BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dalam melakukan perawatan tidak hanya terfokus pada susunan gigi dan rahang saja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

SEFALOMETRI. Wayan Ardhana Bagian Ortodonsia FKG UGM

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, sebab

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MATERI KULIAH ORTODONSIA I. Oleh Drg. Wayan Ardhana, MS, Sp Ort (K) Bagian Ortodonsia

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi-gigi dengan wajah (Waldman, 1982). Moseling dan Woods (2004),

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maloklusi adalah keadaan yang menyimpang dari oklusi normal dengan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang penting dalam perawatan ortodonti adalah diagnosis, prognosis dan

Gambar 1. Fotometri Profil 16. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Nama: Tony Okta Wibowo Nrp : Dosen Pembimbing : Bp. Moch Hariadi, ST M.Sc PhD Bp. Dr. I ketut eddy Purnama, ST,MT

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. wajah dan jaringan lunak yang menutupi. Keseimbangan dan keserasian wajah

BAB I PENDAHULUAN. Penemuan sinar X pada tahun 1895 oleh Wilhem Conrad Rontgen memegang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGENALAN SEFALOMETRI RADIOGRAFIK

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. (Alexander,2001). Ortodonsia merupakan bagian dari ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

GAMBARAN MORFOLOGI VERTIKAL SKELETAL WAJAH BERDASARKAN ANALISIS STEINER DAN JEFFERSON

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

III. RENCANA PERAWATAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan estetis yang baik dan kestabilan hasil perawatan (Graber dkk., 2012).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal yang memiliki

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tiga puluh orang menggunakan sefalogram lateral. Ditemukan adanya hubungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pharynx merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. sagital, vertikal dan transversal. Dimensi vertikal biasanya berkaitan dengan

PERBEDAAN SUDUT MP-SN DENGAN KETEBALAN DAGU PADA PASIEN DEWASA YANG DIRAWAT DI KLINIK PPDGS ORTODONSIA FKG USU

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. RPE adalah suatu alat yang digunakan di klinik, bertujuan untuk mengoreksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada berbagai pedoman, norma dan standar yang telah diajukan untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. menghasilkan bentuk wajah yang harmonis jika belum memperhatikan posisi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. Oklusi secara sederhana didefinisikan sebagai hubungan gigi-geligi maksila

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

EVALUASI PENEMPATAN TITIK-TITIK CEPHALOMETRY 3D PADA CITRA MRI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Crossbite posterior adalah relasi transversal yang abnormal dalam arah

BAB 2 BEDAH ORTOGNATI PADA MAKSILA. akan terlihat jelas ketika masa tumbuh kembang ataupun juga akibat trauma. 7

Perawatan ortodonti Optimal * Hasil terbaik * Waktu singkat * Biaya murah * Biologis, psikologis Penting waktu perawatan

DAFTAR ISI... Hal HALAMAN JUDUL.. HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN..

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penggunaan fotografi di bidang ortodonti telah ada sejak sekolah kedokteran

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BIONATOR Dikembangkan oleh Wilhelm Balters (1950-an). Populer di Amerika Serikat tahun

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 DIAGNOSA DAN PERAWATAN BINDER SYNDROME. Sindrom binder merupakan salah satu sindrom yang melibatkan pertengahan

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

CROSSBITE ANTERIOR. gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi anterior rahang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dewasa ini masyarakat semakin menyadari akan kebutuhan pelayanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BPSL BLOK ORTODONTI 1 NAMA : NIM : KLP BUKU PANDUAN SKILL LAB SEMESTER IV TAHUN AKADEMIK

Penggunaan Indeks Ekstraksi untuk menentukan macam perawatan pada maloklusi klas I Angle

