Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Karakteristik industri rokok merupakan consumer goods dan invisible (taste),

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan dilema serta kontroversial. Industri rokok kretek memegang

I. PENDAHULUAN. Cengkeh merupakan komoditas yang unik dan strategis bagi. perekonomian nasional. Dikatakan unik karena Indonesia adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah

III. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Begitu besarnya dampak krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Industri rokok merupakan industri yang sangat besar di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dalam perekonomian Indonesia. Perusahaan rokok mempunyai multiplier effect

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia pemasaran global saat ini, apabila kita mengunjungi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, Indonesia telah memasuki

1 of 5 21/12/ :02

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA KUNJUNGAN KERJA DI PT. GUDANG GARAM TBK Kediri, 27 Maret 2015

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia memiliki

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.437, 2009 DEPARTEMEN KEUANGAN. Cukai. Hasil Tembakau.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/PMK.011/2012 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU 2013 : SINERGI DALAM ROADMAP INDUSTRI HASIL TEMBAKAU

BAB I PENDAHULUAN. yang sama yaitu mencari keuntungan atau laba. Usaha menjaga. perusahaan dengan kuat, perusahaan dapat mempertahankannya baik

5 Kekuatan Kompetisi Dalam Strategi Industri Menurut Michael E Porter

VI. STRUKTUR PASAR DAN PERSAINGAN KOMODITI TEH DI PASAR INTERNASIONAL. 6.1 Analisis Struktur Pasar dan Persaingan Komoditi Teh Hijau HS

Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha meningkatkan. Namun dengan semakin menipisnya sumber devisa migas yang secara

2017, No c. bahwa pada tanggal 4 Oktober 2017, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyepakati tar

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.010/2017 TENTANG TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, dalam. terhadap penerimaan negara. (Bapeda Bandung, 2011)

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 449 /KMK.04/2002 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR KOMODITI TEH INDONESIA. selama tahun tersebut hanya ton. Hal ini dapat terlihat pada tabel 12.

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti buku, block note, buku hard cover, writing letter pad, dan lainnya. Industri

181/PMK.011/2009 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis data di atas, kesimpulan dari analisis strategi yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KULIAH 7 MANAJEMEN STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. Sehubungan dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89/KMK.05/2000 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

OPSI KEBIJAKAN MEMULIHKAN ANJLOK HARGA CENGKEH

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kegiatannya adalah

LANDASAN TEORI. Enterprise Resource Planning (ERP) adalah sebuah aplikasi bisnis yang

BAB I PENDAHULUAN. rokok yang ada di Indonesia. Dari total unit usaha di industri rokok di

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

TUGAS LAPORAN. Analisis Proses Bisnis Perusahaan Manufaktur. PT. HM SAMPOERNA Tbk. Laporan ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN RI NOMOR 597/KMK.04/2001 TANGGAL 23 NOVEMBER 2001 TENTANG PENETAPAN TARIF CUKAI DAN HARGA DASAR HASIL TEMBAKAU

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P- 31/BC/2010

BAB I PENDAHULUAN. dan pada dunia bisnis. Keadaan ini yang menuntut suatu perusahaan untuk selalu

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi persaingan produk dalam industri di Indonesia akibat munculya

ANALISIS PENGARUH AKUISISI TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN (Studi Empiris pada PT. Sampoerna TBK di Bursa Efek Indonesia)

BAB I PENDAHULUAN. penghasil tembakau terbanyak di dunia setelah Cina, Brazil, India, Amerika

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Pabrikan Rokok "A" dalam Masan Pajak November 2000 melakukan kegiatan sebagai berikut :

BABI PENDAHULUAN. alamnya. Di era industri yang terus berkembang, Indonesia turut pula

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Memasuki pasar bebas perdagangan dunia, aktivitas perekonomian di

IX. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1) Simpulan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, hal ini dikarena industri tembakau mempunyai multiplier effect yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis customer..., Ilman Fachrian Fadli, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

PORTER 5 FORCES. Analisis potensi..., Dian Lestari, FT UI, 2007

Integrated Marketing Communication 2

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-09/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

203/PMK.011/2008 TARIF CUKAI HASIL TEMBAKAU

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi industri-industri secara keseluruhan, baik untuk infrastruktur

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

VII. STRUKTUR PASAR KARET ALAM DI PASAR INTERNASIONAL. besarnya penguasaan pasar oleh masing-masing negara eksportir. Penguasaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang terjadi, tetapi tidak dapat dipungkiri indonesia menjadi salah satu dari

PAPARAN PUBLIK TAHUNAN KINERJA KUARTAL PERTAMA April 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan di bidang perekonomian memiliki tujuan mencapai

Aspek ekonomi dan sosial

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : KEP- 16 / BC / 1998 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU

ANALISA MANAGEMENT STRATEGY PT.GUDANG GARAM, TBK. Oleh : Iyan Gustiana Staf Dosen Sistem Informasi UNIKOM

PROSPEK KONSUMSI CENGKEH DI INDONESIA

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

MANAJEMEN PEMASARAN : YOHAN ANDI NUGROHO NIM : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA.

BAB IV ANALISIS DATA. A. Strategi Kompetitif Porter dalam Menghadapi ACFTA. kompetitif sendiri, agar tidak kalah dalam persaingan global, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. kebangkitan kembali sektor manufaktur, seperti terlihat dari kinerja ekspor maupun

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

IMC 2. Analisa Situasi Pasar : Porter, GE Matrix, Past performance. Berliani Ardha, SE, M.Si. Red tulips are associated with love.

MEDIA BRIEFING Pusat HUMAS Departemen Perdagangan Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Tel: /Fax:

BAB I PENDAHULUAN. pasar, sehingga menimbulkan tingkat persaingan yang cukup ketat antar perusahaan. Hal

PT HANJAYA MANDALA SAMPOERNA TBK UPDATE BISNIS, KEUANGAN DAN INDUSTRI

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: KEP-19/BC/1996 TENTANG PENETAPAN HARGA JUAL ECERAN HASIL TEMBAKAU DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PAPARAN PUBLIK TAHUNAN KINERJA April 2013

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Baja merupakan bahan baku penting dalam proses industri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin ketat suatu perusahaan dituntut untuk terus tumbuh dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Paparan Publik. Ruang Seminar 1 & 2 Bursa Efek Indonesia, Jakarta 27 April 2018

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

KEBIJAKAN CUKAI HASIL TEMBAKAU

DAFTAR ISI. LEMBAR JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. LEMBAR PERNYATAAN... iii. KATA PENGANTAR... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR TABEL...

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

Transkripsi:

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstraksi Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porter s analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Keywords: industri rokok ktretek, five force Porter s analisys PENDAHULUAN Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan cukai dipungut dari tiga jenis barang yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Pada tahun 1990/1991, penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau memberikan kontribusi sekitar 4 persen dari penerimaan dalam negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun 2003, penerimaan cukai ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri selama kurang dari 10 tahun telah meningkat lebih dari 100%. Dari penerimaan cukai tersebut, 95% berasal dari cukai hasil tembakau 13

yang diperoleh dari jenis hasil tembakau (JHT) berupa rokok sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan, dan rokok sigaret putih mesin yang dihasilkan oleh industri rokok (Wibowo, 2003). Meskipun demikian menurut Direktur Industri Minuman dan Tembakau Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (Deperrin), Imam Haryono, produksi pengguna cukai hanya diraih sebesar 95 juta batang sampai Juni 2006. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar 12% dari 108 miliar batang. Belakangan kinerja produksi industri rokok nasional memang kurang menggembirakan. Meski tahun lalu volume produksi rokok kretek tumbuh 11,5%, dari 175,9 miliar batang ke 196,2 miliar batang, untuk 2005 diperkirakan bakal stagnan. Sementara itu, rokok putih nasibnya malah lebih buruk lagi, karena sejak 2002 volume produksinya terus merosot. Jika tahun lalu volume produksinya turun hampir 2%, pada 2005 diperkirakan berlanjut bahkan sampai 8% (Warta Ekonomi, 2005). Dari sisi penguasaan pasar, selama 2004 rokok kretek jelas masih perkasa dengan merebut pangsa hampir 92%. Sisanya, dinikmati oleh rokok putih. Pada kelompok rokok kretek ini, pasar terbesar selama bertahun-tahun masih dikuasai oleh Gudang Garam dengan penguasaan pangsa 30,3%, atau setara 64,7 miliar batang. Peringkat kedua kini ditempati oleh Sampoerna, yang menggeser Djarum (39 miliar batang, atau setara 18,2%). Sementara jarak dengan peringkat ke-4, Bentoel, 14

memang terlalu jauh. Saat ini Bentoel baru memproduksi 4,1 miliar batang, atau setara 1,9% (Warta Ekonomi, 2005). Industri rokok Indonesia agaknya masih akan mengandalkan pasar domestik. Itu sebabnya, meski sejumlah produsen sudah melakukan ekspor, angkanya belum terlalu signifikan. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, ekspor rokok terbesar terjadi pada 2004 dengan nilai US$185,9 juta meski secara umum nilainya cenderung berfluktuasi. Penyebabnya, antara lain, kekhawatiran konsumen di negara-negara Eropa dan Amerika terhadap tingginya kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek. Di pasar domestik, kekuatan industri tercermin dari sumbangannya terhadap target penerimaan cukai pemerintah, yang sejak 1997 hingga 2004 terus tumbuh secara signifikan. Tahun lalu kontribusi cukai rokok terhadap pos penerimaan di APBN mencapai Rp28,8 triliun, sementara pada 2005 ini ditargetkan menjadi Rp30 triliun. Sekadar gambaran, pada 2004, konsumen rokok terbesar di dunia masih Cina dengan 1.798 miliar batang, disusul oleh Rusia yang cuma 20%-nya, AS, Jepang, dan Indonesia yang menempati peringkat ke-5. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi peningkatan konsumsi rokoknya, menurut data World Health Organization (WHO), selama kurun waktu 1990-2001, Pakistan-lah yang menempati peringkat teratas dengan tingkat pertumbuhan 65%. Peringkat kedua ditempati oleh Turki, lalu Bulgaria, dan Indonesia di posisi keempat (Warta Ekonomi, 2005). PERKEMBANGAN INDUSTRI ROKOK Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang (BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek dengan kode 31420 dan industri rokok putih dengan kode 31430. Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya (31440) yang terdiri dari rokok klembag menyan, rokok klobot, dan cerutu (Wibowo, 2003). Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981-2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan 15

yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Tahun berikutnya jumlah perusahaan mengalami penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlah perusahaan sebanyak 170. Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996, industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya berkisar 244 sampai dengan 247 perusahaan. Dari total industri rokok tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420), sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440). Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2 persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar 1,98 per tahun (Wibowo, 2003). 16

Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan industri rokok di Indonesia dari tahun 1996 2001 yang terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot/klembak. Pada tabel terlihat bahwa perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 1996 hingga pada puncaknya pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi rokok secara total mengalami penurunan (Sumarno, 2002). Perkembangan industri rokok di Indonesia mulai kurun waktu tahun 1981 sampai tahun 2002, secara ratarata berdasarkan jenis hasil tembakau (JHT) paling tinggi adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM), dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Sigaret Putih Mesin (SPM), dengan pertumbuhan 6,70 persen, diikuti oleh Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 4,19 persen, dan rokok Klobot (KLB) sebesar 3,04 persen. Rokok Klembak (KLM) secara ratarata, pertumbuhannya mengalami penurunan sebesar 2,39 persen (Wibowo, 2003). Dilihat dari total produksi secara keseluruhan JHT, produksi rokok mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 22, 09 Triliun. Setelah tahun tersebut, 17

total kemudian mengalami penurunan, tahun 1999 sebesar 254,17 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 30,32 Triliun. Walaupun secara produksi sampai tahun 2001 terus mengalami penurunan, tetapi secara nilai pada tahun 2001 masih menunjukkan peningkatan dengan nilai sebesar Rp. 54,79 Triliun. Berdasarkan estimasi BPS, produksi rokok tahun 2002 sebesar 207,6 miliar batang, dengan nilai produksi sebesar Rp. 51,90 Triliun (Wibowo, 2003). Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok per JHT Tabel 3. Perkembangan Produksi Rokok per JHT 18

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Nilai Rokok TENAGA KERJA DI INDUSTRI Dilihat dari pertumbuhan ROKOK penyerapan tenaga kerja, secara Tenaga kerja industri rokok sebagian besar merupakan tenaga kerja industri rokok kretek yang terdiri dari keseluruhan penyerapan tenaga kerja industri rokok tumbuh sebesar 2,69% per tahun. Untuk industri rokok kretek, SKM dan SKT. Dilihat dari penyerapan rata-rata pertumbuhan tenaga kerja tenaga kerja, industri rokok kretek sebesar 2,77% per tahun. Pada industri menyerap 96,45% dari total tenaga kerja rokok putih rata-rata pertumbuhan industri rokok. Urutan kedua adalah industri rokok putih (31430) yang tenaga kerja sebesar -1,03% per tahun, dan industri rokok lainnya rata-rata merupakan penghasil rokok putih sebesar 0,54% (Wibowo, 2003). (SPM) sebesar 2,09%, dan industri rokok lainnya sebesar 1,46%. Gambar 4. Perkembangan Pekerja Industri Rokok 19

EKSPOR-IMPOR ROKOK DI INDONESIA Produksi rokok kretek di Indonesia tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat Indonesia saja, tetapi sudah diekspor ke mancanegara. Pada Tabel 4 dapat dilihat perkembangan ekspor rokok di Indonesia dari tahun 1996 2001 (sampai bulan Juni). Pada tahun 1997 volume ekspor rokok mencapai puncaknya tetapi dalam US$ yang terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor rokok khususnya rokok kretek Indonesia sudah mencapai berbagai negara tujuan. Negara yang paling besar menjadi tujuan ekspor rokok kretek Indonesia adalah Malaysia dengan volume 5.041.217 kg dengan nilai US$ 61.184.464. dan beberapa negara di kawasan Asia, di antaranya adalah Thailand, Kamboja dan Jordan (Sumarno, 2002). Tabel 4. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia, 1996-2001 Gambar 5. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia 20 20

Bila dibandingkan dengan ekspor, volume impor rokok Indonesia relatif lebih kecil. Volume impor tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7 juta (Sumarno, 2002). Tabel 5. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 2000. Gambar 6. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 2000 FIVE COMPETITIVE FORCES ANALYSIS Untuk menganalisis lima kekuatan kompetitif digunakan buku dari Porter yaitu Competitive Strategy, buku dari Thompson et al. dan artikel dari Purdue University. Struktur ekonomi suatu industri tidak datang begitu saja. Itu yang terjadi di industri rokok. Kompleksitas yang ada adalah hasil dari tren sosial yang telah berjalan lama dan dipengaruhi oleh kekuatan kompetitif. Lima kekuatan yang mempengaruhi struktur industri adalah: 1. Bargaining power of suppliers 2. Bargaining power of buyers 3. Threat of new entrants 4. Threat of substitutes 5. Rivalry among competitors Dalam gambar adalah sebagai berikut: 21

Gambar 7. Porter s Five Competitive Forces Pendatang baru Potensial Pemasok Daya tawar menawar pemasok Para Pesaing Industri Persaingan diantara Perusahaan yang ada Ancaman pendatang baru Daya tawar menawar pembeli Pembeli Ancaman produk atau jasa substitusi Produk Pengganti Lima kekuatan tersebut menentukan potensi keuntungan didalam sebuah industri dengan mempengaruhi harga, biaya, dan investasi yang dibutuhkan dalam bisnis. Faktor penentu fundamental dari profitabilitas suatu perusahaan adalah daya tarik industri. Strategi bersaing harus mencerminkan pemahaman yang komprehensif mengenai rule of the game dari sebuah persaingan yang menentukan daya tarik industri. Tujuan akhir dari sebuah persaingan adalah menghadapi dan mengubah aturan main persaingan sesuai dengan kepentingan perusahaan. Dalam industri manapun, apakah domestik atau internasional, apakah menghasilkan barang atau jasa, aturan persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawarmenawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Kemampuan kolektif dari kelima faktor persaingan ini akan menentukan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk memperoleh, secara rata rata, tingkat pengembalian investasi yang melebihi biaya modalnya. Kekuatan kolektif kelima faktor persaingan ini berbeda pada 22

masing masing industri, dan dapat berubah dengan berubahnya industri bersangkutan. Dalam studi empiris mengenai struktur industri, biasa digunakan dua indikator konsentrasi perusahaan, yaitu rasio konsentrasi dan Indeks Herfindahl-Hirschman (IHH). Rasio konsentrasi perusahaan tertentu menunjukkan pangsa penjualan perusahaan tersebut terhadap total penjualan industri. Struktur industri rokok kretek diamati dengan menggunakan metode CR4, CR8, maupun indeks Herfindahl (Sumarno, 2002). Tabel 6. Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri rokok kretek di Indonesia adalah 77,56% untuk metode CR4 dan 88,15% untuk metode CR8. Dari hasil tersebut, industri rokok kretek di Indonesia dapat dikategorikan sebagai struktur oligopoli (Sumarno, 2002) dan dengan tingkat konsentrasi tinggi. Artinya 4 perusahaan menguasai 72% pangsa pasar rokok di Indonesia. Laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang. 1. Kekuatan Pemasok Semua bisnis memerlukan input baik tenaga kerja, raw materials, dan jasa. Biaya input ini memiliki dampak yang signifikan terhadap keuntungan perusahaan. Pemasok cenderung ingin menjual dengan harga tertinggi. Jika kekuatan mereka lemah, perusahaan 23

dapat menegosiasi harga. Jika kekuatan pemasok kuat, perusahaan cenderung hanya dapat menerimanya. Pemasok memiliki kekuatan yang sangat kuat apabila barang yang mereka pasok hanya dapat didapatkan dari mereka, barang unik, perusahaan bukan termasuk pelanggan terbesar pemasok, pemasok dapat menjual langsung barang ke konsumen perusahaan, sulit berpindah ke pemasok lain, dan perusahaan tidak memiliki pemahaman penuh akan pasar pemasok (Ehmke, et al.). Untuk mengurangi kekuatan pemasok langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain melakukan partnership dengan pemasok. Kerjasama yang dapat dilakukan antara lain mengurangi biaya persediaan, meningkatkan nilai barang yang dipasok, dan meningkatkan kecepatan adopsi teknologi. Cara lain yang dapat dilakukan adalah bergabung dengan pembeli lain sehingga membuat pemasok tunduk kepada aliansi pembeli. Selain itu bisa juga dengan melakukan backward integration. Bahan baku utama dari rokok adalah cengkeh. Bahan baku ini sangatlah vital bagi industri rokok, sehingga para petani cengkeh harusnya memiiki bargaining power yang tinggi terhadap industri rokok, karena tanpa cengkeh, mereka tidak bisa berproduksi. Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh ialah perubahan kebijakan tataniaga yang menimbulkan perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh. Pertama, pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 (kesepakatan dengan IMF). Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor cengkeh Indonesia dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20.000 ton/tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia langsung melonjak tajam dari US $ 0,99/kg tahun 1997 menjadi US $ 7,8/kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat mencapai Rp. 80.000/kg. Kedua, pembatasan importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 528/ MPP/Kep/7/2003 tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya 24

seperti BPPC pada periode tahun 1990 1998. Dengan rasional untuk meraih laba sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan bertahan sekitar US $ 1,8/kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15.000/kg pada akhir-akhir ini. Dunia perdagangan komoditi cengkeh mengalami kemelut. Di pasar domestik, pabrikan rokok melakukan pembelian langsung dari petani melalui agen-agen jauh sebelum musim panen sehingga pedagang perantara tersingkir. Dengan begitu pabrikan rokok leluasa menekan harga cengkeh hingga tingkat minimal yakni hanya cukup menutup ongkos panen seperti yang terjadi saat ini. Harga cengkeh yang amat rendah selama dua tahun terakhir merupakan hasil dari praktek persaingan tidak sehat akibat praktek eksploitasi oleh pabrikan rokok. Akar masalahnya ialah kekuasan pabrikan rokok dikukuhkan melalui kebijakan pemerintah 2. Kekuatan Pembeli Kekuatan pembeli mendeskripsikan efek konsumen terhadap keuntungan perusahaan. Pembeli memiliki kekuatan jika mereka pembeli besar dan membeli sebagian besar produksi perusahaan. Pembeli jika bergabung juga dapat memiliki kekuatan yang besar. Pembeli juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda tergantung ukuran. Pembeli akan memiliki kekuatan lebih jika industri memiliki banyak perusahaan kecil yang memasok produk dan pembeli berjumlah sedikit, produk perusahaan adalah pengeluaran besar bagi pembeli, pembeli dapat memiliki akses dan mengevaluasi informasi pasar, produk perusahaan tidak unik dan dapat dibeli dari pemasok lain, pembeli dapat membuat produk itu sendiri, dan pembeli dapat berganti produk dengan mudah. Untuk mengurangi kekuatan pembeli, perusahaan harus meningkatkan loyalitas pembeli. Dalam industri rokok daya tawar pembeli relatif kecil, hal tersebut disebabkan karena: (1) konsumen rokok bukan merupakan pembeli yang akan melakukan pembelian dalam jumlah yang besar tetapi lebih cenderung merupakan pembelian secara individual, (2) nilai pembelian relatif kecil, (3) produk rokok merupakan produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir, bukan merupakan bahan baku 25

untuk industri lainnya. Hal hal seperti kecilnya switching cost, ancaman pembeli untuk melakukan integrasi, sifat produk rokok yang standar dan kelengkapan informasi yang dimiliki oleh pembeli menjadi kurang relevan untuk menjadi faktor faktor yang mempengaruhi kekuatan tawar menawar pembeli. 3. Ancaman Pendatang Baru Kesuksesan suatu perusahaan pasti menarik pesaing baru untuk masuk ke industri tersebut. Menganalisis ancaman pendatang baru adalah memeriksa hambatan masuk dan reaksi yang diharapkan dari perusahaan lama terhadap kompetitor baru. Hambatan masuk antara lain biaya dan aspek hukum untuk memasuki suatu industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi ancaman pendatang baru antara lain proses industri tidak dilindungi pemerintah atau paten, pembeli memiliki loyalitas yang rendah, biaya mendirikan perusahaan baru sangat rendah, produk yang ada tidak unik, biaya berpindah rendah, proses produksi mudah dipelajari, akses ke input mudah, akses ke konsumen mudah, dan economies of scale yang minimal. Untuk mengurangi ancaman pendatang baru perusahaan, terutama perusahaan rokok, harus meningkatkan citra perusahaan atau merek, menggunakan paten, dan menciptakan aliansi dengan produk-produk tertentu. Menentukan harga dan keuntungan secara wajar juga dapat mengurangi ancaman pendatang baru. Para pemain pemain lama yang meliputi Gudang Garam, Djarum, Sampoerna dan Bentoel sudah mempunyai share yang besar dengan skala produksi mencapai jutaan hingga miliaran batang per tahun. Dengan kapasitas produksi yang besar serta pencapaian sebuah learning curve masing masing perusahaan sudah mencapai economics of scale dengan kapasitasnya masing masing. Dengan demikian sulit bagi para pendatang baru untuk mengancam empat perusahaan besar industri rokok di Indonesia saat ini. Hal ini diperkuat dengan tingkat loyalitas pembeli yang cukup kuat pada rokok merek tertentu. 4. Ancaman Produk Substitusi Produk industri tertentu dapat digantikan produk dari industri lain. Substitusi dapat datang dari berbagai perusahaan. Misalnya permen dapat menggantikan rokok. Faktor-faktor 26

yang mempengaruhi ancaman produk substitusi antara lain produk perusahaan tidak memberikan manfaat yang nyata dibandingkan produk lain, mudah bagi konsumen untuk berpindah, dan loyalitas yang rendah dari konsumen. Untuk mengurangi ancaman produk substitusi produsen dapat meningkatkan hubungan dengan konsumen dan mengetahui keinginan konsumen. Salah satu cara yang ditempuh oleh para produsen rokok adalah dengan beriklan. Diferensiasi juga dapat ditempuh. Hingga saat ini dalam industri rokok, belum ditemukan produk dari industri lain yang mempunyai karakteristik produk dan fungsi produk yang bisa mensubstitusikan rokok. Kalaupun produk rokok tradisonal serta cerutu dimasukkan sebagai produk substitusi, keberadaannya tidak begitu mempengaruhi sebuah industri rokok. Produk rokok karakteristiknya cukup unik, sehingga peluang muncul produk substitusi cukup terbatas. Mengenali produk produk substitusi adalah persoalan mencari produk lain yang dapat menjalankan fungsi yang sama seperti produk dalam industri. Kadangkala melakukan hal ini merupakan hal yang pelik, dan tugas yang membawa analis kepada bisnis bisnis yang seolah olah sangat jauh terpisah dari industrinya. 5. Rivalitas antar Pesaing yang Ada Persaingan bisa jadi adalah kekuatan terkuat dari lima kekuatan kompetitif Porter tetapi hal ini juga melihat struktur industri yang ada. Jika persaingan lemah maka perusahaan dapat dengan mudah meningkatkan harga dan mendapatkan lebih banyak profit. Jika kompetisi cukup intens maka perusahaan perlu untuk meningkatkan kualitas produk untuk menjaga konsumen yang telah mereka miliki. Persaingan terjadi dikarenakan sebuah perusahaan berusaha menjadi pemimpin pasar, pertumbuhan pasar cukup lambat, tingginya biaya tetap produksi, produk mudah rusak dan harus segera laku, produk tidak unik atau homogen, konsumen dapat mudah berpindah, dan tingginya biaya untuk keluar dari industri. Untuk menguranginya perusahaan dapat menggunakan beberapa taktik. Diantaranya adalah memberikan diferensiasi pada produk dan atau fokus pada satu segmen konsumen tertentu. Untuk industri rokok pangsa pasar masing dikuasai oleh Gudang Garam, disusul oleh HM Sampoerna, Djarum 27

dan Bentoel, baru disusul oleh produk produk rokok lainnya. Pangsa pasar rokok putih terlihat masih relatif kecil dibandingkan rokok kretek. Ketiadaan switching cost tidak menyebabkan persaingan kemudian menjadi meningkat, karena faktor cita rasa dan selera masih menjadi faktor utama mengkonsumsi rokok. Pertumbuhan industri memang lambat, karena citra rokok sebagai produk terlarang untuk dikonsumsi. Banyak peraturan peraturan pemerintah atau dunia yang menghambat perkembangan industri rokok. Tetapi hal ini ternyata tidak kemudian menyurutkan masyarakat untuk mengkonsumsi rokok. Oleh karena itu tidak menyebabkan persaingan menjadi tajam untuk memperebutkan pangsa pasar yang semakin sedikit atau sangat terbatas hingga mendorong untuk melakukan perang harga. Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 2002. Warta Ekonomi. Edisi April 2005. Wibowo, Tri. Potret Industri Rokok di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2., 2003. DAFTAR PUSTAKA Emhke, et al. Industry Analysis: The Five Forces. PURDUE University. Sumarno, S.B., dan Mudradjad Kuncoro. Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996 1999. Jurnal 28