PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SATUAN PENDIDIKAN (Darwis Sasmedi, Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

HAKIKAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) 1 (School Based Management/SBM)

Manajemen Mutu Pendidikan

Manajemen Berbasis Sekolah

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di sekolah sehingga apa yang menjadi kelebihan sekolah dapat lebih

Dinamika Sosial Dalam Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Pada Era Otonomi Daerah

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

PERUMUSAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH Oleh : Suyanto SMK 2 Wonosobo. Faktor keberhasilan pendidikan di SMK yang dapat dilihat secara umum

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

PENYELENGGARAAN DAN PENGELOLAAN KOMPONEN-KOMPONEN SEKOLAH DALAM KERANGKA MBS. Rahmania Utari

Bab I Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah kualitas pendidikan.

Inisiasi 1 Manajemen Berbasis Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. yang mengutamakan perluasan pengetahuan. Diharapkan pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 43 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia. Pendidikan sebagai salah satu aspek dalam

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. cukup mendasar, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia bukan merupakan tugas yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. Cicih Sutarsih, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Unit 2 KONSEP DASAR. Mohammad Syaifuddin Siti Fatimah Soenarjo. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa

Kata Kunci : Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

Prof. Dr. H. D. Budimansyah, M.Si.

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 11 B. TUJUAN 11 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 11 D. UNSUR YANG TERLIBAT 12 E. REFERENSI 12 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 12

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

MATERI KULIAH MANAGEMEN BERBASIS SEKOLAH. By: Estuhono, S.Pd, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan dalam menghadapi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

KISI-KISI UJI KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

KISI-KISI UJI KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH/MADRASAH

BAB I PENDAHULUAN. dan globalisasi yang semakin terbuka. Sejalan tantangan kehidupan global,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sejak tahun 1998 merupakan era transisi dengan tumbuhnya

BAB I PENDAHULUAN. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, salah satunya adalah

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang

BAB II KAJIAN TEORI. masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

BAB I PENDAHULUAN. akan terwujud dengan baik apabila didukung secara optimal oleh pola. upaya peningkatan pola manajerial sekolah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kepmendiknas tersebut telah. operasional Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah..

PELAYANAN INFORMASI PUBLIK

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 11 B. TUJUAN 11 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 11 D. UNSUR YANG TERLIBAT 12 E. REFERENSI 12 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 12

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU. Dalam Konteks MBS

yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keinginan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Paradigma baru manajemen

BAB I PENDAHULUAN. mengamanatkan bahwa pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh perkembangan dunia

MENEMPATKAN PENDIDIKAN DALAM KERANGKA HUMAN INVESTMENT

SIGNIFIKANSI PERAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

BAB I PENDAHULUAN. akan dilakukan perubahan dari dana APBN menjadi dana perimbangan. yang dilakukan melalui mekanisme transfer ke daerah dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH

SURAT EDARAN Nomor: 348/C/KU/2009

BAB I PENDAHULUAN. pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.

STRATEGI PENCAPAIAN STANDAR PENGELOLAAN SMP

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 50 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 51 D. UNSUR YANG TERLIBAT 51 E. REFERENSI 51 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 51

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang merupakan tempat dimana

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa dan Negara yang otentik

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN BAB I

BAB I PENDAHULUAN. adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan. masyarakat merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, sekolah,

BAB I PENDAHULUAN. School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah. Dikarenakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya

DAFTAR ISI A. LATAR BELAKANG 50 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN 50 D. UNSUR YANG TERLIBAT 51 E. REFERENSI 51 F. PENGERTIAN DAN KONSEP 51

PENGELOLAAN SUMBER DANA PENDIDIKAN DASAR. (Studi Situs SDN Todanan 1) TESIS

APA ITU DAERAH OTONOM?

