakan harian rata-rata pada bulan puncak tahun rencana. 2.4 Perumusan Matematis Kapasitas Jenuh (Ultimate Capcity) Tipe-tipe model ini menentukan jumlah operasi pesawat terbang maksimum yang dapat ditampung oleh suatu sistem runway dalam jangka waktu tertentu ketika terdapat permintaan pelayanan yang berkesinambungan. Dalam model-model tersebut, kapasitas adalah sama dengan kebalikan waktu pelayanan rata-rata terboboti dari seluruh pesawat terbang yang dilayani. 2.4.1 Pengembangan model untuk kedatangan (arrivals only) Kapasitas suatu runway yang hanya digunakan untuk melayani pesawat yang datang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut (Horonjeff & McKelvey, 1994): 1. Campuran pesawat terbang, yang bisaanya diberi karakter oleh penggolongan pesawat ke dalam beberapa kelas menurut kecepatan mendekati runway (approach speed). 2. Kecepatan mendekati runway dari berbagai kelas pesawat 3. Panjang jalur pendekatan umum ke landasan dari jalur masuk (entry) atau gerbang ILS ke ambang runway. 5

4. Aturan-aturan jarak pisah lalu lintas udara minimum atau jarak pisah yang diamati praktis apabila tidak ada peraturan. 5. Besarnya kesalahan dalam waktu kedatangan di gerbang dan kesalahan kecepatan pada jalur pendekatan umum ke runway. 6. Probabilitas tertentu dari pelanggaran terhadap jarak pisah lalu lintas udara minimum yang dapat diterima. 7. Waktu pemakaian runway rata-rata berbagai kelas pesawat dalam campuran dan besarnya pencaran (dispersion) dalam waktu rata-rata tersebut. 2.4.1.1 Keadaan bebas kesalahan (error-free case) Dalam keadaan ini pesawat bisa menajaga jarak minimum yang disyaratkan terhadap pesawat lain. Dengan ketepatan yang sedikit berkurang dan untuk membuat perhitungan menjadi lebih mudah, pesawat terbang dikelompokkan ke dalam beberapa kelas kecepatan yang berbeda V i, V j, dan seterusnya. Untuk mendapatkan waktu pelayanan terboboti (weighted service time) untuk kedatangan, perlu untuk merumuskan matriks selang waktu di antara kedatangan pesawat di ambang runway. Dengan memperoleh matriks ini dan prosentase berbagai kelas dalam campuran pesawat, waktu pelayanan terboboti dapat dihitung. Kebalikan waktu pelayanan terboboti adalah kapasitas runway. Misalkan matriks bebas kesalahan adalah [M ij ], selang waktu minimum di ambang runway untuk pesawat terbang dengan kelas kecepatan i yang diikuti pesawat kelas j, dan misalkan prosentase pesawat kelas i dalam campuran adalah pi, dan pesawat kelas j adalah p j, maka perhitungannya dapat dilihat pada Persamaan 2.12 s.d 2.14. T j - T i = [T ij ] = [M ij ] (2.12) (2.14) dimana: E[T ij ] = waktu pelayanan rata-rata (mean), atau waktu antarkedatangan di ambang runway untuk campuran pesawat p ij = probabilitas pesawat yang di depan i, akan diikuti oleh pesawat dibelakangnya j. C = kapasitas runway untuk mengolah campuran pesawat yang datang ini. 5. Untuk mendapatkan waktu antar kedatangan di ambang landasan pacu, perlu untuk mengetahui apakah kecepatan pesawat yang di depan (V i ), lebih besar atau lebih kecil dari kecepatan pesawat di belakangnya (V j ). Hal ini dapat diterangkan dengan menggambar diagram waktu-jarak yang menggambarkan kondisi tersebut, seperti terlihat pada Gambar 2.5 dan 2.6. 2.4.1.1.1 Keadaan merapat (V i V j ) Keadaan dimana kecepatan mendekati landasan dari pesawat di depan lebih kecil dari yang berada di belakangnya. Pemisahan waktu minimum di ambang runway dapat dinyatakan dalam jarak δ ij dan kecepatan dari pesawat yang ada di belakang, V j. Meskipun demikian, apabila waktu pemakaian runway dari kedatangan R i lebih besar dari pemisahan di udara, maka akan menjadi pemisahan minimum di ambang landasan. Persamaan untuk keadaan ini adalah T ij = T j T i = (2.15) γ = panjang jalur pendekatan umum ke runway δ ij = jarak pisah minimum yang diperbolehkan di antara dua pesawat yang datang, pesawat i di depan dan pesawat j di belakang, di sembarang tempat di sepanjang jalur pendekatan umum ini V i = kecepatan pada saat mendekati landasan dari pesawat di depan dari kelas i V j = kecepatan pada saat mendekati landasan dari pesawat di belakang dari kelas j R i = waktu pemakaian runway dari pesawat di depan kelas i. dimana: 2.4.1.1.2 Keadaan merenggang (V T i = waktu dimana pesawat i yang di depan i > V j ) melewati ambang runway Untuk keadaan dimana kecepatan saat T j = waktu dimana pesawat j yang di belakang mendekati landasan dari pesawat yang berada di melewati ambang runway. depan lebih besar daripada kecepatan pesawat di [T ij ] = matriks pemisahan waktu sebenarnya di belakangnya, pemisahan waktu minimum di ambang ambang runway untuk dua kedatangan yang landasan dapat dinyatakan dalam jarak δ ij, panjang berurutan, pesawat dengan kelas kecepatan i jalur pendekatan umum ke landasan γ, dan kecepatan diikuti oleh pesawat dengan kelas kecepatan saat mendekati landasan V i dan V j dari pesawat di j. depan dan di belakang. Hal ini bersesuaian dengan pemisahan jarak minimum δ ij di sepanjang jalur E[T ij ] = Σ p ij M ij = Σ p ij T ij pendekatan (2.13) umum ke landasan, yang sekarang terjadi di jalur masuk dan bukannya di ambang landasan. Persamaan untuk keadaan ini diperlihatkan pada Persamaan 2.16. Apabila pengendalian hanya dilakukan dari jalur masuk hingga ke ambang landasan, adalah, maka T ij = T j T i = + γ (2.16) 6

