KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
Berdasarkan angka 1 dan 2 diatas dan dengan pertimbangan hal-hal, antara lain: 1. Azas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLlK INDONESIA JAKARTA

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

3. Surat JAM PIDUM Nomor: B-321/E/Ept.3/4/1991 tanggal 30 April 1991, perihal Petunjuk Teknis Penyusunan Memori Kasasi.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1981 TENTANG TERDAKWA DARI SEMULA TIDAK DAPAT DIHADAPKAN DIPERSIDANGAN

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

HUKUM ACARA PIDANA. Welin Kusuma

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

P U T U S A N Nomor : 339/PID/2011/PT-Mdn.

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Demikian untuk dilaksanakan.

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

PUTUSAN HAKIM BANDING BATAL DEMI HUKUM KASUS SEORANG PENGACARA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

P U T U S A N Nomor : 103 /PID/2013/PT-MDN.-

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

P U T U S A N. Nomor :102/PID.SUS/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

Perihal : Pasal 284 (1) 1 a KUHP 1. Saudara Ketua Pengadilan Tinggi 2. Saudara Ketua Pengadilan Negeri di Seluruh Indonesia

P U T U S A N. Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG PERMOHONAN KASASI PERKARA PIDANA YANG TERDAKWANYA BERADA DALAM STATUS TAHANAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PENGADILAN TINGGI MEDAN

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

P U T U S A N Nomor : 394/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur/tgl.lahir : 65 Tahun/04 Januari 1945

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

P U T U S A N. Nomor 606/PID/2014/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

P U T U S A N NOMOR : 109/PID/2015/PT- MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Meminimalisir Bolak Baliknya Perkara Antara Penyidik dan Penuntut Umum.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

PENGADILAN TINGGI MEDAN

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

ABU BAKAR ALIAS ABU BAKAR BAA SYIR BIN ABUD BAA SYIR ALIAS ABDUS SAMAD

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

PENGADILAN TINGGI MEDAN

P U T U S A N Nomor 82/Pid.Sus/2016/PN.Bj

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),

PENGADILAN TINGGI MEDAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

P U T U S A N. Nomor : 30 /PID/2013/PT-MDN.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA YTH. PARA KEPALA KEJAKSAAN TINGGI Di - SELURUH INDONESIA Berdasarkan hasil eksaminasi khusus dan pemantauan pimpinan terhadap penanganan/penyelesaian perkara selama ini, ternyata masih sering terjadi kegagalan didalam penuntutannya karena kekurang cermatan atau kurangnya penguasaan Jaksa Penuntut Umum dalam hukum pembuktian. Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini sampaikan petunjuk teknis sebagai berikut: 1. Sistem Pembuktian. Sistem pembuktian yang dianut ch Indonesia adalah sistem negatif menurut undang-undang (Negatief Wettelijk Stelsel). Menurut sistim ini, Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang, dan atas dasar alat bukti tersebut Hakim memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa. Sistem ini terkandung dalam ketentuan pasal 183 KUHP. 2. Alat Bukti Alat bukti berdasarkan pasal 184(1) KUHP yaitu: a. Keterangan saksi; Berdasarkan pasal 1 butir 27 KUHP bahwa keterangan saksi adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa Pidana yang ia sendiri, Ia lihat sendiri Ia alami sendiri dengan menyebut alasan Pengetahunnya Itu. Keterangan saksi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Keterangan saksi seperti itu disebut Testimonium deauditu. Pasal 185 ayat 6 KUHP, mengatur bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. - Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. - Atasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk member, keterangan yang tertentu. - Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuau yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Bahwa keterangan saksi yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan-persyaratan tersebut diatas hanya mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan itu dinyatakan dalam sidang pengadilan dengan disumpah terlebih dahulu. Berikut ini dikemukakan beberapa Yurispuredensi baik Sebelum maupun sesudah berlakunya KUHAP, mengenai alat bukti keterangan saksi, untuk dipedomani, antara lain: - Putusan MA Tanggal 1 Desember 1996 No. 137 K/Kr/1956 menentukan bahwa keterangan saksi yang diberikan di

sidang Pengadilan tanpa disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan upaya pembuktian yang besesuaian keterangan saksi itu. - Putusan MA Tanggal 15 Februari 1958 No.202 K/Kr 1957 menentukan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak merupakan alat bukti yang sah, kecuali hanya untuk membuktikan salah satu unsur dakwaan. - Putusan MA Tanggal 8 September I 983 No. 932 K/Pid/1 982, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan membebaskan terdakwa, dengan alasan saksi tidak sempat didengar keterangannya. walaupun visum et repertum ada dan telah dibacakan. - Putusan M.A. Tanggal 15 Agustus 1993, No-298 K/Pid/ 1982, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dan membebaskan terdakwa, karena tidak ada Seorang SakSi dibawah sumpah, maupun alat bukti lain yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa baik perkosaan maupun perzinahan. - Putusan M.A Tanggal 13 September 1983 No. 391 K/ Pid1983, memerintahkan Pengadilan Negeri membuka kembali pemeriksaan sidang, guna mendengar saksi-saksi a decharge yang diajukan oleh pembela, karena Pengadilan, Negeri dan Pengadilan Tinggi Medan menolak memeriksa saksi a decharge yang diajukan terdakwa. - Saksi Mahkota (Kroongetuige) Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun Sejak Sebelum berlakunya KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan. Dalam Praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan ( deelneming ), dimana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim. Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa. keterangannya, hanya berlaku untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan pasal 189 (3) KUHP, oleh karena itu dengan berpedoman pada pasal 142 KUHP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing). agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1986 K/Pid/1 989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan Syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas perkara yang diberikan kesaksian ( Gesplits). Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi Mahkota sebagai alat bukti adalah Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan MARSINAH, yang menyatakan saksi Mahkota bertentangan dengan hukum ( Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1174 K/Pid/1994, 381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid/1994 dan 1706 K/Pid/1994).

