7. Kelembagaan pedesaan dan pemberdayaan petani

dokumen-dokumen yang mirip
Tantangan untuk Pengembangan

4. Pengetahuan ekologi lokal

BAGIAN 2-2. Sistem Sisipan: Pengetahuan Lokal dalam Wanatani Karet. Laxman Joshi, Gerhard Manurung, Ratna Akiefnawati, Susilawati dan Elok Mulyoutami

Wanatani Kompleks Berbasis Karet:

BAGIAN 3-4. Meningkatkan Produktivitas Karet Rakyat melalui Sistem Wanatani. Ratna Akiefnawati, Gede Wibawa, Laxman Joshi dan Meine van Noordwijk

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

BENARKAH KAYA AKAN IMBAL JASA LINGKUNGAN?

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Selatan

Dampak Pendampingan Terhadap Penghidupan Petani Agroforestri di Sulawesi Tenggara

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

Rehabilitasi dan Reklamasi Pasca Tambang

INOVASI SISTEM AGROFORESTRY DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KARET ALAM

KARAKTERSITIK LAHAN AGROFORESTRI. (Agroforestri Land Characteristics) Fahruni

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( )

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

LEMBAR INFORMASI. Kebun Percobaan Petani. (Farmer Demonstration Trials): Upaya Mendorong Usaha Bertani Pohon dan Inovasi Petani di Indonesia

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000)

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Bab 1: Konteks Menganalisis Lingkungan Indonesia

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

KEBUN BELAJAR AGROFORESTRI (KBA) : KONSEP DAN PEMBELAJARAN DARI SULAWESI SELATAN DAN TENGGARA

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

AGROFORESTRI TEMBESU (Fagraea fragrans) BERBASIS KELAPA SAWIT DI KABUPATEN MUARO JAMBI

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. pada 3 (tiga) fisiografi berdasarkan ketinggian tempat/elevasi lahan. Menurut

Latar Belakang. meluasnya deforestasi. Di samping itu, lahan juga dapat menjadi kritis karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

PEMBIBITAN SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENGHIDUPAN PETANI AGROFORESTRY SULAWESI TENGGARA : POTENSI DAN TANTANGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH MANAJEMEN POLA PENANAMAN TERHADAP PRODUKTIFITAS TEGAKAN BERDASARKAN SIMULASI MODEL SExI-FS

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS PENDAPATAN PETANI PADA BERBAGAI TIPE USAHATANI KARET DI DAS BATANG PELEPAT KABUPATEN BUNGO, JAMBI. Sunarti * ) ABSTRACT

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November : Kebun Belajar Agroforestri (KBA): Konsep dan Pembelajaran dari Sulawesi Selatan dan Tenggara

Panduan Pengguna Untuk Sektor Kelapa Sawit. Indonesia 2050 Pathway Calculator

PROGRAM PENGEMBANGAN KELAPA BERKELANJUTAN DI PROVINSI JAMBI

Perubahan bentang alam sebagai dampak pertambangan

PERFORMANCE OF FARMER-GROUPS OF COMMUNITY SEEDLING FARMING IN SOUTH BENGKULU DISTRICT

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

Seminar Nasional Agroforestri 5, Ambon, November 2014

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor perkebunan sebagai bag ian dari. pengolahan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi nyata.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

APP melaporkan perkembangan implementasi pengelolaan lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

I. PENDAHULUAN. usaha perkebunan mendukung kelestarian sumber daya alam dan lingkungan

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak dibicarakan dan dianjurkan. Hal ini terjadi karena munculnya isu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APAKAH DAMPAK LINGKUNGAN SISTEM WANATANI?

Sistem Penggunaan Lahan dalam Analisa OppCost REDD+

PENDAHULUAN. Latar Belakang. dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas Lahan Komoditi Perkebunan di Indonesia (Ribu Ha)

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

Konservasi Hutan Berbasis Masyarakat dan Mitigasi Perubahan Iklim di Bentang Alam Kerinci Seblat Konsorsium Perkumpulan WALESTRA (WALESTRA, ICS &

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. terhadap sumber daya hutan. Eksploitasi hutan yang berlebihan juga mengakibatkan

Kasus Desa Sebadak Raya: Dapatkah Budidaya Kopi Mendukung Keberhasilan Hutan Desa?