Apabila pengendalian dilakukan untuk mempertahankan pemisahan di antara kedua pesawat ketika pesawat yang berada di depan melewati jalur masuk, maka perhitungannya menjadi Persamaan 2.17. T ij = T j T i = + γ (2.17) γ = panjang jalur pendekatan umum ke runway δ ij = jarak pisah minimum yang diperbolehkan di antara dua pesawat yang datang, pesawat i di depan dan pesawat j di belakang, di sembarang tempat di sepanjang jalur pendekatan umum ini V i = kecepatan pada saat mendekati landasan dari pesawat di depan dari kelas i V j = kecepatan pada saat mendekati landasan dari pesawat di belakang dari kelas j R i = waktu pemakaian runway dari pesawat di depan kelas i. 2.4.1.2 Perhitungan mengenai kesalahan posisi Model di atas menggambarkan situasi suatu keadaan sempurna tanpa kesalahan. Untuk memperhitungkan kesalahan, ditambahkan waktu sangga terhadap waktu pisah minimum. Lamanya waktu sangga itu tergantung pada probabilitas penyimpangan yang dapat diterima. Gambar 2.8 memperlihatkan posisi pesawat yang berada di belakang ketika ia mendekati ambang runway. Pada bagian atas gambar itu, pesawat yang berada di belakang diatur urutannya sehingga posisi rata-ratanya ditentukan secara tepat oleh pemisahan minimum di antara pesawat yang berada di depan dan di belakang. Meskipun demikian, apabila posisi pesawat merupakan suatu peubah (variable) sembarang, terdapat probabilitas yang sama bahwa ia dapat lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal. Apabila pesawat itu lebih cepat dari jadwal, patokan pemisahan minimum akan dilanggar. Apabila kesalahan posisi itu didistribusikan secara normal, maka daerah kurva bentuk lonceng yang diarsir akan menyatakan probabilitas pelanggaran aturan pemisahan minimum sebesar 5 persen. Oleh karena itu, untuk memperkecil probabilitas pelanggaran ini, pesawat harus diatur untuk sampai di posisi ini dengan membuat waktu 7. atau sangga terhadap patokan pemisahan minimum. Dalam keadaan ini, hanya apabila pesawat jauh lebih cepat dari jadwal sehingga melewati daerah kurva yang lebih kecil, pelanggaran terhadap pemisahan akan terjadi. Tentu saja probabilitas terjadinya hal ini akan semakin kecil. Dalam kenyataannya, para pengendali lalu lintas udara menjadwal pesawat dengan memakai waktu sangga sehingga probabilitas pelanggaran terhadap aturan pemisahan minimum berada pada tingkat yang dapat diterima. 7 Seperti yang akan diperlihatkan dalam keadaan merapat, penyangga merupakan nilai yang tetap. Meskipun demikian, dalam keadaan merenggang, penyangga tidak harus merupakan nilai yang tetap dan pada umumnya lebih kecil dari penyangga pada keadaan merapat. Dengan mempunyai model-model untuk penyangga, dibuat matriks waktu sangga [B ij ] untuk pesawat dengan kecepatan i yang diikuti oleh pesawat dengan kelas kecepatan j. Matriks ini ditambahkan pada matriks bebas-kesalahan untuk menentukan matriks waktu antarkedatangan sebenarnya, yang dari matriks ini kapasitas dapat ditentukan. Hubungan ini diberikan oleh Persamaan 2.18. E[T ij ] = Σ p ij [M ij + B ij ] (2.18) 2.4.1.2.1 Keadaan merapat (V i V j ) Dalam hal ini, kecepatan mendekati landasan dari pesawat yang berada di depan lebih kecil daripada di belakang dan pemisahan. Misalkan [T ij ] merupakan selang waktu minimum sebenarnya di antara pesawat kelas i dan j dan dianggap bahwa pemakaian runway adalah lebih kecil dari [T ij ]. Nilai rata-rata [T ij ] sebagai E[T ij ] dan e sebagai suatu kesalahan random yang didistribusikan secara normal rata-rata nol dengan simpangan baku σ. Maka untuk setiap pasang kedatangan T ij = E[T ij ] + e 6. tetapi untuk tidak melanggar patokan aturan pemisahan minimum, nilai E[T ij ] harus ditambah dengan penyangga sebesar B ij. Oleh karena itu, didapat dan juga E[T ij ] = M ij + B ij T ij = M ij + B ij + e Untuk keadaan ini pemisahan minimum di ambang runway diberikan oleh Persamaan 2.19. Tujuannya adalah untuk mendapatkan probabilitas pelanggaran p v tertentu, yaitu besarnya penyangga yang dibutuhkan. yang disederhanakan menjadi p v = P(B ij < -e ) (2.19) dengan menganggap bahwa kesalahan itu didistribusikan secara normal dengan simpangan baku σ, nilai penyangga dapat dicari dari Persamaan 2.2. B ij = σ qv (2.2)

