PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Transkripsi

1 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan dan untuk lebih meningkatkan kualitas dan transparansi dalam melaksanakan penanganan perkara, perlu untuk menyempurnakan tata cara penanganan perkara di KPPU dengan memerhatikan hasil Rapat Komisi tanggal 18 November 2009; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Komisi tentang Tata Cara Penanganan Perkara; : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Inadonesia Nomor 3817); 2. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008; 3. Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2006 tentang Memberhentikan dan Mengangkat Keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 4. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04/KPPU/KEP/I/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia; MEMUTUSKAN

2 - 2 - MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA. BUKU KESATU KETENTUAN UMUM BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Rapat Komisi adalah organ pengambil keputusan tertinggi yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah Anggota Komisi. 2. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator dan/atau Majelis Komisi yang dibantu oleh Panitera untuk memeriksa dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli dan Instansi Pemerintah. 3. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk mendapatkan bukti awal dalam perkara inisiatif. 4. Klarifikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan untuk mendapat bukti awal dalam perkara laporan. 5. Pengawasan Pelaku Usaha adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha untuk memperoleh data, informasi dan alat-alat bukti tentang ada tidaknya dugaan persaingan usaha tidak sehat atau praktek monopoli dari Pelaku Usaha atau sebagai upaya mencegah terjadinya pelanggaran. 6. Penyelidikan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Investigator untuk mendapatkan bukti yang cukup sebagai kelengkapan dan kejelasan Laporan Klarifikasi, Laporan Hasil Kajian, hasil Penelitian, dan hasil Pengawasan. 7. Pemberkasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani Pemberkasan dan penanganan perkara untuk meneliti kembali Laporan Hasil Penyelidikan guna menyusun Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran untuk dilakukan Gelar Laporan. 8. Pemeriksaan Pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. 9. Pemeriksaan

3 Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. 10. Putusan Komisi adalah penilaian Majelis Komisi yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. 11. Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 12. Pelapor adalah setiap orang yang menyampaikan laporan kepada Komisi mengenai telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran, baik yang melakukan tuntutan ganti rugi maupun tidak. 13. Terlapor adalah Pelaku Usaha dan/atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran. 14. Saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan Pemeriksaan. 15. Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang terkait dengan dugaan pelanggaran dan memberikan Pendapat guna kepentingan Pemeriksaan. 16 Keterangan Ahli adalah keterangan orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. 17. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 18. Kajian adalah kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja yang menangani Kajian untuk menganalisa sektor-sektor industri tertentu yang terkait dengan kepentingan umum dan efisiensi nasional dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. 19. Berita Acara adalah akta resmi yang memuat keterangan tentang kegiatan penanganan perkara. 20. Gelar Laporan adalah penjelasan mengenai Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran yang disampaikan oleh unit kerja yang menangani Pemberkasan dan penanganan perkara dalam Rapat Komisi. 21. Sidang Majelis Komisi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi dalam sidang yang terbuka untuk umum terdiri atas Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksaan Lanjutan untuk menilai ada atau tidak adanya bukti pelanggaran guna

4 - 4 - guna menyimpulkan dan memutuskan telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran serta penjatuhan sanksi berupa tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. 22. Investigator adalah pegawai Sekretariat Komisi yang ditugaskan oleh Komisi untuk melakukan kegiatan Penyelidikan atau membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran pada Pemeriksaan Pendahuluan, mengajukan alat bukti, dan menyampaikan kesimpulan pada Pemeriksaan Lanjutan. 23. Panitera adalah pegawai Sekretariat Komisi yang bertugas membuat Berita Acara Persidangan dan membantu Majelis Komisi dalam persidangan, penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan, dan penyusunan Putusan Komisi. 24. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil Tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang yang terkait untuk melakukan penyidikan. 25. Komisi Pengawas Persaingan Usaha selanjutnya disebut Komisi adalah Komisi yang dibentuk oleh Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun Hari adalah hari kerja yaitu hari Senin sampai dengan hari Jumat kecuali hari libur nasional. 27. Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. BAB II RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Peraturan Komisi ini meliputi penanganan perkara berdasarkan: a. laporan Pelapor; b. laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi; c. Inisiatif Komisi. (2) Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor terdiri atas tahap sebagai berikut: a. Laporan; b. Klarifikasi c. Penyelidikan; d. Pemberkasan; e. Sidang Majelis Komisi; dan f. Putusan Komisi. (3) Penanganan perkara berdasarkan Laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi terdiri atas tahap sebagai berikut: a. Laporan; b. Klarifikasi c. Sidang

5 - 5 - c. Sidang Majelis Komisi; dan d. Putusan Majelis Komisi. (4) Pananganan perkara berdasarkan inisiatif Komisi terdiri atas tahap sebagai berikut: a. Kajian; b. Penelitian; c. Pengawasan Pelaku Usaha; d. Penyelidikan; e. Pemberkasan; f. Sidang Majelis Komisi; dan g. Putusan Komisi. BUKU KEDUA TUGAS DAN WEWENANG BAB I KETUA KOMISI Pasal 3 (1) Ketua Komisi mempunyai tugas memfasilitasi seluruh kegiatan penanganan perkara dengan berpegang pada prinsip-prinsip efektifitas dan transparansi. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Komisi mempunyai wewenang: a. menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan; b. menetapkan perlu atau tidaknya Pemeriksaan Lanjutan; c. menetapkan status Terlapor, perjanjian dan/atau kegiatan Terlapor yang diduga melanggar, dan ketentuan Undang- Undang yang diduga dilanggar; dan/atau d. membentuk Majelis Komisi. (3) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Komisi yang terlebih dahulu mendapat persetujuan Rapat Komisi. BAB II WAKIL KETUA KOMISI Pasal 4 (1) Dalam hal Ketua Komisi berhalangan, tugas dan wewenang Ketua Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Wakil Ketua Komisi. (2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud ayat (1), Wakil Ketua Komisi berwenang mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Ketua Komisi. BAB III