PELUANG PENGEMBANGAN BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK MENDUKUNG KEMANDIRIAN PETANI DI KOTA PONTIANAK DAN KABUPATEN KUBURAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

IDENTIFIKASI KARAKTER SPESIFIK UNGGUL KARET BERDASARKAN. Budi Martono Edi Wardiana Meynarti SDI Rusli KODE JUDUL: X.26

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERAGAAN PRODUKTIFITAS BEBERAPA KLON UNGGUL KARET RAKYAT DI PROPINSI BENGKULU. Some variability Productivity Superior Rubber Clone People in Bengkulu

POTENSI MODAL PETANI DALAM MELAKUKAN PEREMAJAAN KARET DI KABUPATEN MUSI RAWAS SUMATERA SELATAN

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

Perkembangan m-krpl Di Kabupaten Dompu Dan Dukungan Penyuluh Pertanian Lapangan

PROGRAM HUTAN KARBON BUNGO: KONSEP PENYELAMATAN HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

Hesti Lestari Tata Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, KLHK

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Transkripsi:

7. Kelembagaan pedesaan dan pemberdayaan petani Dalam rangka meningkatkan penelitian dan pengembangan wanatani berbasis karet secara partisipatif di Provinsi Jambi, pada akhir tahun 1999, ICRAF telah mengambil inisiatif melalui pendekatan swadaya kelompok (self-help group) di tiga desa, yaitu Rantau Pandan, Sepunggur dan Lubuk, dimana masing masing memiliki karakteristik berbeda. Beberapa kegiatan telah dilakukan: 1. Kunjungan lapangan petani ke lokasi penelitian ICRAF (penelitian RAS dan pengamatan plot okulasi langsung dibawah sistem sisipan); 2. Analisa dan evaluasi sistem produksi karet saat ini; 3. Pelatihan setengah hari bagi petani tentang okulasi pada anakan karet. Walaupun tujuan awalnya dimaksudkan untuk menarik minat petani dalam suatu sekolah lapangan (Farmer Field School) yang merupakan suatu pendekatan penelitian partisipatif, namun peserta dari ketiga desa tersebut Gambar 32. Inovasi petani dalam melaksanakan okulasi anakan karet, dengan mata entres klon unggul (Foto: Gede Wibawa). Gambar 33. Kunjungan petani merupakan hal yang sangat berguna dalam proses alih teknologi dalam upaya untuk mendapatkan umpan balik (Foto: Laxman Joshi). 31

di atas meminta untuk dibina dalam pembangunan kebun entres desa yang dapat menghasilkan bahan tanaman maupun bahan entres okulasi. Kegiatan awal yang berupa mobilisasi kelompok dan pembentukan pengurus kelompok sepenuhnya dibantu oleh staf ICRAF di Muara Bungo. Seluruh tenaga kerja, lahan dan bahan-bahan untuk konstruksi pembibitan dan untuk menjalankan kegiatan pembibitan diusahakan dari anggota kelompok, sedangkan input penting yang tidak tersedia di tingkat petani seperti sumber entres (sumber mata klon), pupuk, biji untuk batang bawah disediakan oleh ICRAF. Bahan-bahan lain hanya diberikan jika diminta oleh kelompok tani, dan hanya jika tidak ditemukan pilihan lain ( drip support). Tujuan utama kelompok pembibitan (persemaian) ini adalah untuk menghasilkan bahan tanaman klon, diokulasi dan ditanam dalam polibag, stum mata tidur, sumber entres untuk okulasi bagi setiap individu petani dengan harga murah yang dikelola oleh suatu kelompok tani pada unit desa. Kontribusi tenaga kerja harian secara sukarela atau gotong royong, dilakukan oleh semua peserta dalam kegiatan rutin pembuatan pembibitan, seperti penanaman biji, pemindahan ke lapangan, penyiraman, penyiangan, merupakan strategi pendekatan ini. Kebun entres di Desa Lubuk dinilai paling berhasil ditinjau dari dinamika kelompok dan kelestarian kegiatan pembibitan. Kebanyakan anggota kelompok adalah pendatang dari Jawa, dan perilaku berkelompok mereka merupakan faktor kunci keberhasilannya. Pada saat ini, setiap petani telah menerima 60 tanaman okulasi, baik dalam bentuk stum mata tidur maupun dalam polibag, dan selebihnya siap untuk dibagikan. Di Rantau Pandan, Pak Yani salah satu anggota kelompok yang juga seorang Guru telah membuat Gambar 34. Anggota kelompok mandiri di Lubuk sedang mengumpulkan pasir dari sungai terdekat untuk persemaian biji karet (Foto: Ratna Akiefnawati). pembibitan di sekolah sebagai tempat praktik okulasi murid-muridnya. Kini telah banyak petani membuat kebun bibit secara swadaya 32