dimana: qv = nilai dimana distribusi normal standar kumulatif mempunyai nilai (1-p v ) Dengan kata lain, hal ini berarti besarnya simpangan baku dari rata-rata dalam suatu prosentase tertentu di bawah kurva normal akan didapat. Sebagai contoh, apabila p v =,5, maka q v adalah prosentase ke-95 dari distribusi dan besarnya = 1,65. Dalam keadaan merapat, waktu sangga adalah suatu konstanta yang bergantung pada besarnya pancaran kesalahan dan probabilitas pelanggaran p v yang dapat diterima. 2.4.1.2.2 Keadaan merenggang (V i > V j ) Berikutnya merupakan keadaan dimana kecepatan pada saat mendekati ambang landasan dari pesawat yang berada di depan lebih besar daripada yang dibelakangnya. Dalam hal ini pemisahan di antara pesawat bertambah dari jalur masuk. Model didasarkan pada anggapan bahwa pesawat yang berada di belakang harus dijadwalkan pada jarak yang tidak kurang dari δ ij mil di belakang pesawat yang berada di depan ketika yang terakhir ini berada pada jalur masuk, tetapi dianggap bahwa pemisahan yang ketat hanya dilakukan oleh pengendali lalu lintas udara ketika pesawat yang berada di belakang mencapai jalur masuk. Anggapan ini diperlihatkan pada Gambar 2.6. Untuk keadaan ini probabilitas pelanggaran hanyalah probabilitas bahwa pesawat yang berada di belakang mencapai pintu masuk. Anggapan ini juga diperlihatkan. untuk keadaan ini probabilitas pelanggaran hanyalah probabilitas bahwa pesawat yang berada di belakang akan sampai di jalur masuk sebelum pesawat yang di depan berada pada suatu jarak tertentu di sebelah dalam jalur masuk. Secara matematis hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut: atau dengan menggunakan Persamaan 2.16 dan 2.2 untuk menghitung jarak sebenarnya di ambang landasan dan disederhanakan menjadi (2.21) Oleh karena itu, untuk keadaan merenggang besarnya penyangga dikurangi dari yang dibutuhkan dalam keadaan merapat, seperti terlihat pada Persamaan 2.21. Nilai penyangga yang negatif tidak diperbolehkan dan oleh sebab itu, penyangga merupakan suatu nilai positif dengan minimum sama dengan nol. 2.4.2 Pengembangan model untuk keberangkatan (departures only) Ketika keberangkatan dinyatakan bebas untuk lepas landas berdasarkan interval waktu minimum, atau waktu antarkeberangkatan t d, kapasitas keberangkatan landasan pacu C d diberikan oleh Persamaan 2.14 dan 2.15. dan (2.22) (2.23) dimana: E(t d ) = waktu pelayanan rata-rata (mean), atau waktu antarkeberangkatan di ambang runway untuk campuran pesawat. [p ij ] = probabilitas pesawat yang di depan i, akan diikuti oleh pesawat dibelakangnya j. [t d ] = matriks waktu antarkeberangkatan. 2.4.3 Pengembangan model-model untuk operasi campuran Model ini didasarkan pada empat aturan pengoperasian yang sama seperti halnya model-model yang dikembangkan oleh AIL (Airborne Instruments Laboratory). Aturan-aturan itu adalah sebagai berikut: 1. Kedatangan mempunyai prioritas daripada keberangkatan. 2. Hanya satu pesawat dapat berada di runway pada sembarang waktu. 3. Keberangkatan tidak dapat dilaksanakan apabila pesawat yang datang berikutnya berada pada jarak yang kurang dari suatu jarak tertentu dari ambang runway, biasanya 2 nmi dalam kondisi IFR. 4. Keberangkatan yang berurutan diatur sehingga pemisahan waktu minimumnya sama dengan waktu pelayanan keberangkatan. Diagram waktu-jarak dapat digambar untuk memperlihatkan pengurutan operasi campuran menurut aturan-aturan yang disebutkan di atas. Pada gambar ini T i dan T j merupakan waktu dimana pesawat yang ada di depan (i) dan yang ada di belakang (j), melewati ambang kedatangan, δ ij adalah pemisahan minimum di antara kedatangan, T 1 adalah waktu dimana pesawat yang datang meninggalkan runway, T d adalah waktu dimana pesawat yang berangkat mulai lepas landas, δ d adalah jarak minimum pada jarak mana pesawat yang datang harus berada (dari ambang landasan) supaya keberangkatan dapat dilakukan, T 2 adalah waktu yang menyatakan saat terakhir dimana keberangkatan dapat dilakukan, R i adalah waktu pemakaian runway untuk suatu kedatangan, G adalah perbedaan waktu dimana 8

keberangkatan dapat dilakukan, dan t d adalah waktu pelayanan yang dibutuhkan untuk keberangkatan. Karena kedatangan diberikan prioritas, pesawat yang datang diurutkan dengan pemisahan minimum dan keberangkatan tidak dapat dilakukan kecuali terdapat perbedaan waktu G di antara kedatangan yang berurutan. Oleh karena itu dapat ditulis Tetapi kita tahu bahwa dan maka dapat ditulis: G = T 2 T 1 > T 1 = T i + R i T 2 = T j - Atau untuk melakukan satu keberangkatan di antara dua kedatangan yang berurutan, didapat Dengan pengembangan sederhana persamaan ini, jelas bahwa waktu antarkedatangan rata-rata yang dibutuhkan E[T ij ] untuk melakukan n keberangkatan di antara dua kedatangan diberikan oleh Persamaan 2.24. dimana : E[T ij ] = E[R i ] = (2.24) waktu dimana pesawat yang ada di depan (i) dan yang ada di belakang (j), melewati ambang kedatangan waktu pemakaian runway untuk suatu kedatangan δ d = pemisahan minimum di antara kedatangan V j = kecepatan pada saat mendekati landasan dari pesawat di belakang dari kelas j E[t d ] = waktu pelayanan yang dibutuhkan untuk keberangkatan Harus diingat bahwa suku terakhir dalam Persamaan 2.24 adalah nol apabila hanya satu keberangkatan yang akan disisipkan di antara dua kedatangan. Suatu faktor kesalahan σ G q v dapat ditambahkan pada persamaan di atas untuk memperhitungkan pelanggaran terhadap perbedaan jarak. Kapasitas runway pada operasi campuran diberikan pada Persamaan 2.25 berikut: (2.25) dimana: C m = Kapasitas runway untuk operasi campuran E(ΔT ij ) = Nilai waktu antarkedatangan n d = Jumlah keberangkatan yang dapat dilakukan di antara dua Kedatangan p nd = Probabilitas jumlah keberangkatan nd dapat dilakukan BAB III METODOLOGI 3.1 Studi Literatur Studi Literatur dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan studi, lalu diambil inti yang diperlukan dari buku-buku tersebut. 