6 - 6 - BAB III MAJELIS KOMISI Pasal 5 (1) Keanggotaan Majelis Komisi ditetapkan dengan Keputusan Komisi. (2) Majelis Komisi bertugas: a. melakukan Pemeriksaan Pendahuluan; b. melakukan Pemeriksaan Lanjutan; c. menilai, menyimpulkan, dan memutuskan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran; d. menjatuhkan sanksi; e. membacakan Putusan Komisi. (3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Komisi mempunyai wewenang: a. melakukan Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksan Lanjutan; b. meminta keterangan dari Instansi Pemerintah; c. meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti dalam Laporan Dugaan Pelanggaran; d. mendapatkan surat, dokumen, atau alat bukti lain; e. meminta bantuan Penyidik untuk menghadirkan Terlapor, Saksi, Ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran yang tidak bersedia memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan dan/atau data. f. memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pembelaan terkait dengan dugaan pelanggaran; g. mempelajari dan menilai semua hasil Pemeriksaan; h. menentukan waktu Sidang Majelis untuk Pemeriksaan dan pembacaan Putusan Komisi; i. menandatangani Putusan Komisi; j. memberikan rekomendasi kepada Ketua Komisi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah; k. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yangmelanggar ketentuan Undang-Undang. BUKU KETIGA

7 - 7 - BUKU KETIGA HAK DAN KEWAJIBAN PIHAK YANG DIPERIKSA BAB I HAK DAN KEWAJIBAN PELAPOR DAN TERLAPOR Bagian Pertama Pelapor Pasal 6 (1) Dalam Pemeriksaan, Pelapor wajib: a. menghadiri sendiri setiap panggilan pada tahap Klarifikasi dan Penyelidikan; b. memberikan keterangan terkait dengan dugaan pelanggaran pada tahap Klarifikasi dan Penyelidikan; c. menyerahkan surat dan/atau dokumen yang dimiliki kepada Investigator pada tahap Klarifikasi dan Penyelidikan; d. memberitahukan perubahan alamat kepada Komisi; e. menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (2) Dalam Pemeriksaan, Pelapor berhak: a. mendapatkan pemberitahuan penetapan pelaksanaan Pemeriksaan Pendahuluan; b. mendapatkan pemberitahuan penetapan dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya perkara ke Pemeriksaan Lanjutan; c. mendapatkan Salinan Putusan Komisi; d. meminta dirahasiakan identitasnya; e. didampingi oleh Advokat dalam tahapan Klarifikasi dan Penyelidikan. Pasal 7 (1) Dalam Pemeriksaan, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) wajib: a. menghadiri sendiri setiap panggilan; b. memberikan keterangan terkait dengan dugaan pelanggaran; c. menyerahkan surat dan/atau dokumen yang dimiliki kepada Majelis Komisi; d. memberitahukan perubahan alamat kepada Komisi; e. menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (2) Dalam Pemeriksaan, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) berhak: a. mendapatkan pemberitahuan penetapan pelaksanaan Pemeriksaan Pendahuluan; b. mendapatkan pemberitahuan penetapan dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya perkara ke Pemeriksaan Lanjutan; c. mengajukan alat bukti termasuk Saksi dan/atau Ahli; d. menyampaikan

8 - 8 - d. menyampaikan Laporan Dugaan Pelanggaran berserta perhitungan kerugian yang dialami dalam Pemeriksaan Pendahuluan; e. memeriksa alat-alat bukti sebelum menyusun kesimpulan; f. menyusun kesimpulan untuk disampaikan kepada Majelis Komisi sebelum Putusan; g. mendapatkan Salinan Putusan Komisi; h. didampingi oleh Advokat dalam setiap tahapan Pemeriksaan. Bagian Kedua Terlapor Pasal 8 (1) Dalam Pemeriksaan, Terlapor wajib: a. menghadiri sendiri setiap panggilan; b. memberikan keterangan terkait dengan dugaan pelanggaran; c. menyerahkan surat dan/atau dokumen yang dimiliki kepada Majelis Komisi; d. memberitahukan perubahan alamat kepada Komisi; e. menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (2) Dalam Pemeriksaan, Terlapor berhak: a. mendapatkan pemberitahuan Laporan Dugaan Pelanggaran; b. mendapatkan pemberitahuan penetapan dilakukannya Pemeriksaan Pendahuluan; c. mendapatkan pemberitahuan penetapan status Terlapor, perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar, dan ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh Terlapor; d. mendapatkan pemberitahuan penetapan dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya perkara ke Pemeriksaan Lanjutan; e. mengajukan alat bukti termasuk Saksi dan/atau Ahli; f. memeriksa alat-alat bukti sebelum menyusun kesimpulan; g. menyampaikan tanggapan atau pembelaan atas tuduhan dugaan pelanggaran; h. menyusun kesimpulan untuk disampaikan kepada Majelis Komisi sebelum Putusan; i. mendapatkan salinan Putusan; j. didampingi oleh Advokat dalam tahap Klarifikasi, Pemeriksaan, dan Sidang Majelis. BAB II KEWAJIBAN SAKSI DAN AHLI Pasal 9 (1) Dalam Pemeriksaan, Saksi dan Ahli wajib: a. menghadiri sendiri setiap panggilan Majelis Komisi; b. memberikan

9 - 9 - b. memberikan keterangan dihadapan Majelis Komisi terkait dengan dugaan pelanggaran; c. menyerahkan surat dan/atau dokumen yang dimiliki kepada Majelis Komisi; d. mengangkat sumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; e. menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. (2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta untuk dirahasiakan identitasnya. BAB III KEWAJIBAN INSTANSI PEMERINTAH Pasal 10 Dalam Pemeriksaan, Instansi Pemerintah wajib: a. memberikan keterangan dalam kaitannya dengan penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang; b. menyerahkan surat dan/atau dokumen yang diminta; c. menandatangani Risalah Keterangan Pemerintah. BUKU KEEMPAT LAPORAN BAB I PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 11 (1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang dapat melaporkan kepada Komisi. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada Ketua Komisi dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk tertulis dengan ketentuan paling sedikit memuat: a. menyertakan secara lengkap identitas Pelapor, Terlapor, dan Saksi; b. menerangkan secara jelas dan sedapat mungkin lengkap dan cermat mengenai telah terjadi atau dugaan terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; c. menyampaikan alat bukti dugaan pelanggaran; d. menyampaikan salinan identitas diri Pelapor; dan e. menandatangani Laporan. (4) Khusus bagi Pelapor yang meminta ganti rugi, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib menyertakan