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Skeletal Vertikal Wajah Basis kranii anterior (Sella-Nasion) sering digunakan sebagai garis acuan untuk menentukan kemiringan bidang mandibula (MP). Individu dengan sudut MP- SN yang lebih besar akan cenderung memiliki wajah panjang karena rotasi mandibula menjauhi maksila sehingga menghasilkan pertambahan panjang vertikal wajah. Sebaliknya, individu dengan sudut MP-SN yang lebih kecil cenderung mempunyai wajah yang lebih pendek karena rotasi mandibula mendekati maksila. Rotasi mandibula dapat terjadi dalam dua arah, yaitu searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Rotasi mandibula yang searah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke bawah dan ke belakang. Ini menyebabkan pengurangan overbite atau bahkan menjadi anterior open bite. Rotasi pertumbuhan mandibula yang berlawanan arah jarum jam mengarahkan pertumbuhan mandibula ke atas dan ke depan. Ini menyebabkan pertambahan overbite. 12,19 9,12 2.2. Tipe Pertumbuhan Vertikal Wajah Schudy membagi tipe pertumbuhan vertikal wajah atas 2, yaitu : a. Hypodivergent Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang pendek dan lebar, biasanya terdapat sudut bidang mandibular datar dan sudut gonial tertutup. Gigitan dalam (deep bite) sering dijumpai pada pasien dengan jenis wajah ini. Contoh dari jenis wajah yang mempunyai kepala yang pendek dan lebar adalah maloklusi klas II divisi 2. 20,21 b. Hyperdivergent Tipe pertumbuhan ini memiliki ciri wajah yang panjang dan sempit. Ini disebabkan rahang atas menunjukkan pertumbuhan vertikal yang berlebihan dan sudut bidang mandibula yang lebih besar dan kadang-kadang menyebabkan gigitan

terbuka (open bite). Pola pertumbuhan ini akan mengakibatkan lengkung dentoalveolar yang panjang dan sempit pada lengkung rahang atas dan menghasilkan rotasi searah jarum jam mandibula selama pertumbuhan. 20,21 2.3. Radiografi Sefalometri Radiografi sefalometri adalah metode standar untuk mendapatkan gambaran radiografi tulang tengkorak yang bermanfaat untuk membuat rencana perawatan dan memeriksa perkembangan dari pasien yang sedang menjalani perawatan ortodonti. 2 2.3.1. Sejarah radiografi sefalometri Penemuan sinar-x pada tahun 1985 oleh Rontgen berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kedokteran gigi. Penemuan tersebut telah memfasilitasi metode untuk memperoleh gambaran kranio fasial dengan akurasi yang baik. Pada tahun 1922, Paccini membuat suatu standarisasi posisi pengambilan foto radiografi kepala yaitu dengan memposisikan subjek terhadap kaset film sejauh 2 meter dari tabung sinar-x. 17,22,23 Pada tahun 1931, Boardbent di Amerika Serikat dan Hofrath di Jerman mempresentasikan suatu teknik sefalometri dengan menggunakan mesin sinar-x berkekuatan tinggi dan sebuah penopang kepala yang disebut cephalostat. Hasil dari foto sefalometri disebut sefalogram. 17,22 2.3.2. Kegunaan radiografi sefalometri Sefalometri merupakan salah satu pilar dalam diagnosis ortodontik dan dalam penentuan rencana perawatan. Adapun kegunaan sefalometri dalam bidang ortodonti yaitu: 2,24 a. Studi pertumbuhan kraniofasial. Sefalogram telah membantu menyediakan informasi tentang beragam pola pertumbuhan, gambaran struktur kraniofasial yang baik, memprediksi pertumbuhan, dan memprediksi kemungkinan dampak dari rencana perawatan ortodontik.

b. Diagnosis kelainan kraniofasial. Sefalogram digunakan dalam mengidentifikasi, menentukan gambaran dan melihat kelainan dentokraniofasial. Permasalahan utama dalam hal ini adalah perbedaan antara malrelasi skeletal dan dental. c. Rencana Perawatan. Sefalogram digunakan untuk mendiagnosis dan memprediksi morfologi kraniofasial serta kemungkinan pertumbuhan di masa yang akan datang. Hal tersebut dilakukan dengan menyusun rencana perawatan yang baik dan benar. d. Evaluasi Pasca Perawatan. Sefalogram yang diperoleh dari awal hingga akhir perawatan dapat digunakan dokter gigi spesialis ortodonti untuk mengevaluasi dan menilai perkembangan perawatan yang dilakukan serta dapat digunakan sebagai pedoman perubahan perawatan yang ingin dilakukan. e. Studi kemungkinan relaps. Sefalometri membantu untuk mengidentifikasi penyebab relapse nya perawatan ortodonti dan stabilitas dari maloklusi yang telah dirawat. 2.3.3. Tipe sefalogram Ada 2 jenis sefalogram yang dapat diperoleh yaitu: a. Sefalogram Frontal Gambar 1A menunjukkan gambaran tulang tengkorak kepala dari depan. b. Sefalogram Lateral Gambar 1B menunjukkan gambaran tulang tengkorak kepala dari samping (lateral). Sefalogram lateral ini diambil dengan posisi kepala berada pada jarak tertentu dari sumber sinar X. 2

