Pemanfaatan Sifat dan Ketersediaan Data sesuai Karakteristik Kabupaten/Kota untuk Estimasi Emisi Spesifik Karbon

dokumen-dokumen yang mirip
PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK (FES) UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR INDUSTRI DAN TRANSPORTASI DI WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR TRANSPORTASI DI KOTA MALANG

KONTRIBUSI SEKTOR TRANSPORTASI DARAT TERHADAP TINGKAT EMISI CO2 DI EKOREGION KALIMANTAN. Disusun Oleh :

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK DARI SEKTOR TRANSPORTASI UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DI KABUPATEN SUMENEP-JAWA TIMUR

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XXII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 24 Januari 2015

Analisis Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) di Jawa Timur

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR PERMUKIMAN DI KOTA MALANG

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) F-251

Analisis Emisi Gas Rumah Kaca (CO2) Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) di Jawa Timur

STUDI KONTRIBUSI KEGIATAN TRANSPORTASI TERHADAP EMISI KARBON DI SURABAYA BAGIAN BARAT Oleh : Wima Perdana Kusuma

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aktivitas-aktivitas manusia telah mengubah

Kajian Tentang Kontribusi Jawa Timur Terhadap Emisi CO 2 Melalui Transportasi dan Penggunaan Energi

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANYA DARI PENGGUNAAN BAHAN BAKAR DI KABUPATEN SIDOARJO

Studi Kontribusi Kegiatan Transportasi Terhadap Emisi Karbon di Surabaya Bagian Timur. Oleh: Fitri Arini

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

Persebaran Spasial Produksi Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dari Penggunaan Lahan Permukiman di Kawasan Perkotaan Gresik Bagian Timur

PEMANASAN GLOBAL PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL

Prediksi Emisi Karbondioksida Dari Kegiatan Transportasi Di Kecamatan Tampan Febrian Maulana 1), Aryo Sasmita 2), Shinta Elystia 3)

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DARI SEKTOR PERMUKIMAN DI KABUPATEN MALANG

STUDI KONTRIBUSI KEGIATAN TRANSPORTASI TERHADAP EMISI KARBON DI SURABAYA BAGIAN TIMUR

Beragam aktivitas manusia menyebabkan tingginya tingkat polusi atau pencemaran udara. Di Kota Surabaya emisi karbon yang ditimbulkan terlihat pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

BAB I PENDAHULUAN. dan sektor transportasi berjalan sangat cepat. Perkembangan di bidang industri

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

FENOMENA GAS RUMAH KACA

EVALUASI PERUBAHAN EMISI GAS NOX DAN SO 2 DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KAMAL BANGKALAN AKIBAT PENGOPERASIAN JEMBATAN SURAMADU

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

APA ITU GLOBAL WARMING???

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. BBM punya peran penting untuk menggerakkan perekonomian. BBM

I. PENDAHULUAN. hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya (Sitorus, 2004). Suatu

ANCAMAN GLOBALISASI. Ali Hanapiah Muhi Juli, komunikasi. Revolusi informasi mengarahkan kita ke dalam milenium ketiga

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PRAKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DI PERKOTAAN: ASPEK PEMODELAN

TUGAS AKHIR KAJIAN EMISI CO2 DENGAN MENGGUNAKAN PERSAMAAN LONGRANGE ENERGY ALTERNATIVES PLANNING (LEAP) DARI SEKTOR PERMUKIMAN DI KOTA SURABAYA

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan. Salah satu sumber energi utama adalah bahan bakar. Bentuk bahan bakar

KEBIJAKAN KONVERSI BAHAN BAKAR GAS UNTUK KENDARAAN BERMOTOR

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Oleh Yuliana Suryani Dosen Pembimbing Alia Damayanti S.T., M.T., Ph.D

PENENTUAN FAKTOR EMISI SPESIFIK SEKTOR PERMUKIMAN UNTUK ESTIMASI TAPAK KARBON DAN PEMETAANNYA DI KABUPATEN BANYUWANGI

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

Oleh: Renandia Tegar Asririzky. Dosen Pembimbing: IDAA. Warmadewanthi, ST, MT, PhD.