10 menyertakan nilai dan bukti kerugian yang dideritanya. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan melalui Kantor Perwakilan Komisi di daerah. (6) Identitas Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dirahasiakan oleh Komisi. (7) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dicabut oleh Pelapor. BAB II KLARIFIKASI Pasal 12 (1) Unit kerja yang menangani laporan melakukan Klarifikasi terhadap setiap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Klarifikasi laporan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan untuk : a. memeriksa kelengkapan administrasi laporan; b. memeriksa kebenaran lokasi alamat Pelapor; c. memeriksa kebenaran identitas Terlapor; d. memeriksa kebenaran alamat Saksi; e memeriksa kesesuaian dugaan pelanggaran Undang- Undang dengan pasal yang dilanggar dengan alat bukti yang diserahkan oleh Pelapor; dan f. menilai kompetensi absolut terhadap laporan. (3) Hasil Klarifikasi sebagaimana dimaksud ayat (1) paling sedikit memuat: a. menyatakan laporan merupakan kompetensi absolut KPPU; b. menyatakan laporan lengkap secara administrasi; c. menyatakan secara jelas dugaan pelanggaran Undang- Undang dengan pasal yang dilanggar; dan d. menghentikan proses penanganan laporan atau merekomendasikan kepada atasan langsung untuk dilakukan Penyelidikan. (4) Penghentian proses penanganan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan oleh unit kerja yang menangani laporan apabila tidak memenuhi salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Hasil Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk menemukan bukti awal sebagai bahan Penyelidikan. (6) Pimpinan Sekretariat Komisi memberitahu kepada Pelapor mengenai hasil Klarifikasi. Pasal 13

11 Pasal 13 Hasil Klarifikasi terhadap laporan dengan kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (4) dilaporkan oleh unit kerja yang menangani laporan kepada Komisi dalam Rapat Komisi untuk mendapat persetujuan menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Pemeriksaan Pendahuluan. BAB III JANGKA WAKTU KLARIFIKASI Pasal 14 (1) Dalam hal ditemukan Laporan yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), unit kerja yang menangani laporan memberitahukan dan mengembalikan kepada Pelapor paling lama 10 (sepuluh) hari sejak diterimanya laporan. (2) Pelapor melengkapi laporan yang belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) hari sejak dikembalikan laporan. (3) Dalam hal Pelapor tidak melengkapi laporan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (2), maka laporan dinyatakan tidak lengkap dan penanganannya dihentikan. (4) Dalam hal Pelapor tidak melengkapi laporannya dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelapor dapat mengajukan Laporan baru apabila menemukan bukti baru yang lengkap. BUKU KELIMA PERKARA INISIATIF BAB I SUMBER DATA ATAU INFORMASI Pasal 15 (1) Komisi dapat melakukan penanganan perkara berdasarkan data atau informasi, tanpa adanya laporan, tentang adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang. (2) Data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber paling sedikit dari: a. Hasil Kajian; b. Berita di media; c. Hasil Pengawasan; d. Laporan yang tidak lengkap; e. Hasil Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi; f. Temuan dalam Pemeriksaan; atau g. Sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. BAB II

12 BAB II KAJIAN KOMISI Bagian Pertama Kriteria Pasal 16 (1) Komisi melakukan Kajian sektor industri yang memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. industri yang menguasai hajat hidup orang banyak; b. industri strategis, yang penting bagi negara; c. industri dengan tingkat konsentrasi tinggi; dan/atau d. industri unggulan nasional ataupun daerah. (2) Komisi memilih dan menetapkan daftar industri yang akan dikaji berdasarkan usulan dari unit kerja yang menangani Kajian. (3) Kajian sektor industri dilakukan oleh Tim Kajian yang ditetapkan oleh Ketua Komisi. Bagian Kedua Kegiatan Kajian Pasal 17 Kajian sektor industri meliputi kegiatan paling sedikit sebagai berikut: a. mengumpulkan data dan informasi dengan tahapan: 1. melakukan studi literatur; 2. mengundang pemangku kepentingan; 3. melakukan Penelitian lapangan; dan/atau 4. melakukan focus group discussion (FGD). b. melakukan pengolahan data dan informasi yang diperoleh c. melakukan analisa industri dan kebijakan; d. mengidentifikasi potensi dan dugaan pelanggaran undangundang; dan e. menyusun hasil Kajian. Bagian Ketiga Hasil Kajian Pasal 18 (1) Tim Kajian menyampaikan Laporan Hasil Kajian industri kepada Komisi dalam Rapat Komisi. (2) Laporan Hasil Kajian berisi paling sedikit terdiri atas: a. struktur industri; b. kinerja industri; c. kebijakan industri; d. potensi atau dugaan pelanggaran Undang-Undang; e. rekomendasi. (3) Rekomendasi

13 (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e memuat paling sedikit sebagai berikut: a. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah untuk menerbitkan atau mengubah kebijakan; dan/atau b. melanjutkan ke tahap Penyelidikan. Pasal 19 Laporan Hasil Kajian Industri dapat masuk ke tahap Penyelidikan apabila memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. terdapat dugaan pelanggaran Undang-Undang dan pasal yang dilanggar; dan/atau b. terdapat dugaan kinerja industri, pasar yang menurun atau dugaan potensi kerugian konsumen. Pasal 20 Komisi menetapkan tindaklanjut atas Laporan Hasil Kajian Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan/atau melanjutkan ke tahap Penyelidikan. BAB II PENELITIAN Pasal 21 (1) Unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha melakukan penelitian untuk mendapatkan bukti awal dugaan pelanggaran terhadap Pelaku Usaha. (2) Untuk mendapatkan bukti awal dugaan pelanggaran unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha melakukan serangkaian kegiatan paling sedikit sebagai berikut: a. melakukan pengumpulan data-data dari Pelaku Usaha, pemerintah dan atau pihak lain; b. melakukan survey pasar; c. melakukan survey setempat; dan/atau d. melakukan penerimaan surat-surat tembusan dan atau informasi-informasi yang berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran Undang-Undang. Pasal 22 (1) Unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha menyiapkan dan menyampaikan Laporan Hasil Penelitian dalam Rapat Komisi/Rapat Koordinasi. (2) Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat sebagai berikut: a. identitas Pelaku Usaha; b. struktur

