PERANAN SEKTOR PUBLIK DALAM PEMULIHAN EKONOMI DAERAH PADA ERA OTONOMI : SUATU PENDEKATAN TEORITIS PADA PUBLIC CHOICE

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

II. TINJAUAN PUSTAKA. proses di mana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

I. PENDAHULUAN. Adanya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

Analisis Manfaat dan Biaya Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

Kebijakan Alokasi Anggaran Kabupaten Kepulauan Selayar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Keterangan Pers POKOK-POKOK PENGATURAN UNDANG-UNDANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

HAND OUT MATA KULIAH

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

3. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah serta kemungkinan

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. MPR No.IV/MPR/1973 tentang pemberian otonomi kepada Daerah. Pemberian

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan di daerah lebih efektif dan efisien apabila urusan-urusan di

BAB I Pengertian & Ruang Lingkup

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB V GAMBARAN INFRASTRUKTUR JALAN, STRUKTUR PEREKONOMIAN DAN KETENAGAKERJAAN DI JAWA BARAT

PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. maupun di sektor swasta, hanya fungsinya berlainan (Soemitro, 1990).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

Transkripsi:

PERANAN SEKTOR PUBLIK DALAM PEMULIHAN EKONOMI DAERAH PADA ERA OTONOMI : SUATU PENDEKATAN TEORITIS PADA PUBLIC CHOICE Oleh: Freddy Wangke EPN. P01600007 Email : freddetw2001@yahoo.com I. PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2001, telah memberikan kesempatan kepada setiap daerah provinsi di Indonesia untuk mengembangkan sendiri potensi daerah (faktor endowmen) yang dimilikinya. Selama ini pengembangan potensi daerah telah diarahkan pada 9 sektor ekonomi, yaitu : Pertanian, Pertambangan dan Penggalian, Industri, Bangunan, Angkutan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Lembaga Keuangan dan Jasa Perbankan, serta JasaJasa. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh masingmasing sektor tidaklah sama. Perbedaan itu terlihat dari kontribusi masingmasing sektor terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Dengan pertumbuhan yang berbeda itu mempengaruhi kesejahteraan ekonomi secara agregat di daerah yang kini melaksanakan otonomi daerah. Kontribusi terbesar pada PDRB umumnya diperoleh dari sektor pertanian, sehingga sektor ini merupakan sektor andalan di daerah dan dijadikan ukuran efisiensi, sedangkan sektor lain yang kontribusinya terhadap PDRB kecil kurang diandalkan dan dianggap tidak efisien. Kegiatan ekonomi yang hanya mengandalkan pada suatu sektor tertentu merupakan ciri dari perekonomian pasar yang diperankan oleh pihak swasta yang bersifat jangka pendek dan homogen. Sifat homogen itu juga nampak pada alokasi sumberdaya ekonomi, terutama sumberdaya manusia. Di era otonomi, pembangunan ekonomi haruslah dilakukan secara serentak pada setiap sektor, walaupun menurut Hirschman dalam Todaro (1985), bahwa untuk negara (daerah) berkembang pembangunan ekonomi tidak dilakukan secara serentak (unbalanced growth) yaitu dengan menetapkan sektor unggulan, dimana sektor unggulan ini akan berimplikasi ke depan (forward linkages) dan hubungan ke belakang (backward linkages). Pemerintah harus memberikan kejelasan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi yang akan dicapai sesuai dengan kehendak masyarakat daerah.,

karena masyarakat itu sendirilah yang lebih mengetahui sektor ekonomi mana yang perlu ditingkatkan, dikembangkan, dipertahankan, sesuai dengan sosiokultur daerah tersebut. Perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (topdown planning) yang pernah dilakukan pada masa orde baru, nampaknya belum menciptakan kestabilan ekonomi di daerah, bahkan yang terjadi adalah ketidakjelasan seperti alokasi sumberdaya (modal), ketidakmerataan pendapatan, pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya. Perencanaan pembangunan dari bawah ke atas (bottom up planning) merupakan perencanaan yang diharapkan dapat mengatasi distorsi tersebut. Menurut Cullis dan Jones (1992), bahwa pemerintah suatu daerah bukan hanya berperan dalam hal keuangan (anggaran), tetapi juga berperan dalam hal penentuan pilihan supaya masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan. Dalam rangka pengembangan ekonomi di daerah, penyediaan sumberdaya manusia menjadi syarat keharusan, akan tetapi belum memenuhi sebagai syarat kecukupan. Selanjutnya penyediaan investasi dan penggunaan teknologi dapat dijadikan sebagai sumberdaya ekonomi yang memiliki syarat kecukupan itu. Menurut Tambunan (2000), bahwa tujuan UU No. 22 Tahun 1999 adalah untuk mengubah sistem alokasi anggaran daerah (regional) dari suatu sistem pengeluaran menjadi sistem bagi hasil. Dalam konteks ini fungsi desentralisasi fiskal merupakan ketetapan peran dan tanggung jawab pemerintah di segala bidang, memfasilitaskan transfer bantuan antar pemerintah, memperkokoh sistem penerimaan daerah melalui penetapan pelayanan yang lebih baik, memberikan kepastian usaha kepada pihak swasta, dan menjamin keselamatan masyarakat sebagai bagian dari redistribusi pendapatan. UU No. 25 Tahun 1999, dalam konteks ekonomi Indonesia merupakan peraturan tentang sumber penerimaan daerah dan mengawasi anggaran (budget) oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai dua sumber penganggaran, yaitu yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) dan bantuan transfer dari anggaran pemerintah pusat (APBD). Pendapatan asli daerah (PAD) berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Dari uraian di atas, yang menjadi perhatian utama pemerintah dan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah, yaitu : (a) Bagaimana mengalokasikan sumberdaya ekonomi di daerah secara efisien (allocative efficiency); (b) Bagaimana mengevaluasi pengeluaran sektor publik untuk daerah otonomi.

II. KERANGKA PEMIKIRAN Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Daerah Public Choice Barang dan Jasa Pemerintah Pusat Perencanaan Pembangunan dari Bawah ke Atas (bottom up planning) Kebijakan Pemerintah PusatDaerah Masyarakat Daerah Otonom Pemerintah Daerah Kebijakan Pemerintah Daerah Otonomi Desentralisasi Fiskal Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tentang Peranan Sektor Publik oleh Penulis, Tahun 2001.

III ALOKASI SUMBERDAYA EKONOMI SECARA EFISIEN Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan ekonomi di daerah, adalah tidak mungkin perekonomian sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetapi diperlukan adanya peranan pemerintah dalam hal mengatur ekonomi. Salah satu peran pemerintah dalam mengatur perekonomian daerah otonomi adalah dengan menerapkan desentralisasi fiskal. Kebijakan fiskal ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi perekonomian daerah terutama dalam hal alokasi dan distribusi. Efisiensi ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari pengeluaran pemerintah yang diterima oleh pembayar pajak, sedangkan nilai outputnya bertambah besar atas pemanfaatan sejumlah sumberdaya tersebut. Menurut Adam Smith dalam Musgrave dan Musgrave (1989), bahwa penyelenggaraan pajak harus didasarkan pada unsur keadilan, kepastian, keselarasan, dan efisiensi (pertumbuhan). Oleh karena itu peranan pemerintah dalam mengalokasikan sumberdaya (peranan fiskal) dapat diarahkan untuk menghasilkan barang dan jasa guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tidak semua barang dan jasa dapat disediakan oleh sektor swasta. Penyediaan barang publik baik secara teknis maupun secara ekonomis tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non exclusive). Menurut Mangkoesoebroto (1993), penyediaan barang publik adalah seberapa banyak pemerintah harus menyediakan barang publik dan berapa jumlah dana yang harus disediakan untuk penyediaan barang publik itu. 3.1. Penyediaan Barang Sosial Secara Efisien Tindakan pemerintah untuk menyediakan barangbarang sosial, dimaksudkan untuk meluruskan alokasi sumberdaya yang ada di daerah, agar mencapai hasil yang optimal. Tindakan ini didukung oleh justifikasi yang mengatakan bahwa mekanisme pasar tidak dapat menyediakan semua informasi yang dibutuhkan oleh konsumen guna mengevaluasi program konsumsinya. Penyediaan barang sosial secara efisien disajikan pada Gambar 2.

Barang (2.1) Privat X M E Y 0 N F Q C Barang Sosial S Barang (2.2) Privat X V T P G W ia3 ia2 ia1 0 N F U Barang Sosial S Barang (2.3) Privat X K L Z H ib4 ib1 ib3 ib2 0 N F U Barang Sosial S Gambar 2. Penyediaan Barang Sosial Secara Efisien (Musgrave dan Musgrave,1989).

Gambar (2.1), kurva kemungkinan produksi DC sebagai bauran barang privat X dan barang sosial S dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia. Pada Gambar (2.2), memperlihatkan jumlah barang privat X dan barang sosial S dikonsumsikan oleh A. Gambar (2.3), memperlihatkan konsumen B mengkonsumsikan barang privat X dan barang sosial S. Ketika A berada pada titik G (Gambar 2.2), A mengkonsumsikan barang sosial barang sosial S sebanyak OF dan barang privat sebanyak FG. Pada Gambar (2.1), terlihat konsumen A mengkonsumsikan barang privat sejumlah EF dan barang sosial F sejumlah OF. Dengan demikian jumlah barang privat dan barang sosial yang tersisa untuk konsumen B adalah FH (Gambar 2.3). Tingkat kesejahteraan konsumen A misalnya berada pada kurva indiferens ia2. Apabila konsumen A berada pada titik G, konsumen B berada pada titik H. Jika konsumen A bergerak ke titik P, T, dan V, maka konsumen A berpindah ke kiri sepanjang ULK. Kurva indiferens ia2 sebagai kurva kesejahteraan dari konsumen A. Jika konsumen A akan memilih suatu titik kesejahteraan yang maksimal dan akan membuat konsumen B menjadi lebih baik terliohat pada titik L, dimana ULK bersinggungan dengan kurva indiferens ib4 (Gambar 2.3) dari B berada pada kurva LZK. 3.2. Alokasi barang Sosial Melalui Anggaran Alokasi barang sosial di daerah merupakan penyediaan barang sosial yang ditentukan oleh penilaian masyarakat berdasarkan pendapatan dan preferensi. Biaya untuk barang sosial diperoleh dari pajak yang juga sesuai dengan penilaian masyarakat, yaitu suatu sistem pengenaan pajak berdasarkan manfaat yang berlaku di daerah. Tarif pajak ditentukan juga oleh konsumen tertentu sesuai dengan barang sosial yang dikonsumsinya dengan membandingkan manfaat barang privat yang berlaku di pasar. Pada Gambar (3.1), CD merupakan garis kemungkinan produksi sebagai kombinasi barang sosial S dan barang privat X. Pada Gambar (3.2), memperlihatkan kedudukan konsumen A yang mengkonsumsikan barang sosial S dan barang privat X. Pada Gambar (3.3), memperlihatkan kedudukan konsumen B yang mengkonsumsikan barang sosial S dan barang privat X. Misalkan pendapatan terbagi di antara konsumen A dan B sedemikian rupa sehingga konsumen A menerima bagian sebesar OM/OC dari output barang privat potensial OC, sedangkan konsumen B menerima bagian sebesar ON/OC, dimana OM + OM = OC. Garis putusputus MV kemudian akan mencatat alokasi yang optimal dari pendapatan konsumen A di antara X dan S pada berbagai perbandingan harga. Hal itu akan menunjukkan titik singgung dari sehimpunan garis harga yang berpangkal di titik M dengan kurva indiferens yang berurutan. Dengan perbandingan harga OM/OP, misalnya kedudukan yang diinginkan konsumen A akan berada pada titik Q dimana MP bersinggungan dengan kurva indiferens tertinggi yang dapat dicapai, yaitu ia2. Garis putusputus NW menunjukkan garis harga yang serupa bagi B. Dengan menelusuri kedudukan konsumen A sepanjang MV, dapat ditunjukkan kedudukan B yang berkaitan dengan itu, sebagaimana diperlihatkan oleh garis putusputus NJ. Pada setiap pasang titik, keduanya harus mengkonsumsikan jumlah S yang sama, sedangkan konsumsi barang X oleh konsumen B diperoleh dengan mengurangi konsumsi A (sebagaimana dicatat oleh MV) dari total penawaran barang X (sebagaimana dicatat oleh CD). Kurva NW menunjukkan kedudukan yang diinginkan oleh konsumen

B, yang akan diperoleh jika perbandingan harga yang berbeda diterapkan kepada pembelian konsumen B atas barang sosial dan barang privat. Barang Privat X C (3.1) Perekonomian Secara Keseluruhan I E 0 H D Barang Sosial S Barang Privat X M C (3.2) Kedudukan A V K F Q ia2 ia1 0 H R P Barang Sosial S Barang Privat X C (3.3) Kedudukan B N L G W ib1 0 H J Barang Sosial S Gambar 3. Barang Sosial dan Privat dalam Distribusi Tertentu (Musgrave dan Musgrave, 1989).

IV. EVALUASI PENGELUARAN PUBLIK DAN ANALISIS MANFAAT BIAYA 4.1. Evaluasi Pengeluaran Publik Penyediaan barangbarang ditentukan melalui pemungutan suara, karena sistem harga tidak dapat berfungsi secara efisien untuk mengalokasikan sumbersumber ekonomi. Analisis manfaat dan biaya digunakan untuk mengadakan evaluasi mengenai penggunaan sumbersumber ekonomi agar penggunaan sumber ekonomi yang langka dapat dilakukan secara efisien. Pemerintah mempunyai banyak program yang harus dilaksanakan, sedangkan biaya dan dana yang tersedia sangat terbatas. Pemerintah menjamin penggunaan sumbersumber ekonomi yang efisien dengan memilih programprogram yang memenuhi kriteria efisien. Analisis manfaat dan biaya hanya menitikberatkan pada penggunaan faktorfaktor produksi pada tingkat efisien. Suatu program yang efisien mungkin tidak akan dilaksanakan, karena menimbulkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Namun sebaliknya suatu program yang dapat menimbulkan distribusi pendapatan yang baik akan dipilih, walaupun program itu tidak terlalu efisien ditinjau dari hasil analisis manfaat dan biaya. Menurut Musgrave dan Musgrave (1989), untuk mengevaluasi pengeluaran pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa untuk masyarakat, dihitung dengan menggunakan beberapa cara, yaitu : a. Nilai Sekarang (Prevent Value / PV) : B 1 B 2 B 3 B n PV = + + + +.(1) (1+r) (1+r) 2 (1+r) 3 (1+r) n b. Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value / NPV) : n (BC)i NPV = Io + (2) i=1 (1+r) i

c. Internal Rate of Return (IRR) : B1C1 B2C2 BnCn IRR = Bo Co + + + + = 0 (3) (1+r) (1+r) 2 (1+r) n nol. Tingkat diskonto (r) yang menghasilkan nilai sekarang suatu proyek sama dengan Keterangan : B = manfaat C = biaya Io = Investasi awal r = tingkat diskonto n = umur proyek 4.2. Dampak dari Analisis ManfaatBiaya Dalam mengidentifikasi berbagai tipe manfaat dan biaya, dapat dibedakan dalam berbagai kelompok, yaitu : a. Manfaat dan biaya yang bersifat riil dalam bentuk uang (percuniary). b. Manfaat dan biaya riel langsung yang berwujud dan tidak berwujud. c. Manfaat dan biaya riel tidak langsung yang berwujud dan tidak berwujud. Tabel berikut ini menyajikan tentang manfat dan biaya dari berbagai proyek, diantaranya irigasi, pendidikan, prasarana transportasi, dan prasarana kesehatan. Tabel 1. Manfaat dan Biaya Proyek Irigasi. Keterangan Manfaat Biaya Riel : Langsung : Berwujud Tak Berwujud Naiknya hasil pertanian Pelestarian kawasan Biaya bendungan Hilangnya hutan belantara Tak Langsung : Berwujud Tak Berwujud Berkurangnya erosi tanah Perlindungan masyarakat Pengalihan air Rusaknya margasatwa Dalam nilai uang (pecuniary): Peningkatan pendapatan riel masyarakat Sumber : Cullis dan Jones, 1992.

Tabel 2. Manfaat dan Biaya Proyek Pendidikan. Keterangan Manfaat Biaya Riel : Langsung : Berwujud Tak Berwujud Menaikan pendapatan masa mendatang Hidup diperkaya Biaya gaji, gedung, pembelian buku Hilangnya waktu senggang Tak Langsung : Berwujud Tak Berwujud Berkurangnya biaya penanggulangan tindak kriminal Dalam nilai uang (pecuniary): Kenaikan relatif pendapatan para guru Sumber : Cullis dan Jones, 1992. Tabel 3. Manfaat dan Biaya Proyek Prasarana Transportasi. Keterangan Manfaat Biaya Riel : Langsung : Berwujud Menghemat biaya bahan bakar Menambah penyusutan roda kendaraan Tak Berwujud Menghemat waktu Menambah kecelakaan Tak Langsung : Berwujud Tak Berwujud Mengurangi produk pertanian Biaya pemandangan Dalam nilai uang (pecuniary): Keuntungan diperoleh pemilik Kerugian dihadapi oleh pemibengkel pada jalur yang baru lik bengkel pada jalur yang lama Sumber : Cullis dan Jones, 1992. Tabel 4. Manfaat dan Biaya Proyek Prasarana Kesehatan. Keterangan Manfaat Biaya Riel : Langsung : Berwujud Menghemat biaya kesehatan pada masa mendatang Biaya pengobatan dari pasien Tak Berwujud Biaya kesempatan dari pasien Tak Langsung : Berwujud Tak Berwujud Dalam nilai uang (pecuniary): Bertambahnya masa produktif pasien Menambah kenikmatan dalam waktu senggang Keuntungan perusahan yang memproduksi peralatan scanning Hilangnya penerimaan oleh produsen obat untuk penyakit gejala gangguan Sumber : Cullis dan Jones, 1992.

V. PENUTUP Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, dapat membuka peluang untuk mempercepat terwujudnya pusatpusat pertumbuhan ekonomi di daerah secara lebih merata. Hal ini disebabkan oleh terjadinya migrasi kapital dan investasi dari pusat ibu kota ke daerahdaerah, yang dengan kewenangan otonominya akan memperoleh bagian dana pembangunan secara lebih proporsional. Demikian pula daerah dapat lebih leluasa dalam menentukan skala prioritas pembangunan daerahnya, tanpa harus didikte oleh pusat. Perencanaan pembangunan dari atas ke bawah (topdown planning) yang pernah dilakukan pada masa orde baru, nampaknya belum menciptakan kestabilan ekonomi di daerah, bahkan yang terjadi adalah ketidakjelasan alokasi sumberdaya, ketidakmerataan pendapatan, pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya. Perencanaan pembangunan dari bawah ke atas (bottomup planning) merupakan perencanaan yang diharapkan dapat mengatasi distorsi tersebut. Dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, tidak mungkin sepenuhnya perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar, akan tetapi diperlukan adanya peranan pemerintah untuk mengatur perekonomian suatu daerah otonomi. Salah satu cara adalah dengan menerapkan desentralisasi fiskal. Kebijakan fiskal ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi perekonomian daerah. Efisiensi ekonomi dimaksudkan sebagai peningkatan nilai dalam ukuran uang dari pengeluaran pemerintah yang diterima oleh pembayaran pajak, sedangkan nilai outputnya bertambah besar dari pemanfaatan sejumlah sumberdaya tersebut Analisis manfaat dan biaya digunakan untuk mengadakan evaluasi penggunaan sumbersumber ekonomi agar penggunaan sumber ekonomi yang langka dapat dilakukan secara efisien. Pemerintah mempunyai banyak program yang harus dilaksanakan, sedangkan biaya dan dana yang tersedia sangat terbatas. Pemerintah menjamin penggunaan sumbersumber ekonomi yang efisien dengan memilih programprogram yang memenuhi kriteria efisien.

DAFTAR PUSTAKA Cullis, J., and P. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice Analitical Perspectives. Mc GrawHill Book Co. London Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik. BPFE. Yogyakarta Musgrave, R. A., P.B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Pracrice 3th ed. Mc GrawHill Book Co. New York, USA. Todaro, M. 1989. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta. Tambunan, M. 2000. Indonesia s New Challenges and Opportunities in East A18, No. 2 Transaction periodicals Consortium the Dept. of East Asian Languages & Cultures RutgersThe States University of New Jersey, USA..