( A ) ( B ) Gambar 1. (A)Sefalogram Frontal, (B) Sefalogram Lateral 2 2.3.4. Penggunaan titik-titik sefalometri dalam analisis jaringan keras Gambar 2 menunjukkan titik-titik sefalometri pada jaringan keras yang biasa digunakan dalam analisis sefalometri, yaitu: 2,22-24 a. Sella ( S ) : titik pusat geometric dari fossa pituitary. b. Nasion ( N ) : titik yang paling anterior dari sutura fronto nasalis atau sutura antara tulang frontal dan tulang nasal. c. Orbitale ( Or ) : titik paling rendah dari dasar rongga mata yang terdepan. d. Sub-spina ( A ): titik paling cekung di antara spina nasalis anterior dan prosthion, biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis maksila. e. Supra-mental ( B ) : titik paling cekung di antara infra dental dan pogonion dan biasanya dekat apeks akar gigi insisivus sentralis mandibula. f. Pogonion ( Pog ) : titik paling depan dari tulang dagu. g. Gnathion ( Gn ) : titik di antara pogonion dan menton. h. Menton ( Me ) : titik paling bawah atau inferior dari tulang dagu. i. Articulare ( Ar ) : titik perpotongan antara batas posterior ramus dan batas inferior dari basis kranial posterior.

j. Gonion ( Go ) : titik bagi yang dibentuk oleh garis bagi dari sudut yang dibentuk oleh garis tangen ke posterior ramus dan batas bawah dari mandibula. k. Porion ( Po ) : titik paling superior dari meatus acusticus externus. l. Pterygomaxilary ( PTM ) : Kontur fissura pterygomaxilary yang dibentuk di anterior oleh tuberositas retromolar maksila dan di posterior oleh kurva anterior dari prosesus pterygoid dari tulang sphenoid. m. Spina Nasalis Posterior ( PNS ) : Titik paling posterior dari palatum durum. n. Anterior nasal spine ( ANS ) : Ujung anterior dari prosesus maksila pada batas bawah dari cavum nasal. o. Basion ( Ba ) : Titik paling bawah dari foramen magnum. p. Bolton : Titik paling tinggi pada kecekungan fosa di belakang kondil osipital. Gambar 2. Titik titik sefalometri pada jaringan keras 26

2.4. Analisis Sefalometri Ada banyak analisis sefalometri dapat membantu menentukan hubungan antara fasial dengan skeletal, seperti Downs, Steiner, Koski, Ricketts dan sebagainya. Analisis yang digunakan harus dapat menilai hubungan anterior-posterior antara maksila dan mandibula dengan basis kranial, dan juga hubungan vertikal antara mandibula dengan basis kranial sehingga diagnosis yang dihasilkan akurat. Menurut Jefferson, analisis sefalometri yang ideal harus mudah di-tracing, mudah untuk mendiagnosis, efisien, universal (dapat digunakan pada individu siapapun tanpa melihat ras, jenis kelamin, umur, dan sebagainya), akurat, dan sesuai dengan proporsi biologis. 2,4,17 2.4.1. Analisis Steiner Steiner (cit, Singh 2007) mengembangkan analisis ini untuk memperoleh informasi klinis dari pengukuran sefalometri lateral. Steiner membagi analisisnya atas 3 bagian yaitu skeletal, dental dan jaringan lunak. 2 1. Analisis skeletal mencakup hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap tulang tengkorak. 2. Analisis dental mencakup hubungan insisivus rahang atas dan rahang bawah. 3. Analisis jaringan lunak mencakup keseimbangan dan estetika profil wajah bagian bawah. Gambar 3 menunjukkan analisis skeletal Steiner dengan 5 sudut pengukuran yang digunakan antara lain: 2 a. Sudut SNA Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan garis Nasion - titik A. Besar sudut SNA menyatakan hubungan anteroposterior maksila terhadap basis kranium. Nilai normal rata-rata SNA adalah 82 ± 2. Apabila nilai SNA lebih besar, maka maksila diindikasikan mengalami prognasi. Apabila nilai SNA lebih kecil, maka maksila diindikasikan mengalami retrognasi.

b. Sudut SNB Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan garis Nasion - titik B. Besar sudut SNB menyatakan hubungan antero-posterior mandibula terhadap basis kranium. Nilai normal rata-rata SNB adalah 80 ± 2. Apabila nilai SNB lebih besar, maka mandibula diindikasikan mengalami prognasi. Apabila nilai SNB lebih kecil, maka mandibula diindikasikan mengalami retrognasi. c.sudut ANB Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Nasion - titik A dan garis Nasion - titik B. Besar sudut ANB menyatakan hubungan maksila dan mandibula. Nilai normal rata-rata ANB adalah 2 ± 2. Apabila nilai ANB lebih besar, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas II skeletal. Apabila nilai ANB lebih kecil, maka diindikasikan kecenderungan hubungan klas III skeletal. d. Sudut MP-SN Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella - Nasion dan dataran mandibula (Gonion-Gnathion). Nilai normal rata-rata sudut MP-SN adalah 32 ± 5. Besar sudut MP- SN menyatakan indikasi pola pertumbuhan wajah seseorang. Nilai sudut MP- SN yang lebih kecil mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah horizontal sedangkan nilai sudut MP-SN yang lebih besar mengindikasikan pola pertumbuhan wajah ke arah vertikal. Inklinasi bidang mandibula sangat menentukan dimensi vertikal wajah (tinggi, sedang atau pendek). Tipe vertikal wajah menurut Steiner dibagi menjadi 3 yaitu tipe pendek dengan besar sudut MP-SN <27, tipe normal dengan MP-SN 27-37 dan tipe panjang dengan MP-SN >37. e. Sudut Dataran Oklusal Sudut ini terbentuk dari pertemuan garis Sella-Nasion dan dataran oklusal Nilai normal rata-rata sudut ini adalah 14,5. Besar sudut ini menyatakan hubungan dataran oklusal terhadap kranium dan wajah serta mengindikasikan pola pertumbuhan wajah seseorang.

Gambar 3. ( A ) Sudut SNA, ( B ) Sudut SNB, ( C ) Sudut ANB, ( D ) Sudut MP-SN, ( E ) Sudut Bidang Oklusal 26

2.4.2. Analisis Jefferson Analisis Jefferson merupakan modifikasi dari analisis Sassouni, yang disebut juga analisis skeletal archial. Analisis ini diperkenalkan pada bulan Maret tahun 1990. Jefferson mengatakan bahwa analisis yang dibuatnya lebih praktis, cepat dan mudah dilakukan. 4,17 Gambar 4 menunjukkan batas anatomi pada analisis ini hampir sama dengan analisis Steiner. Landmarks yang digunakan yaitu: a. Clivus b. Roof of orbit c. Basisphenoid d. Greater wing of sphenoid e. Ethmoid cribiform plate f. Lateral wall of orbit Setelah semua batas anatomi telah digambar, kemudian ditentukan titik-titik sefalometri yang digunakan. Gambar 4 menunjukkan titik tersebut antara lain : 17 1. SOr ( Supra Orbitale ) : titik paling anterior dari perpotongan bayangan roof dengan kontur orbital lateralnya. 2. SI ( Sella Inferior ) : titik paling bawah dari sella tursica. 3. N ( Nasion ) : titik paling superior sutura frontonasal pada cekungan batang hidung. 4. ANS : titik paling anterior dari maksila. 5. PNS : titik paling posterior dari maksila pada dataran sagital. 6. P ( Pogonion ) : bagian paling anterior dari dagu. 7. M ( Menton ) : titik paling inferior dari dagu. 8. CG ( Constructed Gonion ): perpotongan 2 garis yaitu, garis dari artikular sejajar tangen posterior ramus dan garis dari menton sejajar tangen batas bawah korpus. 17

Gambar 4. Titik referensi pada analisis Jefferson 17 Dalam analisisnya Jefferson menggunakan 4 dataran sebagai patokan pengukuran, sama dengan analisis Sassouni. Perbedaannya, Jefferson tidak menggunakan dataran paralel tetapi digantikan dengan dataran kranial. Adapun 4 dataran yang digunakan, yaitu: 17 (gambar 5) 1. Dataran Kranial : dataran yang dibentuk dari garis dari SOr menuju SI. 2. Dataran Palatal : dataran yang dibentuk dari garis dari ANS menuju PNS. 3. Dataran Oklusal : dataran yang dibentuk dari dataran oklusal fungsional melalui titik kontak premolar dan molar. 4. Dataran Mandibula : dataran yang dibentuk dari menton melalui tangen batas bawah korpus dan melalui konstruksi gonion.

Dataran Kranial Dataran Palatal Center O Dataran Oklusal Dataran Mandibula Gambar 5. Empat dataran pada analisis Jefferson 17 Analisis Jefferson menggunakan 3 busur referensi untuk menentukan disharmoni hubungan skeletal dan wajah. Tiga busur tesebut adalah anterior arc, age 4 vertical arc, dan age 18 vertical arc. Anterior arc digunakan untuk menilai posisi antero-posterior maksila dan mandibula. Age 4 vertical arc menggambarkan tinggi vertikal wajah dari mandibula pada saat umur 4 tahun. Age 18 vertical arc menggambarkan tinggi vertikal wajah dari mandibula pada umur 18 tahun. Dalam analisis anteroposterior Jefferson, perpanjangan keempat garis dataran kranial, palatal, oklusal dan mandibula akan diperoleh titik sentral O. Titik sentral O diperoleh dengan menentukan jarak vertikal yang paling dekat antara garis paling superior dan inferior yang dibentuk dari keempat dataran tersebut. Titik tengah dari jarak vertikal yang telah ditentukan tersebut adalah titik Center O. Anterior arc diperoleh dengan bantuan jangka yaitu meletakkan bagian tajam jangka pada titik O dan bagian pensil pada nasion kemudian rotasikan jangka sampai melewati dagu. 4,17

Dalam analisis vertikalnya, Jefferson menggunakan age 4 vertical arc dan age 18 vertical arc. Pertumbuhan vertikal wajah dimulai dari umur 4 tahun, dimana terjadi kenaikan tinggi wajah bagian bawah sebesar 0,75 mm setiap tahunnya dan berhenti pada saat umur 18 tahun. Age 4 vertical arc diperoleh dengan meletakkan bagian metal jangka pada titik ANS dan bagian pensil jangka pada titik SOr, kemudian rotasikan jangka ke bagian menton dan buat garis arc. Age 18 vertical arc diperoleh dengan menambahkan jarak 10 mm dari age 4 vertical arc. Interpretasi vertikal dari analisis Jefferson adalah tinggi vertikal wajah dikatakan ideal apabila menton berada pada age 4 vertical arc ketika pasien berumur 4 tahun. Dan ketika pasien berumur 18 tahun atau di atas 18 tahun, menton berada pada age 18 vertical arc. 4,7,17 yaitu: 1. Tipe Pendek : apabila menton berada di atas age 18 vertical arc dengan jarak >2mm terhadap age 18 vertical arc. 2. Tipe Normal : apabila menton berada tepat atau masih dalam rentang jarak ± 2mm terhadap age 18 vertical arc. 3. Tipe Panjang : apabila menton berada di bawah age 18 vertical arc dengan jarak >2mm terhadap age 18 vertical arc. Tipe vertikal wajah pendek dan panjang ditunjukkan pada gambar 6. 4,17 Jefferson membagi tipe vertikal wajah menjadi 3. ( A ) ( B ) Gambar 6. (A) Wajah yang pendek, (B) wajah yang panjang 17