BAB I PENDAHULUAN. ini dalam mendukung perkembangan kemajuan kota-kota besar di dunia, namun

BAB I PENDAHULUAN. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang. peranan sangat vital dalam menggerakkan semua aktivitas ekonomi.

GREEN TRANSPORTATION

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Iklim Perubahan iklim

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang sarana transportasi.sektor transportasi merupakan salah satu sektor

ANALISA KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PENYERAPAN EMISI CO 2 PEMENUHAN KEBUTUHAN O 2 DI KOTA PROBOLINGGO

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

BAB VII PERKIRAAN EMISI. Pemerintah Kabupaten Donggala A. GAS RUMAH KACA B. KEGIATAN MANUSIA DAN JENIS GRK. Badan Lingkungan Hidup Daerah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV. BASELINE ANALISIS

Upaya Penghematan Konsumsi BBM Sektor Transportasi

KAJIAN MODEL EMISI KARBONDIOKSIDA DARI KEGIATAN TRANSPORTASI DI KOTA SURABAYA

PEMANASAN GLOBAL Dampak terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha Penanggulangannya

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tugas Akhir. Pemodelan Spasial Beban Sumber Emisi Gas Rumah Kaca di Kecamatan Driyorejo. Dimas Fikry Syah Putra NRP

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dan Proyeksi Emisi CO 2 untuk Jangka Panjang

I. PENDAHULUAN. Singkong merupakan salah satu komoditi pertanian di Provinsi Lampung.

Krisis Pangan, Energi, dan Pemanasan Global

BAB III PENCEMARAN UDARA YANG DIAKIBATKAN OLEH KENDARAAN BERMOTOR. A. Penyebab Terjadinya Peningkatan Pencemaran Udara yang Diakibatkan

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

Efisiensi Program Car Free Day Terhadap Penurunan Emisi Karbon

BAB I PENDAHULUAN. beracun dan berbahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. kendaraan bermotor dan konsumsi BBM (Bahan Bakar Minyak).

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Bagi masyarakat, transportasi merupakan urat nadi kehidupan sehari-hari

SISTEMATIKA PENYUSUNAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL, RENCANA UMUM ENERGI DAERAH PROVINSI, DAN RENCANA UMUM ENERGI DAERAH KABUPATEN/KOTA

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL TERHADAP PERMINTAAN ENERGI DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK LEAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perubahan Iklim? Aktivitas terkait pemanfaatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil. Pelepasan emisi gas rumah kaca ke udara

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Kupang merupakan ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur yang

BAB I PENDAHULUAN. Data Iklim Nasional NOAA (National Oceanic and Atmospheric. orang yang tinggal di Bumi akan menyumbang peran besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Posisi Energi Fosil Utama di Indonesia ( Dept ESDM, 2005 )

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini.

Studi Carbon Footprint dari Aktivitas Rumah Tangga di Kelurahan Limbungan Baru Kecamatan Rumbai Pesisir Kota Pekanbaru

STRUKTURISASI MATERI

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V Hasil dan Pembahasan

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI KALOR PADA INDUSTRI TAHU

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan bahan bakar diperlukan untuk kebutuhan sehari-hari seperti

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil survei, perhitungan dan pembahasan dapat diperoleh

Transkripsi:

Pemanfaatan Sifat dan Ketersediaan Data sesuai Karakteristik Kabupaten/Kota untuk Estimasi Emisi Spesifik Karbon Joni Hermana 1, Abdu F. Assomadi, Rachmat Boedisantoso, Arie D. Syafe i Laboratorium Pengelolaan Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim (LPPUPI) Jurusan Teknik Lingkungan, FTPS-ITS Surabaya Email 1 : hermana@its.ac.id Abstrak Keberagaman wilayah kabupaten/kota diikuti beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya mengestimasi emisi karbon dengan baik. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) ketersediaan data yang beragam baik sifat dan jumlahnya, belum tentu sesuai dengan inputan model IPCC, 2) jenis dan satuan data yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik pengembangan wilayah, dan 3) pola kegiatan tiap wilayah sehingga karakteristik emisi berbeda-beda. Keberagaman ini menjadi hambatan bagi upaya pemerintah dalam perhitungan dan mendukung program dunia memetakan dan mengelola emisi karbon. Pada penelitian ini ditawarkan metode alternatif yang lebih sederhana dalam perhitungan emisi sesuai data-data yang tersedia dan karakteristik pengembangan wilayah kabupaten/kota, menggunakan emisi spesifik. Karakteristik kabupaten/kota diklusterkan menjadi 1) pengembangan industri, 2) pengembangan wisata/pendidikan, 3) pengembangan pertanian, dan 4) pengembangan pesisir/perikanan. Secara prinsip metode ini menghasilkan emisi spesifik (ES) dari setiap kluster setiap aktivitas (industri, transportasi, dan permukiman) perkapita. Emisi spesifik (ES) tersebut dihitung dari inventarisasi emisi total di setiap contoh katrakteristik kabupaten/kota sesuai metode IPCC, dan kemudian dinyatakan dalam satuan perkapita. Nilai-nilai ES ini yang digunakan lebih lanjut sebagai acuan menghitung emisi kabupaten/kota yang berkarakteristik sama berdasarkan jumlah penduduk pertahun. Hasil penelitian adalah nilai ES yang dapat digunakan sebagai acuan perhitungan emisi kota 1) untuk Perdagangan/Jasa sebesar 0.58 tco 2 /orang.tahun, 2) Pariwisata/Pendidikan 1.43 tco 2 /orang.tahun 3) Pertanian 0.30 tco 2 /orang.tahun 4) Hortikultura/Kehutanan 0.44 tco 2 /orang.tahun 5) Perikanan 0.88 tco 2 /orang.tahun. Kata kunci: karakteristik pengembangan wilayah, faktor emisi spesifik (FES), estimasi emisi karbon, inventarisasi emisi karbon, aktivitas kota. 1. Pendahuluan Pemanasan global (global warming) terjadi karena meningkatnya konsentrasi beberapa gas multivalent di atmosfer seperti CO 2, NO x, H 2 O, CFC, dan sebagainya. Akibatnya adalah energi radiasi dari matahari terserap (terutama inframerah) lebih banyak di atmosfer. Sebelas dari dua belas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74 o C selama abad ke- 20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan (IPCC, 2007). Tingkat pemanasan bergantung kepada tingkat emisi karbon yang dihasilkan. Apabila konsentrasi karbondioksida stabil pada 550 ppm (dua kali lipat dari masa pra-industri) pemanasan rata-rata diperkirakan mencapai 2-4,5 o C. Untuk dua dekade ke depan diperkirakan tingkat pemanasan sebesar 0,2 o C per dekade dengan skenario tidak adanya upaya pengurangan emisi karbon yang dilakukan. Karbondioksida (CO 2 ) merupakan emisi karbon yang paling dominan terhadap adanya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di atmosfer telah naik dari masa pra-industri yaitu 278 ppm (parts-permillion) menjadi 379 ppm pada tahun 2005 (IPCC, 1997) 361