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut Sebagai dasar putusannya, maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya Sedapat mungkin diupayakan juga tambahan alat bukti lain. AZAS UNUS TESTIS NULLUS TESTIS. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Hukum Acara Pidana berlaku azas bahwa keterangan Seorang saksi bukanlah saksi. Didalam praktek ada kalanya azas ini ditafsirkan bahwa keterangan saksi walaupun terdiri beberapa saksi, tanpa didukung alat bukti jenis lainnya, maka keterangan saksi itu belum memenuhi bukti minimurn seperti dimaksud dalam pasai 183 KUHP, Dengan demikian walaupun Sudah ada beberapa saksi, namun tetap harus diusahakan agar ada alat bukti jenis lainnya yang menguatkan keterangan saksi-saksi itu. b. Keterangan Ahli; Menurut pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh Seorang yang memiliki keahlian khusus, tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan suatu pemeriksaan. Berdasarkan pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah apa yang ahli menyatakan disidang Pengadilan dan berdasarkan pasal 179 ayat (2) KUHAP, ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji akan memberikan keterangannya. Berbeda dengan keterangan saksi maka didepan Penyidik, ahli yang didengar keterangannya Sudah harus, mengangkat sumpah atau janji (pasal 120 (2) KUHAP). (Untuk keterangan ahli baca pasal 1 butir 28, pasal 120, pasal 179, pasai 180 KUHAP). c. Surat; Berdasarkan pasal 187 KUHAP, alat bukti Surat adalah Surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan, adalah: - Berita Acara dan Surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh ia umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; - Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau Surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tat laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; - Surat keterangan dad Seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya ; - Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Sedang Surat lainnya yang diperoleh dan hasil perneriksaan perkara pidana dapat dipergunakan hanya Sebagai alat bukti petunjuk jika ada Penyesuaian dengan alat bukti lainnya yang menunjukan bahwa tersangka bersalah. Berikut ini dikemukakan beberapa Yurisprudensi mengenai alat bukti Surat untuk dipedomani:

- Putusan Mahkamah Agung No. 70 K/Kr/1 958 tanggal 17 Maret 1959 menentukan bahwa alat bukti surat dalam perdata berlaku juga dalam pidana. - Putusan Mahkamah Agung No. 148/K/Kr/1 959 tanggal 19 Agustus 19W mennetukan bahwa di indahkan atau tidaknya sesuatu surat adalah termasuk bidang kebijaksanaan judex facti. - Putusan Mahkamah Agung No. 47 K/Kr/1 959 9 Mei 1959 menentukan bahwa adanya surat perjanjian tidak berarti bahwa perkara adalah merupakan sesuatu perkara perdata yang tidak bisa dituntut dimuka Hakim Pidana. - Putusan Mahkamah Agung No. 226 K/Kr/1959 tanggal 26 April 1959 menentukan bahwa surat-surat pemeriksaan penyidik (Polisi) yang tidak ditanda tangani terdakwa, tidak dapat menyebabkan batainya perneriksaan, karena yang menjadi dasar putusan Hakim adalah hasil pemeriksaan Hakim di sidang Pengadilan. d. Petunjuk; Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAP Petunjuk adalah Pembuatan kejadian atau keadaan yang karena pesesuaian nya baik antara yang Satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan sipelakunya Selanjutnya didalam ayat 2 dijelaskan bahwa alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Mengenali penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk, ayat 3 menyatakan bahwa dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arief lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dengan demikian Hakim berperan penting didalam menentukan kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk. Alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri, tetapi harus didukung sekurang-kurangnya satu alat bukti lainnya, seperti dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 81 K/Kr/1956 tanggal 9 Nopember 1956; yang menetapkan bahwa jika terdakwa di Sidang Pengadilan telah mengaku (telah membenarkan) atas segala yang dituduhkan (didakwakan) kepadanya, maka dengan petunjuk itu Hakim cukup mendengarkan keterangan seorang saksi. e. Keterangan Terdakwa; Berdasarkan pasal 189 KUHAP, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar keterangan terdakwa dapat diterima sebagai alat bukti adalah: - Keterangan itu dinyatakan disidang Pengadilan. - Keterangan tersebut mengenai pembuatan yang dilakukan, diketahui atau dialami sendiri. - Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. - Keterangan terdakwa harus disertai dengan alat bukti yang lain. Untuk keberhasilan tugas penuntutan, agar dilakukan langkah-langkah antisipatif mengenai kemungkinan pencabutan keterangan terdakwa/saksi dipersidangan (perhatian Surat JAM PIDUM No. B-254/E/5/1993 tanggal 5 Mei 1993). Berikut ini dikemukakan contoh Yurisprudensi yang berhubungan dengan pencabutan keterangan terdakwa dipersidangan.