3.2 Pengumpulan Data Dalam studi ini diperlukan data-data untuk mendukung keakuratan dari hasil penelitian, diantaranya adalah: 3.3 Peramalan Pertumbuhan Lalu Lintas Udara Setelah dilakukan pencarian data untuk kondisi eksisting maka dilanjutkan ke perhitungan peramalan pertumbuhan lalu-lintas udara 5 tahun yang akan datang. Peramalan pertumbuhan lalu lintas udara untuk 5 tahun yang akan datang perlu dilakukan untuk mengevaluasi kinerja runway akibat peramalan penambahan jumlah pergerakan pesawat total di runway di masa yang akan datang. 3.4 Evaluas Kinerja Runway Langkah awal evaluasi kinerja runway adalah dengan menghitung waktu pelayanan rata-rata pesawat berdasarkan kecepatan mendarat pesawat (approach speed) dan jarak pemisahan minimum. Perhitungan kapasitas runway meliputi konfigurasi campuran pesawat dalam suatu jam puncak. Analisa menggunakan data real dari pesawat yang beropeasi (teoritis) dan akan dibandingkan dengan hasil data pada saat peak. Jika pada hasil dari evaluasi kinerja Runway ini sudah memenuhi syarat, maka tidak perlu ada penambahan runway. Tetapi jika kinerja runway tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap perencanaan runway, exit Taxiway, dan taxiway. 3.5 Perencanaan Runway, Exit Taxiway dan Taxiway Perencanaan runway menentukan dimensi melalui peraturan-peraturan yang ada. Dan untuk arah runway berdasarkan arah angin dominan yang didapat dari Badan Meteorologi dan Klimatologi Geofisika (BMKG). Perencanaan exit taxiway berdasarkan pada kemampuan pesawat untuk keluar dari runway secepat mungkin dan untuk taxiway harus ditentukan jalur terpendek dari runway ke apron. 3.6 Evaluasi Kinerja Runway Eksisting dan Runway Rencana 9

Setelah direncanakan penambahan runway, maka pergerkana pesawat yang selama ini terpusat pada runway eksisting saja dapat dipecah. Perhitungannya sama dengan evaluasi kinerja runway sebelumnya. 3.7 Kesimpulan dan Saran Dari tahapan-tahapan yang telah dilakukan sebelumnya dapat dilakukan penarikan kesimpulan atas kondisi runway sekarang dan yang akan datang dan juga perencanaannya. Demikian juga dapat disusun saran dan masukan untuk pengembangan di masa mendatang. 3.8 Diagram Alir Metode Penelitian Tahap-tahap pengerjaan tersebut digambarkan dalam diagram alir seperti pada gambar 3.1. belum ada data tersebut, maka diperlukan peramalan pergerakan pesawat. 4.1 Peramalan Pertumbuhan Pergerakan Pesawat Dalam Tugas Akhir ini peramalan pertumbuhan lalu lintas udara menggunakan analisa regresi yang didasarkan pada jumlah pergerakan pesawat mulai Tahun 26 sampai Tahun 21. Melalui analisa tersebut didapatkan jumlah pergerakan pesawat sampai 5 tahun kedepan atau sampai Tahun 215. Hasil dari peramalan lalu lintas udara ini digunakan untuk menghitung kapasitas runway pada sub bab 4.2. Data historis pergerakan pesawat yang digunakan mulai tahun 26 sampai tahun 21. Data historis tersebut terdiri dari jumlah kedatangan dan keberangkatan baik domestik maupun internasional. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Total Pergerakan Pesawat Tahun 26 21 Tahun Domestik Tahun ke- Arr Dep Total 1 26 39899 39845 79744 2 27 38476 38432 7698 3 28 38168 3822 76388 4 29 4757 4839 81596 5 21 4493 44146 88239 Internasional Arr Dep Total Total 4257 429 8547 88291 489 495 8184 8592 4618 4644 9262 8565 4923 4941 9864 9146 538 5337 1645 98884 (Sumber: PT Angkasa Pura I) Dari Grafik 4.1 memperlihatkan bahwa pada Tahun 27 total pergerakan pesawat penumpang mengalami penurunan dari Tahun sebelumnya tetapi menaik sampai Tahun 21 yakni sebanyak 98.884 pergerakan. Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi BAB IV EVALUASI KINERJA RUNWAY Evaluasi kinerja runway dilakukan pada saat kondisi eksisiting dan 5 tahun mendatang atau Tahun 215. Dalam perhitungan kinerja runway, yang dibutuhkan salah satunya adalah jumlah pergerakan pesawat pada saat jam puncak. Untuk kondisi eksisiting, pergerakan pesawat pada jam puncak didapat dari data jadwal penerbangan yang ada. Sedangkan pergerakan pesawat pada jam puncak untuk Tahun 215 karena Gambar 4.1 Grafik pergerakan total pesawat Tahun 26-21 Peramalan lalu lintas ini menggunakan analisa regresi dengan menggunakan program bantu Microsoft Excel. Ada beberapa tipe analisa regresi yang dapat diapakai diantaranya adalah Analisa Regresi tipe Exponential, Linear, Logarithmic, dan Polynomial. 1

