HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

dokumen-dokumen yang mirip
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

MANFAAT LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA Alisastromijoyo, ST, MT

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Di Indonesia umumnya jahe ditanam pada ketinggian meter di

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

II. TINJAUAN PUSTAKA

TANAH. Apa yang dimaksud dengan tanah? Banyak definisi yang dapat dipakai untuk tanah. Hubungan tanah dan organisme :

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari pertanian organik itu sendiri diantaranya untuk menghasilkan produk

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill.) merupakan salah satu komoditas tanaman

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai

I. PENDAHULUAN. pokok bagi sebagian besar rakyat di Indonesia. Keberadaan padi sulit untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN

NERACA HARA PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO

TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanaman Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eva Tresnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. kandungan gizi cukup, nilai ekonomis tinggi serta banyak digunakan baik untuk

I. PENDAHULUAN. terpenting setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable) dan

TINJAUAN PUSTAKA. Sekilas Tentang Tanah Andisol. lapisan organik dengan sifat-sifat tanah andik, mana saja yang lebih

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah berakar serabut dengan sistem perakaran dangkal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Ultisol

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. suatu alat yang berfungsi untuk merubah energi panas menjadi energi. Namun, tanpa disadari penggunaan mesin yang semakin meningkat

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Sifat Kimia dan Fisik Latosol sebelum Percobaan serta Komposisi Kimia Pupuk Organik

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

II. TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

3. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Asal Terjadinya Tanah. 4. List Program Pertanyaan Untuk Ciri-Ciri Sifat Dan Bentuk Tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pakcoy merupakan tanaman dari keluarga Cruciferae yang masih berada

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Terak Baja terhadap Sifat Kimia Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. menunjang pertumbuhan suatu jenis tanaman pada lingkungan dengan faktor

I. PENDAHULUAN. Tanaman pisang adalah salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. perlakuan Pupuk Konvensional dan kombinasi POC 3 l/ha dan Pupuk Konvensional

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tanah dan air merupakan sumberdaya yang paling fundamental yang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Abu ketel merupakan residu bagas yang digunakan sebagai bahan bakar boiler.

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Electric Furnace Slag, Silica Gel dan Unsur Mikro terhadap Sifat Kimia Tanah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculentum Miil.) termasuk tanaman sayuran yang sudah

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

TANAH / PEDOSFER. OLEH : SOFIA ZAHRO, S.Pd

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik dan Fisiografi Wilayah. lingkungan berhubungan dengan kondisi fisiografi wilayah.

Ilmu Tanah dan Tanaman

I. PENDAHULUAN. Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Vermikompos terhadap Perubahan Kemasaman (ph) dan P-tersedia Tanah ABSTRAK

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. media tanamnya. Budidaya tanaman dengan hidroponik memiliki banyak

TINJAUAN PUSTAKA. basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sampai beriklim panas (Rochani, 2007). Pada masa pertumbuhan, jagung sangat

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kubis adalah kalori (25,0 kal), protein (2,4 g), karbohidrat (4,9 g), kalsium (22,0

Nur Rahmah Fithriyah

Seiring dengan bertambahnya penduduk dan meningkatnya kesejahteraan. penduduk, kebutuhan akan pangan dan sayuran segar juga terus meningkat.

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata) merupakan salah satu komoditas pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Batu Bara Batu bara adalah mineral organik yang terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap dan mengalami perubahan bentuk akibat proses fisika dan kimia yang terjadi selama jutaan tahun. Proses perubahan sisa tumbuhan purba yang mengendap menjadi batu bara disebut sebagai coalification (pembatu baraan). Karena berasal dari sisa tumbuhan purba dan proses pembentukannya memakan waktu jutaan tahun, maka batu bara masuk ke dalam kategori bahan bakar fosil (Budiraharjo, 2009). Menurut Budiraharjo (2009) perbedaan jenis batu bara disebabkan oleh: 1. Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya. 2. Lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan. 3. Tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian. Gambar 2.1 Proses pembentukan batu bara. (Sumber : Kuri-n ni Riyou Sareru Sekitan, 2004 dalam Budiraharjo, 2009) 8 FTIP001648/023