Kebijakan internasional dalam menanggapi pemanasan global yang diperkirakan masih terus berlanjut adalah melakukan inventarisasi emisi karbon. Setiap negara harus berpartisipasi dalam menginventarisasi emisi karbon yang dihasilkannya. Pemerintah Indonesia menginventaris emisi karbon dengan perhitungan tapak karbon (karbon foodprint). Tapak karbon (Carbon Footprint) digunakan untuk mengukur seberapa besar pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan dan terutama terhadap perubahan iklim. Besarnya jumlah gas-gas rumah kaca yang dihasilkan pada aktivitas sehari-hari baik itu melalui pembakaran fosil, penggunaan listrik, dan lain sebagainya, akan memberikan kontribusi berupa emisi karbon. Dari penggunaan energi, berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2008, pada tahun 2007 konsumsi energi mencapai 851 juta SBM (Setara Barel Minyak) dan 96 % digunakan oleh sektor rumah tangga, industri, dan transportasi. Penggunaan energy ini diperkirakan mengemisikan CO 2 sebesar 432 juta ton. Dalam pelaksanaannya, inventarisasi emisi sangat tergantung pada ketersesiaan data dan kualitasnya. Dalam pelaksanaan pengelolaannya, kemampuan akses informasi, taraf sosial masyarakat, dan kondisi wilayah yang berbeda-beda menyebabkan beragamnya pola data-data inventaris, kelengkapan, kedetailan dan kevalidannya. Data-data dengan kualitas dan pola yang berbeda ini, memungkinkan menjadi sumber perbedaan yang signifikan jika dipaksakan untuk mengestimasi tapak karbon suatu wilayah. Dan kemungkinan lebih buruk data-data tersebut tidak sesuai dengan faktor emisi yang tersedia, sehingga beberapa sektor mungkin tidak bisa dihitung. Untuk mengatasi hal tersebut, wilayah-wilayah kabupaten/kota diklusterkan sesuai dengan Rencana Pengembangan Wilayah RTRW Provinsi Jawa setiap Kab/Kota yang diproyeksikan sesuai FPW RTRW Provinsi Jawa Timur. Klasifikasi tersebut adalah pengembangan wilayah pertanian/hortikultura, kehutanan/perkebunan, perdagangan/jasa, pendidikan/wisata, industry, dan perikanan/peternakan. Dalam penelitian ini telah disusun suatu metoda menentukan emisi spesifik yang dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan estimasi emisi suatu wilayah. Metoda atau alat hitung diharapkan mampu mengakomodasi data-data yang tersedia pada suatu wilayah sesuai karakteristiknya. Metoda tersebut setidaknya mampu memberikan estimasi yang baik dan tidak berbeda jauh kehandalannya jika diverifikasi dengan wilayah-wilayah lain, dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Acuan penyusunan ini adalah data yang tersedia di Kota Surabaya dan beberapa daerah lain yang dinilai paling baik ketersediaan datanya. Secara prinsip data-data hasil inventarisasi diolah dengan perhitungan (menurut IPCC, dan Kepmen LH) untuk menghasilkan beberapa alternatif faktor emisi spesifik (FES) untuk setiap sektor data. Nilai-nilai FES ini kemudian dijadikan model untuk diterapkan di wilayah-wilayah lain. 2. Metode yang diterapkan Perhitungan emisi spesifik menggunakan alternatif-alternatif faktor emisi spesifik yang dapat diterapkan untuk beberapa kemungkinan sifat data-data yang ada di wilayah-wilayah dengan karakteristik berbeda. Ringkasan faktor emisi spesifik tiap kontributor emisi pada masingmasing sektor dalam lingkup penelitian adalah sebahgai berikut (Hermana, et al., 2013): 1. Sektor Transportasi. Pada sektor ini setidaknya diperoleh tiga metode perhitungan emisi karbon berdasarkan sifat data-data yang tersedia di pemerintahan kabupaten/kota. Ketiga metode tersebut dinyatakan dalam tiga alternatif FES, yaitu: a. Alternatif 1, berdasarkan konsumsi bahan bakar transportasi, mengikuti model perhitungan IPCC 2006. FES dinyatakan sebesar 2.597,86 kg CO 2 /L premium dan 2.924,90 kg CO 2 /L minyak diesel. b. Alternatif 2, berdasarkan data jenis kendaraan transportasi yang ada, mengikuti model IPCC 2006 di kombinasi dengan perhitungan penyesuaian di lapangan. FES dinyatakan berturut-turut (dalam kg CO 2 /kend.km) 0,069; 0,306; 0,332; 0,311; 0,463; dan 0,494 untuk sepeda motor, mobil bensin, mobil diesel, bus/truk kecil, truk besar, dan bus. 362

c. Alternatif 3, berdasarkan kelas jalan, diperoleh dari perhitungan berprinsip pada IPCC 2006, teori akademik, dan penelitian kondisi lapangan. FES dinyatakan berturut-turut (dalam kg CO 2 /jam.km) 286, 85, 175, 211 dan 26 untuk kelas jalan arteri primer, arteri skunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan lokal. 2. Sektor Industri. Pada sektor ini setidaknya diperoleh dua metode perhitungan emisi karbon berdasarkan sifat data-data yang tersedia di pemerintahan kabupaten/kota. Kedua metode tersebut dinyatakan dalam tiga alternatif FES, yaitu: a. Alternatif 1, berdasarkan konsumsi bahan bakar industri, mengikuti model perhitungan IPCC 2006. FES dinyatakan sebesar 74.100,00 kg CO 2 /TJ minyak diesel. b. Alternatif 2, berdasarkan jumlah industri, diperoleh dari perhitungan berprinsip pada IPCC 2006, teori akademik, dan penelitian kondisi lapangan rata-rata industri yang berkatifitas. FES dinyatakan sebesar 142,18 kg CO 2 /industri.tahun. 3. Sektor Permukiman. Pada sektor ini setidaknya diperoleh empat metode perhitungan emisi karbon berdasarkan sifat data-data yang tersedia di pemerintahan kabupaten/kota. Keempat metode tersebut dinyatakan dalam tiga alternatif FES, yaitu: a. Alternatif 1, berdasarkan konsumsi bahan bakar industri, mengikuti model perhitungan IPCC 2006. FES dinyatakan sebesar 63.100,00 kg CO 2 /TJ LPG. Nilai TJ LPG diperoleh dari data penggunaan LPG (kg/unit.bulan) x 4,73 e-5 TJ/kg. b. Alternatif 2, berdasarkan jenis rumah. FES dinyatakan berturut-turut (dalam kg CO 2 /unit rumah. tahun) 681,7; 460,2; 354,5; dan 130; untuk rumah mewah, rumah menengah, rumah sederhana, dan rumah liar. c. Alternatif 3, berdasar jumlah penghuni rumah. FES dinyatakan berturut-turut (dalam kg CO 2 /jiwa.tahun) 135,3; 105,6; 101,6; dan 36; untuk rumah mewah, rumah menengah, rumah sederhana, dan rumah liar. d. Alternatif 4, berdasar jumlah bangunan. FES dinyatakan rata-rata sebesar 768 kg CO 2 /bangunan.tahun. Dalam mengestimasi dan mengkaji emisi spesifik suatu wilayah kota, idealnya adalah didasarkan pada data-data yang valid, lengkap, dan detail yang menggambarkan kegiatankegiatan yang mengemisikan CO 2 baik primer maupun skunder. Data-data tersebut antara lain data transportasi, permukiman, industri, karakteristik wilayah sesuai rencana pengembangannya. Pemilihan masing-masing satu kota untuk mewakili satu kategori atau karakteristik wilayah, didasarkan pada asumsi kehandalan data yang dimiliki. Kota-kota tersebut adalah kabupaten Sidoarjo mewakili Kabupaten/Kota dengan Faktor Pengembangan Wilayah Industri; Kota Malang mewakili Kabupaten/Kota dengan Faktor Pengembangan Wilayah Pendidikann/Pariwisata; Kab Sumenep mewakili Kabupaten/Kota dengan Faktor Pengembangan Wilayah Pertanian/Hortikultura; Kabupaten Malang mewakili Kabupaten/Kota dengan Faktor Pengembangan Wilayah Perkebunan/Kehutanan; Kabupaten Banyuwangi mewakili Kabupaten/Kota dengan Faktor Pengembangan Wilayah Perikanan; 363

Kabupaten/kota terpilih tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan total emisi dan jika memungkinkan faktor emisi spesifik sesuai data-data wilayah yang diperoleh. Secara prinsip perhitungan emisi karbon menggunakan persamaan Dimana aktivitas adalah jumlah aktivitas yang disesuaikan data yang tersedia, dan FE adalah faktor emisi spesifik (FES) dari alternatif-alternatif seperti tersebut di atas, yang disesuaikan dengan data aktivitas karakteristik wilayah kabupaten/kota. 3. Hasil dan Pembahasan Inventarisasi potensi emisi telah dilakukan dengan estimasi dan pengumpulan data sekunder tentang kuantitas aktivitas pada setiap karakteristik wilayah kabupaten/kota. Aktivitas tersebut adalah transportasi, industri, dan permukinan. Ketiga aktivitas ini merupakan aktivitas yang menyebabkan emisi karbon terbesar. Hasil inventarisasi, potensi emisi dan serapan karbon sesuai hasil survey dan pengumpulan data skunder di tiap kabupaten/kota yang terpilih adalah sebagai berikut: Tidak semua wilayah kabupaten/kota ini yang mempunyai data akurat penggunaan bahan bakar untuk transportasi, maupun data pencacahan jumlah dan jenis kendaraan yang beroperasi. Sehingga tidak memungkinkan menggunakan FES transportasi alternatif 1 dan 2. Sebagai contoh pada wilayah studi dengan karakteristik kab/kota industri, data yang cukup baik adalah data kelas jalan dan panjang jalan. Dengan menggunakan FES transportasi alternatif 3, maka estimasi emisi dihitung seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Emisi karbon berdasarkan panjang dan jenis jalan (FES transportasi alternatif 3) Jalan AP Jalan AS Jalan KP Jalan KS Jalan L Jenis Jalan panjang (kilometer) Kab/kota industri 63,07 31,02 69,52 849,86 492,46 (1) FES (kg CO 2 / jam.km) 268 85 175 211 26 Emisi (kg CO 2 /jam) Emisi kab/kota industri 16902,76 2636,7 12166 22096,36 12803,96 Total 66.606 Total emisi = 66.606 kg CO 2 /jam x 16 jam/hari x 365 hari/tahun x 1 ton/1000 kg= 388.979,04 ton CO 2 /tahun Sedangkan pada contoh estimasi emisi pada wilayah kab/kota wisata/pendidikan, FES alternatif 1 memberikan hasil estimasi yang sangat baik. Pada kota ini, data konsumsi bahan bakar akumulasi per tahun tercatat dengan baik. Menggunakan data tersebut dan FES transportasi alternatif 1, maka emisi karbon dihitung mengasilkan Tabel 2 364

Tabel 2. Emisi karbon berdasarkan konsumsi BBM total dalam setahun BBM Premium Pertamax Biosolar Konsumsi (kl) 158.508 2.724 35.592 Faktor Emisi (g CO 2 /L) 2.597,86 2.597,86 2.924,9 Emisi (ton CO 2 ) 411.781,59 7.076,57 104.103,04 Total (ton CO 2 /tahun) 522.961,20 Perhitungan emisi karbon dari aktivitas industri untuk tiap-tiap karakteristik wilayah dilakukan sesuai dengan data yang tersedia. Hasil terbaik yang menggunakan FES industri alternatif 1 dengan data yang baik pencatatan konsumsi bahan bakar industri tahunan. Pada penelitian ini data konsumsi bahan bakar industri global tahunan tersedia baik pada wilayah kab/kota pendidikan/pariwisata. Sehingga contoh hasil perhitungan emisi industri dengan FES industri alternatif 1 (kab/kota pariwisata/pendidikan) seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Emisi CO 2 industri berdasarkan kensumsi BBM industri BBM Unit (l atau kg) FE (g/unit) Emisi (ton CO 2 /tahun) Solar 759000 2924,9 2.220,00 LPG 557760 3567 1.989,53 Minyak tanah 878040 3535 3.103,87 Total 7.313 Sedangkan untuk wilayah lain yang tidak memiliki rekaman data penggunaan BBM industri, dapat menggunakan jumlah industri yang aktif beroperasi dalam setahun dan menggunakan FES industri alternatif 2 untuk menghitung jumlah emisi tahunannya. Contoh hasil perhitungan untuk kasus ini ditampilkan pada Tabel 4 dari kab/kota dengan karakteristik perkebunan/kehutanan. Meskipun demikian hasil ini cukup dekat dengan estimasi global ratarata industri. Tabel 4. Emisi CO 2 industri berdasarkan data jumlah klasifikasi industri dalam setahun Klasifikasi Jumlah FE (ton CO 2 /ind.thn) Emisi (ton CO 2 /tahun) 1 752 142,18 106919,4 2 99 14075,82 3 103 14644,54 4 31 4407,58 Jenis 5 Industri 163 23175,34 6 47 6682,46 7 0 0 8 99 14075,82 9 47 6682,46 Total 1341 190663,4 Perhitungan emisi dari aktivitas permukiman dilakukan dengan pemilihan FES permukiman 1 sampai dengan 4 secara hirarki sesuai dengan ketersediaan data kab/kota. Sebagai contoh data yang diperoleh di kota/kab wisata/pendidikan cukup lengkap menunjukkan konsumsi bahan bakar domestic (LPG) bagi masyarakatnya. Dengan demikian emisi karbon untuk kab/kota seperti ini dapat menggunakan FES permukiman alternatif 1. Contoh hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. 365

Tabel 5. Emisi karbon domestik berdasar konsumsi LPG Kecamatan Rumah Tangga LPG (kg) FE (kg CO 2 /kg) Emisi tonco 2 A 47.276 3.403.892 12141,68 B 46.296 3.333.346 11890,05 C 24.950 1.796.417 6407,819 D 44.073 3.173.258 11319,01 E 49.321 3.551.083 3,567 12666,71 Total 211.917 15.257.996 54425,27 Untuk daerah lain yang tidak memiliki catatan penggunaan bahan bakar yang cukup, perhitungan emisi karbin dari sektor kegiatan permukiman dapat dilakukan dengan FES permukiman alternatif kedua, ketiga, dan seterusnya. Dalam penelitian ini dihitung juga estimasi emisi dengan menggunakan data jumlah dan jenis bangunan total, seperti berdasarkan data kab/kota industri. Data yang tersedia adalah jumlah unit bangunan dan perkembangannya. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Estimasi ini menggunakan FES permukiman alternatif 2. Tabel 6. Emisi karbon berdasar jumlah dan jenis bangunan Unit RSS RS RM MW RUKO pertambahan 2011 23.304 112.583 19.215 4.876 3.552 pertambahan 2010 17.751 57.575 10.844 631 1.437 pertambahan 2009 17.751 54.419 10.001 631 1.247 pertambahan 2008 17.733 52.460 9.200 406 1.234 Akumulasi 2007 374.461 13.898 11.345 4.710 401.414 Jumlah 451.000 290.935 60.605 11.254 408.884 FES 0,13 0,3545 0,4602 0,6817 0,3545 Emisi 58630 103136,5 27890,42 7671,8518 144949,4 Total Emisi (ton CO 2 /thn) 342.278 Atau estimasi paling kasar adalah menggunakan rata-rata emisi perorang pertahun dari aktivitas permukimannya. Perhitungan ini menggunakan FES permukiman alternatif 3. Berdasarkan data-data sekunder dan pengamatan lapangan yang dilakukan di masing-masing contoh kabupaten/kota sesuai dengan karakteristik yang direncanakan telah dilakukan perhitungan untuk mengestimasi emisi karbon dari ketiga aktivitas utama (transportasi, industri dan permukiman). Total emisi dari ketiga aktivitas merupakan penjumlahan dari masing masing aktivitas di wilayah yang sama. Rekayasa perhitungan dilakukan dengan menggunakan FES alternatif di setiap aktivitas, disesuaikan dengan sifat dan ketersediaan data yang paling memungkinkan di masing-masing karakteristik wilayah kabupaten/kota. Hasil perhitungan total emisi kemudian dibagi jumlah penduduk total dalam tahun data untuk mendapatkan nilai emisi spesifik (ES) perkapita. 2 Nilai ES menyatakan beban emisi rata-rata tiap penduduk tiap tahun rata-rata yang menggambarkan potensi emisi karbon sesuai karakteristik wilayah kabupaten/kota yang di studi. Hasil perhitungan tersebut dirangkum dalam Tabel 7. 366

Tabel 7. Rekap perhitungan emisi (ton CO 2 /tahun) dan emisi spesifik (ES, tco 2 /kapita), tahun 2013 Total Jumlah Wilayah atau FPW ES transportasi Industri Permukiman Emisi Penduduk Industri 388,979.04 21,848.00 342,278.00 753,105.04 1,984,486.00 0.38 Pariwisata/Pendidikan 522,961.00 7,313.00 54,425.00 584,699.00 820,243.00 0.71 Pertanian 19,343.00 84,622.00 10,244.00 114,209.00 1,078,315.00 0.11 Hortikultura/Kehutanan 552,492.00 190,663.00 231,675.00 974,830.00 2,438,687.00 0.40 Perikanan 536,864.00 148,659.10 685,523.10 1,564,833.00 0.44 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, Nampak bahwa nilai ES tiap karakteristik wilayah kab/kota berbeda. Dari analisis dan pengamatan lapangan, perbedaaan ini disebabkan pola konsumsi energi dan pola hidup (aktivitas) yang cukup berbeda. Nilai ES terkecil terhitung pada karakteristik wilayah pertanian. Wilayah ini didominasi kehidupan petani dengan penggunaan energi kecil dan pola hidup yang lebih homogen. Energi lebih banyak digunakan untuk transportasi yang kecil dan mekanisasi pertanian. Pola hidup yang mobilitasnya tidak besar dan aktivitas warga yang cenderung dilakukan di rumah dan pertaniannya. Sangat jauh berbeda dengan ES terbesar pada wilayah pariwisata/pendidikan. Emisi total didominasi oleh kegiatan transportasi. ES pada wilayah ini lebih memungkinkan dihitung berdasarkan konsumsi bahan bakar total. Emisi dari aktivitas transportasi menjadi sangat besar, karena beban jalan sangat besar (cenderung macet), karena banyak wisatawan luar kota yang masuk dan beraktivitas di wilayah tersebut.konsumsi energi transportasi menjadi sangat besar. Nilai ES di wilayah ini menggambarkan beban emisi yang harus ditanggung oleh setiap penduduk. Nilai ES dan metode perhitungan di atas memungkinkan untuk digunakan lebih luas sebagai acuan dalam mengestimasi emisi suatu wilayah dengan karakteristik yang sejenis. Meskipun nilai ES ini masih dalam kajian untuk meningkatkan keakuratannya, namun penggunaannya cukup baik dan dapat dijadikan kajian permulaan suatu wilayah untuk menghitung emisi karbon berdasarkan data-data yang dimiliki. Perhitungan selanjutnya tetap harus menggunakan metode standar IPCC, artinya bahwa setiap daerah harus meningkatkan kualitas dan kuantitas data aktivitas wilayahnya sesuai inputan data IPCC. Jika data telah cukup maka semua perhitungan seharusnya menggunakan alternatif 1 dan FES di semua aktivitas. 4. Kesimpulan Emisi spesifik (ES) dari setiap kluster setiap aktivitas (industri, transportasi, dan permukiman) perkapita dapat dihitung menggunakan data-data sekunder dan lapangan sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten dan data yang tersedia. Nilai-nilai ES ini dapat digunakan lebih lanjut sebagai acuan menghitung emisi kabupaten/kota yang berkarakteristik sama berdasarkan jumlah penduduk pertahun, sambil suatu wilayah memperbaiki data base aktivitasnya disesuaikan dengan IPCC. Perhitungan lebih akuran adalah menggunakan standar internasional seperti IPCC. Hasil penelitian adalah nilai ES yang dapat digunakan sebagai acuan perhitungan emisi kota 1) untuk Perdagangan/Jasa sebesar 0.58 tco 2 /orang.tahun, 2) Pariwisata/Pendidikan 1.43 tco 2 /orang.tahun 3) Pertanian 0.30 tco 2 /orang.tahun 4) Hortikultura/Kehutanan 0.44 tco 2 /orang.tahun 5) Perikanan 0.88 tco 2 /orang.tahun. 5. Penghargaan Penelitian ini berjalan atas pendanaan dari Kemendiknas Pendidikan Tinggi melalui LPPM ITS, dan penyediaan data sekunder pemerintah daerah di Jawa Timur. 367

6. Pustaka Gempur A.M., 2008, Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan 2008, Kementerian Lingkungan Hidup RI, Jakarta, Indonesia. Hermana, J., Wilujeng, S. A., Assomadi, A. F. & Sudibyo, 2013. Kajian Tapak Karbon untuk Penentuan Eco-region di Jawa Timur, Surabaya: Laporan Akhir Penelitian Unggulan ITS, LPPM-ITS. IPCC, 1997. Revised 1996 IPCC, Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. aaaa, s.n. IPCC, 2007. Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories. Japan, s.n. Kementerian Lingkungan Hidup, 2007, Profil Kota Langit Biru, Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan menuju Transportasi Kota Berkelanjutan. Jakarta. Indonesia 368