untuk kepentingan mereka pribadi. Hanya sedikit petani yang berhasil melakukan okulasi langsung pada lahan yang baru ditanami. Beberapa petani juga telah menunjukan minatnyai untuk melakukan okulasi langsung di kebun karetnya. Gambar 35. Beberapa anggota kelompok tani di Lubuk berpose didepan kebun entres mereka (Foto: Ratna Akiefnawati). Pembentukan kelompok tani di dua desa lainnya, yaitu Rantau Pandan dan Sepunggur dinilai kurang berhasil dibandingkan dengan di Lubuk. Kelompok ini memutuskan untuk berhenti bekerja secara kelompok, sedangkan kebun pembibitannya kini telah dipakai secara pribadi. Pembangunan kebun entres sebagai sumber mata entres klon dan produksi bibit, keahlian lokal dalam menghasilkan bibit klon unggul, kesadaran dan antusiasme petani untuk memakai bahan tanaman klon dalam sistem produksi karet, serta minat masyarakat untuk mencoba mencari jalan keluar untuk melakukan okulasi langsung pada lahan yang baru ditanami, merupakan hasil nyata dari kegiatan ini. Keseragaman diantara anggota kelompok, hubungan antar pribadi dan antar anggota kelompok, peran ketua kelompok, dasar keberadaan setiap anggota kelompok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan pendekatan kelompok kebun untuk menghasilkan bahan tanaman karet. 8. Kebijakan yang berkaitan dengan kebun karet rakyat Sebagaimana telah disampaikan di depan, diperkirakan hampir 10% dari luas total Propinsi Jambi adalah kebun karet, dimana sebagian besar dari kebun tersebut dikelola secara ekstensif, dalam bentuk wanatani kompleks berbasis karet. Bukti terakhir menunjukkan bahwa sekitar 47% petani karet di propinsi ini melakukan sisipan pada sedikitnya satu dari beberapa hamparan kebun karet yang mereka miliki, sebagai alternatif pengembangan wanatani berbasis karet yang berkembang dari praktik 33

tebas bakar. Namun, kini ada suatu indikasi kuat bahwa cara tersebut di atas merupakan pilihan kedua dari strategi petani untuk mencukupi kebutuhannya secara menerus; pasalnya adalah, tingginya investasi yang dibutuhkan untuk penanaman baru, makin terbatasnya lahan untuk intensifikasi dan tingginya resiko kegagalan karena gangguan hama. 8.1 Pengakuan wanatani sebagai pilihan manajemen Lokakarya internasional yang baru-baru ini diadakan di Muara Bungo dari tanggal 3-6 September 2001, telah melakukan berbagai analisis dari berbagai sistem wanatani berbasis karet di dataran rendah, arah perkembangan terbaru dengan konsekuensinya terhadap keuntungan dan jasa lingkungan, serta pilihan untuk mengembangkan pengetahuan ekologi petani dan cara pengambilan keputusan petani untuk menghadapi tantangan perubahan landskap. Kini telah diakui bahwa kebun karet rakyat adalah salah satu potensi utama sebagai sumber plasma nutfah keragaman hayati di Indonesia sebagai pengganti kemerosotan keragaman hayati di Sumatera. Hutan karet rakyat dapat mempertahankan sekitar 50% dari keragaman hayati yang dijumpai di hutan alam. Penelitian RAS telah membuktikan kelayakan pembangunan kebun karet klon dengan pengelolaan ekstensif (relatif terhadap kebun monokultur) dengan penggunaan tenaga kerja dan input produksi lebih sedikit. Namun, regenerasi nilai keragaman hayati RAS secara nyata lebih sedikit dari kebun karet rakyat. Yang menarik adalah, rendahnya harga karet dewasa ini mendorong perkembangan pengelolaan kebun dengan cara sisipan. Bagaimanapun, harga karet, alam, yang saat ini merupakan harga terendah selama tiga dekade terakhir, begitu pula aturan baru dari Standar Nasional Indonesia (SNI) (Wibawa et al., 2001) telah mempengaruhi pendapatan petani yang bersumber dari karet, dampaknya petani karet semakin tak berdaya. Hal ini dapat ditunjukan antara lain oleh terbengkalainya kebun karet tua dan konversi kebun-kebun yang mempunyai keragaman hayati tinggi ini ke kebun kelapa sawit atau karet monokultur yang mulai banyak dijumpai di Jambi. Terlepas dari besarnya peranan kebun karet rakyat di Jambi dan di berbagai propinsi lainnya di Indonesia, masih sedikit usaha pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan studi dan mengembangkannya. Kebanyakan proyek pengembangan karet di masa lalu memberikan tekanan pada usaha konversi wanatani berbasis karet 34