Keempat tipe tersebut dicoba untuk meramalkan total pergerakan pesawat dan dari hasil analisa regresi masing-masing tipe dibandingkan dengan data historis, lalu dipilih yang paling sesuai. Persamaan regresi dari tiap tipe analisa regresi yang sudah didapat, lalu dimasukkan angka 5 pada X yang artinya tahun ke-5 atau tahun 21. Lalu dibandingkan dengan data historis total pergerakan pada tahun 21 sebesar 98.884. Tabel 4.2 Persamaan Regresi dan Koefisien Determinasi dari 4 Tipe Analisa Regresi Tipe Persamaan Regresi R 2 Tahun ke-5 Exponential y = 8244e.29x.593 114564 Linear y = 2755x + 8169.598 95384 Logaritmhic y = 548.ln(x) + 84697.372 9341 Polynomial y = 1892.x 2-86x + 94858.993 99158 Hasil perhitungan untuk tahun 21 diketahui angka yang paling mendekati data historis adalah angka dari hasil persamaan regresi tipe polynomial. Maka Analisa Regresi Tipe Polynomial dianggap sesuai untuk meramalkan pergerakan pesawat 5 tahun mendatang. Dan memang tipe polynomial dipilih karena pola pergerakan pesawat ada hubungan dengan peubah waktu. 4.1.1. Penentuan Pergerakan Total Pesawat di Runway Berdasarkan data jumlah total pergerakan pesawat di runway Tahun 26-21 untuk masingmasing jumlah kedatangan dan keberangkatan baik domestik maupun internasional dilakukan peramalan Tabel 4.3 Persamaan Regresi Peramalan Jumlah Pergerakan Total Pesawat Jenis Pergerakan Persamaan Regresi R 2 Kedatangan domestik y = 886.7x 2-4253x + 43285.989 Keberangkatan domestik y = 876.5x 2-4158x + 43129.99 Kedatangan internasional y = 63x 2-84.4x + 4199.939 Keberangkatan internasional y = 66.42x 2-14.5x + 4244.932 Setelah didapatkan persamaan regresi dapat diramalkan pertumbuhan jumlah pesawat pada tahun rencana. Dari persamaan regresi pada Tabel 4.3 dimasukkan urutan tahun kedalam X. Tahun 211 menjadi tahun ke-6 dan seterusnya. Untuk total domestik, total internasional, tidak perlu analisa regresi. Jumlah tersebut didapat dari penjumlahan manual dari kedatangan dan keberangkatan yang didapat dari perhitungan analisa regresi. Sedangkan total keseluruhan juga melalui penjumlahan manual dari total domestik dan total internasional. Hasil perhitungan untuk masing-masing tahun dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Hasil Peramalan Jumlah Pergerakan Total Pesawat di Runway Tahun 211-215 Tahun Tahun ke- Domestik Internasional Arr Dep Total Arr Dep Total Total 6 211 49688 49735 99423 5961 68 11969 111392 7 212 56962 56972 113934 6695 6767 13462 127396 8 213 661 65961 131971 7556 7659 15215 147185 9 214 76831 7674 153534 8542 8684 17226 1776 1 215 89425 89199 178624 9655 9841 19496 19812 Dari Tabel 4.4 didapatkan jumlah total pergerakan pesawat untuk tahun rencana 215 adalah 198.12 pergerakan. 4.1.2. Penentuan Peak Month, Peak Day, dan Peak Hour Setelah didapatkan jumlah pergerakan total pesawat di runway pada tahun rencana, dilakukan perhitungan volume jam puncak yaitu jumlah pergerakan pesawat pada kondisi peak hour. Cara perhitungan metode perhitungan jam puncak sudah dijelaskan pada Bab II Tinjauan Pustaka, Sub Bab 2.5. Berdasarkan data eksisting jumlah rata-rata pergerakan harian pesawat di runway dalam 1 tahun dan jumlah pergerakan pesawat di runway pada bulan puncak dalam 1 tahun, dapat diketahui peak month ratio. Peak month ratio ini diperlukan untuk mendapatkan nilai jumlah pergerakan pesawat pada bulan puncak dalam tahun yang dikehendaki. Sehingga pola puncak jumlah pergerakan pesawat adalah sama dengan pada tahun eksisting. Perhitungan ini membutuhkan data historis pergerakan pesawat tiap bulan pada Tahun 26 sampai Tahun 21. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Pergerakan Pesawat Tiap Bulan Pada Tahun 26-21 Total Pergerakan No Bulan 26 27 28 29 21 1 Januari 7254 7264 7646 74 7853 2 Februari 6363 622 6942 6491 7423 3 Maret 6834 6925 722 7264 747 4 April 6658 6738 6895 781 8251 5 Mei 695 6649 714 7912 8711 6 Juni 746 686 7384 7762 85 7 Juli 8119 7414 765 791 8311 8 Agustus 8122 7519 6649 7528 774 9 September 737 6762 6762 758 8276 1 Oktober 7266 76 7381 8117 8548 11 Novenber 7832 7418 7154 7761 8544 12 Desember 8171 7921 7556 86 9257 Total 88291 8592 8565 9146 98884 (Sumber: PT Angkasa Pura I) Contoh perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan peak month ratio adalah sebagai berikut: 11