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PUBLIK

KONSEP DAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH/MADRASAH

BAB I PENDAHULUAN. harkat dan martabat manusia dapat ditingkatkan. Melalui pendidikan manusia

PEDOMAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dimensi dalam kehidupan mulai dari politik, sosial, budaya, dan

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH. OLEH: ASEP SURYANA,M.Pd.

1 Pendahuluan. Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Kab. Pasuruan 1

STRATEGI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Transkripsi:

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DI SATUAN PENDIDIKAN (Darwis Sasmedi, Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan) Pendahuluan Tantangan yang dihadapi oleh kepala sekolah semakin beragam dan cepat berubah. Tantangan ini dapat lebih cepat direspon oleh sekolah kalau pengelola sekolah menerapkan kebijakan dengan menganggap sekolah sebagai pusat perhatiannya. Konsep pengembangan manajemen berbasis sekolah (MBS) berkembang sebagai respon dari sistem manajemen yang dikendalikan oleh otoritas eksternal. Upaya pengembangan konsep dan teori manajemen berbasis sekolah sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu, dan sejak tahun 1999 konsep MBS telah di diujicobakan di beberapa sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah berkemauan untuk melaksanakan MBS, tetapi terbentur kepada belum terbentuknya pemahaman bagaimana menerapkan konsep tersebut secara operasional. Di beberapa belahan dunia, MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, antara lain tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah. Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom (bukan hanya sekedar unit pelaksana teknis) dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunaan 3M-nya, yakni man, money, dan material. Sekolah mengemban fungsi berposisi di garis paling depan dalam melayani pendidikan masyarakat, sehingga sekolah harus dapat merespon dengan cepat perubahan yang ada, namun juga tetap mengikuti standar-standar yang sudah ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah sebagai unit organisasi yang mempunyai otonomi, mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri. Penerapan MBS memerlukan langkah-langkah perumusan lingkup kegiatan pengelolaan yang sudah digariskan dalam peraturan kementerian dalam bentuk standar-standar pengelolaan yang harus diikuti oleh sekolah, dan kegiatankegiatan yang sepenuhnya diatur oleh sekolah (otonomi sepenuhnya). Penerapan MBS secara yuridis diamanatkan oleh beberapa aturan perundangan antara lain: (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51, Ayat (1); Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 49, Ayat (1); Pengelolaan 1

satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas ; (c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, yang akan diuraikan lebih mendetail lagi pada BAB II dan III; (d) Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendididikan, Pasal 50 dan 51. Pasal 50 Satuan atau program pendidikan wajib bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan atau program pendidikannya serta merumuskan dan menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah telah mendorong dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju ke yang baru, sebagai berikut: Pola Lama Pola Baru Subordinasi Otonomi Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes Pendekatan birokratik Pendekatan professional Sentralistik Desentralistik Diatur Motivasi diri Overregulasi Deregulasi Mengontrol Mempengaruhi Mengarahkan Memfasilitasi Menghindari resiko Mengelola resiko Gunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien mungkin Individual yang cerdas Teamwork yang cerdas Informasi terpribadi Informasi terbagi Pendelegasian Pemberdayaan Organisasi herarkis Organisasi datar 2

Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Pada Pola baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh motivasi-diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan, lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efisien. MBS dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) lebih besar terhadap sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan terhadap sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orangtua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan sebagainya). Hal-hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. MBS tidak dibenarkan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku). De Grauwe dalam laporan kajiannya The Quality Imperative School-based management (SBM): does it improve quality? (2005) memberikan definisi MBS sebagai transfer kewenangan dalam pembuatan keputusan pengelolaan sekolah ke tingkat sekolah. Konsep MBS harus dapat menjawab kewenangan mana saja yang sebelumnya menjadi kewenangan pengelola pendidikan tingkat nasional ditransfer 3

menjadi kewenangan sekolah, dan kepada siapa saja kewenangan-kewenangan di tingkat sekolah tersebut diberikan. MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan. Dengan MBS, sekolah diharapkan makin berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsipprinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya) Karakteristik MBS mencakup 4 aspek, yaitu: (1) kontrol administratif: dibawah kewenangan kepala sekolah; (2) kontrol professional: dibawah kewenangan korps guru; (3) kontrol masyarakat: dibawah kewenangan wali siswa melalui dewan sekolah; dan (4) kontrol keseimbangan: kontrol professional dan kontrol masyarakat diperagakan secara seimbang. Di Indonesia karakteristik MBS akan diuraikan dalam prinsip, konteks, target, dan praktek-praktek MBS. Prinsip, kontek, dan target MBS sebagaimana diuraikan berikut ini: (1) Prinsip, Penerapan MBS ini didasari oleh empat prinsip yang dikemukakan oleh Yin Cheong Cheng (1996) School effectiveness and school-based management: a mechanism for development ; yaitu, ekuifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan inisiatif, yang mana prinsip-prinsip diatas tidak pernah diakomodasi pada MKE. Prinsip equifinalitas menyatakan bahwa ada banyak cara yang berbeda untuk mencapai satu tujuan. Satu organisasi mempunyai potensi dan kendala yang berbeda dibandingkan organisasi lain. Sangat tidak masuk akal kalau organisasi-organisasi yang berbeda karakternya dipaksa untuk mencapai satu tujuan dengan cara yang sama. Prinsip desentralisasi didasarkan kepada pelibatan kegiatan tidak hanya di pusat saja, tetapi disebar ke daerah-daerah untuk terlibat dalam pembuatan keputusan. Tugas pusat untuk membuat keputusan akan semakin sulit karena keragaman kondisi di daerah masing-masing. Pelibatan daerah untuk ikut memutuskan sendiri apa yang harus dilakukan, menjadi keharusan agar organisasi dapat melakukan tindakan terbaik 4

sesuai dengan kondisinya. Demikian juga dengan kewenangan di sekolah, pelibatan staf sekolah perlu dilakukan. Prinsip sekolah sebagai unit swakelola didasarkan bahwa kegiatan sekolah sehari-hari harus tetap berjalan. Semua masalah yang ada harus cepat ditangani tanpa menunggu instruksi dari otoritas eksternal. Kegiatan sekolah tidak dapat berjalan lancar kalau semua kegiatan harus menunggu instruksi dari otoritas eksternal. Prinsip inisiatif menegaskan bahwa sekolah sebagai organisasi mandiri tidak perlu menunggu keputusan otoritas eksternal dalam melakukan kegiatannya. Ada empat tingkat inisiatif dari yang paling rendah yaitu hanya menunggu, menuju ke tingkat lebih tinggi yaitu meminta petunjuk, meningkat ke lebih tinggi lagi yaitu meminta ijin, menuju ke inisiatif yang paling tinggi yaitu melakukan dulu baru melaporkan. Konteks penerapan MBS adalah dalam rangka membentuk sekolah yang memiliki kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas sebagaimana pesan PP 17, 2007 pasal 49; Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (1) Kemandirian dapat diartikan sebagai kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dari sisi program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Jadi kemandirian sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku; (2) Kemitraan, Setiap warga sekolah mempunyai fungsi dan peran yang spesifik. Hubungan antar warga sekolah didasarkan atas kemitraan yaitu bentuk hubungan setara dalam berbagi tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan perannya; (3) Partisipasi, Sekolah dapat mewujudkan visinya kalau semua warga terlibat sesuai dengan fungsi dan perannya. Pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan; (4) Keterbukaan, Keterbukaan memberi kesempatan kepada warga sekolah untuk mengetahui hal-hal yang sedang terjadi dan memahami kondisi nyata sekolah. Pemahaman ini menjadi awal tumbuhnya kepedulian warga 5

sekolah; (5) Akuntabilitas, MBS harus dipahami sebagai model pemberian kewenangan yang lebih besar kepada sekolah. Sebagai konsekuensinya, sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan sebagai konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Target manajemen berbasis sekolah dirumuskan dalam permendiknas nomer 19 tahun 2007 tentang pengelolaan pendidikan, mencakup 6 target seperti berikut: (1) perencanaan program; (2) pelaksanaan rencana kerja; (3) pengawasan dan evaluasi; (4) kepemimpinan sekolah/madrasah; (6) sistem informasi manajemen; dan (7) penilaian khusus. Masing-masing target diuraikan lebih lanjut menjadi butir-butir target, misalnya komponen perencanaan program dibagi menjadi 4 butir yaitu visi, misi, tujuan dan rencana kerja sekolah. Untuk melakukan perumusan rencana kerja, sekolah perlu melakukan evaluasi diri sekolah, sebagaimana diatur dalam Permendiknas 19 tahun 2007 tentang pengelolaan sekolah, peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomer 63 tahun 2009 tentang Sistim Penjaminan Mutu Pendidikan. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Pelaksanaan MBS lebih menekankan kepada merumuskan bagaimana praktekpraktek MBS dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Kegiatan-kegiatan yang sudah lama diotonomkan di sekolah diungkapkan oleh Alison Bullock dan Hywel Thomas dalam school at the center 1997 halaman 7-8, mencakup lingkup kegiatan (1) penerimaan siswa; (2) penilaian siswa; (3) informasi seleksi, berupa dokumen yang dipublikasikan ke luar sekolah; dan (4) pendanaan mencakup keputusan penggalian dan penggunaan dana. Sesuai dengan prinsip ekuifinalitas dan swakelola, praktek-praktek MBS perlu dijabarkan supaya lebih operasional oleh masing-masing sekolah, menjadi bentuk prosedur baku atau praktek terbaik untuk masing-masing sekolah. Prinsip-prinsip MBS mengamanatkan bahwa pelaksanaan MBS menerapkan pendekatan idiograpik dalam arti membolehkan adanya keragaman dalam cara melaksanakan MBS dan bukan lagi menggunakan pendekatan nomotetik yaitu cara melaksanakan MBS yang cenderung seragam/konformitas untuk semua sekolah. Oleh karena itu, tidak ada satu resep 6

pelaksanaan MBS terbaik yang cocok untuk diberlakukan ke semua sekolah, atau praktek terbaik di satu sekolah belum tentu menjadi praktek terbaik bagi sekolah lain. Sebagai model-model manajemen, maka MBS merupakan model deskriptif, yakni model yang menjelaskan tentang apa itu MBS, bagaimana pelaksanaannya, bukan merupakan model preskriptif yaitu model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah secara detil. Untuk melaksanakan MBS sekolah merumuskan sendiri resepnya melalui pengalaman, pengkajian hasil riset orang lain, atau hasil penelitian tindakan sekolah, sekolah dapat merumuskan prosedur pengelolaan terbaik untuk semua praktek pengelolaan yang diamanatkan oleh permendiknas 19 tahun 2007. Untuk melaksanakan MBS perlu dirumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam bentuk bagan alir; (2) mengidentifikasi aturan masing-masing langkah kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggungjawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut. Keempat rumusan tersebut merupakan pedoman dalam pelaksanaan MBS, dan menjawab pertanyaan yang dikemukakan sebelumnya yaitu di dalam MBS kewenangan pengelolaan apa saja yang ditransfer ke tingkat sekolah, dan kepada siapa kewenangan ini diberikan pada level sekolah. Sebagai model manajemen, MBS merupakan model deskriptif (model yang menjelaskan apa MBS, pelaksanaannya fleksibel), bukan merupakan model preskriptif (dari kata prescription artinya resep dokter, model yang sudah memberikan petunjuk langkah-langkah detil, pelaksanaannya sudah baku). Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek; (2) mengidentifikasi aturan hukum masing-masing kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut. Monitoring dan Evaluasi Monitoring adalah suatu proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan MBS. Jadi, fokus monitoring adalah pemantauan pada pelaksanaan MBS, bukan pada hasilnya. Tepatnya, fokus monitoring adalah pada komponen proses MBS, baik menyangkut proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Sedang evaluasi merupakan suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil 7

MBS. Jadi, fokus evaluasi adalah pada hasil MBS. Informasi hasil ini kemudian dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, berarti MBS efektif. Sebaliknya jika hasil tidak sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan, maka MBS dianggap tidak efektif. Oleh karena itu, sebaiknya setiap sekolah yang melaksanakan MBS diharapkan memiliki data-data tentang prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Hal ini penting untuk dilakukan agar sekolah dengan mudah membandingkan prestasi siswa sebelum dan sesudah MBS. Jika setelah MBS ada peningkatan prestasi yang signifikan dibanding sebelum MBS, maka hal ini dapat diduga bahwa MBS cukup berhasil. Monitoring dan evaluasi MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Hasil monitoring dapat digunakan untuk memberi masukan bagi perbaikan pelaksanaan MBS. Sedang hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan terhadap keseluruhan komponen MBS, baik pada konteks, input, proses, output, maupun outcome nya. Masukan-masukan dari hasil monitoring dan evaluasi akan digunakan untuk pengambilan keputusan. Semua kegiatan MBS perlu dilakukan monitoring dan evaluasi untuk melihat keterlaksanaan dan keberhasilan setiap kegiatan tersebut. Karena itu diperlukan pengembangan perangkat-perangkat untuk melakukan monitoring dan evaluasi tersebut. Perangkat monitoring dan evaluasi dapat dikembangkan dari prosedur baku yang sudah disusun. Prosedur baku antara lain berisi langkah-langkah yang diberi simbol segi empat dan keputusan yang diberi simbol belah ketupat. Monitoring dilakukan untuk melihat apakah langkah-langkah tersebut dilakukan sesuai dengan yang tertulis di prosedur baku atau tidak, sedangkan evaluasi dilakukan untuk membuat keputusan. PENUTUP Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggungjawab) yang lebih besar kepada sekolah, karena konsep lama dimana pengelolaan sekolah terlalu dipengaruhi oleh kekuasaan eksternal. MBS dicirikan oleh prinsip-prinsip, konteks, yang berbeda dengan manajemen dikontrol oleh otoritas luar. MBS menerapkan empat prinsip, yaitu 8

prinsip equifinalitas, desentralisasi, sekolah sebagai unit swakelola, dan inisiatif, dan konteks MBS adalah dalam rangka menuju kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Untuk melaksanakan MBS sekolah perlu merumuskan: (1) tahapan-tahapan atau langkah-langkah kegiatan dari semua praktek misalnya dalam bentuk bagan alir; (2) mengidentifikasi aturan hukum masing-masing kegiatan; (3) mengidentifikasi siapa yang bertanggung-jawab dalam masing-masing kegiatan; dan (4) siapa saja yang terlibat dalam masing-masing kegiatan tersebut. Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan bagian integral dari pengelolaan pendidikan, baik di tingkat mikro, maupun makro. Monev dapat mengukur tingkat kemajuan pendidikan pada tingkat sekolah, dinas pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan propinsi, dan kementerian. Dengan monev, kita dapat menilai apakah MBS benar-benar mampu meningkatkan mutu pendidikan. Monev MBS bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memperbaiki atau mengembangkan MBS. DAFTAR PUSTAKA Alison Bullock dan Hywel Thomas (1997). School at the center: a study of decentralisastion. Routledge Publication New York. De Grauwe (2005). The Quality Imperative School-based management (SBM): does it improve quality? (2005). Depdiknas (2007). Permendiknas tentang Standar Pengelolaan Sekolah. Jakarta Leithwood K., & Menzies T. (1998). Forms and effects of school-based management: a review. Educational policy, vol. 12, no. 3, pp.325-347. 13) Depdiknas (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta Yin Cheong Cheng (1996). School effectiveness and school-based management: a mechanism for development 9