- Putusan MA No: 1043 K/Pid/1 987 tanggal 19 Agustus 1987 menyatakan bahwa pencaburtan keterangan terdakwa yang tidak beralasan merupakan bukti Petunjuk atas kesalahannya. - Putusan MA No: 414/K/pid/1984 tanggal 11 Desember 1984, menyatakan bahwa pencabutan keterangan terdakwa di persidangan tidak dapat diterima karena pencabutan tersebut tidak beralasan. 3. Teknik Pembuktian a. Setiap jaksa PU diharapkan memnpunyai motivasi untuk terbuktinya dakwaan dimulai sejak penerimaan SPDP sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sehubungan dengan itu diingatkan kembali agar memperhatikan petunjuk teknis JAM PIDUM antara lain dalam surat: - Nomor : B-401/E/9/1993, tanggal 8 September 1993 tanggal 11 Desember Perihal Pelaksanaan Tugas Prapenuntutan. - Nomor : B-403/E/9/1993, tanggal 8 September 1993 perihal Kecermatan Dalam Melimpahkan Perkara ke Pengadilan. - Nomor: B-572/E/10/1994 tanggal 7 Oktober 1994 tentang Kegagalan Penuntutan. - Nomor B-186/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995 perihal Kecermatan Penanganan Suatu Kasus Perkara. b. Surat Dakwaan. Harus disadari bahwa surat dakwaan tidak dapat terlepas dari keberadaan alat bukti. Oleh karena itu didalam penyusunannya sudah harus disesuaikan dengan tersedianya alat-alat bukti yang mendukung perbuatan pidana yang didakwakan. Demi kecepatan diharapkan agar pada saat diterbitkannya P-21, Jaksa PU sudah harus segera menyusun rencana surat dakwaan agar sesudah penerimaan berkas perkara tahap II, dalam waktu singkat sudah dapat dilimpahkan ke Pengadilan. Perlu diingatkan kembali agar didalam menyusun surat dakwaan supaya berpedoman pada Surat Edaran Jaksa Agung R.l. Nomor : SE-004/JA/1 /1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. c. Surat Tuntutan Pidana. Sebagaimana halnya dengan surat dakwaan maka di dalam menyusun Surat Tuntutan Pidana supaya terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan memperhatikan hukum pembuktian seperti diuraikan diatas. - Surat tuntutan pidana disusun secara sistematis, ilmiah dan rasional dengan menggunakan formulir P-24 tersebut dalam Surat Keputusan Jaksa Agung Rl. Nomor : Kep-132/J.A/ 11/1994 tanggal 7 Nopember 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. - Meskipun pasal 197 ayat (1) KUHAP mengatur tentang putusan pemidanaan, tetapi untuk kecermatan kelengkapan penyusunan Surat Tuntutan Pidana supaya berpedoman pada pasal 197 ayat (1) KUHAP dengan Sistematika sebagai berikut : a. Identitas Terdakwa. b. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. c. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari

perneriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. d. Pasal peraturan perundang-undangan yang dilanggar terdakwa disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. e. Pernyataan kesalahan terdakwa/pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai kualifikasi. f. Tuntutan pidana. g. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlah yang pasti. h. Ketentuan mengenai barang bukti (apabila barang bukti dituntut dikembalikan kepada yang berhak, supaya disebutkan secara tegas siapa yang berhak itu). i. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (apabila tidak cukup bukti). d. Keyakinan Hakim. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 183 KUHAP bahwa selain didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti, juga disyaratkan harus ada keyakinan Hakim bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana Oleh karena itu untuk meyakinkan Hakim tentang kesalahan terdakwa Jaksa penuntut Umum dalam menyusun surat tuntutan pidana harus benar-benar profesional dengan menggunakan istilah-istilah yuridis, disertai pertimbangan yang jelas dan rasional, dengan menyebutkan secara rinci terbuktinya setiap unsur perbuatan pidana, berdasarkan alat-alat bukti yang mendukung dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hukum Pembuktian. Demikian untuk menjadi maklum dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. TEMBUSAN: 1. YTH. BAPAK JAKSA AGUNG RI ( sebagai laporan ) 2. YTH. BAPAK WAKIL JAKSA AGUNG 3. YTH. SDR. PARA JAKSA AGUNG MUDA 4. ARSIP ------------------------------------------------------------ JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM ttd ISMUJOKO, SH.