14 b. struktur pasar; c. potensi atau dugaan perilaku yang melanggar Undang- Undang; d. potensi atau dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun; e. rekomendasi dilanjukan atau tidak ke tahap Pengawasan atau Penyelidikan. (3) Komisi menetapkan tindaklanjut Pengawasan terhadap Pelaku Usaha berdasarkan Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud ayat (2) apabila memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. 1 (satu) Pelaku Usaha atau satu kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 50% (lima puluh persen); b. 2 atau 3 Pelaku Usaha atau kelompok Pelaku Usaha memiliki pangsa pasar lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen); dan/atau c. berpotensi melakukan pelanggaran Undang-Undang. (4) Komisi menetapkan tindaklanjut Penyelidikan berdasarkan Laporan Hasil Penelitian apabila memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut: a. dugaan perilaku yang melanggar Undang-Undang; dan/atau b. dugaan kinerja industri atau pasar yang menurun. Pasal 23 Apabila diperlukan Komisi dapat melakukan dengar pendapat dengan Pelaku Usaha berdasarkan Laporan Hasil Penelitian atas usul dari unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha. Pasal 24 (1) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dimasukan dalam buku Daftar Pelaku Usaha Dalam Pengawasan. (2) Penetapan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) diberitahukan kepada Pelaku Usaha. Pasal 25 (1) Unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha melakukan Penelitian dalam jangka waktu sesuai kebutuhan. (2) Penelitian berakhir apabila Komisi memutuskan untuk: a. menindaklanjuti dalam bentuk Pengawasan; atau b. menindaklanjuti dalam bentuk Penyelidikan. BUKU KEENAM

15 BUKU KEENAM PENGAWASAN BAB I BENTUK PENGAWASAN Pasal 26 (1) Komisi melakukan Pengawasan terhadap Pelaku Usaha yang masuk dalam buku Daftar Pelaku Usaha Dalam Pengawasan. (2) Pengawasan Pelaku Usaha dilakukan dalam bentuk sebagai berikut: a. monitoring harga dan pasokan; b. wawancara; c. pertemuan dengan Pelaku Usaha yang bersangkutan; d. laporan berkala dari Pelaku Usaha setiap 6 (enam) bulan; e. meminta informasi dari Pelaku Usaha pesaing; dan/atau f. meminta keterangan dari Pemerintah. (3) Pertemuan dengan Pelaku Usaha untuk evaluasi data dan informasi hasil Pengawasan dilakukan paling lama sekali dalam 6 (enam) bulan. (4) Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihadiri oleh paling sedikit 1 (satu) anggota Komisi yang ditugaskan oleh Ketua Komisi. BAB II HASIL PENGAWASAN Pasal 27 (1) Unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha membuat Laporan Pelaksanaan Pengawasan untuk disampaikan kepada Komisi dalam Rapat Komisi. (2) Laporan Pelaksanaan Pengawasan memuat paling sedikit sebagai berikut: a. identitas Pelaku Usaha; b. perkembangan struktur pasar; c. perkembangan potensi atau dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; d. langkah-langkah antisipasi Pelaku Usaha terhadap potensi terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat; e. rekomendasi untuk penghentian Pengawasan, atau tetap dalam Pengawasan dan/atau pemberian penghargaan, atau dilakukan Penyelidikan; dan/atau f. rekomendasi dapat juga berisi pemberian penghargaan. (3) Unit

16 (3) Unit kerja yang menangani monitoring Pelaku Usaha menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan kepada Komisi dalam Rapat Komisi. Pasal 28 (1) Komisi menetapkan tindaklanjut atas rekomendasi Laporan Hasil Pengawasan. (2) Komisi dapat memberikan penghargaan terhadap Pelaku Usaha apabila dalam kurun waktu paling singkat 3 (tiga) tahun berturutturut tidak melanggar Undang-Undang, yang ditetapkan dengan Keputusan Komisi. (3) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi. BUKU KETUJUH PEMERIKSAAN BAB I PENYELIDIKAN Bagian Pertama Tata Cara Penyelidikan Pasal 29 Unit kerja yang membidangi investigasi menugaskan Investigator untuk melakukan Penyelidikan terhadap: a. hasil Klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5); b. Laporan Hasil Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; c. Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4); atau d. Laporan Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 30 (1) Laporan dengan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), tidak dilakukan Penyelidikan (2) Laporan dengan kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) setelah disetujui oleh Rapat Komisi dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. Pasal 31 (1) Investigator melakukan Penyelidikan untuk memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran terhadap: a. laporan

17 a. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Laporan Hasil Kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; c. Laporan Hasil Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4); atau d. Laporan Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3). (2) Investigator dalam melakukan Penyelidikan melakukan langkahlangkah paling sedikit sebagai berikut: a. memanggil dan meminta keterangan Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, dan Pihak lain yang terkait; b. memanggil dan meminta keterangan Saksi; c. meminta Pendapat Ahli; d. mendapatkan surat dan atau dokumen; e. melakukan Pemeriksaan setempat; dan/atau f. melakukan analisa terhadap keterangan-keterangan, surat, dan/atau dokumen serta hasil Pemeriksaan setempat. (3) Investigator membuat dan menandatangi Berita Acara Penyelidikan sebagaimana dimaksud ayat (2). (4) Investigator melakukan koordinasi dengan Unit kerja yang membidangi investigasi dalam melakukan Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. Pasal 32 (1) Pelapor dan Terlapor wajib memenuhi panggilan Unit kerja yang membidangi investigasi dalam rangka Penyelidikan. (2) Pelapor dan Terlapor wajib menyerahkan surat dan/atau dokumen yang diperlukan dalam Penyelidikan kepada Investigator. (3) Pelapor dan Terlapor wajib menandatangani Berita Acara Penyelidikan. Pasal 33 (1) Pelaku Usaha dan Pihak lain yang terkait wajib memenuhi panggilan Unit kerja yang membidangi investigasi dalam rangka Penyelidikan. (2) Pelaku Usaha dan Pihak lain yang terkait wajib menyerahkan surat dan/atau dokumen yang diperlukan dalam Penyelidikan kepada Investigator. (3) Pelaku Usaha dan Pihak lain yang terkait wajib menandatangani Berita Acara Penyelidikan. Pasal 34 (1) Saksi dan Ahli wajib memenuhi panggilan Unit kerja yang membidangi investigasi dalam rangka Penyelidikan. (2) Saksi dan Ahli wajib menandatangani Berita Acara Penyelidikan. Pasal 35

