opini hari Rabu, tanggal 3 Februari 2010, halaman 6, menyatakan : Bagi Indonesia, pendekatan realistis lebih baik ditempuh daripada mencegah atau menghindari persaingan dengan produk China. Indonesia punya kekuatan dalam sumber daya (SDA) dan produk-produk berbasis SDA. Bahkan produk-produk yang bersaing langsung dengan China, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, tak semua jenis kalah dalam persaingan. Produkproduk tertentu tetap dapat bersaing, apalagi jika produk tersebut mempunyai keunikan Indonesia. Jadi negara Indonesia harus sudah melangkahkedepan agar tidak kalah bersaing di era perdagangan bebas atau pasar bebas. Sebagai contoh perdagangan di Pasar Tanah Abang, produkproduk tekstil China sudah dapat memasuki Pasar Tanah Abang bersaing dengan produk-produk tekstil buatan dalam negeri. Demikian juga untuk produk-produk mainan seperti yang djual di Pasar Gembrong, Prumpung, Jakarta Timur dan ditempat penjualan lainnya di Indonesia terlihat produk-produk mainan asal China sudah diterima oleh masayarakat Indonesia, yang kemungkinan karena harganya lebih murah dibandingkan dengan produk-produk sejenis yang serupa. Untuk itu, guna melindungi kepentingan dalam negeri Indonesia di era perdagangan atau pasar bebas, negara Indonesia dapat saja mengambil inisiatif atau ikut berperan (seperti melalui pembuatan regulasi/peraturan perundang-undangan atau fasilitas). Hal seperti itu pernah dilakukan seperti melalui kebijakan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 lewat peningkatan akses pembiayaan dan pembinaan manajemen Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM). Terkait dengan peran negara maka berikut ini penulis kutip tulisan Dodi Mantra didalam koran Kompas berjudul Jurus Tendang Tangga China terbitan hari Kamis, 4 Februari 2010, halaman 6, yang berbunyi sebagai berikut : Realitas pasar pada kenyataannya tidaklah bebas seperti yang digambarkan oleh teori-teori neoliberal. Sebagaimana kritik Polanyi, terciptanya kebebasan pasar bukanlah merupakan proses alamiah. Akan tetapi tidak dapat dilepaskan dari adanya campur tangan negara (Polanyi, 2001). Karenanya, cepat atau lambat, dan suka atau tidak suka, serta siap atau tidak siap, negara dan bangsa Indonesia serta ASEAN menghadapi langsung atau tidak langsung persaingan pasar/pasar bebas/perdagangan bebas, termasuk tantangan dari lima negara berkembang yang tergabung dengan istilah BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa). Negara Indonesia sebagai negara anggota ASEAN, ternyata potensi ekonominya mendapat perhatian dunia. Mirza Adityaswara melalui ulasannya di koran Kompas berjudul BRICS, E-7, dan Indonesia terbitan hari Rabu tanggal 27 April 2011, halaman 7, telah menulis sebagai berikut : 14 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011 Meskipun tidak masuk dalam BRICS, potensi ekonomi Indonesia diakui dunia internasional. Perusahaan konsultan Pricewaterhouse Coopers (PwC) tahun 2006 (the World in 2050) memprediksi ekonomi tujuh negara berkembang (E-7) pada tahun 2050 akan 50 % lebih besar daripada tujuh negara maju (G7). E-7 meliputi BRIC ditambah Meksiko, Indonesia, dan Turki. Goldman Sachs awal 2011 membuat istilah Growth Market untuk menggambarkan delapan negara dengan pertumbuhan paling dinamis, meliputi BRIC plus Meksiko, Korea Selatan, Indonesia, dan Turki Ada pula istilah yang dipakai Economist Intelligence Unit tahun 2009 dimana Indonesia masuk didalamnya, yaitu CIVETS (Colombia, Indonesia, Vietnam, Egypt, Turkey, South Africa). Berkaitan dengan potensi ekonomi Indonesia sebagaimana telah dikuti di atas maka Nur Hasan Murtiaji telah membuat sebuah tulisan berjudul Indonesia Kutub Baru Global didalam koran Republika tebitan hari Selasa tanggal 16 Agustus 2011 telah menulis sebagai berikut : Dalam laporan PwC berjudul The World in 2050 Beyond the BRIC's : a broader look at emerging market growth prospects yang ditulis ekonom John Hawksworth dan Gordon Cookson disebutkan bahwa ekonomi Jerman, Inggeris, dan Perancis pada 2050 diproyeksikan lebih kecil ketimbang Rusia, meksiko, dan Indonesia. PwC menggolongkan Cina, India, Brasil, Rusia, Indonesia, Meksiko, dan Turki sebagai Kelompok E7. Sedangkan G7 terdiri atas AS, Jepang, Jerman, Inggeris, Perancis, Italia, dan Kanada. Sebagai penutup dari tulisan ini, maka belajar dari pengalaman keberhasilan negara-negara yang tergabung dalam BRICS, ASEAN perlu bersatu, bersinergi, memetakan potensi dan mendayagunakan kekuatan yang dimilikinya sehingga tidak hanya menjadi objek di era perdagangan bebas/pasar bebas, tetapi juga sekaligus dapat menjadi subjek penentu di era tersebut, termasuk antisipasi dinamika yang terjadi di internal negara-negara anggota ASEAN agar tidak menggoyahkan pelaksanaan tujuan ASEAN dan pelaksanaan Piagam Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara. Harapannya, ASEAN akan semakin kredibel dan disegani didunia. Masyarakat negara-negara anggota ASEAN akan merasa memiliki ASEAN, termasuh apakahdimungkinkan pembentukan Komunitas Tax Court se-asean. Terakhir, berharap ASEAN bermanfaat untuk masyarakatnya.
Perpisahan Bapak Winarto Suhendro dengan pejabat eselon II dan III Set PP TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011 15
Capacity Buildin in pic 16 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011
ng Tax Court 2011 ctures TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011 17
Permohonan Banding & Gugatan Per 31 Oktober 2011 20 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011
Rekapitulasi Hasil Putusan per 31 Oktober 2011 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011 21
Permohonan Banding & Gugatan Per 30 November 2011 22 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011
Rekapitulasi Hasil Putusan per 30 November 2011 TC MEDIA EDISI 40 NOVEMBER - DESEMBER 2011 23