Pada Tahun 26 jumlah pergerakan Bulan Januari adalah 7.254 dengan total pergerakan sebesar 88.291. Ratio Bulan Januari 26 adalah jumlah total pergerakan pesawat Bulan Januari dibagi dengan jumlah total pergerakan pesawat Tahun 26. R month = N month / N year = 7254 / 88291 =,82 Dengan langkah yang sama dilakukan perhitungan untuk mencari ratio bulan lain hingga Tahun 21. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Ratio Pergerakan Bulanan Pesawat Terhadap Total satu Tahun Ratio No Bulan 26 27 28 29 21 1 Januari.82.85.89.81.79 2 Februari.72.71.81.71.75 3 Maret.77.81.84.79.76 4 April.75.79.81.85.83 5 Mei.78.78.82.87.88 6 Juni.84.81.86.85.86 7 Juli.92.87.82.86.84 8 Agustus.92.88.78.82.78 9 September.83.79.79.82.84 1 Oktober.82.89.86.89.86 11 Novenber.89.87.84.85.86 12 Desember.93.93.88.88.94 Total 1. 1. 1. 1. 1. Rasio tertinggi yaitu bulan Desember tahun 21 sebesar.94. Rasio maksimum dari hasil perhitungan merupakan peak month ratio. Maka untuk mendapatkan peramalan pergerakan maksimum pesawat pada bulan puncak tahun rencana, dipakai peak month ratio terbesar yaitu,94. Berdasarkan jadwal penerbangan Bulan Desember 21 dapat diketahui pergerakan pesawat setiap hari selama 1 bulan. Dari data tersebut dapat dihitung peak day ratio. Peak day ratio ini diperlukan untuk mendapatkan nilai jumlah pergerakan pesawat pada hari tersibuk bulan puncak tahun yang dikehendaki. Sehingga pola puncak jumlah pergerakan pesawat adalah sama dengan pada tahun eksisting. Pada perhitungan ini dibutuhkan data jumlah pergerakan pesawat tiap hari. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Jumlah Pergerakan Tiap Hari Pada Bulan Desember 21 Jumlah Hari Tanggal Total Pergerakan Senin 6,13,2,27 264 156 Selasa 7,14,21,28 275 11 Rabu 1,8,15,22,29 272 136 Kamis 2,9,16,23,3 269 1345 Jumat 3,1,17,24,31 282 141 Sabtu 4,11,18,25 273 192 Minggu 5,12,19,26 269 176 Total 8439 (Sumber: PT Angkasa Pura I) Contoh perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan peak day ratio adalah sebagai berikut: - Pada Bulan Desember 21 jumlah pergerakan pesawat adalah 8.439 dengan pergerakan pesawat pada Hari Senin adalah 264 pergerakan pesawat. - Rasio Hari Senin adalah jumlah pergerakan pesawat hari Senin dibagi dengan jumlah pergerakan pesawat Bulan Desember. R day = N day / N month = 264 / 8439 =,313 Dengan langkah yang sama dilakukan perhitungan untuk mencari ratio hari lain. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Ratio Pergerakan Harian Pesawat Terhadap Pergerakan Bulanan Hari Tanggal Jumlah Pergerakan Ratio Senin 6,13,2,27 264.313 Selasa 7,14,21,28 275.325 Rabu 1,8,15,22,29 272.322 Kamis 2,9,16,23,3 269.319 Jumat 3,1,17,24,31 282.334 Sabtu 4,11,18,25 273.323 Minggu 5,12,19,26 269.319 Hari Jumat merupakan hari tersibuk dalam 1 minggu. Sehingga ratio pergerakan pada Hari Jumat yaitu,334 merupakan peak day ratio. Dari data eksisting jumlah pergerakan pesawat per jam di runway dan jumlah pergerakan harian pesawat di runway pada hari tersibuk, dapat diketahui peak hour ratio. Peak hour ratio ini diperlukan untuk mendapatkan nilai jumlah pergerakan pesawat pada jam puncak tahun yang dikehendaki. Sehingga pola puncak jumlah pergerakan pesawat adalah sama dengan pada tahun eksisting. Perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan peak hour ratio adalah sebagai berikut: - Pada Hari Jumat 3 Desember 21 jumlah pergerakan total 282 - Jam tersibuk adalah pukul 7:-7:59 dengan 25 pergerakan pesawat 12

- Ratio hour adalah jumlah total pergerakan pada peak hour atau pukul 7:-7:59 dibagi dengan jumlah total pergerakan 1 hari R hour = N hour / N day = 25 / 282 =,886 Dengan mengetahui peak month ratio, peak day ratio, dan peak hour ratio kondisi eksisting, maka jumlah pergerakan pesawat pada kondisi peak hour tahun rencana ke-1 atau Tahun 215 dapat dihitung. Pada Tabel 4.9 adalah ratio yang sudah didapat dari perhitungan sebelumnya. Tabel 4.9 Peak Month Ration, Peak Day Ratio, Peak Hour Ratio No Jenis Ratio Ratio 1 Peak Month Ratio.94 2 Peak Day Ratio.334 3 Peak Hour Ratio.887 Untuk mengetahui jumlah pergerakan pesawat pada bulan puncak Tahun 215, didapat dengan cara jumlah pesawat dalam setahun dikali dengan peak month ratio. Contoh perhitungan dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut : N month = N year R month = 19812,94 = 18547 pesawat Tabel 4.1 menyajikan jumlah pergerakan pesawat bulan puncak yang semuanya telah dihitung. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa total pergerakan pesawat pada bulan puncak untuk Tahun 215 adalah 18547 pergerakan pesawat. Tabel 4.1 Peramalan Jumlah Pergerakan Pesawat di Runway pada Bulan Puncak Tahun ke- Tahun Domestik Internasional Arr Dep Total Arr Dep Total Total 6 211 4652 4656 937 558 562 112 1428 7 212 5333 5333 1666 627 633 126 11926 8 213 6179 6175 12354 77 717 1424 13779 9 214 7192 7181 14373 8 813 1613 15986 1 215 8371 835 16722 94 921 1825 18547 Untuk mengetahui jumlah pergerakan harian pesawat pada bulan puncak Tahun 215, didapat dengan cara jumlah pergerakan pesawat pada bulan puncak dikali dengan peak day ratio. Contoh perhitungan dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut : N day = N month R day = 18547,334 = 62 pesawat Tabel 4.11 menyajikan jumlah pergerakan pesawat harian pada bulan puncak yang semuanya telah dihitung. Pada Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa total pergerakan harian pesawat pada bulan puncak untuk Tahun 215 adalah 62 pergerakan pesawat. Tabel 4.11 Peramalan Jumlah Pergerakan Pesawat di Runway pada Hari Tersibuk Tahun ke- Tahun Domestik Internasional Arr Dep Total Arr Dep Total Total 6 211 155 156 311 19 19 37 348 7 212 178 178 356 21 21 42 