18 Pasal 35 (1) Apabila Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, Pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli atau setiap orang yang tidak bersedia hadir, maka Komisi dapat meminta bantuan Penyidik untuk menghadirkan Terlapor. (2) Apabila Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, Pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli atau setiap orang yang tidak bersedia menyerahkan surat dan atau dokumen, maka Komisi melakukan kerjasama dengan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan surat dan/atau dokumen. (3) Apabila Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, Pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memberikan infomasi yang diperlukan dalam Penyelidikan atau menghambat proses Penyelidikan, maka Komisi dapat menyerahkan kepada Penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (4) Dalam hal Pelapor, Terlapor, Pelaku Usaha, Pihak lain yang terkait, Saksi, Ahli atau setiap orang yang dipanggil tidak bersedia hadir dan/atau tidak bersedia menyerahkan surat dan/atau dokumen dan/atau tidak bersedia memberikan infomasi yang diperlukan dalam Penyelidikan atau menghambat proses Penyelidikan, dikenakan tindakan sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun Bagian Kedua Surat Panggilan Pasal 36 Surat Panggilan paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut: a. nama pemanggil; b. tanggal pemanggilan; c. nama jelas pihak yang dipanggil; d. alamat jelas pihak yang dipanggil; e. status pihak yang dipanggil; f. alasan pemanggilan; g. tempat persidangan; h. tanggal persidangan; dan i. waktu persidangan. Bagian

19 Bagian Ketiga Hasil Penyelidikan Pasal 37 (1) Unit kerja yang menangani investigasi menilai kejelasan dan kelengkapan dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. (2) Penilaian tentang kelengkapan dan kejelasan laporan dibuat oleh unit kerja yang menangani investigasi dalam bentuk Laporan Hasil Penyelidikan. (3) Laporan Hasil Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas Pelaku Usaha yang diduga melakukan pelanggaran; b. ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar; c. telah memenuhi persyaratan minimal 2 (dua) alat bukti. (4) Laporan Hasil Penyelidikan yang memenuhi ketentuan sebagamana dimaksud pada ayat (3) diserahkan kepada unit kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara. (5) Laporan Hasil Penyelidikan yang tidak memenuhi ketentuan sebagamana dimaksud pada ayat (3) dicatat dalam Daftar Penghentian Penyelidikan. Pasal 38 (1) Unit kerja yang membidangi investigasi wajib menyampaikan perkembangan hasil Penyelidikan kepada Komisi paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya Penyelidikan. (2) Komisi dapat menghentikan Penyelidikan atau memperpanjang waktu Penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB II PEMBERKASAN Bagian Pertama Penilaian Laporan Hasil Penyelidikan Pasal 39 (1) Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara melakukan penilaian layak atau tidaknya Laporan Hasil Penyelidikan untuk dilakukan Gelar Laporan. (2) Laporan Hasil Penyelidikan yang dinilai layak untuk dilakukan Gelar Laporan, disusun dalam Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran. (3) Laporan

20 (3) Laporan Hasil Penyelidikan yang dinilai tidak layak untuk dilakukan Gelar Laporan, dikembalikan kepada unit kerja yang menangani investigasi untuk diperbaiki beserta alasan dan saran perbaikan. (4) Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat: a. identitas Terlapor yang diduga melakukan pelanggaran; b. identitas Saksi dan atau Ahli dan Pihak Lain; c. ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar; d. sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti; dan e. rekomendasi perlu dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. Bagian Kedua Penetapan Laporan Dugaan Pelanggaran Pasal 40 (1) Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara menyampaikan Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Rapat Komisi untuk dilakukan Gelar Laporan. (2) Rapat Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyempurnakan atau menyetujui Rancangan Laporan Dugaan Pelanggaran menjadi Laporan Dugaan Pelanggaran. (3) Berdasarkan Laporan Dugaan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua Komisi menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan. (4) Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan kepada Pelapor dan Terlapor. Bagian Ketiga Jangka Waktu Pemberkasan Pasal 41 (1) Dalam hal Laporan Hasil Penyelidikan dianggap belum lengkap dan jelas, paling lama 14 (empat belas) hari, sejak diterima oleh Unit Kerja yang menangani Pemberkasan dan Penanganan Perkara, harus dikembalikan untuk dilakukan perbaikan. (2) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak dikembalikan, Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. (3) Gelar Laporan dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Penyelidikan dinyatakan lengkap dan jelas. BAB III

21 BAB III SIDANG MAJELIS KOMISI Bagian Pertama Majelis Komisi Pasal 42 (1) Berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan, Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi dengan Keputusan Komisi. (2) Majelis Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas paling sedikit 3 (tiga) Anggota Komisi yang salah satunya menjadi Ketua Majelis Komisi. (3) Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya, Majelis Komisi dibantu oleh Panitera. (4) Ketua Komisi menugaskan Panitera yang akan membantu Majelis Komisi dengan surat tugas. Bagian Kedua Sidang Majelis Paragraf 1 Pemeriksaan Pasal 43 (1) Ketua Majelis membuka Sidang Majelis Komisi dan menyatakan Sidang Majelis Komisi terbuka untuk umum. (2) Dalam rangka memperoleh fakta-fakta persidangan Majelis Komisi melakukan: a. memeriksa dan meminta keterangan Terlapor; b. memeriksa dan meminta keterangan Pelapor sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (4); c. memeriksa dan meminta keterangan Saksi; d. meminta Pendapat Ahli; e. meminta keterangan dan risalah dari instansi pemerintah; f. meminta, mendapatkan dan menilai surat, dokumen atau alat bukti lain; g. melakukan Pemeriksaan setempat terhadap kegiatan Terlapor atau pihak lain terkait dengan dugaan pelanggaran. (3) Sidang Majelis Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 2 (dua) tahap, terdiri atas : a. Pemeriksaan Pendahuluan; dan b. Pemeriksaan Lanjutan. (4) Terlapor atau Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dapat meminta kepada Ketua Majelis Komisi untuk menyatakan Sidang Majelis Komisi tertutup untuk umum dalam hal Terlapor atau Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4)