9 Dari proses pembakaran batu bara dihasilkan dua jenis limbah padat yang dibedakan berdasarkan ukuran partikel dan massanya, yaitu bottom ash dan fly ash. Bottom ash adalah sisa pembakaran batu bara yang memiliki massa yang lebih berat dari fly ash sehingga menumpuk di bawah tungku pembakaran, sementara itu fly ash adalah abu sisa pembakaran yang memiliki massa yang kecil sehingga dapat terbang oleh tiupan angin atau hembusan udara tungku pembakaran (Sondari dan Arifin, 2000 dalam Sondari, 2009). Pada industri listrik biasanya digunakan tiga type pembakaran batu bara yaitu dry bottom boilers, wet bottom boilers dan cyclon furnace. Type yang paling umum untuk pembakaran batu bara adalah pembakaran dry bottom seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Pembakaran type dry bottom boiler meninggalkan kurang lebih 80 fly ash dan masuk dalam corong gas. Pembakaran wet-bottom boiler menghasilkan 50 abu pembakaran dan 50 lainnya masuk dalam corong gas. Pada cyclon furnace, di mana potongan batu bara digunakan sebagai bahan bakar, 70-80 dari abu tertahan sebagai boiler slag dan hanya 20-30 meninggalkan pembakaran sebagai dry ash pada corong gas. Coal Polverizer Power Plant Heater Air Precipitator Coal Flame To Stack Ash Hoppers Fly Ash (Recovery or Disposal) Bottom Ash (Recovery or Reuse) Gambar 2.2 Type pembakaran dry bottom boiler dengan electrostatic precipitator. (Sumber : Wardani, 2008) FTIP001648/024

10 2.1.1 Fly ash Komposisi mineral dan sifat kimia dari fly ash bergantung pada asal dan komposisi jenis batu bara induk, kondisi selama pembakaran batu bara, efisiensi jenis alat kontrol emisi, penyimpanan dan penanganan produk samping dan kondisi iklim. Fly ash mengandung Fe, Ca, Al, Si, K dan Mg dalam persentase yang tinggi dan Zn, B, Mn, dan Cu dengan persentase sedang, sedangkan N, P, S dan unsur lainnya sangat kecil. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk silikat, oksida, sulfat dan karbonat (Thyvahary, 2004 dan Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Konsentrasi semua elemen/unsur hara di dalam fly ash lebih tinggi dibandingkan tanah kecuali nitrogen (N) (Sharma and Kalra, 2006). Tabel 2.1 Karakteristik fisik fly ash. Parameter Keterangan Warna Abu-abu hingga hitam Bentuk Bulat (Spherical) Rapat Massa (g/cm3) 1 1,8 Gravitasi Spesifik (g/cm3) 1,90 2,55 Plastisitas Tidak plastis Kandungan Air () 18 38 Kohesi (kg/m2) Tidak Berarti (Negligible) Liat () 1 10 Debu () 8 85 Pasir () 7 90 kerikil () 0 10 Sumber : Kishor, Ghosh and Kumar (2010) Menurut ASTM C618 fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu kelas F dan kelas C, berdasarkan banyaknya calsium, silika, aluminium dan kadar besi, dengan spesifikasi sebagai berikut (Wardani, 2008): a. Fly ash kelas F: merupakan fly ash yang diproduksi dari pembakaran batu bara anthracite atau bituminous, mempunyai sifat pozzolanic dan FTIP001648/025

11 untuk mendapatkan sifat cementitious harus diberi penambahan quick lime, hydrated lime, atau semen. Fly ash kelas F ini kadar kapurnya rendah (CaO < 10). b. Fly ash kelas C: diproduksi dari pembakaran batu bara lignite atau sub-bituminous selain mempunyai sifat pozolanic juga mempunyai sifat self-cementing (kemampuan untuk mengeras dan menambah kekuatan apabila bereaksi dengan air) dan sifat ini timbul tanpa penambahan kapur. Biasanya mengandung kapur (CaO) > 20. Gambar 2.3 Abu terbang (fly ash). (Sumber : Wardani, 2008) Keasaman (ph) fly ash bervariasi dari mulai 4,5 12 tergantung kepada banyaknya kandungan sulphur di dalam batu bara induk (Plank and Martens, 1974 dalam Kishor, Ghosh and Kumar, 2010). Beberapa fly ash bersifat sangat asam (ph 3 4) meskipun pada umumnya bersifat basa (ph 10 12). Secara fisika fly ash batu bara tersusun dari partikel seukuran debu (silt) yang memiliki kapasitas pengikatan air dari sedang sampai tinggi. Namun, meskipun demikian, sifat-sifat pembentuk semen yang ada di dalamnya dapat menghambat perkembangan akar tanaman (Muhammad, 2004 dalam Hadijah dan Damayanti, 2006). Penambahan fly ash 30 gram/2,5 kg tanah dapat meningkatkan ph dari 5,02 (control) menjadi 6,62 dan bahkan lebih dari 7,49 pada pemberian 90 gram/2,5 kg tanah (Tsadilas et al., 2002). FTIP001648/026

12 Penggunaan fly ash diketahui dapat meningkatkan aktivitas respirasi dan nitrifikasi dari beberapa organisme tanah. Jumlah bakteria, actinomycetes dan jamur meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah fly ash yang diberikan. Pemberian fly ash 100 ton/ha diketahui tidak memberikan dampak yang berarti terhadap keberlangsungan aktivitas organisme di dalam tanah (Sharma dan Kalra, 2006). Penggunaan fly ash dapat memperbaiki tekstur tanah kasar, meningkatkan porositas tanah, daya ikat air, kapasitas air tersedia, laju infiltrasi dan drainase secara keseluruhan. Penambahan fly ash sebesar 70 ton/ha dilaporkan dapat mengubah tekstur tanah berpasir (sandy soil) dan tanah liat (clay soil) menjadi tanah lempung (loamy soil) (Fail dan Wochock, 1977 dalam Thyvahary, 2004). Pengaruh pemberian fly ash limbah batu bara terhadap sifat fisik tanah diketahui dapat meningkatkan kestabilan tanah dalam menahan rainfall runoff, dimana tanah yang diberi campuran fly ash limbah batu bara memiliki tingkat sedimentasi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Sondari, 2009). Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Adha (2009) pada tanah gambut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kapasitas dukung tanah dari tanah asli sebesar 85,67 ton/m2 dengan tanah campuran fly ash 15 dengan pemeraman 14 hari sebesar 701,33 ton/m2. Penelitian di Australia menunjukkan bahwa pemberian fly ash 100 ton/ha pada tanah pasir dapat menghemat penggunaan 75 air (Smith, 2005). Pemberian 10 ton/ha fly ash pada tanaman padi di India dapat meningkatkan hasil gabah yang setara dengan 4.310 kg/ha atau 4,31 ton gabah per ha, sementara perlakuan kontrol hanya menghasilkan 2,559 ton gabah per ha (Mittra et al, 2003). Sementara itu, pemberian fly ash di sekitar tajuk tanaman sebanyak 4 gram/m2/hari telah meningkatkan bobot kering serta hasil panen tanaman jagung dan kedelai (Sharma and Kalra, 2006). FTIP001648/027

13 Tabel 2.2 Hasil analisis komposisi kimia abu batu bara PLTU Asam-asam. No. Parameter Satuan Abu batu bara Asam-asam 1. ph - 7,0 2. SiO2 59,3 3. Al2O3 19,40 4. Fe2O3 12,52 5. TiO2 0,98 6. CaO 2,13 7. MgO 2,50 8. K2O tt 9. Na2O 0,16 10. MnO 0,19 11. SO3 0,53 12. P2O3 0,104 13. LOI 1,30 14. Pb ppm 19 15. Cu ppm 298 16. Zn ppm 391 17. Cr ppm 224 18. As ppm 10 19. H2O 0,033 Keterangan: Contoh diperiksa dari bahan kering (105 110 C) kecuali H2O- yang ditentukan dari bahan asal. tt : tidak terdeteksi Sumber : Hadijah dan Damayanti (2006) FTIP001648/028

14 2.1.2 Bottom ash Bottom ash adalah aglomerasi partikel abu, terbentuk di dalam tungku batu bara, yang ukuran partikelnya terlalu besar untuk terbuang bersama gas buang, sehingga jetuh melalui dinding tungku atau jatuh melalui panggangan terbuka menuju pengumpul abu di bagian bawah tungku. Secara fisik bottom ash memiliki warna abu-abu sampai hitam, memiliki bentuk yang bersudut, dan memiliki struktur permukaan berpori (U.S. Environmental Protection Agency (EPA), 2010). Komponen utama dari bottom ash adalah oksida-oksida/mineral yang mengandung silikon, alumunium, besi, kalsium, natrium dan magnesium (Hartanto dan Widiastuti, 2009). Sondari (2006) dalam Sondari (2009) menyatakan bahwa pemberian bottom ash dan pupuk hijau dapat memperbaiki beberapa sifat fisika dan kimia Typic Kanhapludults, serta pada tanah ultisols Kentrong Propinsi Banten diketahui dapat meningkatkan hasil shorgum (hermada). Bottom ash diberikan dengan cara dibuat menjadi bokashi. Dengan mengubah bottom ash menjadi pupuk bokashi, logam berat yang terkandung dalamnya menjadi berkurang, karena selama terjadi proses dekomposisi oleh EM4, senyawa-senyawa organik yang diproduksi dapat mengkhelat logam berat. 2.2 Logam dan logam berat Logam didefinisikan sebagai unsur yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Watts, 1998 dalam Notodarmojo, 2005): menghantarkan listrik mempunyai konduktivitas terhadap panas (termal) yang tinggi, mempunyai densitas yang tinggi mempunyai karakteristik malleability dan kelenturan Menurut Schnoor (1996) dalam Notodarmojo (2005) logam berat ialah logam yang terletak antara Skandium (Sc) dengan Polonium (Po) dalam deret berkala unsur-unsur, walaupun logam yang terletak diluar itu seperti Alumunium, FTIP001648/029

15 Arsen dan Selenium juga sering dimasukkan dalam kategori logam berat. Sedangkan menurut Spellman (2003) logam berat ialah logam dengan densitas lebih dari 5 kg/dm3. Logam berat termasuk ke dalam unsur trace element, yaitu unsur yang keberadaannya di alam sangat sedikit, dimana dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat mengganggu makhluk hidup (Adriano, 1986 dalam Notodarmojo, 2005). Secara umum, sumber keberadaan logam sebagai bahan pencemar berasal dari dua sumber, pertama hasil pelapukan batuan induk (parent materials) yang mengandung logam (anthropogenic) tersebut; seperti pupuk, kedua berasal biosides, dari program aktivitas manusia reklamasi, buangan pertambangan, industri, dan emisi kendaraan bermotor (Notodarmojo, 2005). Tabel 2.3 Karakteristik beberapa jenis logam. Logam Karakteristik Cu As Pb Volume Atom (cm3/mol) 7,10 13,10 18,30 Titik Didih (K) 2840 876 2023 Titik Lebur (K) 1356,6 1090 600,65 Massa Jenis (gram/cm3) 8,96 5,78 11,35 Kapasitas Panas (J/g K) 0,385 0,33 0,129 Potensial Ionisasi (Volt) 7,726 9,81 7,416 60,7 x 106 3,8 x 106 4,8 x 106 401 50 35,3 Harga Entalpi Pembentukan (kj/mol) 13,14 27,7 4,77 Harga Entalpi Penguapan (kj/mol) 300,5 32,4 177,9 Konduktivitas Listrik (ohm-1cm-1) Konduktivitas Kalor (W/m K) Sumber : Sunardi (2008) dengan penyesuaian format. Timbal (Pb) termasuk kategori logam berat, karena memiliki densitas 11,35 gr/cm3 atau 11,35 kg/dm3 dan terletak antara Sc dan Po dengan valensi IV A (Sunardi, 2006). Timbal sering disebut juga dengan timah hitam (Pb) atau Lead dalam Bahasa Inggris. Timbal memiliki kelarutan yang rendah, sehingga FTIP001648/030

16 kandungannya dalam air relatif sedikit, hal ini tergantung pada kesadahan, ph, alkalinitas dan kadar oksigen yang mempengaruhi kadar dan toksisitas timbal. Secara alami, jumlah timbal di dalam kerak bumi sekitar 15 mg/kg, yang berasal dari galena (PbS), gelesite (PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem, 1994; Moore, 1991 dalam Fardiaz, 2003). Timbal diserap oleh tumbuhan ketika timbal terpisah dari mineral utama karena proses pelapukan. Di dalam tanah, timbal cenderung terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, ketika terjadi proses pelapukan tumbuhan tersebut, timbal terakumulasi di dalamnya sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus (Herman, 2006). Timbal relatif larut dalam air dengan ph < 5 dimana air yang bersentuhan dengan timah hitam dalam suatu periode waktu dapat mengandung > 1μg Pb/dm3 (Herman, 2006). Tabel 2.4 Penyerapan logam oleh biji tanaman gandum pada pemberian fly ash yang bervariasi. Jumlah Konsentrasi, ppm Lokasi pemberian Zn Cu Fe Mn Cd 0 38,4 5,7 762,3 15,8 ND 10 41,6 6,1 809,8 20,1 0,4 20 39,8 7,3 819,8 20,2 0,5 0 40,4 5,3 612,1 23,4 0,3 10 44,6 5,8 663,3 30,8 0,4 20 46,6 6,1 683,3 27,1 0,5 0 31,4 5,2 620,9 16,9 0,6 10 34,3 4,8 634,6 18,0 0,9 20 38,2 5,3 631,5 22,0 1,1 ton/ha Gulawathi Muthiani IARI Farm Sumber : Sharma and Kalra (2006) FTIP001648/031

17 Penyerapan logam berat (di antaranya Pb) oleh tanaman yang diberi fly ash dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah kandungan logam di dalam fly ash, jumlah pemberian fly ash, jenis tanah, ph tanah, jenis tanaman dan lain-lain. Hampir semua jenis tanaman dapat tumbuh pada tanah yang diberi fly ash. Konsentrasi elemen B meningkat secara signifikan terutama pada tanaman legum, Se meningkat terutama pada tanaman rumput-rumputan, sementara Mo meningkat hampir di semua jenis tanaman yang diberi fly ash. Trace elements (Zn, Pb, Cu, Fe, Mn dan Cd) biasa dijadikan sebagai indikator pada tanaman yang diberi pupuk fly ash. Pemberian fly ash di Singareni Thermal Power Plant diketahui telah menyebabkan terjadinya pelindian (leaching) element logam oleh air, terutama yang paling signifikan adalah elemen Ca, Na dan Hg, sedangkan logam lain tidak dianggap signifikan (Sharma and Kalra, 2006). Pada umumnya logam berat tidak dibutuhkan oleh hewan dan manusia dan cenderung berdampak negatif secara fisiologis terhadap tubuh manusia dan hewan, terutama organisme tingkat tinggi. Timbal memiliki efek racun terhadap susunan syaraf pusat, terutama pada kanak-kanak (balita). Pada orang dewasa, efek yang ditimbulkan oleh timbal antara lain menyebabkan tekanan darah tinggi, penurunan hemoglobin, pusing dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan encelophaty (Sullivan dan Krieger, 1992 dalam Notodarmojo, 2005). Konsentrasi Pb di dalam makanan sangat dibatasi. Menurut Widaningrum, Miskiyah dan Suismono (2007), batas kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam makanan menurut Ditjen BPOM sebesar 2 ppm. Berdasarkan SNI 7387 (2009), kandungan Pb yang diperbolehkan di dalam produk sayur dan buah sebesar 0,5 mg/kg atau 0,5 ppm. 2.3 Pengkhelatan (Chelation) Penyerapan unsur hara oleh tanaman dilakukan oleh berbagai cara, yaitu melalui aliran massa, difusi dan intersepsi akar. Dengan berbagai cara tersebut, penyerapan unsur hara mikro oleh tanaman ditentukan oleh berbagai macam faktor, diantaranya adalah ph tanah, drainase tanah, jerapan liat dan reaksi kimia, serta ikatan dengan bahan organik (Hardjowigeno, 2003). FTIP001648/032

18 Faktor yang terakhir, yaitu ikatan dengan bahan organik seringkali menyebabkan beberapa unsur hara berbentuk logam seperti Cu dan Zn tidak terserap oleh tanaman karena kation Cu dan Zn terikat terlalu kuat dengan bahan organik, sehingga proses pertukaran ion tidak terjadi. Ikatan antara kation logam dengan bahan organik dalam struktur cincin (ring) ini sering disebut sebagai pengkhelatan (chelate) (Hardjowigeno, 2003). Dengan memanfaatkan prinsip pengkhelatan tersebut, maka beberapa logam dalam limbah seperti limbah batu bara bottom ash maupun fly ash dapat dikurangi karena terikat kuat dengan bahan organik saat proses dekomposisi terjadi, seperti ketika limbah tersebut dicampur dengan bahan organik untuk bahan pembuatan bokashi dengan bantuan EM4 (Sondari, 2009). 2.4 Bokashi Fly Ash Bokashi merupakan pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganism 4) yang berisi sekitar 80 genus mikroba pengurai (Andoko, 2005). Berbagai macam jenis bahan organik bisa digunakan untuk pembuatan bokashi, setidaknya dalam satu formula bokashi digunakan tiga macam bahan organik agar keragaman mikroba dapat ditingkatkan. Bahan campuran terbaik adalah dedak, karena dedak memiliki kandungan gizi yang baik dan sangat penting bagi mikroorganisme (Sutanto, 2002). Pembuatan bokashi tidak memerlukan tempat khusus. Hal terpenting yang harus diketahui dalam pembuatan bokashi adalah menghindarkan tumpukan bokashi dari panas dan hujan. Panas dan hujan dapat menyebabkan suhu tidak terkontrol dengan baik. Dalam pembuatan bokashi, suhu harus dipertahankan antara 40oC 50oC. Suhu yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan membolakbalik tumpukan. Jika proses pembuatan berhasil, maka setelah tujuh hari suhu tumpukan akan turun dan bokashi siap untuk digunakan (Andoko, 2005). Pada dasarnya semua jenis bahan organik dapat dibuat menjadi bokashi dengan syarat mengandung selulosa yang rendah. Semakin tinggi kandungan selulola, maka proses pembuatan bokashi akan semakin lama (Purwendro dan FTIP001648/033

19 Nurhidayat, 2006). Pembuatan bokashi fly ash dapat dilakukan dengan mencampur semua bahan organik yang mengandung selulosa rendah. Bahanbahan yang mengandung selulosa rendah di antaranya kulit sekam, dedak dan jerami padi. Perbandingan antara bahan utama pembuat bokashi dengan bahan campuran pada umumnya 1 : 1 atau lebih dari itu, seperti 1 : 1,2 dengan syarat bahan campuran dapat menyerap dan menyimpan air serta tidak mengembang ketika kandungan air telah mencapai 30 (Andoko, 2005; Purwendro dan Nurhidayat, 2006). Bokashi yang telah matang berwarna kehitaman, tidak berbau dan tidak menyerupai bentuk bahan aslinya lagi (Purwendro dan Nurhidayat, 2006). 2.5 Tanaman Cabai Merah Besar 2.5.1 Biologi dan agroekologi cabai merah besar Menurut Pitojo (2003), cabai besar memiliki tujuh varietas, yaitu var. cerasiforme, var. conoides, var. abbreviatum, var. fasciculatum, var. acuminatum, var. grossum, dan var. longum. Sementara itu, menurut Tjahjadi (1991) cabai merah (Capsicum annuum) terbagi menjadi dua varietas utama, yaitu cabai merah keriting (Capsicum annuum L. var. longum Sendt.) dan cabai merah besar (Capsicum annuum L. var. abreviata Eingerhuth). Gambar 2.4. Dua varietas utama cabai merah (Capsicum annuum L.). (Sumber : http://www.florabiz.net/wp-content/uploads/2011/03/cabe11.jpg) FTIP001648/034

20 Cabai merah keriting memiliki bentuk buah memanjang, mengikal atau mengeriting dengan bagian ujung yang meruncing, memiliki rasa yang relatif pedas dengan jumlah biji yang cukup banyak bila dibandingkan dengan ukuran buahnya. Cabai merah besar memiliki bentuk buah pendek sampai panjang, dengan bagian ujung yang tumpul atau bulat. Tingkat kepedasan buah cabai merah besar kurang pedas dibandingkan dengan cabai merah keriting dengan rasa agak manis. Sebagaimana cabai merah keriting, warna buah cabai merah besar saat muda adalah hijau, lalu coklat dan setelah tua berwarna tua (Tjahjadi, 1991). Gambar 2.5 Cabai merah besar varietas hot beauty. Tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian 0 2000 m dpl. Suhu ideal untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah antara 24o C 27o C, sedangkan suhu ideal untuk pertumbuhan buah adalah 16o C 23o C. Perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu signifikan agar pertumbuhan dan produktivitas tanaman optimal. Tanaman cabai akan berproduksi dengan baik pada kelembaban sedang sampai tinggi, sedangkan pada kelembaban rendah, produktivitas tanaman biasanya rendah. Kelembaban yang rendah menyebabkan gugurnya kuncup bunga dan buah-buah kecil. FTIP001648/035

21 Selain itu, untuk pertumbuhan yang baik, tanaman cabai memerlukan penyinaran matahari setidaknya 9 jam per hari, dengan tingkat curah hujan antara 600 mm 1.250 mm. Pada umumnya, cabai kurang baik jika ditanam di musim hujan, kecuali untuk varietas cabai rawit (Capsicum frutescens L.) (Tjahjadi, 1991; Pitojo, 2003). 2.5.2 Karakteristik tanah ideal untuk pembudidayaan cabai merah besar Secara umum tanaman cabai menghendaki tanah dengan sifat fisik gembur, remah, dengan drainase yang baik. Tanah-tanah yang dapat dijadikan media penumbuhan cabai di antaranya adalah tanah lempung berpasir, liat berpasir, lempung liat berpasir, dan liat berdebu (Pitojo, 2003). Menurut Rukmana (2002), penanaman cabai banyak dijumpai pada jenis tanah mediteran dan alluvial. Karakteristik tanah mediteran adalah memiliki solum tanah antara 1 m 2 m, warna tanah coklat sampai merah, tekstur lempung hingga liat, dan juga memiliki struktur gumpal dengan konsistensi gembur, ph 6 7,5, kandungan bahan organik rendah dan produktivitas tanah yang bervariasi dari sedang sampai tinggi. Sementara itu, tanah alluvial memiliki karakteristik perkembangan profil yang belum terbentuk, berwarna kelabu atau coklat, bertekstur liat atau pasir, dengan kandungan pasir kurang dari 50 dan kandungan bahan organik yang rendah. Penanaman pada tanah berpasir cenderung menghasilkan buah yang lebih cepat dari pada penanaman pada tanah liat. Tabel 2.5 Jadwal waktu pemupukan untuk tanaman cabai per tanaman. Jenis Pupuk susulan setelah tanaman di lapangan Pupuk dasar 0 hari 30 hari 60 hari 90 hari 120 hari Pupuk kandang 1-2 kg - - - - - Urea TSP KCl Sumber : Tjahjadi (1991). FTIP001648/036

22 Menurut Tjahjadi (1991) tanah liat atau pasir yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sangat baik untuk pertumbuhan cabai. Selain itu, tanaman cabai juga menghendaki tanah yang lembab dengan ph 5,0 7,5 dengan syarat tidak tergenang. Tanaman cabai sangat responsif terhadap pemupukan, namun pemupukan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Pemupukan pada cabai merah besar cukup dilakukan sampai hari ke-120. Pemupukan untuk meningkatkan produktivitas juga dapat dilakuka melalui daun, yaitu berupa pemberian pupuk mikro. Peran pupuk mikro sangat besar dalam memperbanyak bunga dan memperkuat buah agar tidak mudah rontok (Tjahjadi, 1991). 2.6 Evapotranspirasi Tanaman Evapotranspirasi tanaman adalah jumlah total air yang dikonsumsi tanaman untuk penguapan (evaporasi), transpirasi dan aktivitas metabolisme tanaman. Dalam kondisi lapangan (field condition) tidak mungkin membedakan antara evaporasi dengan transpirasi jika tanah tersebut tertutup oleh tumbuhtumbuhan, karena kedua proses tersebut satu sama lain saling berkaitan (Soemarto, 1987). Menurut FAO (1987) ada berbagai rumus empirik untuk menduga evapotranspirasi tanaman acuan (ETo), yaitu: Metode Blaney-Criddle, Penman, Radiasi dan Panci Evaporasi. Menurut Jensen (1980) nilai koefisien tanaman (Kc) diperoleh dari hasil perbandingan antara evapotranspirasi aktual tanaman (ETc) dengan evapotranspirasi potensial (ETo). Dengan demikian, ETc merupakan hasil kali antara ETo dengan Kc. ETc = Kc Eto Dimana : ETc = Evapotranspirasi aktual tanaman (mm/hari) ETo = Evapotranspirasi potensial tanaman (mm/hari) Kc = Koefisien tanaman FTIP001648/037

23 Kofisien tanaman (Kc) besarnya tergantung pada jenis tanaman dan tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Koefisien tanaman dapat ditentukan dari hasil penelitian langsung menggunakan lisimeter. Tabel 2.6 Koefisien tanaman (Kc) beberapa jenis tanaman hortikultura pada setiap fase pertumbuhan. Tanaman Fase pertumbuhan Rata-rata Awal Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan 0,30-0,40 0,60-0,75 0,95-1,10 0,85-1 0,80-0,90 0,70-0,80 0,40-0,60 0,70-0,80 0,95-1,10 0,85-0,90 0,75-0,85 0,80-0,90 Semangka 0,40-0,50 0,70-0,80 0,95-1,05 0,80-0,90 0,65-0,75 0,75-0,85 Tembakau 0,30-0,40 0,70-0,80 1-1,20 0,90-1 0,75-0,85 0,85-0,95 Cabai Bawang merah Sumber : Doorenbos dan Kassam (1979) Menurut Hansen dkk. (1986) kebutuhan air tanaman akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan air ini akan mencapai puncaknya pada fase pembungaan, yang merupakan fase pertumbuhan yang paling banyak memerlukan air. Setelah fase pembungaan selesai, kebutuhan air akan menurun sampai akhirnya tanaman tersebut mati. FTIP001648/038