399 8 213 26 26 413 24 24 48 46 9 214 24 24 48 27 27 54 534 1 215 28 279 559 3 31 61 62 Untuk mengetahui jumlah pergerakan pesawat kondisi peak hour pada hari tersibuk bulan puncak Tahun 215, didapat dengan cara jumlah pergerakan pesawat harian pada bulan puncak dikali dengan peak hour ratio. Contoh perhitungan dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut : N hour = N day R hour = 62.887 = 55 pesawat Tabel 4.12 menyajikan jumlah pergerakan pesawat kondisi peak hour pada hari tersibuk yang semuanya telah dihitung. Pada Tabel 4.12 dapat dilihat bahwa total pergerakan pesawat kondisi peak hour pada hari tersibuk untuk Tahun 215 adalah 55 pergerakan pesawat. Tabel 4.12 Peramalan Jumlah Pergerakan Pesawat di Runway pada Jam Puncak Tahun ke- Tahun Domestik Internasional Arr Dep Total Arr Dep Total Total 6 211 14 14 28 2 2 3 31 7 212 16 16 32 2 2 4 35 8 213 18 18 37 2 2 4 41 9 214 21 21 43 2 2 5 47 1 215 25 25 5 2 3 5 55 4.2 Perhitungan Kapasitas Runway 4.2.1 Kapasitas Runway Kondisi Eksisting Perhitungan kapasitas runway kondisi eksisting dilakukan pada bulan Desember 21. Hari tersibuk pada kondisi normal terjadi pada Hari Jumat, 3 Desember 21 seperti terlihat pada Tabel 4.13. Tabel 4.13 Pergerakan Pesawat di Runway pada 3 Desember 21 PUKUL 3 DESEMBER 211 ARR DEP TOT : - :59 1 1 1: - 1:59 2: - 2:59 3: - 3:59 4: - 4:59 5: - 5:59 6: - 6:59 4 15 19 13

7: - 7:59 12 13 25 8: - 8:59 7 11 18 9: - 9:59 1 1 2 1: - 1:59 9 8 17 11: - 11:59 6 9 15 12: - 12:59 5 5 1 13: - 13:59 13 6 19 14: - 14:59 9 12 21 15: - 15:59 8 9 17 16: - 16:59 12 7 19 17: - 17:59 11 8 19 18: - 18:59 9 9 18 19: - 19:59 1 13 23 2: - 2:59 5 2 7 21: - 21:59 4 1 5 22: - 22:59 3 1 4 23: - 23:59 3 2 5 TOTAL 141 141 282 Dari tabel 4.17 di atas akan didapatkan jam puncak (peak hour) terjadi pada Pukul 7:-7:59 dengan 25 pergerakan. Kategori pesawat digolongkan berdasarkan kecepatan pendaratan. Untuk lebih jelasnya penggolongan pesawat berdasarkan peraturan Federal Aviation Administration (FAA) dapat dilihat pada Tabel 4.14. Tabel 4.14 Kategori Pesawat Berdasarkan Kecepatan Menurut FAA Kategori Kecepatan Mendarat A B C D (Sumber: FAA) < 9 knots 91 knots - 12 knots 121 knots - 14 knots 141 knots - 165 knots Jadwal penerbangan Tanggal 3 Desember 21 Pukul 7:-7:59 dapat dilihat pada Tabel 4.16 dan 4.17 serta campuran pesawat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 4.18. Tabel 4.15 Campuran Pesawat dan Karakteristiknya pada Penerbangan Pukul 7:-7:59 Prosentase TIPE PESAWAT A APPROAC H SPEED (knot) WAKTU PEMAKAIAN RUNWAY (detik) ARR DEP B 97 62 8 8 C 12 67.4 42 69 D 14 64.5 5 23 Waktu pemakaian runway (R i ) dan kecepatan pendekatan (approach speed) merupakan nilai ratarata tiap kategori pesawat. Sementara prosentase campuran kedatangan dan keberangkatan ditentukan dari jadwal penerbangan pada jam puncak Tanggal 3 Desember 21. Tabel 4.16 Jadwal Penerbangan Kedatangan Pesawat Tanggal 3 Desember 21 Pukul 7:-7:59 No TYPE PESAWAT LANDING SPEED KEDATANGAN / ARRIVALS KATEGORI PESAWAT NOMOR PENERBANGAN DARI JAM 1 B - 734 137 C Y6-346 AMI 7: 2 B - 732 15 D MZ - 831 KUL 7: 3 B - 739 145 D JT - 311 BDJ 7:5 4 B - 733 13 C MZ - 616 BDO 7:1 5 B - 732 15 D SJ - 268 JKT 7:1 6 B - 734 137 C SJ - 17 BDJ 7:15 7 B - 733 13 C Y6-343 JKT 7:2 8 B - 738 14 C GA - 32 JKT 7:2 9 B - 739 145 D JT - 748 JKT 7:2 1 B - 739 145 D JT - 367 BPN 7:25 11 ATR - 72 12 B IW - 18 SRG 7:25 12 B - 739 145 D JT - 691 KOE 7:3 Tabel 4.17 Jadwal Penerbangan Keberangkatan Pesawat Tanggal 3 Desember 21 Pukul 7:-7:59 No TYPE PESAWAT KEBERANGKATAN / DEPARTURES LANDING SPEED KATEGORI PESAWAT NOMOR PENERBANGAN KE JAM 1 B - 733 13 C Y6-536 BTH 7: 2 B - 738 14 C GA - 35 JKT 7: 3 B - 733 13 C MZ - 762 UPG 7: 4 B - 739 145 D JT - 571 JKT 7:5 5 B - 733 13 C GA - 5 BDJ 7:1 6 B - 733 13 C Y6-232 JOG 7:35 7 B - 734 137 C JT - 31 BDJ 7:4 8 B - 732 15 D MZ - 831 AMI 7:4 9 B - 734 137 C Y6-346 JKT 7:45 1 B - 733 13 C MZ - 616 DPS 7:5 11 B - 732 15 D SJ - 268 MDC 7:5 12 B - 734 137 C BI - 796 BWN 7:55 13 ATR - 72 12 B IW - 18 DPS 7:55 4.2.1.1 Kedatangan saja Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu menghitung kapasitas runway dengan menganggap bahwa runway akan melayani pesawat yang datang saja (arrivals only) dengan cara-cara yang telah dijelaskan pada Bab II Tinjauan Pustaka. Keadaan Bebas Kesalahan [M ij ]. Dari pengamatan pada survey data primer, diketahui rata-rata pemisahan minimum di antara pesawat yang dibutuhkan di ruang angkasa di dekat landasan (δ ij ) adalah 3 nmi dan jalur pintu masuk ke landasan rata-rata sebesar 6 nmi. - Keadaan merapat, dimana kecepatan pesawat di depan (leading, V i ) lebih lambat daripada pesawat yang di belakang (trailing, V j ). Perhitungan untuk keadaan merapat menggunakan Persamaan 2.15. 14

didapat didapat didapat Rumus : T ij = T j T i = Untuk V C = 12 knot dan V D = 14 knot, T CD = (36) = 77,143 detik Untuk V B = 97 knot dan V C = 12 knot, T BC = (36) = 9 detik Untuk V B = 97 knot dan V D = 14 knot, T BD = (36) = 77,143 detik - Keadaan merenggang, dimana kecepatan pesawat di depan (leading, Vi) lebih cepat daripada kecepatan pesawat yang ada di belakang (trailing, Vj). Perhitungan untuk keadaan merenggang menggunakan Persamaan 2.16. Rumus : T ij = T j T i = Untuk V D = 14 knot dan V C = 12 knot, didapat: T DC = T C T D = T DC = (36) T DC = 115,714 detik Untuk V D = 14 knot dan V B = 97 knot, didapat: T DB = T B T D = T DB = (36) T DB = 179,735 detik Untuk V C = 12 knot dan V B = 97 knot, didapat: T CB = T B T C = T CB = (36) T CB = 154,21 detik - Keadaan sama besar, dimana kecepatan pesawat di depan i dan di belakang j sama besar. Perhitungan untuk keadaan ini menggunakan salah satu dari Persamaan 2.13 atau Persamaan 2.16. Dipilih rumus : T ij = T j T i = Untuk V i = V j = 97 knot, didapat T BB = = 111,34 detik Untuk V i = V j = 12 knot, didapat T CC = = 9 detik Untuk V i = V j = 14 knot, didapat T DD = 77,143 detik. Karena waktu pemakaian runway, R i (lihat Tabel 4.18) rata-rata lebih kecil dari waktu pemisahan di udara, maka yang akan digunakan dalam perhitungan kapasitas yaitu waktu pemisahan di udara (T ij ). Apabila hasil-hasilnya ditabulasi dalam sebuah matriks bebas kesalahan [M ij ], maka akan dihasilkan pemisahan waktu minimum di ambang runway untuk semua keadaan sebagai berikut: trailing leading 14 12 97 14 77.143 77.143 77.143 12 115.714 9 9 97 179.735 154.21 111.34 Sementara prosentase kombinasi [P ij ] yang terjadi dalam campuran dapat dilihat pada matriks prosentase di bawah. Besarnya prosentase campuran tersebut diperoleh dari jadwal kedatangan pada Tabel 4.19. trailing E[T ij ] = Σ p ij M ij = Σ p ij T ij E[T ij ] = 95.82 detik leading 14 12 97 14 18.2 27.3 9.1 12 18.2 18.2. 97 9.1.. Dengan demikian kapasitas sistem runway untuk melayani kedatangan saja yang didapat dari Persamaan 2.14 akan menghasilkan: C = C = = 38 operasi/jam Keadaan Kesalahan Posisi Dengan menganggap bahwa terdapat kesalahan posisi (σ ) pada jadwal penerbangan sebesar 2 detik yang didistribusikan secara normal, dan probabilitas pelanggaran aturan pisah minimum untuk jarak kedatangan yang diperbolehkan adalah 1 persen, maka kapasitas runway untuk keadaan tersebut dapat dihitung. Dengan probabilitas pelanggaran 15

sebesar 1 persen, nilai q v dapat dicari dari tabel-tabel statistik yaitu sebesar 1,28. - Keadaan merapat, besarnya penyangga tidak tergantung pada kecepatan. Perhitungan untuk keadaan merapat ini menggunakan Persamaan 2.2. B ij = σ q v B ij = 2 (1,28) = 25,6 detik. - Keadaan merenggang, dimana pesawat yang ada di depan (leading, V i ) lebih cepat dari yang dibelakangnya (trailing, V j ), Perhitungan untuk keadaan merenggang menggunakan Persamaan 2.21. Rumus: B ij = σ q v δ ij Untuk V D = 14 knot dan V C = 12 knot, didapat: B DC = σ q v δ DC B DC =2 (1.28) 3 B DC = 12,743 detik Untuk VD = 14 knot dan VB = 97 knot, didapat: B DB = σ q v δ DB B DB = 2 (1.28) 3 ) B DB = -8,9873 detik Untuk V C = 12 knot dan V B = 97 knot, didapat: B CB = σ q v δ CB B CB = 2 (1.28) 3 ) B CB = 4,25979 detik - Keadaan sama besar, dimana kecepatan pesawat di depan i dan di belakang j sama besar, maka perhitungan untuk keadaan ini menggunakan salah satu dari Persamaan 2.2 atau Persamaan 2.21 dan akan didapatkan hasil yang sama yaitu 25,6 detik. Nilai-nilai sanggah tersebut kemudian diringkaskan ke dalam sebuah matriks nilai sanggah [B ij ] seperti berikut. trailing leading 14 12 97 14 25.6 25.6 25.6 12 12.74 25.6 25.6 97-8.6 4.26 25.6 Dengan menggabungkan matriks bebas kesalahan [M ij ] dan matriks nilai sanggah [B ij ], dihasilkan jarak waktu antar kedatangan sebenarnya di ambang runway: trailing leading 14 12 97 14 12.74 12.74 12.74 12 128.46 115.6 115.6 97 171.14 158.28 136.94 Apabila ini digabungkan dengan prosentase campuran pesawat [P ij ], waktu antar kedatangan ratarata adalah E[T ij ] = Σ p ij M ij = Σ p ij T ij E[T ij ] = 118.9 detik Dengan demikian akan didapatkan kapasitas sistem runway untuk melayani kedatangan apabila terdapat kesalahan posisi menjadi: C = C = = 31 operasi/jam 4.2.1.2 Keberangkatan saja Langkah berikutnya yaitu dengan menganggap bahwa runway akan melayani pesawat yang berangkat saja (departures only) dengan caracara yang telah dijelaskan pada Bab II Tinjauan Pustaka Jarak pisah minimum antarkeberangkatan didapatkan sebesar 12 detik (Menara ATC Bandara Internasional Juanda Surabaya). Matriks prosentase kombinasi [Pij] yang terjadi dalam campuran dapat dilihat pada matriks prosentase di bawah. Besarnya prosentase campuran tersebut diperoleh dari jadwal keberangkatan pada Tabel 4.2. trailing leading 14 12 97 14..25. 12.25.42. 97..8. Berdasarkan Persamaan 2.23 pada Bab II Tinjauan Pustaka, dapat dihitung besar waktu pelayanan antarkeberangkatan di ambang runway E(t d ) adalah sebagai berikut: E(t d ) = Σ (p ij )(M ij ) E(t d ) = 12 detik Jadi, kapasitas runway yang hanya melayani keberangkatan saja diperoleh dari rumus pada Persamaan 2.22 yaitu: 16