22 ayat (4) akan menyerahkan dokumen yang dikategorikan dalam dokumen rahasia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam suatu Berita Acara Sidang Majelis Komisi yang ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Panitera. Paragraf 2 Tempat Sidang Majelis Komisi dan Pemeriksaan Setempat Pasal 44 (1) Sidang Majelis Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) dilakukan di ruang Pemeriksaan di Kantor Pusat Komisi atau di Kantor Perwakilan Daerah Komisi atau tempat lain yang ditentukan oleh Majelis Komisi, yang dihadiri oleh paling sedikit 1 (satu) Anggota Majelis Komisi. (2) Tempat lain yang ditentukan oleh Majelis Komisi atas persetujuan Ketua Komisi. (3) Apabila diperlukan, Majelis Komisi dapat melakukan Pemeriksaan setempat. (4) Pemeriksaan setempat dilakukan di lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dengan dugaan pelanggaran dapat ditemukan. (5) Hasil Pemeriksaan setempat dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan Setempat yang ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Panitera. Bagian Kedua Pemeriksaan Pendahuluan Paragraf 1 Pemeriksaan Biasa Pasal 45 (1) Majelis Komisi mentukan jadwal Pemeriksaan Pendahuluan. (2) Majelis Komisi memanggil Terlapor untuk hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan dengan surat panggilan yang patut. (3) Investigator membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran yang dituduhkan kepada Terlapor dalam Pemeriksaan Pendahuluan. (4) Dalam Pemeriksaan Pendahuluan Terlapor dapat mengajukan : a. tanggapan terhadap Dugaan Pelanggaran; b. nama Saksi dan nama Ahli; dan c. surat dan/atau dokumen lainnya. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran oleh Investigator sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Paragraf 2

23 Paragraf 2 Pemeriksaan Laporan Dengan Kerugian Pasal 46 (1) Dalam hal Laporan Dugaan Pelanggaran yang memuat kerugian Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Majelis Komisi memanggil Pelapor dan Terlapor dalam Pemeriksaan Pendahuluan. (2) Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) untuk membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran yang dituduhkan kepada Terlapor dan kerugian yang dialami Pelapor; (3) Dalam Pemeriksaan Pendahuluan Terlapor dapat mengajukan: a. tanggapan terhadap Dugaan Pelanggaran; b. nama Saksi dan nama Ahli; dan c. surat dan/atau dokumen lainnya. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah Pelapor membacakan Laporan Dugaan Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2); Paragraf 3 Pemanggilan Pelapor dan Terlapor Pasal 47 (1) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan/atau Terlapor tidak hadir dalam sidang pertama, maka Majelis Komisi melakukan pemanggilan 1 (satu) kali lagi. (2) Dalam hal Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4)kembali tidak hadir dalam sidang kedua, maka Majelis Komisi akan memanggil kembali untuk terakhir kalinya, dan apabila Pelapor tetap tidak hadir, maka Majelis Komisi dalam Rapat Komisi mengusulkan Laporan Dugaan Pelanggaran tidak dapat diterima. (3) Dalam hal Terlapor kembali tidak hadir dalam sidang kedua, maka Majelis Komisi akan memanggil kembali untuk terakhir kalinya dan apabila Terlapor tetap tidak hadir, Majelis Komisi dalam Rapat Komisi mengusulkan untuk dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. Paragraf 4 Laporan Pemeriksaan Pendahuluan Pasal 48 (1) Majelis Komisi dibantu Panitera menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan (2) Majelis Komisi menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan pada Rapat Komisi. (3) Laporan

24 (3) Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit: a. dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor; b. tanggapan Terlapor terhadap Dugaan Pelanggaran; c. nama Saksi, nama Ahli dan/atau surat dan/atau dokumen yang diajukan oleh Terlapor dan Investigator; d. rekomendasi perlu atau tidaknya dilakukan Pemeriksaan Lanjutan. (4) Dalam hal Rapat Komisi memutuskan untuk dilakukan Pemeriksaan Lanjutan, Ketua Komisi menetapkan Pemeriksaan Lanjutan. (5) Susunan Keanggotaan Majelis Komisi tidak berubah kecuali terdapat Anggota Majelis yang mengundurkan diri atau memiliki benturan kepentingan dengan perkara yang sedang ditanganinya. (6) Dalam hal terdapat Anggota Majelis yang mengundurkan diri atau memiliki benturan kepentingan dengan perkara yang sedang ditanganinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Ketua Komisi menetapkan Pembentukan Majelis Komisi baru. Paragraf 5 Jangka Waktu Pemeriksaan Pendahuluan Pasal 49 (1) Majelis Komisi wajib melakukan Pemeriksaan Pendahuluan paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkannya Keputusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1). (2) Pemeriksaan Pendahuluan wajib telah selesai dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Pemeriksaan Pendahuluan dimulai. Bagian Ketiga Pemeriksaan Lanjutan Paragraf 1 Pemeriksaan Lanjutan Pasal 50 (1) Majelis Komisi mentukan jadwal Pemeriksaan Lanjutan. (2) Majelis Komisi memeriksa alat bukti yang diajukan oleh Investigator, Pelapor, dan Terlapor. (3) Ketua Majelis Komisi memanggil Saksi, Ahli Bahasa, Ahli dan/atau Pemerintah untuk hadir dalam Pemeriksaan Lanjutan dengan surat panggilan yang patut. (4) Sebelum

25 (4) Sebelum berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan, Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada Investigator, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), dan Terlapor untuk menyampaikan kesimpulan tertulis dan/atau paparan hasil persidangan kepada Majelis Komisi. Paragraf 2 Pemeriksaan Saksi Pasal 51 (1) Atas permintaan Investigator, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), atau Terlapor, atau karena jabatan, Ketua Majelis Komisi dapat memerintahkan Saksi untuk hadir dan didengar keterangannya dalam persidangan; (2) Keterangan Saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan yang diberikan dalam Sidang Majelis Komisi berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh Saksi; (3) Saksi yang diperintahkan oleh Ketua Majelis Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib datang dipersidangan dan tidak diwakilkan; (4) Dalam hal Saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Majelis Komisi dapat datang ke domisili Saksi untuk mengambil sumpah atau janji dan mendengar keterangan Saksi dimaksud. (5) Keterangan Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Apabila Saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut, dan Majelis Komisi mempunyai alasan yang cukup untuk menyangka bahwa Saksi sengaja tidak datang, serta Majelis Komisi tidak dapat mengambil Putusan tanpa keterangan dari Saksi dimaksud, Ketua Majelis Komisi dapat meminta bantuan Penyidik untuk membawa Saksi ke persidangan. (7) Biaya untuk mendatangkan Saksi ke persidangan yang diminta oleh pihak yang bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta. Pasal 52 (1) Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang. (2) Ketua Majelis Komisi menanyakan kepada Saksi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, dan apakah ada hubungan keluarga atau hubungan kerja dengan Terlapor atau Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4); (3) Ketua Majelis Komisi menanyakan kondisi kesehatan dari Saksi; (4) Sebelum