yang kompleks, fleksibel, memerlukan input dan mengandung resiko rendah ini menjadi perkebunan monokultur. Sejarah pengembangan karet di masa lalu juga menunjukkan bahwa pertimbangan keuntungan ekonomis menjadi tujuan utama dengan mengesampingkan faktor konservasi lingkungan. Sekarang tiba saatnya bagi pemerintah dan institusi nasional untuk menyadari bahwa nilai dan kepentingan kebun karet rakyat bukan hanya bagi keluarga petani, namun juga bagi lingkungan baik di tingkat nasional maupun global. Pengakuan yang dibutuhkan oleh petani karet untuk melaksanakan pengelolaan kebun karet rakyat secara lestari tidak hanya dapat dilakukan melalui pengakuan bahwa kebun karet merupakan pola pengelolaan yang ramah lingkungan sebagaimana yang terjadi dengan kebun Damar (Repong Damar) di pesisir Krui-Lampung yang dianugerahi penghargaan Kalpataru pada tahun 1997. Yang dibutuhkan petani lebih dari pada pengakuan atas pola pengelolaan yang mereka miliki, tetapi juga pengakuan atas kepastian lahan kebun beserta hasilnya dalam jangka panjang, pengakuan kelembagaan petani lokal untuk dapat secara leluasa mengelola kebun sesuai dengan institusi dan sistem pengaturan yang dikenal, seperti juga yang diberikan kepada petani Krui pada tahun 1998. Pengakuan dari keberadaan wanatani berbasis karet yang ekstensif, inisiatif penelitian dan pengembangan, inisiatif peningkatan kualitas (bukan menghilangkan sistem yang sangat ramah lingkungan ini) harus menjadi langkah pertama. 8.2 Deregulasi perdagangan kayu hasil wanatani Penebangan dan penjualan kayu baik yang berasal dari kawasan hutan negara maupun dari tanah rakyat yang berupa kayu tanaman dan kayu alam dibatasi melalui pajak, kuota dan birokrasi yang sangat kompleks. Gambar 36. Banyak kayu karet yang berasal dari hutan karet rakyat saat ini hanya berakhir menjadi arang, karena belum adanya insentif bagi petani untuk memasarkannya (Foto: Gede Wibawa). 35

Mekanisme regulasi aturan yang bersamaan dengan kenyataan bahwa kayu karet harus diproses secepatnya dalam jangka waktu 72 jam setelah ditebang, merupakan kendala utama untuk penggunaan kayu karet yang berasal dari kebun karet rakyat. Hal ini menyebabkan petani membakar kayu potensial dari wanatani karet tua, yang berarti telah menyia-nyiakan sumberdaya alam dan memicu timbulnya resiko kebakaran serta asap. Perubahan kebijakan kearah dukungan bagi perdagangan kayu karet maupun non kayu karet yang berasal dari kebun karet tidak hanya akan meningkatkan penggunaan kayu karet secara tepat, namun juga akan memperbaiki pendapatan petani karet, meningkatkan polikultur pada wanatani berbasis karet, menurunkan ketergantungan petani hanya pada satu komoditas, mengurangi permintaan kayu hutan alam, mengurangi asap dan bahaya kebakaran serta mencegah emisi gas rumah kaca. Prosedur untuk mengetahui secara pasti kayu yang berasal dan untuk mempromosikan perdagangan dan pengolahan kayu, perlu dikembangkan melalui penelitian dan perbaikan kebijakan. Gambar 37. Kebijakan lingkungan yang kondusif dan pengembangan infrastruktur akan meningkatkan minat untuk memakai kayu karet, yang dianggap sebagai limbah kebun karet (Foto: Gede Wibawa). 8.3 Jasa lingkungan kebun karet rakyat Dengan semakin menyusutnya hutan alam, wanatani kompleks berbasis karet sebagaimana kebun karet rakyat dapat berperan sebagai pemberi jasa lingkungan nasional/global selain memenuhi kebutuhan lokal. Jasa lingkungan ini meliputi penyerapan karbon dari atmosfer, mempertahankan keragaman hayati serta melestarikan fungsi hidrologis. Petani dan masyarakat yang melindungi dan mempertahankan hutan serta wanatani kompleks biasanya tidak diberi penghargaan atas jasa-jasa lingkungan yang telah mereka berikan. Jika dibandingkan dengan perkebunan monokultur intensif, dan sistem tata guna lahan lainnya, 36

wanatani berbasis karet, seperti kebun karet rakyat, adalah kurang produktif dan saat ini kurang menguntungkan serta sedang menghadapi tantangan dari berbagai pilihan usahatani. Karena tidak tersedianya insentif, petani bahkan sering memilih sistem usaha yang memberikan jasa lingkungan yang rendah yang berdampak negatif bagi pemangku kepentingan (stakeholders) luar yang sering atau bahkan jauh dari batas batas desa, kabupaten, provinsi dan nasional. Sekarang tumbuh kesadaran dan ketertarikan diantara lembaga penelitian, pengembangan, masyarakat donor, terhadap skema penghargaan, jika mekanisme yang tepat dapat dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik, akan dapat mempertahankan kebun karet rakyat beserta jasa lingkungan yang dapat diberikannya. Penelitian untuk mengkuantifikasi jasa lingkungan dan metode untuk memonitornya serta keuntungan ekonomis dari berbagai pilihan tata guna lahan akan segera dilakukan oleh ICRAF. Kebun karet rakyat telah diusulkan sebagai calon dimana petani dapat diberikan penghargaan untuk jasa keragaman hayati yang dimiliki oleh kebunnya. Konteks kelembagaan segera dibutuhkan dimana keduanya, pemberi jasa lingkungan dan yang menerima manfaat atas jasa dapat bernegosiasi secara bebas dan mengembangkan kesepakatan yang saling menguntungkan. Kebijakan lingkungan untuk mengembangkan dan menghidupkan mekanisme pemberian penghargaan ini sangat penting untuk dikembangkan melalui berbagai penelitian dan dialog secara tepat. Seluruh pemangku kepentingan yang meliputi petani, kelompok tani, organisasi desa, pemerintah daerah, peneliti, agen pembangunan, LSM, serta donor akan mempunyai peranan penting bagi pengembangan dan implementasi inisiatif baru ini. Daftar pustaka Azhima F. 2001. Distribusi cahaya di hutan karet, Muara Kuamang, Jambi. Skripsi S1, Institut Pertanian Bogor, Indonesia: 22 pp. Beukema H. 2001. Terrestrial pteridophytes as indicators of a forest-like environment in rubber production systems in the lowlands of Jambi, Sumatra. Agriculture, Ecosystems and Environment (in press). Boutin D, Penot E, Wibawa G and Akiefnawati R. 2000. Rubber Agroforestry Systems-type 1 (RAS1): a strategy towards a productive "jungle rubber". IRRDB annual conference, Bogor, Indonesia, IRRDB. Ditjenbun. 1999. Statistik Perkebunan Indonesia 1997-1999: Karet. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan. Jakarta. 37

Gouyon A, de Foresta H and Levang P. 1993. Does jungle rubber deserve its name? An analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra. Agroforestry Systems 22: 181-206. Joshi L, van Noordwijk M and Sinclair FL. (dalam persiapan, a). Bringing local knowledge into perspective a case of sustainable technology development in jungle rubber agroforests in Jambi. Paper presented at Participatory technology development and local knowledge for sustainable land use in Southeast Asia workshop, 6-7 June 2001 in Chiangmai, Thailand. Proceeding forthcoming. Joshi L, Wibawa W, Beukema H, Williams S, and van Noordwijk M. (dalam persiapan, b). Technological change and biodiversity in the rubber agroecosystem of Sumatra. Book chapter for J. Vandermeer (Ed.) Tropical Agroecosystems: New Directions for Research. Ketterings QM and Bigham M. 2000. Soil color as an indicator of slash-and-burn fire severity and soil fertility in Sumatra, Indonesia. Soil Sci. Soc. Am. J. 64: 1826 1833. Ketterings QM, Wibowo TT, van Noordwijk M and Penot E. 1999. Farmers' perspectives on slash-and-burn as a land clearing method for small-scale rubber producers in Sepunggur, Jambi Province, Sumatra, Indonesia. Forest Ecology and Management: 120: 157-169. Martini E. 2001. Respon konduktansi stomata dan potensial air daun anakan bayur (Pterospermum javanicum Jungh.), Damar (Shorea javanica Koord. & Valeton.), Duku (Lansium domesticum Corr.), Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) dan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) terhadap kondisi stress air). Skripsi S1, Institut Pertanian Bogor, Indonesia: 71 pp. Penot E and Wibawa G. 1997. Complex rubber agroforestry systems in indonesia : an alternative to low productivity of jungle rubber conserving agroforestry practices and benefits. Proc. symp. on farming system aspects of the cultivation of natural rubber (Hevea brasiliensis). IRRDB: 56-80. Rasnovi S. 2001. Kajian pemakaian morfologi daun untuk identifikasi jenis pada beberapa famili dikotiledon berhabitus pohon di Sumatera. ). Skripsi S2, Institut Pertanian Bogor, Indonesia: 78 pp. Ruhiyana A. 2000. Kemampuan adaptasi anakan pohon agroforest jenis bayur (Pterospermum javanicum Jungh.), duku (Lansium domesticum var. Corr.), durian (Durio zibethinus Murr.) dan karet (Hevea brasiliensis Muel. Arg.) pada berbagai intensitas cahaya. ). Skripsi S2, Institut Pertanian Bogor, Indonesia: 115 pp. Sanjaya KR. 2001. Studi pengaruh bukaan tajuk pada regenerasi karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) secara alami pada sistem Agroforest di Kabupaten Bungo Tebo, Propinsi Jambi). Skripsi S1, Institut Pertanian Bogor, Indonesia: 71 pp. Sibuea TTH and Tular BB. 2000. Ekologi babi hutan dan hubungannya dengan sistem agroforest karet tradisonal di Propinsi Jambi, Sumatera. Report submitted to ICRAF SEA. Wibawa G, Boutin D and Budiman AFS. 2000a. Alternatif pengembangan perkebunan karet rakyat dengan pola wanatani. Proc. Lokakarya dan Ekspose teknologi Perkebunan. Buku I. Model Peremajaan Karet rakyat secara Swadaya: 89-98. Wibawa G, Hendratno S, Rosyid MJ, Budiman A and van Noordwijk M. 2000b. The role of socioeconomic factors in farmer decision making: factors determine the choice between Permanent Rubber Agroforestry Systems (PRAS) and Cyclical Rubber Agroforestry System (CRAS) by farmers in Jambi and South Sumatra. Progress report submitted to ICRAF SEA. 43 pp. Wibawa G, Rosyid MJ, Nancy C, van Noordwijk M and Joshi L. 2001. Rubber marketing in Jambi: Traditional systems and implications of the new Indonesian National Standard (SNI). Report submitted to ICRAF SEA. Williams SE, van Noordwijk M, Penot E, Healey JR, Sinclair FL and Wibawa G. 2001 On-farm evaluation of the establishment of clonal planting stock in multistrata rubber agroforests. Agroforestry Systems in press. 38

TFRI Extension Series No. 139 Tantangan untuk Pengembangan L Joshi, G Wibawa, G Vincent, D Boutin R Akiefnawati, G Manurung dan M van Noordwijk I N T E R N AT I O NA L CE N TR E F O R R E S E AR C H I N AG R O F O RE S T R Y