26 (4) Sebelum memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya; (5) Saksi diambil sumpah atau janji dan didengar keterangannya dalam persidangan dengan dihadiri oleh Terlapor dan/atau Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4). Pasal 53 Setiap orang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya, untuk keperluan persidangan, kewajiban merahasiakan dimaksud ditiadakan. Pasal 54 (1) Majelis Komisi mengajukan pertanyaan kepada Saksi pada saat Pemeriksaan Lanjutan. (2) Investigator, Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan/atau Terlapor dapat mengajukan pertanyaan kepada Saksi setelah Majelis Komisi selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya. (3) Apabila pertanyaan sebagaimana maksud pada ayat (2) menurut pertimbangan Majelis Komisi tidak ada kaitannya dengan perkara, pertanyaan itu ditolak. Paragraf 3 Pemeriksaan Ahli Bahasa Pasal 55 (1) Apabila Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Terlapor, atau Saksi tidak paham Bahasa Indonesia, Majelis Komisi dapat menunjuk Ahli Bahasa atau menyetujui Ahli Bahasa yang telah dipersiapkan oleh Terlapor. (2) Sebelum melaksanakan tugas mengalihbahasakan yang dipahami oleh Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Terlapor, atau Saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya, Ahli Bahasa dimaksud diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya. Paragraf 4 Pemeriksaan Ahli Pasal 56 (1) Atas permintaan Investigator, Pelapor sebagimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dan/atau Terlapor, atau karena jabatannya, Ketua Majelis Komisi dapat menunjuk seorang atau beberapa orang Ahli; (2) Seorang Ahli dalam persidangan harus memberi pendapat, baik tertulis

27 tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya. Paragraf 5 Jangka Waktu Pemeriksaan Lanjutan Pasal 57 (1) Majelis Komisi wajib melakukan Pemeriksaan Lanjutan paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan Keputusan Ketua Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3). (2) Pemeriksaan Lanjutan berakhir dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal Pemeriksaan Lanjutan dimulai dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. (3) Perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lanjutan ditetapkan oleh Majelis Komisi yang menangani perkara tersebut. BAB IV PUTUSAN KOMISI Bagian Pertama Musyawarah Majelis Komisi Pasal 58 (1) Komisi melakukan Musyawarah Majelis Komisi untuk menilai, menganalisa, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang yang terungkap dalam Sidang Majelis Komisi. (2) Hasil Musyawarah Majelis Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk Putusan Komisi. (3) Apabila terbukti telah terjadi pelanggaran, Majelis Komisi dalam Putusan Komisi menyatakan Terlapor telah melanggar ketentuan Undang-Undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. (4) Dalam Putusan Komisi Majelis Komisi dapat memberikan Saran dan Pertimbangan kepada Pemerintah terkait dengan perkara yang ditangani. (5) Untuk pelaksanaan Musyawarah Majelis Komisi, Majelis Komisi dibantu oleh Panitera. Pasal 59 (1) Penentuan Putusan Komisi dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. (2) Musyawarah

28 (2) Musyawarah Majelis Komisi dilakukan secara tertutup dan rahasia. (3) Apabila Musyawarah Majelis Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai mufakat, Putusan Komisi ditentukan dengan suara terbanyak. Bagian Kedua Pendapat Berbeda (dissenting opinion) Pasal 60 (1) Dalam hal terdapat Anggota Majelis Komisi yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan mayoritas Anggota Majelis Komisi pada saat Musyawarah Majelis Komisi, maka pendapat Anggota Majelis Komisi tersebut harus dibuat tertulis dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Putusan Komisi. (2) Pendapat yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan alasan-alasan dan disampaikan kepada Anggota Majelis Komisi lainnya dalam Musyawarah Majelis Komisi sebelum dibacakannya Putusan Komisi. (3) Pendapat yang berbeda tersebut harus diserahkan secara tertulis paling lama 2 (dua) hari setelah Musyawarah Majelis Komisi tidak tercapai mufakat. Bagian Ketiga Pembacaan Putusan Komisi Pasal 61 (1) Majelis Komisi memberitahukan kepada Pelapor dan Terlapor mengenai waktu dan tempat pembacaan Putusan Komisi. (2) Dalam hal Putusan yang akan dibacakan tersebut, memuat adanya tuntutan ganti kerugian oleh Pelapor, maka Majelis Komisi memberitahukan kepada Pelapor mengenai waktu dan tempat pembacaan Putusan Komisi. Pasal 62 (1) Majelis Komisi wajib membacakan Putusan Komisi dalam sidang yang telah dinyatakan terbuka untuk umum. (2) Putusan Komisi paling sedikit harus memuat: a. nama Terlapor; b. tempat domisili usaha dari Terlapor; c. nama Pelapor dalam hal Pelapor mengajukan ganti rugi; d. alamat Pelapor dalam hal Pelapor mengajukan ganti rugi; e. ringkasan Laporan Dugaan Pelanggaran, Hasil Pengawasan Pelaku Usaha, atau Hasil Kajian; f. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal

29 hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; g. pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh Terlapor; h. analisa terhadap penerapan pasal-pasal yang dalam Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh Terlapor; i. analisa pengecualian terhadap Undang-Undang apabila dipermasalahkan; j. saran dan pertimbangan kepada Pemerintah apabila ada; k. amar Putusan; l. hari dan tanggal pengambilan Putusan; m. hari dan tanggal pengucapan Putusan; n. nama Ketua dan Anggota Majelis Komisi yang memutus; o. nama Panitera. (3) Putusan Komisi ditandatangani oleh Majelis Komisi dan Panitera. (4) Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi yang telah di tandatangni oleh Panitera di kirimkan kepada Terlapor. Bagian Keempat Jangka Waktu Pasal 63 (1) Majelis Komisi wajib melakukan Musyawarah Majelis Komisi paling lama 7 (tujuh) hari setelah Pemeriksaan Lanjutan berakhir. (2) Musyawarah Majelis Komisi wajib menyepakati telah terjadi atau tidak terjadi Pelanggaran terhadap Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari setelah Pemeriksaan Lanjutan berakhir. (3) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dibacakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah berakhirnya Pemeriksaan Lanjutan dalam suatu Sidang Majelis Komisi yang terbuka untuk umum. BUKU KEDELAPAN PELAKSANAAN PUTUSAN BAB I PENYAMPAIAN PETIKAN PUTUSAN Pasal 64 (1) Segera setelah Majelis Komisi membacakan Putusan Komisi, Panitera menyampaikan Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi kepada Terlapor. (2) Dalam hal Terlapor menolak menerima Petikan Putusan Komisi berikut Salinan PutusanKomisi atau tidak lagi diketahui alamat jelasnya sehingga Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan

30 Putusan Komisi tidak dapat diserahkan kepada Terlapor, maka Panitera membuat Berita Acara yang memuat keterangan Terlapor menolak menerima Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi atau tidak lagi diketahui alamat jelasnya. (3) Setelah dibuat Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panitera mengirimkan pemberitahuan kepada Terlapor bahwa Terlapor dianggap telah menerima pemberitahuan Petikan Putusan berikut Salinan Putusan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak tanggal tersedianya Salinan Putusan Komisi dimaksud di website Komisi. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap berlaku bagi Terlapor yang tidak lagi jelas alamatnya dan pemberitahuan tersebut dikirimkan ke alamat terakhir yang diketahui. BAB II UPAYA HUKUM KEBERATAN Pasal 65 (1) Terlapor dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Komisi paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya Petikan Putusan Komisi berikut Salinan Putusan Komisi. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan di Pengadilan Negeri ditempat kedudukan hukum usaha Pelaku Usaha yang menjadi Terlapor. BAB III MONITORING PELAKSANAAN PUTUSAN Pasal 66 (1) Dalam hal Terlapor tidak mengajukan keberatan terhadap Putusan Komisi sampai dengan lewat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, maka Terlapor wajib melaksanakan Putusan Komisi dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65. (2) Apabila diperlukan Sekretariat Komisi dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Putusan Komisi. Pasal 67 Dalam hal Komisi menilai bahwa Terlapor tidak melaksanakan Putusan Komisi paling sedikit 2 (dua) perkara, Komisi dapat menyerahkan perkara kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk diproses secara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang- Undang. BAB IV

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 (Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000) KOMISI

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENGENAAN DENDA KETERLAMBATAN PEMBERITAHUAN PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN KOMISI

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1758, 2015 KY. Laporan Masyarakat. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG TATA BERACARA BADAN KEHORMATAN

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG TATA BERACARA BADAN KEHORMATAN PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG TATA BERACARA BADAN KEHORMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAERAH

Lebih terperinci

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon No.1580, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPK. DPP-KPK. Pencabutan. PERATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PEGAWAI KOMISI PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.617, 2015 KKI. Pelanggaran Disiplin. Dokter dan Dokter Gigi. Dugaan. Penanganan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.291, 2017 KEMENDAG. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/M-DAG/PER/2/2017 TENTANG BADAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 3 TAHUN 2014 T E N T A N G TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.649, 2013 KOMISI INFORMASI. Sengketa Informasi Publik. Penyelesaian. Prosedur. Pencabutan. PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2017 KKI. Dokter dan Dokter Gigi. Penanganan Pengaduan Disiplin. Pencabutan. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN

Lebih terperinci

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 LAMPIRAN : Keputusan Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia Nomor : Kep-04/BAPMI/11.2002 Tanggal : 15 Nopember 2002 Nomor : Kep-01/BAPMI/10.2002 Tanggal : 28 Oktober 2002 PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN KASUS DUGAAN PELANGGARAN DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KONSIL KEDOKTERAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LPSK. Pemeriksaan. Pemberhentian Anggota.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LPSK. Pemeriksaan. Pemberhentian Anggota. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.523, 20009 LPSK. Pemeriksaan. Pemberhentian Anggota. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN DAN PEMBERHENTIAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.352, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Tata Cara. Penanganan. Kasus. Pelanggaran Disiplin. PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011

Lebih terperinci

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang:

Lebih terperinci

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 01/DPR RI/IV/2007-2008 TENTANG TATA BERACARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN KEHORMATAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 08/PMK/2006 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA KEWENANGAN KONSTITUSIONAL LEMBAGA NEGARA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Agenda Pendahuluan Dasar Hukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekayaan budaya dan etnis bangsa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN

Lebih terperinci

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LAYANAN PENYELESAIAN SENGKETA PENGADAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM SENGKETA PENETAPAN LOKASI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM BAGIAN HUKUM DAN ORGANISASI SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMIS I INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMIS I INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMIS I INFORMASI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER- 022 /A/JA/03/2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAWASAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PENEGAKAN KODE ETIK PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM BAGI ANGGOTA DAN JAJARAN SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI MATRIKS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UU MK (UU No. 24 Tahun 2003) LNRI Tahun 2003 No.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Perubahan Perilaku merupakan suatu bagian dari tahap dalam tata cara

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Perubahan Perilaku merupakan suatu bagian dari tahap dalam tata cara 38 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Alasan Perubahan Perilaku Perubahan Perilaku merupakan suatu bagian dari tahap dalam tata cara penanganan perkara di KPPU. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dan Kep. KPPU

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1997 TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.353, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Organisasi. Tata Kerja. Majelis Kehormatan Disiplin. Kedokteran PERATURAN KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN - - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PELANGGARAN DISIPLIN BERAT

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PELANGGARAN DISIPLIN BERAT PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PELANGGARAN DISIPLIN BERAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING PATEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 72 Undang-undang Nomor 6 Tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PEMERINTAH KABUPATEN LINGGA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci